Emi sangat senang dengan kedatangan Flor. Teman masa kecilnya yang telah pindah ke luar desa karena orangtuanya harus mengurus ternak yang diwariskan dari kakek Flor yang telah meninggal karena sakit. "Jadi kamu mau tinggal lagi di desa itu?!" tanya Emi. "Iya. Orangtuaku tidak tahu harus berbuat apa untuk mencari makan karena semua ternak mendadak mati semua. Jadi orangtuaku memutuskan untuk pulang lagi ke desa itu. Untunglah, rumah yang dulu kami tinggalkan tidak kami jual jadi kami bisa tinggal lagi di rumah itu.""Aku senang sekali mendengarnya. Sekarang aku punya teman untuk bercerita lagi," ucap Emi berbinar. "Memangnya kau tidak punya teman?!" tanya Flor."Temanku hanya beberapa orang saja di istana ini. Kamu tahu sendiri bukan, bagaimana persaingan antar dayang di istana ini," jelas Emi."Kalau kau tidak nyaman berada di istana ini, kenapa tidak ke luar dari dayang? Kau bisa mencari pekerjaan lain di luar istana ini. Misal kau bekerja di tempat makan atau kau berkebun," sara
Wajah Putra Mahkota Pisceso terlihat menyiratkan kebingungan."Kalau kau ingin pergi, pergilah. Aku tidak punya hak melarang seorang putra mahkota yang mencemaskan rakyatnya untuk tidak pergi," ujar Virgolin. "Kalau kamu ingin ikut, kamu boleh ikut," ucap Pisceso. "Tadinya aku berpikir, istana ini lebih aman melindungi dirimu daripada di luar sana. Tapi jika kamu ingin ikut, kamu boleh ikut. Kita bisa menunggu sampai pintu cahaya langit terbuka kembali.""Aku boleh ikut?!" tanya Virgolin kaget langsung menatap iris mata Pisceso.Seeerrr ,,,Jantung Pisceso berdesir ketika iris matanya ditatap Vitgolin. Berjuta gemuruh langsung mengisi seluruh dadanya disertai perasaan hangat menyelinap ke dalam hatinya."Hai!" tegur Virgolin mendapati Pisceso hanya diam saja menatapnya. "Kok malah diam?!"Pisceso langsung mengalihkan pandangan, wajahnya bersemu merah. "Kamu boleh ikut, tapi ,,,,""Tapi apa?!""Kamu harus belajar naik kuda," jawab Pisceso. "Tidak mungkin kita menunggangi kuda bersama.
Pisceso tersenyum senang, Virgolin bisa dengan cepat menguasai tehnik cara menunggang dan mengendalikan kuda bahkan ikatan bathin antara Gopi dan Virgolin sepertinya sudah terjalin erat padahal baru sebentar saling mengenal satu sama lain.Peluh terlihat bertengger manis di kening Virgolin begitu turun dari punggung Gopi. "Ternyata asyik juga menunggang kuda."Pisceso ikut turun dan kudanya lalu keduanya beristirahat bersandar di batang pohon dengan daunnya yang rindang sementara Pigo dan Gopi dibiarkan makan rumput segar yang ada di sekeliling mereka.Virgolin menghapus keringat dengan ujung baju lengan panjangnya. Kulit wajahnya memerah dengan napas yang terlihat tidak beraturan. "Kamu sepertinya kepanasan." Pisceso memberikan saputangan warna biru yang terukir namanya dari sulaman benang emas. "Pakai ini untuk menghapus keringatmu.""Terima kasih," Virgolin langsung menghapus keringatnya dengan saputangan yang diberikan Pisceso. "Nanti kamu akan terbiasa menunggang kuda," ucap Pi
