Lala terbangun karena mendengar deringan ponselnya. Dengan setengah terpejam dia meraih ponsel itu. Tubuhnya langsung beku ketika tante dengan suara bergetar menyapanya lebih dulu.
“Halo, La. Maaf Tante ganggu. Tante cuma mau ngasih tahu kalau besok tenggat terakhir pembayaran biaya rumah sakit mama kamu.”
Lala terdiam. Memijit pelipis sejenak sebelum berkata, “Iya, makasih Tante,” dengan lirih.
“Kamu sudah ada uangnya?”
“Eeemmm … belum,” jawab Lala hati-hati.
Terdengar tantenya mendesah pelan di ujung telepon. Hal itu sukses membuat Lala tidak nyaman. Merasa sangat merepotkan adik mamanya itu, yang sudah rela merawat mama selama tiga tahun ini tanpa diberi upah sepeserpun. Tak jarang tante malah memberinya uang untuk menebus obat dan keperluan mama yang lain. Padahal, tantenya sama tidak punya uangnya seperti mereka.
“Halo? Kamu masih di sana, La?”
“I-iya, Lala dengar, Tan. Lala belum gajian. Tapi Lala usahain minta bayaran di awal sama bos Lala. Semoga dia mau ngasih.”
“Kamu masih kerja di sana, di kelab malam itu?”
“Masih, Tan.”
“Bukannya mama kamu sudah melarang? Kerja di kelab malam, kan, bahaya, La. Takutnya kamu diapa-apain sama cowok hidung belang. Kamu nggak mau, kan?”
Sumpah, Lala tidak mau itu terjadi. Tapi dia bisa apa? Hanya pekerjaan itu yang mampu memberinya upah besar. Meskipun masih tidak cukup untuk biaya makannya sehari-hari karena saat dia menerima gaji bulanan, uang itu langsung disetorkan ke tantenya. Lala bahkan harus mencari kerja sambilan lain untuk biaya hidupnya di kota besar ini.
Masalah digoda cowok hidung belang memang sering dia dapatkan, tapi mereka hanya sebatas menggoda. Tidak ada niatan lebih karena pelayan di kelab malam tempat Lala bekerja, pekerjaannya memang untuk mengantarkan minuman ke pelanggan. Tidak lebih dari itu. Jika pengunjung kelab ada yang nekat, siap-siap ditendang penjaga kelab dan di-banned.
Dengan adanya peraturan itu Lala merasa sangat terbantu. Merasa aman. Bosnya juga sangat baik pada karyawan.
“Lala bisa jaga diri kok, Tan,” katanya berusaha menghibur kekhawatiran tante.
Tante terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Tante bisa aja pinjam sama pak Damar, La. Jadi kamu nggak perlu repot lagi kerja di sana.”
“Jangan!” sergah Lala. “Tante tahu, kan, pak Damar kayak gimana? Lala nggak mau Tante kena dampaknya nanti. Tolong jangan, ya, Tan.”
Pak Damar dengan segala kelicikannya hanya akan mencekik Lala dan ibunya sampai mati. Lintah darat itu tidak akan segan-segan membunuh orang yang tidak bisa membayar hutangnya tepat waktu.
“Lala masih sanggup cari uang Tan. Tante tenang aja. Pokoknya akhir bulan ini, Lala kirim uangnya ke Tante, ya. Tolong jangan pinjam ke pak Damar,” pinta Lala, memelas.
“Oke, Tante nggak akan pinjam ke dia. Kamu tenang aja. Tante tutup, ya. Mama kamu baru aja bangun dan nyariin Tante.”
Lala mengangguk tanpa sadar. “Iya, makasih banyak sudah jagain mama, Tan.”
Setelah menutup telepon, Lala duduk meringkuk di ranjang. Menatap nanar lantai kayu kamar kos sederhana ini. Sepatu berhak tinggi dengan warna merah menyala terletak di samping pintu kamar. Gaun-gaun kurang kain tergantung begitu rapi di dekat jendela. Jumlahnya tidak banyak, paling hanya lima buah dan warnanya menyala semua. Gaun-gaun itu sama sekali bukan gaun kesukaan Lala. Pekerjaan sebagai pelayan kelab malam itu pun juga bukan keinginannya.
