Lagi-lagi Ruli menangis ketika akan ditinggal Lala pulang ke kosnya. Anak laki-laki itu terus duduk di pangkuan Lala dan memeluk lehernya erat-erat. Seolah takut Lala akan pergi ketika pelukannya melonggar sedikit saja.
“Ruli … Kakak harus pulang, Sayang. Kakak nggak bisa tinggal di sini terus-terusan. Besok nanti Kakak ke sini lagi, ya?” bujuk Lala.
Sayangnya Ruli kukuh menggelengkan kepala dan tangisannya semakin kuat saja.
Lala akhirnya pasrah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh. Harusnya Aiden sudah pulang setengah jam yang lalu, tapi tidak. Lala berharap cowok ganteng itu ada di sini sekarang dan membantunya membujuk Ruli agar membiarkannya pulang. Sumpaaah, menginap di rumah Aiden ini enak banget. Meskipun enak begitu tetap dia tidak mau menginap di sini. Apa kata tetangga Aiden nanti? Bisa hancur nama baik keluarga Baratya karena membiarkan seorang cewek dekil menginap di rumah super mewah ini. Sialnya, baik Aiden
Panas, panas! Kuping Lala benar-benar panas. Pasalnya, sejak sepuluh menit setelah Lala dan Ruli pulang dari Taman Kanak-kanak, anak-anak perempuan di komplek perumahan elit ini menatap sinis padanya. Satu hal yang Lala tahu adalah mereka tidak suka Lala dekat-dekat dengan Aiden. Lala maklum, Aiden memang cowok yang most wanted, tapi acuh. Tidak heran cewek-cewek iri padanya karena berhasil dekat dengan Aiden.Dia sebenarnya dekat karena terpaksa loh, ya. Ingat baik-baik. Ter-pak-sa. Kalau ada pilihan lain kenapa harus memilih Aiden? Tapi Lala tidak ingin menceritakan kisah pilunya kepada empat orang perempuan labil ini. Nggak ada gunanya. Mereka pasti tidak akan percaya, juga. Jadi, biar sajalah mereka berpikiran miring padanya.Ruli sudah dia suruh masuk ke rumah lebih dulu. Tidak mungkin Lala meminta jagoan kecil itu tinggal bersamanya menghadapi cemoohan anak-anak manja ini. Ya, Lala menyebut mereka anak-anak manja karena di umur setua itu beraninya keroyo
“Berhenti! Apa yang kalian lakukan, hah?!”Keempat cewek itu sontak berhenti. Mereka menoleh ke sumber suara. Lala juga ikut menoleh dengan ekor matanya. Di samping mobil mewah hitam berdiri Marina dan Aiden. Mereka berdua segera menghampirinya.Aiden merengkuh Lala sambil mengumpat. Entahlah, mungkin Aiden mengumpat karena melihat wajahnya yang pasti ada lebam. Yang Lala yakin, bibirnya pasti robek karena dia merasa amis ketika meneguk ludah.“Kalian apain Lala, hah!” gigi Aiden bergemerutuk. Detik berikutnya dia mengusap sudut bibir Lala“La, ya ampun. Untung Ruli cepat nelepon aku sama mama. Kalau nggak, kamu bisa mati, La ….” Aiden memeluk Lala dan menciumi pucuk kepalanya berkali-kali.“Mati kayaknya lebih enak.” Lala tersenyum mengejek.“Ssttt! Kamu ngomong apa sih?”“Jika aku punya pilihan, aku lebih memilih mati daripada harus ketemu sama kamu lagi. Sebel
Pintu kamar kos Lala diketuk berkali-kali, tapi perempuan itu tidak beranjak sejengkalpun dari tempat tidurnya untuk membukakan pintu. Dia tahu siapa gerangan yang ada di balik pintu itu. Siapa lagi kalau bukan Aiden. Sudah sepuluh menit cowok itu memintanya membuka pintu kamar dan meminta Lala mendengarkan penjelasannya.Menjelaskan tentang apalagi sih? Tentang rencana pernikahan mereka? Lala bukan seseorang yang perlu dijelaskan berkali-kali dulu sampai bisa paham. Sepertinya Marinalah yang perlu diberi penjelasan sejelas-jelasnya. Entah di bagian mana dari kalimat “Saya sudah punya tunangan” yang tidak wanita paruh baya itu pahami.“La, tolong buka pintunya.”Lala tetap bergeming.“Lala, plis, buka. Kalau kamu tetap nggak mau buka pintu terpaksa aku dobrak.”Gila! Edan! Aiden benar-benar sudah sinting!Tidak mau menimbulkan keributan lain, Lala akhirnya membuka pintu. Wajah kusut Aiden terpampang di had
