Share

Bab 6.

Hanya Aku Yang Tak Diberi Seragam Oleh Keluarga Suamiku bag 6. 

**

PoV Riana. 

Aku merasa senang karena urusanku sudah selesai. Pemberkasan juga sudah selesai. Tinggal menunggu proses selanjutnya dan aku harus bersabar. Aku mau tahu setelah Mas Ferdi dan keluarganya tahu kalau aku bukan pengangguran. Bagaimana perasaan mereka? Pasti mereka akan terkejut. 

Aku lalu ke sekolah anakku. Aku menjemput Dini. Dia pasti sudah menungguku. Setelah sampai di sekolah anakku. Dini memang sudah pulang dan dia bergegas menghampiriku. 

Aku berjongkok untuk memeluk anakku dan memberikan diapresiasi karena dia sudah belajar dengan baik di sekolah TK nya. 

"Bagaimana belajarnya, Sayang?" tanya ku. 

"Alhamdulillah, Bunda. Dini senang." 

Ketika aku hendak menarik tangan anakku untuk meninggalkan sekolah TK itu. Guru Dini memanggilku. Aku kemudian menghentikan langkahku dan melirik ke belakang. Aku melihat gurunya itu berjalan ke arahku bersama seorang anak. Aku menghela nafas panjang karena aku mengetahui siapa anak itu. Dia Chikita anak Mbak Rahmi. 

"Halo, Bunda Dini. Maaf sekali mengganggu waktunya. Tadi Mamanya Chikita menghubungi kalau Chikita akan pulang sekolah dengan Bundanya Dini. Dia menitipkan anaknya kepada Bunda Dini untuk diantar pulang." 

Bu Rara, guru sekolah Dini berkata dengan lembut kepadaku. Aku menghela nafas panjang karena sikap Mbak Rahmi yang memang keterlaluan menitipkan anaknya sembarangan. Sepertinya dia sengaja melakukan ini untuk menyusahkanku. Kulihat lagi anaknya itu yang tersenyum. Aku merasa tak tega. Lalu aku mengambil tangan Chikita untuk ikut pulang bersamaku.

"Baik, Bu. Saya akan membawa pulang Chikita." 

"Terima kasih bundanya Dini." Bu Rara mengulas senyum padaku. 

Aku kemudian membawa kedua anak itu untuk pulang bersamaku. Kami menaiki taksi dan pulang bersama-sama. 

"Tante. Setelah ini kita mau ke mana Apakah kita akan makan dulu. Chikita sangat lapar dan mau makan Yang enak-enak." 

Aku menarik nafas panjang mendengar penuturan anak itu. Walau bagaimanapun dia tetap anak mbak Rahmi yang pasti akan menurun sifatnya kepada Mbak Rahmi. Tetapi dengan pengajaran yang baik dan lemah lembut. Semoga saja Chikita bisa lebih paham dan tidak memiliki sikap yang sama seperti ibunya. 

"Ya udah kita makan dulu ya. Dini sama Chikita makan bersama-sama dan main sama-sama di Mall. Bagaimana?" tanyaku. 

"Mau, Bun." 

"Yey. Makasih, Tante." 

Mereka berdua cium pipiku. Meskipun kedua anak ini sering bertengkar tetapi mereka kemudian berbaikan. Aku merasa maklum karena mereka hanya anak-anak. 

Sampailah kami Mall. Di sini selain bisa mengajak anak-anak makan bersama juga bisa mengajak mereka ke arena permainan. Aku memilih merayakan keberhasilanku bersama mereka berdua. Aku baru mendapat trasferan dan selesai pemberkasan. Jadi tak ada salahnya aku merayakan moment keberhasilan ku dengan berbagi pada kedua bocah ini. Aku juga akan mentransfer orang tuaku di kampung. Kalau menunggu Mas Ferdi boro-boro bakal di kasih. 

Setelah selesai makan bersama kedua bocah itu. Mereka memegang tanganku. Di kanan Dini dan kiri Chikita. Sepertinya mereka sudah tidak sabar untuk menaiki wahana permainan. 

"Ayo, Tante. Pengen main game. Sama beli boneka bisa ya." Chikita yang paling antusias. 

Aku menuruti saja permintaan mereka sambil terus berjalan ke tempat yang mereka inginkan. 

"Chikita. Itu bukannya Wa Rahmi." Dini menunjuk. 

Kami menghentikan langkah sejenak karena melihat seorang wanita yang memang mirip dengan mbak Rahmi. Mataku menyipit untuk melihat lebih jelas. Siapakah wanita yang dimasukkan oleh Dini anakku itu? Apakah benar-benar Mbak Rahmi atau bukan. Tetapi, kenapa dia jalan bareng lelaki lain?

"Iya, itu Mama. Aku mau kesana dulu ..." Chikita pergi begitu saja. Dia melepaskan tanganku mendekati Mbak Rahmi, Mamanya. 