Lamunannya buyar ketika di pagi minggu ini pintu kamar kosnya diketuk. Dengan langkah gontai Lala membuka pintu dan langsung memasang senyum ketika tahu yang mengetuk pintu adalah ibu kosnya sendiri.
“Silakan masuk, Bu Meida.”
Bu Meida mengangguk. Dia langsung duduk lesehan di lantai disusul Lala setelahnya.
“Maaf, ibu ganggu kamu pagi-pagi.”
“Ah, nggak pa-pa, Bu. Ibu nggak ganggu kok.”
Bu Meida lalu duduk bersila. “Jadi gini, kemarin ada orang tua siswa ibu yang lagi nyari guru privat buat ngajar anaknya calistung. Ibu mau nawarin pekerjaan itu ke kamu. Kamu mau, kan? Mereka orang kaya, La. Ibu yakin mereka bakalan ngasih kamu uang banyak. Lumayan buat tambah uang jajan kamu. Kamu mau, kan, ya?”
Lala diam. Bukannya bermaksud menolak. Di zaman sekarang, manusia mana yang tidak perlu uang? Dia bahkan sangat-sangat membutuhkannya sekarang. Setiap bulan malah. Dia hanya bimbang. Baginya menjadi guru privat anak-anak bukan masalah jika dia memegang ijazah S-1 atau paling tidak ijazah SMA. Sayang, dia tidak punya keduanya.
“Ibu tahu sendiri, kan, saya nggak lulus SMA. Sa-.”
“Nggak masalah, La,” potong bu Meira sambil menepuk punggung tangannya. “Cuma ngajarin membaca, menulis, sama berhitung aja kok. Kamu lulusan SD pun nggak masalah karena yang kamu ajar anak TK.”
Lala menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal. “Gimana, ya Bu. Mereka orang kaya, pasti maunya guru privat yang berpendidikan juga, kan? Lala nggak memenuhi kriteria itu, Bu.”
Wanita paruh baya itu menggeleng. “Mereka nggak mengutamakan pendidikan kok, La. Asal kamunya suka sama anak-anak aja dan Ibu tahu kamu sayang banget sama anak-anak. Siapapun mereka. Kamu sudah memenuhi kriteria mereka, La. Makanya Ibu mohon kamu ambil pekerjaan ini, ya. Bantu Ibu karena Ibu nggak bisa ngajar dia. Kerjaan Ibu banyak.”
Oke, kalau memang mereka tidak keberatan dengan status pendidikan Lala, dia mau mencoba. Lala mengangguk lamat-lamat sambil berkata, “Ya, Bu.”
“Syukurlah ….” Bu Meira lega. Dia merogoh saku dan menyerahkan secarik kertas ke Lala. “Ini alamat rumahnya, La. Kalau bisa kamu ke sana sore ini, ya. Orang tuanya mau ketemu kamu dulu. Mau bahas kontrak kerja, katanya.”
Lala menerima kertas itu dengan ragu. Melihat sekilas tulisan itu, Lala tahu alamat yang akan ditujunya sore ini berjarak jauh dari kosnya. Akan perlu uang lumayan banyak untuk membayar taksi sementara dia hanya punya beberapa lembar uang dua ribuan di dalam dompet.
“Ah, ini ada biaya transportasi kamu ke sana nanti.” Bu Meira menyodorkan dua lembar uang seratus ribu. Karena Lala yang tak kunjung menerimanya, Bu Meira menjejalkan uang itu ke telapak tangan Lala.
“Ini bukan dari Ibu, La, tapi dari orang tua anak murid Ibu. Terima, ya.”
