Hanya Aku Yang Tidak Diberi Seragam Oleh Keluarga Suamiku BAG 3.
**
Aku pulang saja ke rumah dengan perasaan jengkel. Aku udah gak mau lagi di bodoh-bodohi keluarga suamiku terutama Ibu mertua, Mbak Rahmi, serta perkataan pedas Yumna yang menyakitkan hatiku. Aku yakin kalau tindakan mereka kepadaku pasti akan mendapatkan balasannya. Karena selama ini aku sudah menghormati mereka layaknya keluarga sendiri.
Membantu mereka bila ada hajatan. Aku mengerjakan dengan tulus ikhlas. Bahkan aku rela berada di belakang sementara mereka bercengkrama di depan. Aku kerjakan semua karena bakti kepada suami dan bakti ke keluarganya. Namun, Bu Sutinah pernah kudengar berkata pada tetangga lain. Dia menceritakan diriku. Katanya kok mau ya di bodohi mertua. Padahal dia sering loh di jelek-jelekkan mertuanya. Tapi, masih aja mau bantu mertua.
Saat itu aku tak terlalu percaya dengan perkataan Bu Sutinah karena dia cuma tukang gosip. Namun, setelah aku menyadap WA suamiku dan terpampanglah grup keluarganya. Di sana aku sakit hati karena mereka menjelekkan aku. Apalagi Mas Ferdi masih berhubungan baik dengan Felisha, mantannya.
Hati ini nyeri manakala Felisha berphoto bersama Mas Ferdi. Itu sengaja di bagikan Mbak Rahmi di grup wa keluarga. Alangkah gak tahu malu perempuan itu. Dia masih istri orang. Namun, dia datang saja ke acara resepsi pernikahan Yumna. Datang seorang diri karena memang Felisha belum punya anak. Sudah setahun menikah dengan suaminya, tetapi belum ada anak.
[Cocok banget, 'kan?]
Tulis Mbak Rahmi.
[Banget, sih. Berharap Mas Ferdi dapat ganti.]
Yumna menyela. Dia padahal sedang menjadi pengantin. Namun, masih bisa ikutan di grup itu.
[Ibu setuju banget deh. Katanya Felisha ini dari keluarga tajir. Kemarin gak jadi sama Mas mu karena Papanya gak setuju. Tadi dia cerita sama Ibu kalau pernikahannya kurang bahagia dan mungkin aja cerai sama suaminya. Senangnya kita bakal dapat mantu tajir.]
[Haduh, Bu. Jangan bicara yang enggak-enggak lah. Aku udah nikah sama Riana. Mana mungkin kawin lagi. Udahlah gak usah bahas Felisha.]
Mas Ferdi menyela
[Aduh Ferdi jangan b o d o h kamu. Ada ikan kakap ya di ambil dong. Lagian Felisha mantan kamu. Ibu suka sama dia karena dari keluarga tajir. Dia bisa angkat perekonomian keluarga kita. Lagian cocok kamu sama dia. Kamu kerja bagus di kantor dan dia juga orang tuanya kaya. Apalagi coba? Dengar saat itu Ibu setuju kamu nikah sama Riana karena kamu nyaris gila putus sama Felisha. Makanya terpaksa setuju. Ibu kira Riana itu dari keluarga kaya nyatanya kere. Karena dia sarjana aja makanya Ibu terima. Kalau enggak ya ogah juga. Sekarang apa, walau sarjana tetap aja Riana nganggur setelah punya anak!]
[Bu, udahlah jangan bahas itu dulu.]
[Pertimbangkan aja Felisha karena Riana itu udah menyebalkan.]
Mbak Rahmi menimpali. Aku membaca dengan kesal dan sakit hati. Mengapa orang bisa di pandang hanya karena punya harta? D a s a r keluarga kapitalis. Kalau ada uang pasti baiknya setengah mati. Giliran gak punya uang di tendang. Lihat saya, Bu. Kalian akan menyesal membuang menantu sebaik aku. Gak ada menantu sebaik aku.
Esok harinya, Mas Ferdi tentu saja pulang ke rumah. Anakku Dini sudah bersiap mau sekolah. Dia TK sekarang dan biaya TK nya pakai uang ku. Mas Ferdi sama sekali tak peduli dengan pendidikan anakku. Katanya bagusan masuk SD saja karena gratis. Dia selalu memberi uang lebih ke Ibu. Namun, abai pada pendidikan Dini.
"Kamu mau kemana, Riana? Itu Dini kok pake baju TK? Uang dari mana?"
"Yang pasti bukan uang kamu, Mas."
"Kok kamu ketus banget sama aku. Ingat, harusnya aku yang marah sama kamu karena kamu gak datang lagi di acara besar Yumna."
Dia mendengkus kesal. Aku hanya mencibir malas menanggapi.
