Hanya Aku Yang Tidak Diberi Seragam Oleh Keluarga Suamiku 7.
**
Aku sama sekali tak peduli dengan ucapan Mbak Rahmi. Walau sebenarnya aku merasa penasaran dengan lelaki yang jalan dengannya. Itu teman atau selingkuhan? Namun, kalau aku bertanya lebih lanjut maka Mbak Rahmi tak akan mau menjawab.
"Tante, sebenarnya Mama pergi kemana? Om tadi siapa?" tanya Chikita dengan polosnya.
"Enggak tahu, Sayang."
"Mama emang kalau sama temannya baik dan kalau sama kami selalu marah-marah."
"Marah-marah gimana?" tanyaku penasaran.
"Suka marah aja, Tante. Kalau sedang telfonan sama Papa kadang marah-marah sendiri. Terus Mama jarang masak. Chikita kadang lapar tapi makanan gak ada."
Duh, aku sungguh kasihan dengan anak Mbak Rahmi. Itulah salahnya dia punya anak banyak-banyak tapi gak sanggup menjaganya.
"Terus? Chikita kalau Mama gak masak makan apa?"
"Kadang makan di rumah Nenek. Kadang Tante yang kasih."
Aku mengelus rambut anak itu. Kasihan sebenarnya. Ibunya saja gak tahu diri. Ketika kami sampai di rumah ternyata kedua saudara Chikita sudah menunggu di rumah kontrakan kami yang tak jauh dari rumah mertua dan Mbak Rahmi.
Karena Mbak Rahmi sering nitip anaknya makanya anaknya jadi suka bermain di rumahku. Mereka menyambut ku. Miko dan Cantika.
"Wah dari mana Tante kok nggak ngajak-ngajak?" tanya anak berusia hampir delapan tahun itu.
"Dari Mall."
"Bawa makanan gak kita lapar!"
"Loh emang kamu belum makan? Gak di kasih makan sama Nenek dan Ibu kamu?"
"Siang tadi di kasih tapi malam ini kami juga belum makan. Minta dong Tante."
Aku merasa miris. Padahal aku membawa makanan untuk ku makan dengan anakku. Justru anak Mbak Rahmi kelaparan sementara emaknya senang-senang dengan lelaki lain. Terpaksalah aku berbagi makanan dengan mereka.
"Ya udah, Yuk kita makan sama-sama."
Tak terasa sudah malam saja. Mbak Rahmi tak kunjung pulang padahal sudah pukul delapan malam. Aku mendesah kesal pada Mbak Rahmi yang keterlaluan pada anak nya. Sementara Mas Ferdi baru saja pulang. Dia sepertinya sudah makan di kantor. Mas Ferdi terlihat ceria.
"Kamu masak apa hari ini, Riana?"
"Aku gak masak, Mas."
"Loh, kenapa? Jangan karena aku makan di kantor kamu gak masak. Kebetulan aku hari ini makan di luar. Besok kamu harus masak ya!"
"Mas, uang belanja belum kamu kasih. Gimana aku mau masak! Aku pikir kamu kasih satu juta lima ratus itu gak cukup apalagi anak kakak kamu juga main di sini dan terkadang makan di sini. Jadi aku minta tambah, Mas. Setidaknya dua juta itu sudah paling kecil!"
"Ha! Ngarang kamu. Banyak banget. Udah deh Riana jangan macam-macam. Aku gak ada uang sebanyak itu!"
"Jangan membohongi aku, Mas. Aku lihat struk gaji kamu. Beberapa waktu yang lalu juga aku temukan ini."
Aku memberikan slip transferan ke Mas Ferdi. Dengan nominal tiga juta rupiah.
"Eh, itu kamu gak boleh buka dan kepo-kepoin berkas-berkas aku sembarangan Riana! Lagian aku transer Ibu. Eh, Yumna karena dia perlu."
Mas Ferdi menjadi salah tingkah. Biasanya kalau Ibu. Dia akan kasih sendiri uangnya pada Ibu dan kalau Yumna juga sudah punya nomor rekening sendiri atas namanya.