Bu Meira berdiri. Berjalan menuju pintu. Lala mengantarkannya sampai di teras kos. Tak lupa mengucapkan terima kasih banyak. Lalu setelah ibu kosnya itu pergi dengan motornya, Lala kembali masuk ke dalam kamar.
Uang dua ratus ribu itu dimasukkannya ke dalam dompet. Kertas bertuliskan alamat rumah itu dibacanya berkali-kali. Lalu dua sudut bibirnya terangkat ke atas. Dia mendekap kertas kecil itu ke dadanya. Mengucap syukur berkali-kali. Hatinya terus memanjatkan doa semoga urusannya dengan mereka lancar dan mereka menyukai Lala sesuka Lala dengan anak-anak.
* * *
Setelah memberikan uang kepada sopir taksi, Lala turun. Dia berdiri tepat di depan pagar besi bercat hitam yang menjulang tinggi. Setinggi dia berdiri. Lala langsung masuk karena pagar itu terbuka. Dia mengamati rumah itu. Mirip sekali dengan istana. Megah. Warnanya menyiratkan kekayaan pemiliknya.
Banyak tanaman anggrek langka tergantung di teras rumah. Lala yakin satu anggrek itu harganya lebih besar daripada gajinya bekerja di kelab selama setengah tahun.
Tangannya yang dingin dan gemetaran terulur memencet bel. Dia menunggu dengan gugup. Dia yakin setelah pintu terbuka nanti dia akan langsung ditendang keluar pagar. Diusir.
Pintu terbuka setelah dua kali bel dipencet. Seorang anak kecil yang membukanya. Lalu tanpa aba-aba, dia menubruk tubuh Lala. Cewek kurus itu terdorong tiga langkah ke belakang.
“Kak Lala!” Ruli mendongak. Tersenyum menampakkan giginya yang sebagian menghitam.
Lala terkesiap. Tubuhnya membeku sejenak. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Wajahnya mendadak pucat.
Kenapa ini bisa terjadi?
“Ruli … kamu tinggal di sini?” tanyanya lirih.
Senyum Ruli semakin lebar. “Iya, Kak. Masuk yuk. Ruli senang Kakak datang.”
Kenapa harus Ruli?
Lala menggeleng cepat. Dia berjongkok. “Maaf, ya, Kakak salah alamat. Kakak mau ketemu teman Kakak, katanya rumahnya di sekitaran sini. Ternyata malah ngetuk rumah Ruli. Kakak tinggal, ya. Ruli tutup aja pintunya,” kata Lala bohong.
Demi apapun Lala kasihan melihat wajah Ruli yang menyiratkan kecewa. Tapi dia lebih kasihan dengan hatinya. Ada Ruli di sini, berarti cowok itu ada di sini juga. Sampai kapanpun Lala tidak akan siap bertemu dengan Aiden. Tidak mau terlibat lebih dalam lagi. Masalahnya hatinya masih berdenyut sakit. Denyutannya sanggup membuat Lala putus asa menanggungnya dan memilih bunuh diri saja.
“Tapi … tapi … kata bu Meira, nama kakak yang akan ngajarin Ruli calistung adalah Lala. Kakak juga namanya Lala, kan? Kakak aja yang ngajarin Ruli, ya? Ruli cuma mau sama Kakak.” Anak kecil itu memeluk pinggang Lala.
Lala menggigit bibir.
Aku nggak sanggup!
Dia ingin berlari dari sini, tapi kakinya seberat batu kali.
Sampai akhirnya orang yang paling Lala hindari muncul di depan pintu dengan rambut basah dan acak-acakan.
Aiden memanggil lirih namanya. Membuat Lala semakin menunduk. Detik berikutnya, dia lari menuju pagar. Menyapu kasar pipinya yang mendadak basah.
“La.” Aiden mencekal lengannya saat dia sampai di depan pagar.
“Kenapa Tuhan sebegitu nggak adilnya sama aku? Kenapa Tuhan harus mempertemukan aku sama kamu lagi? Kenapa Tuhan memberikanku hati yang sangat rapuh kayak gini?”
