Alis Lala bertaut. Pagi-pagi, jam enam, pintu kamar kosnya diketuk. Dia yang tengah sibuk menyetitka baju bangkit perlahan. Berjalan menuju pintu penuh pertimbangan. Habisnya, beberapa tahun dia tinggal di kamar sederhana ini, baru kali ini ada yang mengetuk sepagi ini. Tidak mungkin bu Meira karena wanita setengah baya itu sedang keluar kota.
Wajahnya memucat. Sambil menggigit bibir, Lala membuka pintu. Pupil matanya langsung melebar ketika melihat Aiden berdiri gagah di depan pintu kamarnya.
“Hai.” Aiden menyapa dengan senyum menawan. Senyuman yang sama persis seperti delapan tahun silam.
Lala membeku. Denyutan itu terasa lagi. Membuat sesak. Susah bernapas. Bibir Aiden yang tersungging senyum memaksanya kembali ke memori masa lalu. Indah sekaligus menyakitkan itu.
Sweet but shit!
Meskipun sudah delapan tahun berlalu, tapi sakit hatinya tidak pernah membaik. Lala dibuat heran dengan dirinya sendiri. Orang lain bisa dengan mudahnya bangkit setelah menerima kenyataan pahit di hidup mereka. Terpuruk beberapa saat, lalu kembali melangkah seperti sedia kala. Tapi dia? Senyumannya selama ini hanyalah topeng.
Sungguh, dia bukan wanita pendendam. Memaafkan Aiden sudah jauh-jauh tahun dia lakukan. Tapi untuk bertemu dengan cowok itu lagi, Lala sangat enggan. Jangan sampai kejadian!
Sialnya, takdir mempermainkannya. Pertemuan itu kembali tercipta. Secara tidak sengaja, padahal. Meskipun sudah berusaha menjauh, dia tetap dipertemukan lagi. Dan lagi. Rasanya sia-sia saja terus menghindar jika di suratan takdirnya sudah tertulis nama Aiden. Sepuluh ribu kali.
“Kamu kok bengong?”
Tangan Aiden mengelus pipi tirus Lala. Hal itu berhasil membuat Lala tersentak dan buru-buru menjauhkan tangan Aiden dari wajahnya. Dia beralih menatap Aiden murka.
“Gimana kamu bisa ada di sini?” tanya Lala tanpa mempersilakan Aiden masuk ke dalam kamar kosnya.
Aiden mengedik. “Yaaa, aku tinggal buka pintu utama dan masuk. Terus ngetuk kamar kamu,” jawabnya santai. Seolah masuk ke sini bukanlah kesalahan.
Padahal, di mata Lala, Aiden jelas salah total. Tidakkah cowok itu membaca tulisan besar di depan?
Laki-laki dilarang masuk. Kecuali orang tua penghuni kos.
Walaupun tidak ada larangan tersebut, Lala tetap tidak akan mempersilakan Aiden masuk!
Cewek itu lalu berjalan melewati ambang pintu. Menutup pintu kamarnya lalu menarik Aiden. Membawa cowok kekar itu ke teras kos.
“Ngapain kamu di sini?” desis Lala sesampainya di teras. “Kukira kita sudah sepakat tentang nggak akan tatap muka selama aku kerja sama kamu.” Tangannya diletakkan di depan dada.
Aiden menggaruk belakang kepalanya. “Maaf. Tapi, sumpah, ini yang terakhir, La.”
Wajah Lala tetap datar seperti saat pertama dia membuka pintu kamarnya. “Oke. Jadi kamu mau apa?”
“Bentar!”
Aiden berlari keluar pagar kos. Membuka pintu mobil. Tak lama kembali lagi ke teras sambil menjinjing keresek putih. Dia langsung mengulurkannya ke Lala.
“Itu apa?” Lala meneliti kresek putih di tangan Aiden tanpa berniat mengambilnya.
“Sarapan. Buat kamu.”
Cewek itu menghela napas. Memutar bola matanya sebelum akhirnya berbalik. Bermaksud masuk kembali ke dalam kamarnya dan mengunci pintu. Tidak ada gunanya meladeni Aiden pagi-pagi buta seperti ini.
“Ambil dong, La.” Aiden menahan langkahnya. “Nasi goreng sosis. Kamu dulu suka makan ini, kan?”
“Aku nggak biasa sarapan.” Lala berbalik. Memandang Aiden murka. “Kenapa kamu ngelakuin ini? Sok-sokan baik ke aku. Aku nggak perlu belas kasihan kamu. Mending pulang aja sana.”