"Kamu gak bisa baca ya, Mas. Ini ada namanya Felisha. Kamu transfer ke Putri Felisha sebesar tiga juta. Buat apa?!"
Mas Ferdi mendelik membaca struk transferan yang memang atas nama mantan nya itu.
"Itu saat itu … Anu … Papa Felisha sakit jadi aku menyumbang seadanya. Gak enak juga kami pernah dekat dan aku gak kasih sesuatu buat bantu papanya yang sakit."
Mas Ferdi berusaha mencari alasan struk yang aku temukan itu. Aku tahu dia berbohong.
"Tapi dia itu keluarga berada, Mas."
"Walaupun dia dari keluarga berada tetapi kita tetap harus membantu sesama tidak boleh mengabaikan orang yang membutuhkan pertolongan kita. Apalagi aku pernah menjalin hubungan dengannya, jadi aku tidak bisa mengabaikannya. Udahlah gak perlu di bahas lagi. Pokoknya aku nggak suka kamu buka-buka berkas aku!"
Mas Ferdi berdecak padaku. Aneh sekali sikapnya. Seharusnya aku yang marah padanya. Aku mau lihat sampai di mana Mas Ferdi tak menganggap ku. Aku akan buat dia menyesal menyia-nyiakan aku.
"Bahagia banget jadi mantan kamu, Mas. Orang tuanya sakit kamu kasih sumbangan. Kalau mertua kamu yang sakit kamu bakal bilang kalau dia bukan keluargaku. Lebih enak berarti jadi mantan dari istri kamu!"
Aku menggeser kursi makan itu karena ingin pergi meninggalkan Mas Ferdi dari tadi kami mengobrol di dapur dan anak-anak bermain di depan. Rasanya aku benar-benar sakit hati dengan sikapnya itu.
"Riana. Bukan begitu maksudku!"
"Udahlah, Mas. Yang paling penting buat kamu cuma Felisha. Aku dan Dini gak pernah berarti buat kamu."
Aku menghentakkan tangannya. Kesal rasanya menderaku. Aku lalu masuk ke kamar. Dia mengikuti aku.
"Riana, dengarkan aku dulu."
"Mas, bulan ini kamu gak usah kasi aku uang belanja. Aku tahu kamu kekurangan sebenarnya. Kamu rugi membagi uangmu padaku. Gini aja, Mas. Aku rela hati kamu gak kasih uang sama aku. Kamu aja yang belanja keperluan rumah tangga."
"Apa-apaan sih kamu Riana. Hanya karena masalah sepele kamu seperti ini."
"Masalah sepele? Ini bukan masalah sepele, Mas. Kamu lebih pilih Riana dari pada aku. Bagi uang sejuta lima ratus aja kamu rugi tapi buat orang lain kamu cepat sekali."
Aku mendengkus pada Mas Ferdi yang kini diam. Diamnya dia itu menurutku persetujuan atas ucapanku. Pelan-pelan akan kubuat dia menyesal lalu aku akan tinggalkan dia.
Gawai ku bergetar. Aku mengambil gawai itu di nakas kemudian aku melihat ada panggilan dari ibu. Tumben sekali ibu mertua menghubungi. Aku biasanya dia langsung menghubungi Mas Ferdi tetapi kali ini dia menghubungi diriku. Apa yang diinginkannya.
"Assalamualaikum," sapaku.
"Mana Ferdi?" Tak ada jawaban salam darinya.
"Ada di sini. Ada apa Bu?"
"Bilang sama Ferdi kalau Felisha datang ke rumah Ibu. Dia bersilaturahmi ke rumah ibu. Orangnya cantik banget, putih, pintar, berpendidikan dan dari keluarga kaya. Ibu suka banget sama dia. Oh ya suruh Ferdi datang karena Felisha nyariin dia!" kata Ibu ketus padaku.