Lala melepas paksa cekalan tangan Aiden. “Kalau aku ketemu kamu sekali lagi, aku bener-bener akan bunuh diri.”
Gemerlap cahaya lampu menjadi penghias kelab malam yang ramai pengunjung. Lampu-lampu redup di pasang di seluruh penjuru bar. Menimbulkan kesan remang-remang, bahkan tak jarang ada juga yang menganggapnya romantis. Sekalipun musik yang diputar di sana sanggup bikin pekak telinga.Lala, seperti biasa, dengan gaun kurang kain berwarna merah menyala, lipstik merah, dan sepatu berhak yang juga berwarna merah, berjalan gemulai membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. Meletakkannya di meja pengunjung yang memesan. Berlalu setelah melempar senyuman manis terkesan genit. Bukan bermaksud menggoda. Tidak ada sama sekali niat menggoda para laki-laki berdompet tebal. Ini murni suruhan atasan. Bos empunya kelab.Lala berkumpul dengan pelayan lain di ujung meja di sudut kelab. Berdiri sambil mengedarkan mata ke seluruh ruangan. Hentakan musik tidak mampu membuat tubuh Lala ikut menari. Dia bahkan tidak menikmati kehadirannya di sini. Walapun sudah tiga tahun bekerja, dia masih
Cowok itu lagi!Sumpah mati Lala tidak sudi melihat mukanya lagi.“Permisi,” pamit Lala sambil melepaskan tangan Aiden dari bahunya.Aiden menggeram. Detik berikutnya dia menyeret Lala keluar kelab.“Kenapa main seret-seret sih?!” maki cewek itu saat mereka sudah di luar kelab.Aiden memandangi Lala dari atas sampai bawah. Wajahnya yang beraut hangat berubah datar dan dingin. “Kamu ngapain di sini?”Lala membuang muka. “Bukan urusan kamu.”Tubuh tinggi Aiden semakin menjulang karena badan laki-laki itu menegap. “Jawab aku, La. Kamu ngapain ada di sini? pakai baju kayak gini, lagi. Baju kurang kain. Kayak bukan kamu aja. Terus, aku liat kamu tadi duduk bareng Deson. Kamu nggak sedang godain dia, kan?”“Aku nggak ada waktu untuk menjawab pertanyaan kamu. Aku sibuk.”Lala berlalu. Bermaksud kembali ke dalam kelab.Aiden menyentak lengannya dan la
Alis Lala bertaut. Pagi-pagi, jam enam, pintu kamar kosnya diketuk. Dia yang tengah sibuk menyetitka baju bangkit perlahan. Berjalan menuju pintu penuh pertimbangan. Habisnya, beberapa tahun dia tinggal di kamar sederhana ini, baru kali ini ada yang mengetuk sepagi ini. Tidak mungkin bu Meira karena wanita setengah baya itu sedang keluar kota.Wajahnya memucat. Sambil menggigit bibir, Lala membuka pintu. Pupil matanya langsung melebar ketika melihat Aiden berdiri gagah di depan pintu kamarnya.“Hai.” Aiden menyapa dengan senyum menawan. Senyuman yang sama persis seperti delapan tahun silam.Lala membeku. Denyutan itu terasa lagi. Membuat sesak. Susah bernapas. Bibir Aiden yang tersungging senyum memaksanya kembali ke memori masa lalu. Indah sekaligus menyakitkan itu.Sweet but shit!Meskipun sudah delapan tahun berlalu, tapi sakit hatinya tidak pernah membaik. Lala dibuat heran dengan dirinya sendiri. Orang lain bis