"Setelah pulang kerja aku mau ke rumah Ibu karena ada banyak yang belum ku bantu."
Dia menyela dan aku masih diam saja. Terserahlah mau ke rumah Ibunya buat bantu aku juga gak peduli. Biasanya selesai hajatan memang banyak sekali yang harus di kerjakan.
"Kamu kok masih diam aja, Riana. Kamu juga ikut siang nanti karena kata Ibu banyak kerjaan terutama di belakang. Piring kotor dan rumah berantakan."
"Maaf, Mas. Aku sibuk!"
"Sibuk? Apa maksud kamu? Kita wajib bantu Ibu, Riana. Dia gak ada yang nolongin karena selesai hajatan banyak yang harus di kerjakan." Mas Ferdi gak terima.
"Kalau gitu minta uang masuk TK Dini. Aku mau kamu melunaskan biaya masuk sekolah anakku. Kamu nyumbang banyak di pernikahan Yumna. Namun, kamu abai sama pendidikan Dini. Mana uangnya!" Aku menadahkan tangan. Mas Ferdi mendengkus kesal padaku.
"Aku gak punya uang karena memang sudah habis buat acara hajatan Yumna. Lagian kamu kayak banyak uang segala pake masuk TK segala. Udahlah aku pusing sama kamu. Bosan aku bertengkar sama kamu terus. Kamu udah rapi pake baju putih mau kemana?" tanya nya.
"Kerja," jawabku singkat.
"Kerja .... Hahaha .... Kerja apa kamu. Pake baju putih apa kamu jadi pembantu rumah tangga atau sales."
Mas Ferdi justru menertawakan ku. Hatiku jengkel dengan perilakunya. Kenapa aku bisa menikah dengan orang yang tidak menghormati aku? Aku terjebak karena kebodohan. Karena mulut manisnya saat itu. Aku merasa takut Dini kekurangan kasih sayang keluarga. Namun, dia sama sekali gak peduli.
"Yang penting halal buat anakku, Dini. Dan buat kebutuhan ku."
"Alhamdulillah kalau gitu. Aku juga masih ada hutang karena bayar pesta Yumna. Jadi bulan depan kayaknya gak bisa kasih kamu uang belanja." Dia menimpali. Aku semakin kesal mendengar ucapannya.
"Maaf, Mas. Aku sama sekali gak iklhas kalau kamu gak kasih uang hak kami. Kalau gitu kamu pulangkan saja aku ke rumah Ibuku. Atau kamu makan aja di rumah keluargamu."
"Riana!"
Mas Ferdi gak terima. Aku menatapnya sengit karena tak setuju dengan perkataannya. Dia menghela napas karena merasa bersalah.
"Apa, Mas? Bukanlah nafkah memang tanggung jawab suami."
"Ya udah nanti aku pikirkan. Kamu buat aku kesal saja."
Beberapa saat kemudian Ibunya datang. Dia terlihat gusar. Sebelum aku berangkat masih sempat bertemu dia.
"Ferdi, kamu belum ke kantor?" tanyanya.
"Belum, Bu. Sebentar lagi. Ada apa, Bu?"
Dia melirikku sedikit sinis. Aku hanya mencibirnya tak peduli.
"Begini, Nak. Acara pesta kemarin setelah Ibu hitung-hitung malah merugi dari pada untung. Apa kamu gak bisa kasih Ibu lima belas juta lagi. Yumna marah karena dia juga minta uang pesta itu buat modal kehidupan rumah tangganya. Sedangkan Ibu gak ada uang lagi. Ibu pusing."
"Aduh, Bu. Maaf Ferdi juga masih ada hutang lima juta lagi. Kan Ibu pakai uangnya kemarin. Gak ada lagi, Bu."
"Bagaimana kalau gadaikan saja cincin pernikahan kamu sama Riana. Kemarin Ibu lihat Riana juga pakai gelang. Ibu dengar dari kamu gelang Riana itu emas yang diberikan keluarganya. Gadaikan saja dulu buat nalangin lima belas juta. Gimana, Ferdi. Ibu sangat butuh."
Ibu melirikku gusar. Aku mendengkus kesal mendengar ucapannya. Enak banget dia ngatur-ngatur aku.
