Gemerlap cahaya lampu menjadi penghias kelab malam yang ramai pengunjung. Lampu-lampu redup di pasang di seluruh penjuru bar. Menimbulkan kesan remang-remang, bahkan tak jarang ada juga yang menganggapnya romantis. Sekalipun musik yang diputar di sana sanggup bikin pekak telinga.
Lala, seperti biasa, dengan gaun kurang kain berwarna merah menyala, lipstik merah, dan sepatu berhak yang juga berwarna merah, berjalan gemulai membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. Meletakkannya di meja pengunjung yang memesan. Berlalu setelah melempar senyuman manis terkesan genit. Bukan bermaksud menggoda. Tidak ada sama sekali niat menggoda para laki-laki berdompet tebal. Ini murni suruhan atasan. Bos empunya kelab.
Lala berkumpul dengan pelayan lain di ujung meja di sudut kelab. Berdiri sambil mengedarkan mata ke seluruh ruangan. Hentakan musik tidak mampu membuat tubuh Lala ikut menari. Dia bahkan tidak menikmati kehadirannya di sini. Walapun sudah tiga tahun bekerja, dia masih belum terbiasa. Atau dia memang tidak mau membiasakan diri dengan gemerlap dunia malam ini.
Sungguh, jika bukan karena terpaksa Lala tidak akan mau bekerja jadi pelayan, di kelab malam pula. Kelab ini memang digadang-gadang memberikan keamanan pada pelayan perempuannya, tapi meskipun begitu tak jarang bagian tubuh Lala seperti tangan, paha dan leher, dibelai oleh tangan laki-laki nakal. Pengaduan Lala hanya didengar, karena bagi bosnya kelakuan laki-laki itu masih dalam batas wajar.
Bahu Lala disenggol teman kerjanya. Stefani menunjuk ke sebuah meja dengan dagu. Lala mengikuti arah tunjukan Stef. Yang ditunjuk Stef adalah punggung tegap seorang laki-laki. Wajahnya tak terlihat karena dia duduk membelakangi mereka. Lala menyipitkan mata lalu memandang Stef dengan dua alis yang terangkat.
“Kenapa? Dia kayaknya nggak manggil kita untuk tambah minuman, kan?” tanya Lala.
Stef nyengir. “Nggak. Cuma dia kayaknya ganteng banget, Kak. Punggungnya itu tegap banget. Pokoknya dilihat dari belakangnya aja udah ketahuan kalau dia itu ganteng. Yakin seratus persen dia juga mapan. Empat tahun kerja di sini baru kali ini aku liat dia.” Perempuan berambut cokelat itu mengerling nakal. Menggoda Lala.
“Terus, kenapa natap aku kayak gitu?”
“Kali aja Kakak mau deketin dia.”
Lala kontan mencubit lengan Stef. “Ih! Pikiran kamu kejauhan! Aku nggak mau terlibat sama cowok yang model begituan, ya.” Dia pura-pura merajuk. Bibirnya maju beberapa senti. Tangan kurusnya diletakkan di depan dada.
“Model begituan kayak gimana, Kak?” Stef pura-pura tidak mengerti.
“Ya … yang sejenis dia.” Lala menunjuk laki-laki yang dia maksud dengan ekor matanya. “Yang suka ke kelab buat mabuk-mabukan. Ngabisin uang. Mending uangnya ditabung buat masa depan, kan?”
Stef tertawa keras mendengar jawaban Lala. “Kakak ini bodoh banget, ya.” Dia menggelengkan kepala tak habis pikir. “Justru orang kayak dia yang kita perlukan, Kak. Coba nggak ada mereka-mereka, Kakak mau kerja di sini digaji pakai daun?”
Lala meringis menyadari kebodohannya. Dia menggeleng pelan-pelan sambil cengengesan.
“Kita samperin yuk, Kak?” Stef menarik tangan Lala. Langsung ditepis olehnya.
“Ogah, ah!” tolak Lala mentah-mentah.
“Kok nggak mau? Uangnya pasti banyak. Kalau dia tertarik sama Kakak, lumayan Kakak bisa minta uang ke dia.”