Aku mencebik kesal mendengar ucapan dari ibu. Sepertinya dia sengaja melakukan ini. Dia menghubungiku untuk memanas-manasiku kalau mantan pacar suamiku itu datang ke rumahnya. Entah mengapa wanita itu sekarang menjadi pengganggu rumah tangga orang dan dengan tenang dia datang ke rumah ibu.
Beberapa saat kemudian gawainya Mas Ferdi yang bergetar. Panggilan dari Ibunya. Mas Ferdi segera mengangkatnya. Tentu saja ibunya ingin mengatakan kalau Felisha ada di rumahnya. Dia sengaja menghubungiku lebih dulu untuk membuat hatiku panas.
Setelah menerima telepon tersebut Mas Ferdi bergegas hendak menemui Felisha yang ada di rumah ibunya dia sepertinya bersemangat sekali menemui mantan kekasihnya itu.
"Mau kemana, Mas? Menjumpai Felisha?"
"Eh, gimana ya. Dia datang bersilaturahmi. Jadi gak enak juga sebenarnya. Sebenarnya ada hal penting yang ingin aku katakan padamu. Tetapi, nanti kita bahas bersama ya."
"Berani kamu pergi, Mas. Maka kamu akan menyesal!"
"Cukup, Riana. Dari tadi kamu ngancam aku mulu. Aku capek sama kamu."
Mas Ferdi tidak peduli dengan ancaman ku. Dia tetap pergi menemui Felisha di rumah Ibunya. Baik, jika itu keputusannya. Mulai hari ini aku tak akan goyah lagi untuk menentukan sikapku. Dia memilih mantannya maka dia akan kehilangan aku.
Bersambung.
Hanya Aku Yang Tak Diberi Seragam Oleh Keluarga Suamiku bag 8.**PoV Ferdi. Aku bersemangat ketika mendapatkan telepon dari ibu yang mengatakan kalau Felisha ada di rumah. Jujur aku masih mencintai Felisha. Aku merasa bodoh saat ketahuan Riana berbohong tentang uang yang kuberikan pada Felisha. Katanya padaku kalau dia ulang tahun. Jadi aku memberikan dia uang sebagai hadiah ulang tahunnya. Karena Felisha menuntut aku memberikan dia hadiah. Jujur saja kami belum bertemu lagi. Pertemuan kembali saat adikku Yumna menikah. Sekarang aku merasa sangat speechless karena kedatangan Felisha ke rumah. "Senang rasanya Felisha mau datang ke sini. Ibu udah kangen sama kamu, Nduk." Ibu bertutur kata manis pada Felisha. Ucapannya berbanding terbalik saat dia berbicara dengan Riana, istriku. "Iya, Bu. Sekalian mampir kesini." Felisha mengulas senyum ke Ibu. Senyum nya sangat menawan. Aku menyukainya. Dia tidak berubah dan masih cantik. Sudah hampir dua tahun Felisha menikah. Namun, belum puny
Hanya Aku Yang Tidak Diberi Seragam Oleh Keluarga Suamiku bag 9.**PoV RianaAura wajah Mas Ferdi berubah ketika aku mulai membuka kartunya. Rahasia yang mungkin dia sembunyikan kepada sang mantan kekasih. Dia ingin terlihat sebagai laki-laki yang baik hati dan tidak ketahuan keburukannya. Aku merasa yakin kalau Mas Ferdi berusaha untuk menutup-nutupi kalau dia adalah lelaki yang perhitungan terhadap keluarga. "Riana! Jangan bicara sembarangan." Mas Ferdi mulai marah padaku. Tak terima ketika aku mengatakan itu. Dia berharap aku membicarakan hal yang baik-baik tentang dirinya. Tentu saja tidak semua akan aku bongkar di sini termasuk kejutan manis yang akan diterima oleh mereka semua. Sebentar lagi. "Jangan bicara sembarangan bagaimana, Mas? Kenapa kamu harus marah-marah sama aku dan nada bicara kamu begitu tinggi. Padahal aku hanya ingin membahas masalah pernikahan yang akan kita jalani secara bertiga seperti yang kamu inginkan!"Mas Ferdi akan merasakan apa yang aku rasakan. Dia