Urusan menata hati itu hanya menjadi daftar nomor sekian di hidup Lala yang sekarang. Mulai saat ini dia berusaha memainkan peran sebagai seorang mama yang baik untuk anak berumur lima tahun yang sangat haus kasih sayang mamanya. Lala rela mengesampingkan jeritan perih hatinya ketika Aiden memberikan perlakuan manis. Seperti mengelap sudut bibirnya yang belepotan minyak atau cokelat, menuangkan segelas air untuknya, mengikat rambutnya saat tangannya kotor. Dan banyak lagi perlakuan manis yang Aiden lakukan di depan Ruli.Ingat, La. Semua ini demi Ruli. Setidaknya, berkat ini dia berharap Ruli tidak tumbuh besar menjadi anak nakal.“Besok Ruli ulang tahun.” Aiden mengagetkan Lala yang sibuk memasak sarapan. Cowok itu melingkarkan tangannya di perut Lala dan menopangkan dagunya di tengkuk Lala.“Lepas, Mas.” Lala berontak kecil dalam dekapan Aiden. “Ruli lagi tidur, kan? Kita sepakat nggak kontak fisik kalau nggak ada Ruli di sekitar
Jaga jarak adalah hal yang Lala gaung-gaungkan sejak lima menit yang lalu mereka sampai di mal ini. Dia hanya tidak mau orang-orang menggunjingkannya. Masalahnya bukan di dirinya saja, tapi di Aiden juga akan digunjingkan. Bayangkan kalau Aiden yang notabenenya adalah pewaris tunggal perusahaan Baratya kedapatan jalan dengan wanita dekil sepertinya. Pasti akan gempar seantero jagat raya. Tapi ujung-ujungnya yang di-judge pasti Lala. Yang tidak bersalah menjadi bersalah karena mereka bukan siapa-siapa. Iya, kan? Lala tahu betul itu karena dia sering mengalaminya.Belum lagi jika dia ketahuan Mario. Bisa sangat gawat ceritanya. Lalu, dari Mario sampai ke tante dan ibunya. Duh, bener deh! Lala pasti akan mati dirajam! Ini meskipun Aiden sudah Lala suruh menyamar dengan memakai topi dan kacamata hitam, tetap saja perempuan itu masih ketar-ketir.“La, aku sudah pakai topi sama kacamata gini lho! Kok kamu masih nggak mau jalan di samping aku?” Aiden yang
Ponsel di nakas berbunyi nyaring. Dua orang yang meringkuk di atas tempat tidur tanpa sehelai benang melekat di tubuh, menggeliat. Lala membuka mata ketika tangan yang melingkari perutnya bergerak dan punggungnya di gesek dengan hidung.“Mas Aiden, ada telepon tuh,” kata Lala dengan suara serak.Dia duduk. Bersandar pada kepala ranjang sambil menarik selimut sampai ke dada, sedangkan Aiden dengan mata setengah terbuka meraih ponselnya. Menempelkan ke telinga.Lala mengamati kamar Aiden yang mirip kapal pecah. Meja belajar Aiden berantakan. Lantai kamar berserakan seragam SMA dan tas mereka. Kasur yang selimutnya tak beraturan lagi bentuknya. Bra dan celana dalamnya terletak mengenaskan di kursi meja belajar. Baju kaos dan celana dalam Aiden bahkan tersangkut di kusen jendela.Lala menghela napas. Ada sesal datang menyusup setelah dia melakukan hal terlarang bersama Aiden dua jam lalu.“Kamu nyesal?” Aiden meletakkan ponselny