“Kamu ini …,” geram Lala. “Kalau dia udah punya istri gimana? Kamu suruh aku jadi pelakor, gitu?”
Stef mengedikkan bahu. “Aku yakin dia belum kawin.”
Lala berdecih. “Sok tahu kamu.” Dia meminum air mineral beberapa teguk untuk membasahi tenggorokannya yang kering karena habis berdebat sengit dengan Stef di tengah kelab yang bising.
“Mayoritas cowok yang jadi pengunjung kelab kita cuma dua jenis, Kak. Satu, belum nikah. Dua, sudah nikah tapi bosan dengan istrinya. Dan cowok di depan kita termasuk jenis yang pertama.”
Lala hanya menarik napas panjang. “Terserah kamu lah.”
Stef memegang bahu Lala sebelum berkata, “Tapi serius loh ini, Kak. Aku dapat feeling bagus tentang hubungan Kakak dengan cowok itu. Aku bisa liat benang merah di jari kelingking Kakak berakhir di jari kelingking cowok itu. Seratus persen kalian jodoh.”
Lala memutar bola matanya. “Ngibul, ah. Emang kamu cenayang bisa liat apa aja yang nggak keliatan dengan mata telanjang?”
Stef nyengir superlebar. Dia menekuk lutut untuk menyamakan tinggi dengan wanita di sampingnya itu. “Kan, aku emang cenayang. Kakak lupa waktu aku ke kos Kakak dulu, aku bilang ada cewek rambut panjang selalu berdiri di depan pintu kamar kos Kakak? sekarang dia berdiri di samping Kakak loh. Matanya yang cekung itu pinggirnya berwarna hitam, bibirnya juga hitam, rambutnya panjang awut-awutan, kukunya panjang. Dia lagi liat Kakak dengan tatapan mau membunuh,” kata Stef dengan suara lirih dan angker yang dibuat-buat.
Tubuh Lala beku di tempat. Lipstik merahnya semakin menyala karena wajahnya yang dari awal sudah putih sekarang semakin putih. Seputih salju. Sialan si Stef. Sahabatnya itu tahu Lala takut hantu dan dia semakin mempermainkannya.
Stef menyeringai penuh kemenangan. “Ah! Aku baru ingat, waktu Kakak terbaring di ranjang karena sakit dulu, aku liat dia juga tiduran di samping Kakak. Meluk Kakak, lagi. Kayaknya dia sayang sama Kakak. Hati-hati, Kakak bisa diajaknya ke dunia lain entar.”
“Stef!” pekik Lala. “Kalau kamu nggak mau jadi gundul, berhenti nakut-nakutin aku!” Dia mengentakkan kaki yang dibungkus highheels ke lantai marmer secara membabi buta.
“Lagian Kakak kenapa jadi takut sama hantu segala sih? Hantu itu nggak ada loh, Kak.”
Nah, nah! Asli, Stef ini tukang ngibul. Tadi dia bilang melihat hantu berdiri di samping Lala. Sekarang dia bilang apa? Hantu itu nggak ada? Lala berpikir untuk mendaftarkan Stef jadi peserta Stand Up Comedy saja. Biar bakat ngibulnya makin tersalurkan. Jadi dia tidak perlu merasa merinding disco mendengar cerita-cerita horor Stef yang tidak diragukan lagi kepalsuannya.
Stef segera berlalu untuk mengantarkan minuman. Meninggalkan Lala seorang diri dengan sejuta pikiran. Jika tidak ada Stef yang mengajaknya bicara, dia akan kepikiran ibu yang terbaring lemah di rumah sakit. Juga memikirkan mencari pekerjaan lain yang bisa menghasilkan banyak uang. Tapi apa? dia yang notabenenya hanya lulusan SMP ini bisa dapat kerja apa? selain kerja serabutan dan upahnya tidak seberapa.
Jangan menyarankan Lala untuk meminjam uang di bank karena Lala tidak punya benda berharga untuk dijadikan jaminan.