HANYA AKU YANG TAK DIBERI SERAGAM OLEH KELUARGA SUAMIKU 10.**POV RIANA"Mas Aryo …" Mata Felisha mendelik melihat suaminya ada di sini. Dia seakan tak percaya kenapa bisa sang suami di depan nya. "Felisha. Drama apalagi yang kamu kerjakan. Apa kamu nggak puas selingkuh. Aku udah maafkan kamu tapi ini balasan darimu untukku." "Gak kayak gitu, Mas. Aku cuma iseng." "Aku capek ngadapin kamu, Felie. Aku putuskan kalau akan menceraikan mu saja sesuai dengan yang kamu mau." "Jangan, Mas." Felisha menangis lalu dia bersimpuh di hadapan suaminya. Dia memeluk paha sang suami merasa bersalah. Aryo menghentakkan kakinya dan menarik Felisha agar tidak melakukan itu. "Bukankah kalian sudah bercerai?" tanya Mas Ferdi. Dia heran, mengapa Felisha bisa nangis seperti itu. Padahal dia mengatakan pada kami semua kalau dia sudah bercerai. "Maaf, sebenarnya. Aku yang salah dengan suamiku. Aku gak kuat karena Mas Aryo selalu memojokkan aku. Jadi … Huhuhu …." Felisha menangis tersedu sedan. Dia be
HANYA AKU YANG TAK DIBERI SERAGAM OLEH KELUARGA SUAMIKU 11**PoV Riana. "Riana, Sudah berapa kali aku katakan kepadamu jangan pernah main-main dengan ucapan perceraian. Kamu pikir jadi janda itu enak. Jadi janda itu nggak enak dan serba susah. Apalagi kamu itu pengangguran dan tidak punya pekerjaan. Lagi pula bukankah kamu tadi sudah memberikan syarat-syarat kepada Felisha agar kalian bisa akur!" Mas Ferdi gak terima ketika aku mengatakan ingin berpisah. D**ar l**aki tamak! Dia ingin memiliki istri dua tetapi dia tidak mampu membagi nafkah secara adil. Apalagi dia ingin ngekepi uangnya sendiri. Aku sangat tahu keinginan Mas Ferdi. Dia maunya punya istri dua tanpa keluar uang. "Aku tahu jadi janda itu nggak pernah enak. Tetapi lebih bagus jadi janda kalau suaminya itu kamu. Kamu harusnya sadar diri, Mas. Nggak usah macam-macam pengen kawin lagi. Apalagi kamu itu pelit sekali membagi nafkah. Bagaimana aku bisa hidup kalau kamu itu nanti nggak bisa memenuhi kebutuhan. Yang ada kamu b
HANYA AKU YANG TAK DIBERI SERAGAM OLEH KELUARGA SUAMIKU BAG 12. **PoV Ferdi. Aku terkejut saat Ibu mengatakan kalau Mbak Rahmi hamil. Hamil? Kok bisa. Setahuku dia LDR sama suaminya sudah hampir tiga bulan. Jadi suaminya itu kerja merantau ke pedalaman. Bekerja dengan orang lain. Borongan mengerjakan proyek rumah, dan bangunan. Istilah kasarnya kuli bangunan. Suami Mbak Rahmi jarang pulang dan aku heran kenapa bisa Mbak Rahmi hamil? Gak mungkin! Pasti cuma masuk angin aja. "Kamu hamil, Rahmi!" sentak Ibu marah. Mbak Rahmi mengelap kasar wajahnya. Aku melirik kedua anaknya yang ketakutan. Mereka berlindung dengan Riana, istriku. Anaknya memang dekat dengan Riana karena Mbak Rahmi sering menitipkan pada istriku. Aku juga merasa heran karena Mbak Rahmi itu suka sekali pergi. Katanya ada reuni SMA, ada reuni kuliah, reuni teman kerja. Sebelum menikah dengan suaminya. Mbak Rahmi bekerja sebagai sales di sebuah toko. Karena sulitnya lapangan pekerjaan membuat dia harus rela bekerja