Gopi, kuda putih pemberian Putra Mahkota Pisceso berlari kencang membawa Virgolin. Pasangan yang sangat cantik di mata Pisceso. Tak sia-sia dirinya memberikan kuda putih itu pada Virgolin karena mereka berdua cocok.Hiaat ,,, hiaaat!Virgolin semakin memacu Gopi dengan kencang. Dilihatnya Pisceso yang berada di sampingnya. Senyum termanis yang jarang diperlihatkan pada orang lain, Virgolin berikan pada Pisceso.Di antara memacu kudanya, hati Pisceso terasa berdesir mendapat senyum termanis dari Virgolin. Hiaaat ,,, hiaaat ,,,Keduanya berpacu membawa kuda masing-masing dengan kencang. Bahkan beberapa prajurit dan orang-orang yang melihat mereka berdua terpaku kagum."Tabib agung ternyata sangat mahir menunggang kuda!" seru salah satu wanita yang berpakaian dayang, kebetulan sedang berada di luar istana."Iya! Cantik, pintar, pandai juga menunggang kuda," seru yang lain kagum.Gerbang istana terlihat di depan mata. Pisceso sengaja memperlambat lari kudanya agar Virgolin yang mendapatk
Airin bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Virgolin, karena dirinya pun sudah lama hidup sebatang kara tanpa adanya kehadiran orangtua. "Sabar tabib. Aku yakin, suatu saat nanti tabib bisa bertemu dan berkumpul kembali dengan kedua orangtua tabib.""Tapi itu kapan Airin? Aku bahkan tidak tahu, kapan pintu langit akan terbuka." Air mata menggenangi kelopak mata Virgolin. Hati anak mana yang tidak akan sedih jika teringat dan merindukan orangtua yang telah lama tidak pernah bertemu."Tabib masih beruntung dibandingkan denganku. Orangtuaku sudah lama meninggal, sampai kapanpun, aku tidak bisa bertemu mereka lagi," ucap Airin pelan, suaranya penuh dengan kesedihan. "Sementara tabib masih ada kesempatan bertemu lagi."Virgolin terisak, hatinya sangat merindukan kedua orangtuanya, pasti mereka mencari dirinya kemana-mana."Sudah tabib, jangan sedih lagi. Bagaimana kalau kita jalan-jalan berkeliling Istana Voresham saja?! Bukankah, selama kita tinggal di sini tidak pernah jalan-jalan di d
Panas menjalar ke seluruh wajah Rose. Tak ingin dirinya direndahkan Emi yang berbuat sesuka hati telah menamparnya apalagi Emi umurnya lebih muda dari dirinya, Rose tidak tinggal diam.Plaaaak!Suara tamparan kembali terdengar mengisi udara di sekeliling. Rose membalas tamparan Emi dengan keras sehingga tak lama kemudian Emi merasakan bibirnya asin."Darah," Emi terkejut ketika mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan cairan merah. Plaaaak!Rose kembali melayangkan tamparan kedua di pipi Emi sampai wajah Emi menghadap ke samping. "Kau ingin bermain denganku?!" bentak Rose geram menatap nyalang pada Emi. Harga dirinya merasa direndahkan.Panas menjalar di pipi Emi. Bukannya menyadari kesalahannya, Emi malah semakin murka. Tamparan Rose hendak dibalas, tangannya sudah terangkat di udara, tapi suara seruan menghentikan aksinya."Hentikan!" Dua orang pengawal istana yang kebetulan sedang berpatroli melihat semua kejadian antara Emi dan Rose. "Apa yang sedang kalian lakukan?!" bentak
"Periksa lagi semuanya. Kita akan melakukan perjalanan jauh," ucap Pisceso memberi perintah. "Baik pangeran!"Pisceso kemudian pergi menuju ke tempat di mana Virgolin tinggal."Selamat datang pangeran," Airin memberi salam hormat begitu melihat putra mahkota sedang berdiri depan pintu pondok."Di mana tabib agung?!" "Tabib agung ada di dalam," jawab Airin sopan penuh hormat tanpa berani melihat wajah Pisceso. "Airin, siapa itu?!" teriak Virgolin dari dalam kamarnya. Airin membuka pintu pondok lebar-lebar agar Putra Mahkota Pisceso bisa masuk. "Silahkan pangeran."Virgolin ke luar dari kamar melihat Pisceso masuk. "Oh, rupanya kamu. Kirain siapa yang datang.""Airin, bisa tinggalkan kami berdua saja," pinta Pisceso setelah berada di dalam pondok.Tanpa diminta dua kali, Airin segera pergi setelah menutup pintu pondok."Serius amat pake acara usir Airin segala. Ada apa?!" tanya Virgolin mendekati Pisceso kemudian duduk di sampingnya."Sebentar lagi kita akan berangkat ke wilayah uta