Lala memijit pelipis. Sekarang bukan cuma uang saja yang menjadi beban pikiran. Ada tambahan satu lagi. Dan tambahan ini bukan main bikin sakit kepala. Apalagi kalau bukan Aiden.
Cowok itu secara tidak terduga datang lagi ke hidupnya. Bagaimana bisa? Lalu hati ini, kenapa masih berdenyut nyeri padahal dia sudah delapan tahun diobati. Aiden itu hanya masa lalu. Tidak lebih, tidak kurang. Sayang, waktu delapan tahun ternyata tidak bisa membuat Aiden menjadi kenangan.
Lala akhirnya bisa menyudahi kegalauannya berkat lambaian tangan Stef. Dengan langkah santai Lala menghampiri cewek itu. Berdiri di sampingnya dengan rasa percaya diri tinggi seperti yang diajarkan sang bos. Lala memberikan senyum terbaiknya kepada seorang laki-laki tampan. Dia terkejut ketika Stef membisikinya, mengatakan kalau laki-laki di hadapannya ini sedang mencari karyawan.
“Umurnya empat puluh lima, Kak. Dia katanya mau nawarin kamu kerja.”
“Jadi apa?”
“Sugar Baby.”
Sialan! Lala mendelik ke arah Stef. Dari tatapan matanya harusnya Stef tahu Lala tidak suka acara perkenalan macam ini. Apalagi ujung-ujungnya memintanya jadi macam-macam. Sugar baby lah, wanita simpanan lah, atau apapun itu Lala tidak sudi.
“Kamu Lala, kan? Saya Deson. CEO perusahaan Mighty May. Mau kerja jadi wanita simpanan saya?”
Lala menyambut uluran tangan dari laki-laki itu. Oh, tadi dia bilang apa? CEO perusahaan Mighty May? Perusahaan nomor tiga terkaya di negeri ini. Siapa yang tidak mau bekerja dengan Deson? Tentu Lala mau, tapi tidak untuk menjadi wanita simpanannya. Tidak apa-apa kalau miskin melarat dari pada kaya tapi jadi wanita simpanan.
“Duduk, yuk.” Deson menarik tangan Lala dengan lembut. Didudukkan di kursi kosong di sebelahnya.
Perlakuan itu membuatnya tidak nyaman. Dia melirik Stef meminta bantuan. Sialnya si Stef ini malah berlalu sambil mengedipkan sebelah mata.
Sahabat macam apa kamu?!
Dason melingkarkan tangannya di bahu Lala yang terbuka. “Kamu cantik banget. Mau jadi wanita simpanan saya, kan? Uang akan mengalir ke dompet kamu tiap bulan.”
“Nggak, makasih, Pak. Saya sudah punya pacar.” Lala menyingkirkan tangan Deson tanpa berniat menyinggung laki-laki itu.
Deson terkekeh. “Terus hubungannya apa? Kamu pacaran-pacaran aja. Asal pacar kamu nggak tahu nggak pa-pa. Gimana? Tawaran saya menggiurkan, bukan? Saya nggak suka mengekang wanita. Jadi, kamu bebas mau ngapain aja selama jadi wanita simpanan saya.”
Lala menggeser duduknya sampai ke ujung sofa. Benar-benar menjaga jarak dari Deson. Biarlah dikatai orang jual mahal. Lala memang ingin semua orang menganggapnya begitu. Biar tidak ada yang berani mendekatinya.
Deson menggeser duduknya mendekati Lala. Tangannya memeluk pinggang cewek mungil itu. Dia ingin lari dari sana, tapi Deson seolah tahu keinginnannya. Pelukan Deson di pinggang Lala semakin mengerat. Lala menunduk. Menatap kosong lantai marmer di bawah kakinya. Dia menggigit bibirnya karena merasa risi.
“Gebetan baru, Pak Des?” Seorang laki-laki duduk di hadapan Deson. “Cantik juga. Cuma kurang seksi.”
Deson tertawa. “Lagi negoisasi. Lumayan lah, daripada yang di rumah,” jawabnya setelah melepaskan tangannya dari pinggang Lala untuk meraih gelas minuman.