Sepulang dari sekolah, Lala duduk di sofa menemani Ruli belajar membaca. Setelah selesai merapikan rumah –yang-sebenarnya-tidak-pernah-berantakan-, tapi karena Lala merasa sungkan, digaji puluhan juta sedangkan kerjaannya semrawutan. Akhirnya dia secara sukarela menjadi pembantu di sini. Bersih-bersih rumah, menyiapkan makan siang untuk Ruli dan mencuci piring. Bahkan semua itu tidak sepadan dengan gajinya yang luar biasa.Aiden memang gila. Rela mengeluarkan uang puluhan juta cuma untuk membayar tenaganya yang tidak seberapa. Tanpa sadar Lala menggelengkan kepala. Dia kembali memerhatikan Ruli yang sibuk menulis huruf-huruf di bukunya. Lala akui, anak Aiden ini, kepintarannya di atas rata-rata. Saat anak seusianya masih sibuk menghapal huruf, dia sudah bisa membaca. Saat anak-anak lain masih menghapal angka, Ruli sudah hapal perkalian tiga. Gila!Pasti otak encernya ketularan sang papa. Lala ingat saat masih SMA Aiden pasti, selalu, memenangkan olimpiade. Membua
Lala menyesal karena sudah menerima tawaran Aiden untuk bekerja dengannya. Semuanya jadi runyam. Hidupnya yang sekarang, juga yang akan datang semakin tidak jelas arahnya. Harusnya dia menolak saja tawaran Aiden itu. Peduli setan dengan gaji puluhan juta jika akhirnya akan begini jadinya. Dia merasa semakin terperosok jauh ke dalam lubang gelap. Semakin gelap ketika Marina mengatakan sepatah kalimat yang tidak pernah Lala sangka sebelumnya.“Menikah dengan Aiden, ya, La.”Menikah dengan Aiden? Sialan! Gila apa?! Menikah dengan Aiden tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Bahkan bertemu dengan cowok itu pun tidak pernah dia harapkan. Dia sudah bertekad akan berhenti bekerja dengan Aiden ketika ibunya sudah sembuh. Lala yakin itu tidak akan lama lagi. Karena kata tante, kesehatan ibunya sudah jauh lebih baik.Hanya satu niatnya berkerja untuk Aiden. Uang. Adien adalah ATM berjalannya. Setelah dia tidak
Lala harus segera berhenti bekerja dengan Aiden. Pokoknya dia harus bisa melepaskan diri dari sana sebelum ketahuan ibunya. Bisa mati dirajam dia kalau sampai wanita kesayangannya itu tahu kalau dia kembali berhubungan dengan Aiden. Cowok yang sudah membuatnya dan sang ibu terpuruk selama delapan tahun.Setelah mengetahui kebenaran perasaan Aiden dari mulut Dauni saat itu, yang Lala rasakan adalah langit runtuh menimpa dirinya dan bumi menghimpit tubuhnya. Seketika itu juga Lala merasa mati adalah pilihan yang tepat daripada harus menahan hati yang terus menggaungkan luka. Tambah lagi, dia harus menanggung akibat dari perbuatan mereka saat merayakan anniversary itu.Lala pernah hamil. Lima bulan. Lalu janin yang sangat dia sayangi itu pergi meninggalkannya untuk selamanya. Padahal, Lala bersumpah akan menyayangi anak itu sepenuh hatinya. Dia rela berhenti sekolah karena tidak mau menggugurkan kandungannya.Dia tahu ibu sangat kecewa padanya. Untungnya w
Lala mengerjap beberapa kali. Menyesuaikan dengan cahaya terang dari tempat asing ini. Ruangan yang serba putih. Bau obat tercium kuat semakin membuatnya pusing. Hampir muntah. Lala sungguh tidak tahan berada di sini. Ruangan yang dia yakin sebagai rumah sakit ini terasa begitu sunyi.Dia menoleh ketika pintu terbuka. Aiden masuk sambil membawa makanan. Lala bangun dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Baru diasadari di tangan kirinya tertanam selang infus. Tangannya sedikit berdenyut nyeri ketika benda itu tak sengaja tertarik.“Kamu tiduran aja dulu, La.” Aiden mengganjal punggungnya dengan bantal lain.“Aku mau pulang.”Lala memalingkan wajah karena tidak tahan mencium bau tubuh Aiden yang tidak pernah bisa dialupakan.“Nggak boleh.” Aiden mengambil kursi kecil dan duduk di samping ranjang. “Kata dokter kamu nggak boleh pulang dulu. Kumpulin stamina kamu. Baru bisa pulang.”&