"Tabib agung, tunggu sebentar di sini. Saya akan membawakan makanan," ujar Airin. "Bawakan air minum juga," pinta Virgolin. "Aku haus."Airin pergi, Putra Mahkota Pisceso datang mendekat. Duduk di samping Virgolin. "Apa kamu lelah?!""Pinggangku rasanya mau copot," Virgolin menekan pinggangnya dengan jari. "Aku belum terbiasa naik kuda.""Lama-lama kamu akan terbiasa," ucap Pisceso tersenyum."Apa kamu bisa memijit pinggangku?!" tanya Virgolin polos.Pisceso sejenak tertegun lalu jadi gugup. "I-itu tidak mungkin. Itu tidak baik.""Tidak baik kenapa?!" tanya Virgolin tidak mengerti, menatap Pisceso. "Pinggangku sakit, kenapa jadi tidak baik?!""Banyak orang di sini," bisik Pisceso. "Oh," Virgolin mengerti, menoleh sekilas ke arah para prajurit yang juga sedang melepaskan lelah. Tak lama Airin datang membawa tempat air minum dan juga beberapa buah serta bekal makanan lainnya. "Terima kasih Airin," ucap Virgolin. Setelah itu Airin pergi lagi karena merasa canggung ada Putra Mahkota
Pisceso semakin memeluk erat tubuh Virgolin. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja."Kedua tangan Virgolin memeluk erat pinggang Pisceso. "Benarkah semua akan baik-baik saja?!" tanyanya bersuara serak di antara isak tangis. "Semua akan baik-baik saja," bisik Pisceso. Walau sejujurnya, dirinya juga tidak tahu, apa mungkin akan baik-baik saja setelah hatinya mulai jatuh cinta pada Virgolin. "Bagaimana, kalau tidak baik-baik saja?!" tanya Virgolin lirih. Pisceso tak menjawab. Kedua tangannya semakin erat memeluk tubuh Virgolin. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hatinya. "Pisceso," Virgolin merenggangkan pelukannya. Menghapus air mata yang telah membasahi pipi. Pisceso menatap dalam iris mata Virgolin yang masih tergenang air mata. "Jika nanti, aku sudah pulang ke duniaku, jangan pernah lupakan aku," bisik Virgolin, diakhiri bulir-bulir air bening yang jatuh dari kelopak mata.Hati Pisceso terenyuh. Aliran darah di seluruh nadinya seakan berhenti. "Aku tidak mungkin bisa melu
Tatapan Pisceso beralih pada plastik kotor yang dipegang Virgolin. "Benda apa yang kau pegang?!" "Bukan apa-apa," jawab Virgolin. "Hanya sampah."Pisceso tak percaya begitu saja. Plastik kotor yang ada di tangan Virgolin diambilnya. "Itu plastik obat," ucap Virgolin pelan, bahkan suaranya nyaris tak terdengar. Pisceso diam, menunggu kelanjutan bicara Virgolin. "Tempat ini ,,," Virgolin menjeda ucapan, menelan saliva. Entah kenapa, tenggorokannya terasa kering. Pisceso mengangkat kedua alisnya, menunggu kelanjutan kalimat Virgolin."Dari tempat ini, aku tahu kemana arah jalan menuju ke pintu langit," sambung Virgolin.Deg!Pisceso tertegun. "Aku bahkan sangat hapal, kemana jalan menuju pintu langit," lanjut Virgolin. Membalikan badan, melihat ke sekeliling, kemudian tatapannya berhenti pada satu arah. "Kesana," tunjuknya.Pisceso mengikuti arah tangan Virgolin. Memang benar, jalan itu adalah jalan arah di mana pintu cahaya langit berada, tapi apa mungkin pintu langit itu akan ter