Lala mengepalkan tangannya. Tidak sanggup berada di sana. Dia pergi dengan tergesa-gesa. Mengabaikan panggilan Deson. Karena tidak memperhatikan langkahnya, Lala menabrak dada bidang seorang laki-laki.
Setelah meminta maaf dan bermaksud kembali ke sudut kelab untuk bergabung bersama teman-temannya, laki-laki yang Lala tabrak tadi meremas bahunya. Lala mendongak. Dia langsung tercekat. Meskipun cahaya lampu remang-remang, tapi dia yakin orang yang berdiri di hadapannya ini adalah orang yang Stefani dan dia bicarakan tadi.
Aiden.
Cowok itu lagi!Sumpah mati Lala tidak sudi melihat mukanya lagi.“Permisi,” pamit Lala sambil melepaskan tangan Aiden dari bahunya.Aiden menggeram. Detik berikutnya dia menyeret Lala keluar kelab.“Kenapa main seret-seret sih?!” maki cewek itu saat mereka sudah di luar kelab.Aiden memandangi Lala dari atas sampai bawah. Wajahnya yang beraut hangat berubah datar dan dingin. “Kamu ngapain di sini?”Lala membuang muka. “Bukan urusan kamu.”Tubuh tinggi Aiden semakin menjulang karena badan laki-laki itu menegap. “Jawab aku, La. Kamu ngapain ada di sini? pakai baju kayak gini, lagi. Baju kurang kain. Kayak bukan kamu aja. Terus, aku liat kamu tadi duduk bareng Deson. Kamu nggak sedang godain dia, kan?”“Aku nggak ada waktu untuk menjawab pertanyaan kamu. Aku sibuk.”Lala berlalu. Bermaksud kembali ke dalam kelab.Aiden menyentak lengannya dan la
Alis Lala bertaut. Pagi-pagi, jam enam, pintu kamar kosnya diketuk. Dia yang tengah sibuk menyetitka baju bangkit perlahan. Berjalan menuju pintu penuh pertimbangan. Habisnya, beberapa tahun dia tinggal di kamar sederhana ini, baru kali ini ada yang mengetuk sepagi ini. Tidak mungkin bu Meira karena wanita setengah baya itu sedang keluar kota.Wajahnya memucat. Sambil menggigit bibir, Lala membuka pintu. Pupil matanya langsung melebar ketika melihat Aiden berdiri gagah di depan pintu kamarnya.“Hai.” Aiden menyapa dengan senyum menawan. Senyuman yang sama persis seperti delapan tahun silam.Lala membeku. Denyutan itu terasa lagi. Membuat sesak. Susah bernapas. Bibir Aiden yang tersungging senyum memaksanya kembali ke memori masa lalu. Indah sekaligus menyakitkan itu.Sweet but shit!Meskipun sudah delapan tahun berlalu, tapi sakit hatinya tidak pernah membaik. Lala dibuat heran dengan dirinya sendiri. Orang lain bis
Sepulang dari sekolah, Lala duduk di sofa menemani Ruli belajar membaca. Setelah selesai merapikan rumah –yang-sebenarnya-tidak-pernah-berantakan-, tapi karena Lala merasa sungkan, digaji puluhan juta sedangkan kerjaannya semrawutan. Akhirnya dia secara sukarela menjadi pembantu di sini. Bersih-bersih rumah, menyiapkan makan siang untuk Ruli dan mencuci piring. Bahkan semua itu tidak sepadan dengan gajinya yang luar biasa.Aiden memang gila. Rela mengeluarkan uang puluhan juta cuma untuk membayar tenaganya yang tidak seberapa. Tanpa sadar Lala menggelengkan kepala. Dia kembali memerhatikan Ruli yang sibuk menulis huruf-huruf di bukunya. Lala akui, anak Aiden ini, kepintarannya di atas rata-rata. Saat anak seusianya masih sibuk menghapal huruf, dia sudah bisa membaca. Saat anak-anak lain masih menghapal angka, Ruli sudah hapal perkalian tiga. Gila!Pasti otak encernya ketularan sang papa. Lala ingat saat masih SMA Aiden pasti, selalu, memenangkan olimpiade. Membua