Langkah Lala terhenti ketika mendengar suara anak menangis tak jauh dari tempatnya sekarang. Cewek itu segera menghampiri segerombolan anak yang sedang mengelilingi seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu menekuk lutut. Terisak hebat.“Ruli nggak punya mama ... karena Ruli anak nakal. Mama Ruli nggak suka Ruli karena cengeng dan nakal.”Begitulah, gerombolan anak itu menyanyi sambil bertepuk tangan. Mereka berdiri membentuk lingkaran lalu mengelilingi seorang anak laki-laki bernama Ruli.“Ruli nggak nakal! Ruli nggak cengeng!”“Ruli emang nakal dan cengeng. Weee ….”Lala buru-buru masuk ke dalam lingkaran dan memeluk Ruli. “Sssttt, kamu jangan nangis lagi, ya. Ada Kakak di sini.”Dia lalu memandangi teman-teman Ruli satu-satu. “Kalian jangan gitu lagi, ya. Nggak boleh bikin teman kalian nangis. Mau nanti dihukum Tuhan?”Anak-anak itu langsung pucat. Mereka menggelen
Lala terbangun karena mendengar deringan ponselnya. Dengan setengah terpejam dia meraih ponsel itu. Tubuhnya langsung beku ketika tante dengan suara bergetar menyapanya lebih dulu.“Halo, La. Maaf Tante ganggu. Tante cuma mau ngasih tahu kalau besok tenggat terakhir pembayaran biaya rumah sakit mama kamu.”Lala terdiam. Memijit pelipis sejenak sebelum berkata, “Iya, makasih Tante,” dengan lirih.“Kamu sudah ada uangnya?”“Eeemmm … belum,” jawab Lala hati-hati.Terdengar tantenya mendesah pelan di ujung telepon. Hal itu sukses membuat Lala tidak nyaman. Merasa sangat merepotkan adik mamanya itu, yang sudah rela merawat mama selama tiga tahun ini tanpa diberi upah sepeserpun. Tak jarang tante malah memberinya uang untuk menebus obat dan keperluan mama yang lain. Padahal, tantenya sama tidak punya uangnya seperti mereka.“Halo? Kamu masih di sana, La?”
Jaga jarak adalah hal yang Lala gaung-gaungkan sejak lima menit yang lalu mereka sampai di mal ini. Dia hanya tidak mau orang-orang menggunjingkannya. Masalahnya bukan di dirinya saja, tapi di Aiden juga akan digunjingkan. Bayangkan kalau Aiden yang notabenenya adalah pewaris tunggal perusahaan Baratya kedapatan jalan dengan wanita dekil sepertinya. Pasti akan gempar seantero jagat raya. Tapi ujung-ujungnya yang di-judge pasti Lala. Yang tidak bersalah menjadi bersalah karena mereka bukan siapa-siapa. Iya, kan? Lala tahu betul itu karena dia sering mengalaminya.Belum lagi jika dia ketahuan Mario. Bisa sangat gawat ceritanya. Lalu, dari Mario sampai ke tante dan ibunya. Duh, bener deh! Lala pasti akan mati dirajam! Ini meskipun Aiden sudah Lala suruh menyamar dengan memakai topi dan kacamata hitam, tetap saja perempuan itu masih ketar-ketir.“La, aku sudah pakai topi sama kacamata gini lho! Kok kamu masih nggak mau jalan di samping aku?” Aiden yang
Urusan menata hati itu hanya menjadi daftar nomor sekian di hidup Lala yang sekarang. Mulai saat ini dia berusaha memainkan peran sebagai seorang mama yang baik untuk anak berumur lima tahun yang sangat haus kasih sayang mamanya. Lala rela mengesampingkan jeritan perih hatinya ketika Aiden memberikan perlakuan manis. Seperti mengelap sudut bibirnya yang belepotan minyak atau cokelat, menuangkan segelas air untuknya, mengikat rambutnya saat tangannya kotor. Dan banyak lagi perlakuan manis yang Aiden lakukan di depan Ruli.Ingat, La. Semua ini demi Ruli. Setidaknya, berkat ini dia berharap Ruli tidak tumbuh besar menjadi anak nakal.“Besok Ruli ulang tahun.” Aiden mengagetkan Lala yang sibuk memasak sarapan. Cowok itu melingkarkan tangannya di perut Lala dan menopangkan dagunya di tengkuk Lala.“Lepas, Mas.” Lala berontak kecil dalam dekapan Aiden. “Ruli lagi tidur, kan? Kita sepakat nggak kontak fisik kalau nggak ada Ruli di sekitar