HANYA AKU YANG TAK DIBERI SERAGAM OLEH KELUARGA SUAMIKU BAG 12. **Riana mendengkus kesal padaku. Dia menatapku dengan sengit. Aku terdiam karena kelakuan buruk ku ketahuan. "Riana. Kenapa kamu jadi istri selalu kayak gini kamu nggak pernah hormat sama anak ku. Tugas istri itu memang mayani suaminya! Kamu harus tahu diri!" Ibu gak terima ketika Riana mengatakan itu. "Tugas istri memang hormat pada suaminya. Namun, bisa menggugat cerai suami ke Pengadilan Agama. Dengan berbagai bukti yang valid dan aku memiliki bukti itu. Suamiku punya gaji sepuluh juta tapi aku hanya dikasih satu juta lima ratus dengan berbagai alasan yang nggak jelas aku kekurangan. Udah gitu mau kawin lagi. Aku juga punya bukti kalian menjelekkan aku di grup WA. Kalian gak bisa berkilah lagi, Bu!" Dia menjawab tanpa rasa takut sama sekali. Riana begitu berani sekarang. Aku heran dengan istri ku ini yang belagu. Kalau dia ku cerai maka dia gak bisa apa-apa. Dia hanya perempuan yang selalu gagal. Riana itu sarjana
HANYA AKU YANG TIDAK DIBERI SERAGAM OLEH KELUARGA SUAMIKU 13. **PoV Ferdi. "Ferdi kamu kok diam aja. Ibu mau pulang. Kamu mikirin apa sih!" Ibu masih saja cerewet padaku. Aku merasa benar-benar pusing dibuatnya. "Bu, aku akan diceraikan oleh Riana. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sih Ibu nggak pernah mikirin perasaan aku?" "Kamu kok jadi laki-laki bodoh banget. Kenapa sih kamu harus mikirin Riana? Lagian dia itu perempuan nggak berguna. Dia itu cuman menggertak kamu aja. Kamu tahu nggak sih kalau Riana itu nggak kerja, pengangguran dan dia itu cuman butuh kamu. Dia itu gak penting, Ferdi. Udah kamu cerai aja sama dia. Ngapain kamu menikah sama perempuan yang nggak menuruti kamu. Lagian kamu juga bisa menikah lagi dengan Felisha bukankah tadi dia sudah diceraikan oleh suaminya!" Ibu justru mengatakan hal sebaliknya. Aku tahu ibu merasa kesel karena Riana tadi membuat dia marah dengan cara membantah dan tidak mau melakukan apa yang Ibu katakan. Tetapi entah kenapa untuk mencera
HANYA AKU YANG TAK DIBERI SERAGAM OLEH KELUARGA SUAMIKU 14. **POV FERDI. Aku menangis pilu karena sedih istriku pergi. Aku tak bisa begini. Kenapa aku secengeng ini? Riana pasti menertawakan ku jika melihat aku sedih. Aku harus terlihat tegar. Biar saja Riana pergi. Toh, bila dia lapar maka dia akan pulang juga ke rumah. Jika aku ketahuan bersedih Ibu dan Mbak Rahmi akan menertawakan ku. Sejujurnya aku kesal dengan sikap istriku itu. Dia berubah seperti ini ketika dia melihat grup keluarga kami. Berani Riana nyadap gawaiku. Awas saja bila ketemu. Tak akan kutampakkan kesedihan ini walau aku sebenarnya juga bersedih. Aku segera mengambil gawaiku. Aku menghubungi Riana. Tersambung, Namun, dia tak angkat. Beberapa kali aku menghubunginya dan akhirnya dia angkat juga gawainya itu. Aku merasa senang. Istri ku masih menghargai ku. Mungkin kami bisa bicara baik-baik agar kami tidak perlu berpisah. "Riana. Kamu di mana. Kamu kabur!" kataku dengan kesal padanya. "Mau apa kamu telepon ak