Lala turun dari mobil Aiden dan tergesa-gesa masuk ke taman. Tidak dipedulikannya teriakan Aiden yang menyuruhnya hati-hati. Bodo, lah! Gara-gara cowok itu dia sampai terlambat menemui Mario. Dia sudah sangat tega membiarkan kekasihnya menunggu lama. Seorang diri di taman ini.“Mas Mario!”Senyum Lala terkembang ketika Mario berlalu di hadapannya setelah membeli camilan.Mario menoleh lalu menghampiri Lala. “Hai, Sayang.” Dia menyeka keringat di pelipis gadis itu. “Kok ngos-ngosan gitu?”Lala nyengir. “Mas udah nunggu lama, ya? Maaf, Mas. Tadi ada sedikit masalah,” ujar Lala merasa sangat bersalah.Cowok berkumis tipis itu tersenyum manis dan menggeleng. “Nggak pa-pa, La. Aku juga baru datang kok. Malah aku kira kamu yang udah nunggu lama.”Dia menggenggam tangan Lala dan membawanya ke salah satu bangku taman yang menghadap danau.Mereka duduk bersisian. Mario merengkuh pingg
Jaga jarak adalah hal yang Lala gaung-gaungkan sejak lima menit yang lalu mereka sampai di mal ini. Dia hanya tidak mau orang-orang menggunjingkannya. Masalahnya bukan di dirinya saja, tapi di Aiden juga akan digunjingkan. Bayangkan kalau Aiden yang notabenenya adalah pewaris tunggal perusahaan Baratya kedapatan jalan dengan wanita dekil sepertinya. Pasti akan gempar seantero jagat raya. Tapi ujung-ujungnya yang di-judge pasti Lala. Yang tidak bersalah menjadi bersalah karena mereka bukan siapa-siapa. Iya, kan? Lala tahu betul itu karena dia sering mengalaminya.Belum lagi jika dia ketahuan Mario. Bisa sangat gawat ceritanya. Lalu, dari Mario sampai ke tante dan ibunya. Duh, bener deh! Lala pasti akan mati dirajam! Ini meskipun Aiden sudah Lala suruh menyamar dengan memakai topi dan kacamata hitam, tetap saja perempuan itu masih ketar-ketir.“La, aku sudah pakai topi sama kacamata gini lho! Kok kamu masih nggak mau jalan di samping aku?” Aiden yang
Urusan menata hati itu hanya menjadi daftar nomor sekian di hidup Lala yang sekarang. Mulai saat ini dia berusaha memainkan peran sebagai seorang mama yang baik untuk anak berumur lima tahun yang sangat haus kasih sayang mamanya. Lala rela mengesampingkan jeritan perih hatinya ketika Aiden memberikan perlakuan manis. Seperti mengelap sudut bibirnya yang belepotan minyak atau cokelat, menuangkan segelas air untuknya, mengikat rambutnya saat tangannya kotor. Dan banyak lagi perlakuan manis yang Aiden lakukan di depan Ruli.Ingat, La. Semua ini demi Ruli. Setidaknya, berkat ini dia berharap Ruli tidak tumbuh besar menjadi anak nakal.“Besok Ruli ulang tahun.” Aiden mengagetkan Lala yang sibuk memasak sarapan. Cowok itu melingkarkan tangannya di perut Lala dan menopangkan dagunya di tengkuk Lala.“Lepas, Mas.” Lala berontak kecil dalam dekapan Aiden. “Ruli lagi tidur, kan? Kita sepakat nggak kontak fisik kalau nggak ada Ruli di sekitar