Setelah kedatangan Chikita ke dekat Mbak Rahmi. Tentu saja dia merasa sedikit gusar dan tidak senang dengan kehadiran anaknya di sana. Dia mencari-cari siapakah yang membawa anaknya ke pusat perbelanjaan ini. Kemudian dia melihat wajahku aku dan Dini berjalan dengan santai ke depan Mbak Rahmi bersama dengan seorang laki-laki juga. 

"Hai, Mbak." 

"Riana! Kenapa kamu di sini!" Dia mendelik melihatku tetapi kemudian dia melirik lelaki yang ada di sampingnya lalu tersenyum ramah. Sangat berbeda ketika dia melirikku. 

"Kebetulan aku bawa anak-anak untuk bermain. Lagian kamu tega banget ya nitip anak kamu ke aku dan kamu jalan sama orang lain kayak gini. Seorang lelaki lagi. Apa suami kamu gak marah. Kamu selingkuh, Mbak."

Dia selalu menyeretku agar tidak berbicara di depan lelaki tersebut sesuka hatiku. Aku terpaksa mengikuti Mbak Rahmi. Setelah merasa cukup aman kemudian dia berbicara kepadaku sambil kepalanya terus melongok menatap lelaki tersebut yang masih bingung. 

"Riana sebaiknya kamu pulang!" 

"Maksud kamu apa nyuruh-nyuruh aku pulang. Emang ini Mall punya nenek moyang kamu!" kataku ketus. 

"Kamu emang berani banget udah ngelawan aku, Riana. Aku nggak suka adik ipar aku bertindak semena-mena kayak gini!" 

"Gak sadar kamu, Mbak. Kamu yang bertindak semena-mena sama aku. Kamu nggak kasihan lihat anak kamu di titip mulu ke aku. Dia makan di restoran kayak orang nggak pernah makan. Kasihan baget, Mbak. Kamu sering pergi-pergi dengan teman-teman kamu tapi kamu nggak pernah bawa anak kamu. Kamu ini sebenarnya Ibu seperti apa sih?!"

Mbak Rahmi nggak terima dengan ucapanku. Terlihat dari wajah garangnya, menatapku dengan sengit. 

"Pokonya kamu jangan ganggu aku dulu. Nanti akan aku ceritakan siapa lelaki itu yang pasti kalian pulang saja dulu." 

"Aku mau ajak anak aku main ke time zona jadi kamu nggak bisa melarang aku, Mbak. Karena kamu bukan siapa-siapa dan kamu nggak punya hak akan hal itu. Kalau kamu mau pergi ya udah pergi aja." 

"Baiklah kalau kayak gitu .Aku ngalah aja sama kamu tapi kamu jangan memberi tahu sama siapa-siapa kalau aku lagi jalan sama lelaki itu. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan Riana." 

"Udahlah, Mbak. Aku juga bisa lihat kok hubungan kamu dekat sama dia. Gak sangka aku kamu selingkuh!" 

"Diam kamu pokoknya ini gak seperti yang kamu pikirkan. Aku pergi dulu. Kamu jaga anakku." 

Chikita lalu menghampiri kami. Dia terlihat takut dengan wajah garang ibunya. Chikita pernah bercerita kepadaku kalau ibunya itu sering marah-marah dan berkata-kata kasar kepada. Anak-anak tak berdosa itu harus menerima kemarahan Rahmi bila tidak berkenan di hatinya. 

"Chikita, sekarang kamu pulang dengan Tante Riana!" 

"Mama mau kemana?" 

"Mama sibuk dan masih banyak urusan." 

"Kamu lihat sendiri, Chikita. Kamu lihat kalau Mama kamu gak peduli sama kamu. Dia lebih peduli sama selingkuh nya!" Aku mendengkus sambil mengatakan itu kepada Chikita. 

"Riana. Cukup jangan mengajarkan anak kecil tentang ucapan-ucapan yang tidak baik. Aku pergi dulu kalau begitu. Nanti kita bicara lagi di rumah!" 

Mbak Rahmi pergi begitu saja meninggalkan kami dengan ekspresi yang sangat menyebalkan. Sementara anaknya menangis mendapati sikap kasar ibunya dan ibunya pergi meninggalkan dirinya. Berjalan dengan lelaki yang sudah menunggunya. Aku nggak habis pikir dengan mbak Rahmi. Siapa sebenarnya laki-laki itu apakah dia benar-benar selingkuhannya? Kalau iya alangkah tega dia mengkhianati suaminya yang sekarang berjauhan dari nya karena mereka LDR an. 

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si riana ini mungkin udah g waras. krn dia menghadapi kezaliman suami dan mertuanya cuma dg bacotan. klu orang waras mana mau diperlakukan kayak begitu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status