Lala menyesal karena sudah menerima tawaran Aiden untuk bekerja dengannya. Semuanya jadi runyam. Hidupnya yang sekarang, juga yang akan datang semakin tidak jelas arahnya. Harusnya dia menolak saja tawaran Aiden itu. Peduli setan dengan gaji puluhan juta jika akhirnya akan begini jadinya. Dia merasa semakin terperosok jauh ke dalam lubang gelap. Semakin gelap ketika Marina mengatakan sepatah kalimat yang tidak pernah Lala sangka sebelumnya.“Menikah dengan Aiden, ya, La.”Menikah dengan Aiden? Sialan! Gila apa?! Menikah dengan Aiden tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Bahkan bertemu dengan cowok itu pun tidak pernah dia harapkan. Dia sudah bertekad akan berhenti bekerja dengan Aiden ketika ibunya sudah sembuh. Lala yakin itu tidak akan lama lagi. Karena kata tante, kesehatan ibunya sudah jauh lebih baik.Hanya satu niatnya berkerja untuk Aiden. Uang. Adien adalah ATM berjalannya. Setelah dia tidak
Lala harus segera berhenti bekerja dengan Aiden. Pokoknya dia harus bisa melepaskan diri dari sana sebelum ketahuan ibunya. Bisa mati dirajam dia kalau sampai wanita kesayangannya itu tahu kalau dia kembali berhubungan dengan Aiden. Cowok yang sudah membuatnya dan sang ibu terpuruk selama delapan tahun.Setelah mengetahui kebenaran perasaan Aiden dari mulut Dauni saat itu, yang Lala rasakan adalah langit runtuh menimpa dirinya dan bumi menghimpit tubuhnya. Seketika itu juga Lala merasa mati adalah pilihan yang tepat daripada harus menahan hati yang terus menggaungkan luka. Tambah lagi, dia harus menanggung akibat dari perbuatan mereka saat merayakan anniversary itu.Lala pernah hamil. Lima bulan. Lalu janin yang sangat dia sayangi itu pergi meninggalkannya untuk selamanya. Padahal, Lala bersumpah akan menyayangi anak itu sepenuh hatinya. Dia rela berhenti sekolah karena tidak mau menggugurkan kandungannya.Dia tahu ibu sangat kecewa padanya. Untungnya w
Lala mengerjap beberapa kali. Menyesuaikan dengan cahaya terang dari tempat asing ini. Ruangan yang serba putih. Bau obat tercium kuat semakin membuatnya pusing. Hampir muntah. Lala sungguh tidak tahan berada di sini. Ruangan yang dia yakin sebagai rumah sakit ini terasa begitu sunyi.Dia menoleh ketika pintu terbuka. Aiden masuk sambil membawa makanan. Lala bangun dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Baru diasadari di tangan kirinya tertanam selang infus. Tangannya sedikit berdenyut nyeri ketika benda itu tak sengaja tertarik.“Kamu tiduran aja dulu, La.” Aiden mengganjal punggungnya dengan bantal lain.“Aku mau pulang.”Lala memalingkan wajah karena tidak tahan mencium bau tubuh Aiden yang tidak pernah bisa dialupakan.“Nggak boleh.” Aiden mengambil kursi kecil dan duduk di samping ranjang. “Kata dokter kamu nggak boleh pulang dulu. Kumpulin stamina kamu. Baru bisa pulang.”&