Pintu kamar kos Lala diketuk berkali-kali, tapi perempuan itu tidak beranjak sejengkalpun dari tempat tidurnya untuk membukakan pintu. Dia tahu siapa gerangan yang ada di balik pintu itu. Siapa lagi kalau bukan Aiden. Sudah sepuluh menit cowok itu memintanya membuka pintu kamar dan meminta Lala mendengarkan penjelasannya.Menjelaskan tentang apalagi sih? Tentang rencana pernikahan mereka? Lala bukan seseorang yang perlu dijelaskan berkali-kali dulu sampai bisa paham. Sepertinya Marinalah yang perlu diberi penjelasan sejelas-jelasnya. Entah di bagian mana dari kalimat “Saya sudah punya tunangan” yang tidak wanita paruh baya itu pahami.“La, tolong buka pintunya.”Lala tetap bergeming.“Lala, plis, buka. Kalau kamu tetap nggak mau buka pintu terpaksa aku dobrak.”Gila! Edan! Aiden benar-benar sudah sinting!Tidak mau menimbulkan keributan lain, Lala akhirnya membuka pintu. Wajah kusut Aiden terpampang di had
“Berhenti! Apa yang kalian lakukan, hah?!”Keempat cewek itu sontak berhenti. Mereka menoleh ke sumber suara. Lala juga ikut menoleh dengan ekor matanya. Di samping mobil mewah hitam berdiri Marina dan Aiden. Mereka berdua segera menghampirinya.Aiden merengkuh Lala sambil mengumpat. Entahlah, mungkin Aiden mengumpat karena melihat wajahnya yang pasti ada lebam. Yang Lala yakin, bibirnya pasti robek karena dia merasa amis ketika meneguk ludah.“Kalian apain Lala, hah!” gigi Aiden bergemerutuk. Detik berikutnya dia mengusap sudut bibir Lala“La, ya ampun. Untung Ruli cepat nelepon aku sama mama. Kalau nggak, kamu bisa mati, La ….” Aiden memeluk Lala dan menciumi pucuk kepalanya berkali-kali.“Mati kayaknya lebih enak.” Lala tersenyum mengejek.“Ssttt! Kamu ngomong apa sih?”“Jika aku punya pilihan, aku lebih memilih mati daripada harus ketemu sama kamu lagi. Sebel
Panas, panas! Kuping Lala benar-benar panas. Pasalnya, sejak sepuluh menit setelah Lala dan Ruli pulang dari Taman Kanak-kanak, anak-anak perempuan di komplek perumahan elit ini menatap sinis padanya. Satu hal yang Lala tahu adalah mereka tidak suka Lala dekat-dekat dengan Aiden. Lala maklum, Aiden memang cowok yang most wanted, tapi acuh. Tidak heran cewek-cewek iri padanya karena berhasil dekat dengan Aiden.Dia sebenarnya dekat karena terpaksa loh, ya. Ingat baik-baik. Ter-pak-sa. Kalau ada pilihan lain kenapa harus memilih Aiden? Tapi Lala tidak ingin menceritakan kisah pilunya kepada empat orang perempuan labil ini. Nggak ada gunanya. Mereka pasti tidak akan percaya, juga. Jadi, biar sajalah mereka berpikiran miring padanya.Ruli sudah dia suruh masuk ke rumah lebih dulu. Tidak mungkin Lala meminta jagoan kecil itu tinggal bersamanya menghadapi cemoohan anak-anak manja ini. Ya, Lala menyebut mereka anak-anak manja karena di umur setua itu beraninya keroyo
Lagi-lagi Ruli menangis ketika akan ditinggal Lala pulang ke kosnya. Anak laki-laki itu terus duduk di pangkuan Lala dan memeluk lehernya erat-erat. Seolah takut Lala akan pergi ketika pelukannya melonggar sedikit saja.“Ruli … Kakak harus pulang, Sayang. Kakak nggak bisa tinggal di sini terus-terusan. Besok nanti Kakak ke sini lagi, ya?” bujuk Lala.Sayangnya Ruli kukuh menggelengkan kepala dan tangisannya semakin kuat saja.Lala akhirnya pasrah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh. Harusnya Aiden sudah pulang setengah jam yang lalu, tapi tidak. Lala berharap cowok ganteng itu ada di sini sekarang dan membantunya membujuk Ruli agar membiarkannya pulang. Sumpaaah, menginap di rumah Aiden ini enak banget. Meskipun enak begitu tetap dia tidak mau menginap di sini. Apa kata tetangga Aiden nanti? Bisa hancur nama baik keluarga Baratya karena membiarkan seorang cewek dekil menginap di rumah super mewah ini. Sialnya, baik Aiden