Pisceso mengajak Virgolin menikmati keindahan air terjun yang ada di Desa Padi. Suara gemuruh dan percikan air yang menimpa batu membuat takjub Virgolin. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah. "Lihat! Banyak ikan kecil di sini!" tunjuk Virgolin pada aliran sungai yang berada di bawah kakinya. "Cepat kemari, Pisceso!" Suaranya kencang menyatu bersama suara gemuruh air terjun. Pisceso datang mendekat. "Kita tangkap ikannya!" pinta Virgolin. "Lebih baik biarkan ikannya besar terlebih dahulu, ikan itu masih terlalu kecil," larang Pisceso. "Iya sih, masih sangat kecil." Virgolin setuju. "Ayo, kita ke sana!" ajaknya. "Kita duduk di batu besar itu." Pisceso dengan senang hati mengikuti kemauan Virgolin. Diraihnya tangan Virgolin agar tidak terjatuh disaat berjalan di antara batu-batu kecil yang terhampar di tepian sungai. Batu cukup besar menjadi tempat duduk mereka berdua. Suara gemuruh air terjun begitu kontras, seirama menyatu bersama angin.Virgolin tak berkedip menatap jatuhn
Perih dipunggung semakin menjalar. Darah yang keluar dari luka semakin banyak. Roxy bahkan merasakan penglihatannya mulai tidak jelas. Keseimbangan tubuhnya pun tidak stabil.Melihat Roxy terlihat limbung, Pisceso memberi isyarat pada prajuritnya agar menangkap Roxy. "Gawat. Mataku, kenapa dengan mataku ini?" hati kecil Roxy bertanya-tanya sendiri. Pedang yang dipegangnya pun mulai terlihat buram.Prajurit dengan sigap mengepung Roxy, tapi jiwa pemberontak Roxy tak membiarkan dirinya ditangkap begitu saja. Walau penglihatan sudah tak begitu jelas, Roxy masih tetap melawan bahkan dengan membabi buta mengayunkan pedangnya ke segala arah. Trang! Clang! Clang!Suara pedang yang beradu mengisi udara di ruangan yang temaram. Roxy masih lincah menangkis mata pedang dari para prajurit yang mengepungnya bahkan dua orang prajurit berhasil terkena sabetan pedangnya. Pisceso memberi perintah agar prajuritnya mundur. Senyum kemenangan terukir di bibir Roxy. "Kalian pikir karena tubuhku terluka
Krieeet,,,Pintu kembali didorong dari luar. Roxy secepat kilat bersembunyi di kolong tempat tidur.Airin kembali masuk membawa wadah yang berisi makanan. Diletakkan di atas meja kecil samping teko air. Sejenak melihat Virgolin kemudian pergi lagi keluar dari kamar. Roxy mengelus dada lega. "Untung tidak ketahuan. Sialan si dayang itu, bolak balik masuk ke kamar. Lama-lama, aku bunuh juga si dayang itu!"Setelah melihat keadaan aman, Roxy keluar dari tempat persembunyiannya. Virgolin masih terlelap tidur dibuai mimpi, tidak tahu kalau dirinya dalam keadaan terancam. Dengkuran halusnya terdengar berirama keluar dari bibirnya."Baguslah, tidurnya sangat nyenyak. Ini akan memudahkan aku untuk membawanya pergi," gumam Roxy bersiap akan membuat Virgolin pingsan dengan memukul bagian tengkuknya. Bruuugh!Pintu kamar tiba-tiba dibuka kasar dari luar. Putra Mahkota Pisceso melesat masuk ke dalam kamar. Duugh!Tendangan kaki Pisceso mendarat sempurna dipunggung Roxy sampai tubuhnya tersun
Duarr!Petir menggelegar seakan ingin membelah langit setelah cahaya kilat muncul menyilaukan setiap mata."Untung kita sudah sampai. Hujannya deras sekali!" tutur Virgolin melihat turun hujan dari jendela kamar yang terbuka. "Iya. Pantas saja, cuaca sangat terik, ternyata mau turun hujan," ujar Airin. Virgolin merenggangkan otot. "Tulang pinggangku pegal. Aku ingin berbaring.""Istirahat saja. Aku juga akan istirahat di kamarku," ucap Airin. "Kalau tabib perlu sesuatu, panggil saja aku."Pintu kamar ditutup rapat oleh Airin dari luar. Virgolin segera naik ke atas tempat tidur yang sangat sederhana. Tubuh lelahnya telentang. Sejenak menatap langit-langit, tak lama kemudian dengkuran halus keluar dari bibirnya sebagai tanda Virgolin telah pergi ke alam mimpi. Sementara itu, Pisceso masih bersama Jidan dan sesepuh dari Desa Padi. Semuanya berkumpul di ruang tengah ditemani teh hangat dan beberapa potong singkong serta ubi rebus yang masih mengeluarkan uap panas. "Tabib dari langit m