Lala turun dari mobil Aiden dan tergesa-gesa masuk ke taman. Tidak dipedulikannya teriakan Aiden yang menyuruhnya hati-hati. Bodo, lah! Gara-gara cowok itu dia sampai terlambat menemui Mario. Dia sudah sangat tega membiarkan kekasihnya menunggu lama. Seorang diri di taman ini.“Mas Mario!”Senyum Lala terkembang ketika Mario berlalu di hadapannya setelah membeli camilan.Mario menoleh lalu menghampiri Lala. “Hai, Sayang.” Dia menyeka keringat di pelipis gadis itu. “Kok ngos-ngosan gitu?”Lala nyengir. “Mas udah nunggu lama, ya? Maaf, Mas. Tadi ada sedikit masalah,” ujar Lala merasa sangat bersalah.Cowok berkumis tipis itu tersenyum manis dan menggeleng. “Nggak pa-pa, La. Aku juga baru datang kok. Malah aku kira kamu yang udah nunggu lama.”Dia menggenggam tangan Lala dan membawanya ke salah satu bangku taman yang menghadap danau.Mereka duduk bersisian. Mario merengkuh pingg
Lagi-lagi Ruli menangis ketika akan ditinggal Lala pulang ke kosnya. Anak laki-laki itu terus duduk di pangkuan Lala dan memeluk lehernya erat-erat. Seolah takut Lala akan pergi ketika pelukannya melonggar sedikit saja.“Ruli … Kakak harus pulang, Sayang. Kakak nggak bisa tinggal di sini terus-terusan. Besok nanti Kakak ke sini lagi, ya?” bujuk Lala.Sayangnya Ruli kukuh menggelengkan kepala dan tangisannya semakin kuat saja.Lala akhirnya pasrah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh. Harusnya Aiden sudah pulang setengah jam yang lalu, tapi tidak. Lala berharap cowok ganteng itu ada di sini sekarang dan membantunya membujuk Ruli agar membiarkannya pulang. Sumpaaah, menginap di rumah Aiden ini enak banget. Meskipun enak begitu tetap dia tidak mau menginap di sini. Apa kata tetangga Aiden nanti? Bisa hancur nama baik keluarga Baratya karena membiarkan seorang cewek dekil menginap di rumah super mewah ini. Sialnya, baik Aiden
Jaga jarak adalah hal yang Lala gaung-gaungkan sejak lima menit yang lalu mereka sampai di mal ini. Dia hanya tidak mau orang-orang menggunjingkannya. Masalahnya bukan di dirinya saja, tapi di Aiden juga akan digunjingkan. Bayangkan kalau Aiden yang notabenenya adalah pewaris tunggal perusahaan Baratya kedapatan jalan dengan wanita dekil sepertinya. Pasti akan gempar seantero jagat raya. Tapi ujung-ujungnya yang di-judge pasti Lala. Yang tidak bersalah menjadi bersalah karena mereka bukan siapa-siapa. Iya, kan? Lala tahu betul itu karena dia sering mengalaminya.Belum lagi jika dia ketahuan Mario. Bisa sangat gawat ceritanya. Lalu, dari Mario sampai ke tante dan ibunya. Duh, bener deh! Lala pasti akan mati dirajam! Ini meskipun Aiden sudah Lala suruh menyamar dengan memakai topi dan kacamata hitam, tetap saja perempuan itu masih ketar-ketir.“La, aku sudah pakai topi sama kacamata gini lho! Kok kamu masih nggak mau jalan di samping aku?” Aiden yang
Urusan menata hati itu hanya menjadi daftar nomor sekian di hidup Lala yang sekarang. Mulai saat ini dia berusaha memainkan peran sebagai seorang mama yang baik untuk anak berumur lima tahun yang sangat haus kasih sayang mamanya. Lala rela mengesampingkan jeritan perih hatinya ketika Aiden memberikan perlakuan manis. Seperti mengelap sudut bibirnya yang belepotan minyak atau cokelat, menuangkan segelas air untuknya, mengikat rambutnya saat tangannya kotor. Dan banyak lagi perlakuan manis yang Aiden lakukan di depan Ruli.Ingat, La. Semua ini demi Ruli. Setidaknya, berkat ini dia berharap Ruli tidak tumbuh besar menjadi anak nakal.“Besok Ruli ulang tahun.” Aiden mengagetkan Lala yang sibuk memasak sarapan. Cowok itu melingkarkan tangannya di perut Lala dan menopangkan dagunya di tengkuk Lala.“Lepas, Mas.” Lala berontak kecil dalam dekapan Aiden. “Ruli lagi tidur, kan? Kita sepakat nggak kontak fisik kalau nggak ada Ruli di sekitar