Lala turun dari mobil Aiden dan tergesa-gesa masuk ke taman. Tidak dipedulikannya teriakan Aiden yang menyuruhnya hati-hati. Bodo, lah! Gara-gara cowok itu dia sampai terlambat menemui Mario. Dia sudah sangat tega membiarkan kekasihnya menunggu lama. Seorang diri di taman ini.“Mas Mario!”Senyum Lala terkembang ketika Mario berlalu di hadapannya setelah membeli camilan.Mario menoleh lalu menghampiri Lala. “Hai, Sayang.” Dia menyeka keringat di pelipis gadis itu. “Kok ngos-ngosan gitu?”Lala nyengir. “Mas udah nunggu lama, ya? Maaf, Mas. Tadi ada sedikit masalah,” ujar Lala merasa sangat bersalah.Cowok berkumis tipis itu tersenyum manis dan menggeleng. “Nggak pa-pa, La. Aku juga baru datang kok. Malah aku kira kamu yang udah nunggu lama.”Dia menggenggam tangan Lala dan membawanya ke salah satu bangku taman yang menghadap danau.Mereka duduk bersisian. Mario merengkuh pingg
Lala mengerjap beberapa kali. Menyesuaikan dengan cahaya terang dari tempat asing ini. Ruangan yang serba putih. Bau obat tercium kuat semakin membuatnya pusing. Hampir muntah. Lala sungguh tidak tahan berada di sini. Ruangan yang dia yakin sebagai rumah sakit ini terasa begitu sunyi.Dia menoleh ketika pintu terbuka. Aiden masuk sambil membawa makanan. Lala bangun dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Baru diasadari di tangan kirinya tertanam selang infus. Tangannya sedikit berdenyut nyeri ketika benda itu tak sengaja tertarik.“Kamu tiduran aja dulu, La.” Aiden mengganjal punggungnya dengan bantal lain.“Aku mau pulang.”Lala memalingkan wajah karena tidak tahan mencium bau tubuh Aiden yang tidak pernah bisa dialupakan.“Nggak boleh.” Aiden mengambil kursi kecil dan duduk di samping ranjang. “Kata dokter kamu nggak boleh pulang dulu. Kumpulin stamina kamu. Baru bisa pulang.”&
Lala harus segera berhenti bekerja dengan Aiden. Pokoknya dia harus bisa melepaskan diri dari sana sebelum ketahuan ibunya. Bisa mati dirajam dia kalau sampai wanita kesayangannya itu tahu kalau dia kembali berhubungan dengan Aiden. Cowok yang sudah membuatnya dan sang ibu terpuruk selama delapan tahun.Setelah mengetahui kebenaran perasaan Aiden dari mulut Dauni saat itu, yang Lala rasakan adalah langit runtuh menimpa dirinya dan bumi menghimpit tubuhnya. Seketika itu juga Lala merasa mati adalah pilihan yang tepat daripada harus menahan hati yang terus menggaungkan luka. Tambah lagi, dia harus menanggung akibat dari perbuatan mereka saat merayakan anniversary itu.Lala pernah hamil. Lima bulan. Lalu janin yang sangat dia sayangi itu pergi meninggalkannya untuk selamanya. Padahal, Lala bersumpah akan menyayangi anak itu sepenuh hatinya. Dia rela berhenti sekolah karena tidak mau menggugurkan kandungannya.Dia tahu ibu sangat kecewa padanya. Untungnya w