Bersambung
Hanya Aku Yang Tidak Diberi Seragam Oleh Keluarga Suamiku BAG 4. **PoV Ferdi. **Hal yang sangat sulit kulakukan adalah berbaur dengan keluarga Riana. Entah mengapa aku sulit untuk duduk-duduk bersama dengan keluarganya. Aku memang tidak pernah datang ke hajatan keluarga Riana jika mereka mengadakan syukuran atau apapun yang datang hanya Riana saja ke kampung dan aku tidak. Bisa dikatakan Aku menikah dengan Riana karena terpaksa. Dia perempuan yang sabar menurutku. Dia juga bisa berbaur dengan keluargaku. Walaupun keluargaku tidak menyukainya. Namun, Mereka takut terjadi apa-apa dengan diriku setelah aku putus dengan Felisha. Mau bagaimana lagi keluarga Felisa tidak bisa menerimaku karena status sosial kami yang berbeda. Apalagi aku hanyalah anak pensiunan biasa. Sedangkan orang tua Felisa itu memiliki usaha sendiri. Dia adalah gadis terpandang. Karena aku putus darinya membuat diriku sedikit terguncang. Tak sengaja aku bertemu dengan Riana. Dia awalnya bekerja sebagai tenaga ho
Hanya Aku Yang Tidak Diberi Seragam Oleh Keluarga Suamiku bag 5.**PoV Riana. "Riana … Maksud kamu apa?" tanya Mas Ferdi menyusul ku. Menghentikan langkahku dengan memegang tanganku seakan-akan tidak membiarkan aku pergi dari sini. "Apasih, Mas!" Aku menyentakkan tangannya dengan kasar. Yang membuat hatiku hancur adalah ketika anakku harus melihat pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di antara kami. Sikap pedas mertua dan para ipar yang sering menyakiti belum lagi ketidak pedulian Mas Ferdi pada Dini. Dia lebih peduli dengan dunianya sendiri dan kepentingan keluarganya. "Kamu jangan main-main perkara perceraian. Apa maksud kamu tadi kalau mau ke Pengadilan Agama? Apakah kamu mau menggugat aku cerai. Kamu jangan main-main dengan perkataan itu, Riana!" Aku tertawa kecil menertawakannya. "Kenapa? Kamu takut?" tanyaku sedikit mengejeknya. "Ya enggaklah, aku nggak pernah takut dengan ancaman-ancaman kamu karena asal kamu tahu aja jadi janda itu susah dan nggak enak. Kamu akan
Hanya Aku Yang Tak Diberi Seragam Oleh Keluarga Suamiku bag 6. **PoV Riana. Aku merasa senang karena urusanku sudah selesai. Pemberkasan juga sudah selesai. Tinggal menunggu proses selanjutnya dan aku harus bersabar. Aku mau tahu setelah Mas Ferdi dan keluarganya tahu kalau aku bukan pengangguran. Bagaimana perasaan mereka? Pasti mereka akan terkejut. Aku lalu ke sekolah anakku. Aku menjemput Dini. Dia pasti sudah menungguku. Setelah sampai di sekolah anakku. Dini memang sudah pulang dan dia bergegas menghampiriku. Aku berjongkok untuk memeluk anakku dan memberikan diapresiasi karena dia sudah belajar dengan baik di sekolah TK nya. "Bagaimana belajarnya, Sayang?" tanya ku. "Alhamdulillah, Bunda. Dini senang." Ketika aku hendak menarik tangan anakku untuk meninggalkan sekolah TK itu. Guru Dini memanggilku. Aku kemudian menghentikan langkahku dan melirik ke belakang. Aku melihat gurunya itu berjalan ke arahku bersama seorang anak. Aku menghela nafas panjang karena aku mengetahui
Hanya Aku Yang Tidak Diberi Seragam Oleh Keluarga Suamiku 7. **Aku sama sekali tak peduli dengan ucapan Mbak Rahmi. Walau sebenarnya aku merasa penasaran dengan lelaki yang jalan dengannya. Itu teman atau selingkuhan? Namun, kalau aku bertanya lebih lanjut maka Mbak Rahmi tak akan mau menjawab. "Tante, sebenarnya Mama pergi kemana? Om tadi siapa?" tanya Chikita dengan polosnya. "Enggak tahu, Sayang." "Mama emang kalau sama temannya baik dan kalau sama kami selalu marah-marah." "Marah-marah gimana?" tanyaku penasaran. "Suka marah aja, Tante. Kalau sedang telfonan sama Papa kadang marah-marah sendiri. Terus Mama jarang masak. Chikita kadang lapar tapi makanan gak ada." Duh, aku sungguh kasihan dengan anak Mbak Rahmi. Itulah salahnya dia punya anak banyak-banyak tapi gak sanggup menjaganya. "Terus? Chikita kalau Mama gak masak makan apa?" "Kadang makan di rumah Nenek. Kadang Tante yang kasih." Aku mengelus rambut anak itu. Kasihan sebenarnya. Ibunya saja gak tahu diri. Ketika