Pintu kamar kos Lala diketuk berkali-kali, tapi perempuan itu tidak beranjak sejengkalpun dari tempat tidurnya untuk membukakan pintu. Dia tahu siapa gerangan yang ada di balik pintu itu. Siapa lagi kalau bukan Aiden. Sudah sepuluh menit cowok itu memintanya membuka pintu kamar dan meminta Lala mendengarkan penjelasannya.Menjelaskan tentang apalagi sih? Tentang rencana pernikahan mereka? Lala bukan seseorang yang perlu dijelaskan berkali-kali dulu sampai bisa paham. Sepertinya Marinalah yang perlu diberi penjelasan sejelas-jelasnya. Entah di bagian mana dari kalimat “Saya sudah punya tunangan” yang tidak wanita paruh baya itu pahami.“La, tolong buka pintunya.”Lala tetap bergeming.“Lala, plis, buka. Kalau kamu tetap nggak mau buka pintu terpaksa aku dobrak.”Gila! Edan! Aiden benar-benar sudah sinting!Tidak mau menimbulkan keributan lain, Lala akhirnya membuka pintu. Wajah kusut Aiden terpampang di had
“Berhenti! Apa yang kalian lakukan, hah?!”Keempat cewek itu sontak berhenti. Mereka menoleh ke sumber suara. Lala juga ikut menoleh dengan ekor matanya. Di samping mobil mewah hitam berdiri Marina dan Aiden. Mereka berdua segera menghampirinya.Aiden merengkuh Lala sambil mengumpat. Entahlah, mungkin Aiden mengumpat karena melihat wajahnya yang pasti ada lebam. Yang Lala yakin, bibirnya pasti robek karena dia merasa amis ketika meneguk ludah.“Kalian apain Lala, hah!” gigi Aiden bergemerutuk. Detik berikutnya dia mengusap sudut bibir Lala“La, ya ampun. Untung Ruli cepat nelepon aku sama mama. Kalau nggak, kamu bisa mati, La ….” Aiden memeluk Lala dan menciumi pucuk kepalanya berkali-kali.“Mati kayaknya lebih enak.” Lala tersenyum mengejek.“Ssttt! Kamu ngomong apa sih?”“Jika aku punya pilihan, aku lebih memilih mati daripada harus ketemu sama kamu lagi. Sebel
Panas, panas! Kuping Lala benar-benar panas. Pasalnya, sejak sepuluh menit setelah Lala dan Ruli pulang dari Taman Kanak-kanak, anak-anak perempuan di komplek perumahan elit ini menatap sinis padanya. Satu hal yang Lala tahu adalah mereka tidak suka Lala dekat-dekat dengan Aiden. Lala maklum, Aiden memang cowok yang most wanted, tapi acuh. Tidak heran cewek-cewek iri padanya karena berhasil dekat dengan Aiden.Dia sebenarnya dekat karena terpaksa loh, ya. Ingat baik-baik. Ter-pak-sa. Kalau ada pilihan lain kenapa harus memilih Aiden? Tapi Lala tidak ingin menceritakan kisah pilunya kepada empat orang perempuan labil ini. Nggak ada gunanya. Mereka pasti tidak akan percaya, juga. Jadi, biar sajalah mereka berpikiran miring padanya.Ruli sudah dia suruh masuk ke rumah lebih dulu. Tidak mungkin Lala meminta jagoan kecil itu tinggal bersamanya menghadapi cemoohan anak-anak manja ini. Ya, Lala menyebut mereka anak-anak manja karena di umur setua itu beraninya keroyo