Pintu kamar kos Lala diketuk berkali-kali, tapi perempuan itu tidak beranjak sejengkalpun dari tempat tidurnya untuk membukakan pintu. Dia tahu siapa gerangan yang ada di balik pintu itu. Siapa lagi kalau bukan Aiden. Sudah sepuluh menit cowok itu memintanya membuka pintu kamar dan meminta Lala mendengarkan penjelasannya.Menjelaskan tentang apalagi sih? Tentang rencana pernikahan mereka? Lala bukan seseorang yang perlu dijelaskan berkali-kali dulu sampai bisa paham. Sepertinya Marinalah yang perlu diberi penjelasan sejelas-jelasnya. Entah di bagian mana dari kalimat “Saya sudah punya tunangan” yang tidak wanita paruh baya itu pahami.“La, tolong buka pintunya.”Lala tetap bergeming.“Lala, plis, buka. Kalau kamu tetap nggak mau buka pintu terpaksa aku dobrak.”Gila! Edan! Aiden benar-benar sudah sinting!Tidak mau menimbulkan keributan lain, Lala akhirnya membuka pintu. Wajah kusut Aiden terpampang di had
“Berhenti! Apa yang kalian lakukan, hah?!”Keempat cewek itu sontak berhenti. Mereka menoleh ke sumber suara. Lala juga ikut menoleh dengan ekor matanya. Di samping mobil mewah hitam berdiri Marina dan Aiden. Mereka berdua segera menghampirinya.Aiden merengkuh Lala sambil mengumpat. Entahlah, mungkin Aiden mengumpat karena melihat wajahnya yang pasti ada lebam. Yang Lala yakin, bibirnya pasti robek karena dia merasa amis ketika meneguk ludah.“Kalian apain Lala, hah!” gigi Aiden bergemerutuk. Detik berikutnya dia mengusap sudut bibir Lala“La, ya ampun. Untung Ruli cepat nelepon aku sama mama. Kalau nggak, kamu bisa mati, La ….” Aiden memeluk Lala dan menciumi pucuk kepalanya berkali-kali.“Mati kayaknya lebih enak.” Lala tersenyum mengejek.“Ssttt! Kamu ngomong apa sih?”“Jika aku punya pilihan, aku lebih memilih mati daripada harus ketemu sama kamu lagi. Sebel
Panas, panas! Kuping Lala benar-benar panas. Pasalnya, sejak sepuluh menit setelah Lala dan Ruli pulang dari Taman Kanak-kanak, anak-anak perempuan di komplek perumahan elit ini menatap sinis padanya. Satu hal yang Lala tahu adalah mereka tidak suka Lala dekat-dekat dengan Aiden. Lala maklum, Aiden memang cowok yang most wanted, tapi acuh. Tidak heran cewek-cewek iri padanya karena berhasil dekat dengan Aiden.Dia sebenarnya dekat karena terpaksa loh, ya. Ingat baik-baik. Ter-pak-sa. Kalau ada pilihan lain kenapa harus memilih Aiden? Tapi Lala tidak ingin menceritakan kisah pilunya kepada empat orang perempuan labil ini. Nggak ada gunanya. Mereka pasti tidak akan percaya, juga. Jadi, biar sajalah mereka berpikiran miring padanya.Ruli sudah dia suruh masuk ke rumah lebih dulu. Tidak mungkin Lala meminta jagoan kecil itu tinggal bersamanya menghadapi cemoohan anak-anak manja ini. Ya, Lala menyebut mereka anak-anak manja karena di umur setua itu beraninya keroyo