Hanya Aku Yang Tak Diberi Seragam Oleh Keluarga Suamiku bag 8.**PoV Ferdi. Aku bersemangat ketika mendapatkan telepon dari ibu yang mengatakan kalau Felisha ada di rumah. Jujur aku masih mencintai Felisha. Aku merasa bodoh saat ketahuan Riana berbohong tentang uang yang kuberikan pada Felisha. Katanya padaku kalau dia ulang tahun. Jadi aku memberikan dia uang sebagai hadiah ulang tahunnya. Karena Felisha menuntut aku memberikan dia hadiah. Jujur saja kami belum bertemu lagi. Pertemuan kembali saat adikku Yumna menikah. Sekarang aku merasa sangat speechless karena kedatangan Felisha ke rumah. "Senang rasanya Felisha mau datang ke sini. Ibu udah kangen sama kamu, Nduk." Ibu bertutur kata manis pada Felisha. Ucapannya berbanding terbalik saat dia berbicara dengan Riana, istriku. "Iya, Bu. Sekalian mampir kesini." Felisha mengulas senyum ke Ibu. Senyum nya sangat menawan. Aku menyukainya. Dia tidak berubah dan masih cantik. Sudah hampir dua tahun Felisha menikah. Namun, belum puny
Hanya Aku Yang Tidak Diberi Seragam Oleh Keluarga Suamiku bag 9.**PoV RianaAura wajah Mas Ferdi berubah ketika aku mulai membuka kartunya. Rahasia yang mungkin dia sembunyikan kepada sang mantan kekasih. Dia ingin terlihat sebagai laki-laki yang baik hati dan tidak ketahuan keburukannya. Aku merasa yakin kalau Mas Ferdi berusaha untuk menutup-nutupi kalau dia adalah lelaki yang perhitungan terhadap keluarga. "Riana! Jangan bicara sembarangan." Mas Ferdi mulai marah padaku. Tak terima ketika aku mengatakan itu. Dia berharap aku membicarakan hal yang baik-baik tentang dirinya. Tentu saja tidak semua akan aku bongkar di sini termasuk kejutan manis yang akan diterima oleh mereka semua. Sebentar lagi. "Jangan bicara sembarangan bagaimana, Mas? Kenapa kamu harus marah-marah sama aku dan nada bicara kamu begitu tinggi. Padahal aku hanya ingin membahas masalah pernikahan yang akan kita jalani secara bertiga seperti yang kamu inginkan!"Mas Ferdi akan merasakan apa yang aku rasakan. Dia
HANYA AKU YANG TAK DIBERI SERAGAM OLEH KELUARGA SUAMIKU 10.**POV RIANA"Mas Aryo …" Mata Felisha mendelik melihat suaminya ada di sini. Dia seakan tak percaya kenapa bisa sang suami di depan nya. "Felisha. Drama apalagi yang kamu kerjakan. Apa kamu nggak puas selingkuh. Aku udah maafkan kamu tapi ini balasan darimu untukku." "Gak kayak gitu, Mas. Aku cuma iseng." "Aku capek ngadapin kamu, Felie. Aku putuskan kalau akan menceraikan mu saja sesuai dengan yang kamu mau." "Jangan, Mas." Felisha menangis lalu dia bersimpuh di hadapan suaminya. Dia memeluk paha sang suami merasa bersalah. Aryo menghentakkan kakinya dan menarik Felisha agar tidak melakukan itu. "Bukankah kalian sudah bercerai?" tanya Mas Ferdi. Dia heran, mengapa Felisha bisa nangis seperti itu. Padahal dia mengatakan pada kami semua kalau dia sudah bercerai. "Maaf, sebenarnya. Aku yang salah dengan suamiku. Aku gak kuat karena Mas Aryo selalu memojokkan aku. Jadi … Huhuhu …." Felisha menangis tersedu sedan. Dia be
HANYA AKU YANG TAK DIBERI SERAGAM OLEH KELUARGA SUAMIKU 11**PoV Riana. "Riana, Sudah berapa kali aku katakan kepadamu jangan pernah main-main dengan ucapan perceraian. Kamu pikir jadi janda itu enak. Jadi janda itu nggak enak dan serba susah. Apalagi kamu itu pengangguran dan tidak punya pekerjaan. Lagi pula bukankah kamu tadi sudah memberikan syarat-syarat kepada Felisha agar kalian bisa akur!" Mas Ferdi gak terima ketika aku mengatakan ingin berpisah. D**ar l**aki tamak! Dia ingin memiliki istri dua tetapi dia tidak mampu membagi nafkah secara adil. Apalagi dia ingin ngekepi uangnya sendiri. Aku sangat tahu keinginan Mas Ferdi. Dia maunya punya istri dua tanpa keluar uang. "Aku tahu jadi janda itu nggak pernah enak. Tetapi lebih bagus jadi janda kalau suaminya itu kamu. Kamu harusnya sadar diri, Mas. Nggak usah macam-macam pengen kawin lagi. Apalagi kamu itu pelit sekali membagi nafkah. Bagaimana aku bisa hidup kalau kamu itu nanti nggak bisa memenuhi kebutuhan. Yang ada kamu b