Walau menggunakan peralatan seadanya dan membuat obat pembasmi hama hanya berdasarkan kemampuan yang Virgolin miliki karena dasarnya memang bukan dari bidang pertanian, tapi Virgolin melakukan semuanya dengan penuh keseriusan demi membantu rakyat yang sudah lama dilanda kelaparan karena serangan hama wereng.Beberapa orang diminta Virgolin mencari daun sirsak, karena daun sirsak mempunyai bau yang sangat menyengat. Hama wereng tidak menyukai bau dari daun sirsak. Tak lupa pula Virgolin minta dicarikan biji mahoni karena di dalam kedua bahan tesebut terdapat kandungan zat yang tidak disukai hama wereng tersebut yaitu repellent (penolak serangga) dan antifeedant (penghambat nafsu makan). Selain kedua bahan tesebut, ada dua bahan lain yang Virgolin tambahkan yaitu rimpang jeringau dan bawang putih. "Tabib, ini semua bahannya sudah tersedia. Lantas, kita melakukan apa lagi?!" tanya Airin."Semua bahan itu ditumbuk sampai halus," pinta Virgolin. "Biar mereka yang melakukannya!" seru Pisc
"Biasanya hama wereng datang disaat musim hujan dan juga hama ini tidak bertahan lama.""Awal-awalnya seperti itu. Hama wereng coklat ini datang disaat musim hujan, tapi semakin lama malah semakin tidak terkendali," jelas pak tua tersebut. "Desa kami seperti sedang mendapat kutukan.""Tidak mungkin desa kalian mendapat kutukan seperti itu. Aku tidak percaya hal seperti itu," jelas Virgolin menenangkan. "Ini hanya masalah hama wereng saja, tidak ada hubungannya dengan kutukkan. Ditempatku juga ada hal seperti ini."Pria tua tersebut menghela napas. "Sebelum hama wereng melanda, banyak kejadian aneh di desa ini. Ribuan tikus menyerang tanaman padi kami yang siap dipanen.""Tikus?!" "Iya. Semua warga bergotong royong membasmi tikus-tikus tersebut. Tapi untungnya, padi kami masih bisa diselamatkan, walau sebagian sudah ada yang rusak. Tikus juga membawa penyakit, anak-anak kami banyak yang sakit tertular penyakit yang dibawa tikus," keluh pak tua."Menderita banget hidup kalian," tutur V
Pujian yang diberikan Pisceso membuat hati Virgolin berbunga-bunga padahal kata pujian cantik sering didapat ketika masih berada di dunianya, tapi entah kenapa saat sekarang Pisceso memujinya dirinya cantik, hatinya sangat senang sekali. Tak lama Airin datang dengan satu orang wanita yang lebih tua. Keduanya langsung mengatur makanan di atas meja. "Wangi sekali," hidung Virgolin kembang kempis mencium aroma wangi dari makanan yang ada di depannya. Selesai semua makanan dihidangkan, Airin dan wanita tersebut pergi lagi, meninggalkan Putra Mahkota Pisceso bersama Virgolin untuk menikmati sarapan pagi berdua. "Sepertinya ini lezat," tunjuk Virgolin pada roti yang ditumpuk mirip pancake. "Di sini juga ada makanan seperti ini. Di duniaku, hampir setiap hari aku sarapan roti seperti ini. Walau rotinya berbeda, tapi ini sepertinya lezat.""Kalau begitu makanlah," Pisceso mengambilkan sepotong roti dan menaruhnya di atas piring Virgolin. "Kamu harus makan banyak, karena setelah ini kita a