Lagi-lagi Ruli menangis ketika akan ditinggal Lala pulang ke kosnya. Anak laki-laki itu terus duduk di pangkuan Lala dan memeluk lehernya erat-erat. Seolah takut Lala akan pergi ketika pelukannya melonggar sedikit saja.“Ruli … Kakak harus pulang, Sayang. Kakak nggak bisa tinggal di sini terus-terusan. Besok nanti Kakak ke sini lagi, ya?” bujuk Lala.Sayangnya Ruli kukuh menggelengkan kepala dan tangisannya semakin kuat saja.Lala akhirnya pasrah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh. Harusnya Aiden sudah pulang setengah jam yang lalu, tapi tidak. Lala berharap cowok ganteng itu ada di sini sekarang dan membantunya membujuk Ruli agar membiarkannya pulang. Sumpaaah, menginap di rumah Aiden ini enak banget. Meskipun enak begitu tetap dia tidak mau menginap di sini. Apa kata tetangga Aiden nanti? Bisa hancur nama baik keluarga Baratya karena membiarkan seorang cewek dekil menginap di rumah super mewah ini. Sialnya, baik Aiden
Lala turun dari mobil Aiden dan tergesa-gesa masuk ke taman. Tidak dipedulikannya teriakan Aiden yang menyuruhnya hati-hati. Bodo, lah! Gara-gara cowok itu dia sampai terlambat menemui Mario. Dia sudah sangat tega membiarkan kekasihnya menunggu lama. Seorang diri di taman ini.“Mas Mario!”Senyum Lala terkembang ketika Mario berlalu di hadapannya setelah membeli camilan.Mario menoleh lalu menghampiri Lala. “Hai, Sayang.” Dia menyeka keringat di pelipis gadis itu. “Kok ngos-ngosan gitu?”Lala nyengir. “Mas udah nunggu lama, ya? Maaf, Mas. Tadi ada sedikit masalah,” ujar Lala merasa sangat bersalah.Cowok berkumis tipis itu tersenyum manis dan menggeleng. “Nggak pa-pa, La. Aku juga baru datang kok. Malah aku kira kamu yang udah nunggu lama.”Dia menggenggam tangan Lala dan membawanya ke salah satu bangku taman yang menghadap danau.Mereka duduk bersisian. Mario merengkuh pingg
Lala mengerjap beberapa kali. Menyesuaikan dengan cahaya terang dari tempat asing ini. Ruangan yang serba putih. Bau obat tercium kuat semakin membuatnya pusing. Hampir muntah. Lala sungguh tidak tahan berada di sini. Ruangan yang dia yakin sebagai rumah sakit ini terasa begitu sunyi.Dia menoleh ketika pintu terbuka. Aiden masuk sambil membawa makanan. Lala bangun dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Baru diasadari di tangan kirinya tertanam selang infus. Tangannya sedikit berdenyut nyeri ketika benda itu tak sengaja tertarik.“Kamu tiduran aja dulu, La.” Aiden mengganjal punggungnya dengan bantal lain.“Aku mau pulang.”Lala memalingkan wajah karena tidak tahan mencium bau tubuh Aiden yang tidak pernah bisa dialupakan.“Nggak boleh.” Aiden mengambil kursi kecil dan duduk di samping ranjang. “Kata dokter kamu nggak boleh pulang dulu. Kumpulin stamina kamu. Baru bisa pulang.”&
Lala harus segera berhenti bekerja dengan Aiden. Pokoknya dia harus bisa melepaskan diri dari sana sebelum ketahuan ibunya. Bisa mati dirajam dia kalau sampai wanita kesayangannya itu tahu kalau dia kembali berhubungan dengan Aiden. Cowok yang sudah membuatnya dan sang ibu terpuruk selama delapan tahun.Setelah mengetahui kebenaran perasaan Aiden dari mulut Dauni saat itu, yang Lala rasakan adalah langit runtuh menimpa dirinya dan bumi menghimpit tubuhnya. Seketika itu juga Lala merasa mati adalah pilihan yang tepat daripada harus menahan hati yang terus menggaungkan luka. Tambah lagi, dia harus menanggung akibat dari perbuatan mereka saat merayakan anniversary itu.Lala pernah hamil. Lima bulan. Lalu janin yang sangat dia sayangi itu pergi meninggalkannya untuk selamanya. Padahal, Lala bersumpah akan menyayangi anak itu sepenuh hatinya. Dia rela berhenti sekolah karena tidak mau menggugurkan kandungannya.Dia tahu ibu sangat kecewa padanya. Untungnya w