Lagi-lagi Ruli menangis ketika akan ditinggal Lala pulang ke kosnya. Anak laki-laki itu terus duduk di pangkuan Lala dan memeluk lehernya erat-erat. Seolah takut Lala akan pergi ketika pelukannya melonggar sedikit saja.“Ruli … Kakak harus pulang, Sayang. Kakak nggak bisa tinggal di sini terus-terusan. Besok nanti Kakak ke sini lagi, ya?” bujuk Lala.Sayangnya Ruli kukuh menggelengkan kepala dan tangisannya semakin kuat saja.Lala akhirnya pasrah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh. Harusnya Aiden sudah pulang setengah jam yang lalu, tapi tidak. Lala berharap cowok ganteng itu ada di sini sekarang dan membantunya membujuk Ruli agar membiarkannya pulang. Sumpaaah, menginap di rumah Aiden ini enak banget. Meskipun enak begitu tetap dia tidak mau menginap di sini. Apa kata tetangga Aiden nanti? Bisa hancur nama baik keluarga Baratya karena membiarkan seorang cewek dekil menginap di rumah super mewah ini. Sialnya, baik Aiden
Lala turun dari mobil Aiden dan tergesa-gesa masuk ke taman. Tidak dipedulikannya teriakan Aiden yang menyuruhnya hati-hati. Bodo, lah! Gara-gara cowok itu dia sampai terlambat menemui Mario. Dia sudah sangat tega membiarkan kekasihnya menunggu lama. Seorang diri di taman ini.“Mas Mario!”Senyum Lala terkembang ketika Mario berlalu di hadapannya setelah membeli camilan.Mario menoleh lalu menghampiri Lala. “Hai, Sayang.” Dia menyeka keringat di pelipis gadis itu. “Kok ngos-ngosan gitu?”Lala nyengir. “Mas udah nunggu lama, ya? Maaf, Mas. Tadi ada sedikit masalah,” ujar Lala merasa sangat bersalah.Cowok berkumis tipis itu tersenyum manis dan menggeleng. “Nggak pa-pa, La. Aku juga baru datang kok. Malah aku kira kamu yang udah nunggu lama.”Dia menggenggam tangan Lala dan membawanya ke salah satu bangku taman yang menghadap danau.Mereka duduk bersisian. Mario merengkuh pingg
Lala mengerjap beberapa kali. Menyesuaikan dengan cahaya terang dari tempat asing ini. Ruangan yang serba putih. Bau obat tercium kuat semakin membuatnya pusing. Hampir muntah. Lala sungguh tidak tahan berada di sini. Ruangan yang dia yakin sebagai rumah sakit ini terasa begitu sunyi.Dia menoleh ketika pintu terbuka. Aiden masuk sambil membawa makanan. Lala bangun dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Baru diasadari di tangan kirinya tertanam selang infus. Tangannya sedikit berdenyut nyeri ketika benda itu tak sengaja tertarik.“Kamu tiduran aja dulu, La.” Aiden mengganjal punggungnya dengan bantal lain.“Aku mau pulang.”Lala memalingkan wajah karena tidak tahan mencium bau tubuh Aiden yang tidak pernah bisa dialupakan.“Nggak boleh.” Aiden mengambil kursi kecil dan duduk di samping ranjang. “Kata dokter kamu nggak boleh pulang dulu. Kumpulin stamina kamu. Baru bisa pulang.”&
Lala harus segera berhenti bekerja dengan Aiden. Pokoknya dia harus bisa melepaskan diri dari sana sebelum ketahuan ibunya. Bisa mati dirajam dia kalau sampai wanita kesayangannya itu tahu kalau dia kembali berhubungan dengan Aiden. Cowok yang sudah membuatnya dan sang ibu terpuruk selama delapan tahun.Setelah mengetahui kebenaran perasaan Aiden dari mulut Dauni saat itu, yang Lala rasakan adalah langit runtuh menimpa dirinya dan bumi menghimpit tubuhnya. Seketika itu juga Lala merasa mati adalah pilihan yang tepat daripada harus menahan hati yang terus menggaungkan luka. Tambah lagi, dia harus menanggung akibat dari perbuatan mereka saat merayakan anniversary itu.Lala pernah hamil. Lima bulan. Lalu janin yang sangat dia sayangi itu pergi meninggalkannya untuk selamanya. Padahal, Lala bersumpah akan menyayangi anak itu sepenuh hatinya. Dia rela berhenti sekolah karena tidak mau menggugurkan kandungannya.Dia tahu ibu sangat kecewa padanya. Untungnya w