“Tunggu! Tunggu!” Sekali lagi Aiden mencekal tangan Lala.
“Apa lagi sih?! Kamu buang-buang waktu tahu, nggak?!”
Aiden meringis sebelum berkata, “Aku ada meeting pagi ini. Jam tujuh. Bisa kan, kamu temenin Ruli dari jam segitu?”
Sebelah alis Lala terangkat. “Oke. Nanti aku ke sana.”
“Sekarang, La. Ruli aku tinggal sendiri di rumah. Dia masih tidur tadi. Aku takut sekarang dia udah bangun dan lagi nangis nyariin aku.”
Mata Lala membulat sempurna. Orang tua mana yang tega meninggalkan anaknya sendirian di rumah super besar dan super megah tanpa penjagaan?! Aiden ini benar-benar gila!
“Kamu …,” geram Lala, tidak habis pikir. “Tunggu aku ambil jaket dulu.”
Dia bergegas masuk ke kamarnya. Kembali lagi ke teras setelah dua menit. Jaket sudah terpasang di tubuhnya. Mengiring langkah Aiden menuju mobil. Sebelum duduk manis di kursi penumpang, Aiden menyampirkan jaket yang lebih tebal ke bahu Lala.
“Pakai ini sekalian. Kamu gampang masuk angin, kan?”
Lala bersiap menolak. Tapi ancaman Aiden berhasil membuatnya mengurungkan niat.
“Kalau kamu sakit dan absen satu hari dari ngasuh Ruli, gaji kamu aku potong satu juta.”
* * *
Jam lima sore. Harusnya Lala sudah berada di kosnya. Tapi dia masih di rumah besar ini. Anak tunggal Aiden menangis sesenggukan sejak setengah jam yang lalu. Melarangnya pulang. Memaksa menginap di rumahnya saja.
Nggak bisa!
Lala berjongkok. Menyejajarkan tingginya dengan tinggi Ruli. Dia mengelus pipi berisi anak laki-laki itu sambil tersenyum dan berkata, “Jangan nangis, dong. Besok kan, Kakak balik ke sini lagi.”
Ruli menyeka kasar sudut matanya dan berkata, “Asal Kakak nggak pulang, Ruli akan berhenti nangis.”
Lala tetap menyungging senyum. Meskipun, sebenarnya dia mati-matian menahan geregetannya. “Nggak bisa, Ruli …. Kakak punya kucing di rumah. Kasian kucingnya kalau Kakak nggak pulang. Siapa yang mau beri makan coba?” kilahnya, berbohong.
Ruli menangis lagi. “Kucingnya bawa ke sini aja. Ruli suka kucing kok.”
Seperempat jam kemudian, Lala masih ada di rumah superbesar ini. Meskipun Ruli sudah berhenti menangis, tapi dia tetap tidak bisa pulang karena anak itu tertidur di pangkuannya. Ingin meninggalkan Ruli seorang diri, dia tidak tega. Terpaksa dia menunggu sampai Aiden pulang.
Setelah cukup lama menunggu, Aiden akhirnya pulang. Cowok itu terkejut ketika melihat Lala masih ada di rumahnya dengan tampang kusut.
“Ruli?” Alis Aiden naik sebelah ketika melihat Ruli yang meringkuk di pangkuan Lala.
“Kecapekan. Habis nangis tadi.”
“Nangis?” Aiden menghampiri Lala yang duduk di sofa. Dia mengambil Ruli dari pangkuan Lala dengan hati-hati.
“Dia nggak mau aku pulang.” Lala mengambil tas kecilnya sebelum beranjak dari ruang tamu menuju pintu.
Ketika tangannya terulur menarik gagang, suara cempreng mengagetkannya. Tahu-tahu, Ruli sudah memeluk tubuh bagian bawahnya erat-erat.
“Ruli … Kakak harus pulang.”
“Nggak mau! Nggak mau! Kakak nggak boleh pulang!”
Cewek itu menghembuskan napas keras-keras. Lalu memandang Aiden, meminta pertolongan. Sayangnya cowok itu hanya menggaruk belakang kepala sambil meringis.
“Oke deh. Kakak nggak akan pulang.”
Ruli dan Aiden tersentak bersamaan. Dua-duanya menyiratkan raut senang di wajah mereka. Ruli dengan polosnya melonjak kegirangan. Dia menarik tangan Lala menuju sofa. Menyuruhnya duduk di samping papanya. Sedangkan dia naik ke pangkuan sang papa.
“Kakak tidur sama Ruli nanti, ya.”
“Bukannya Ruli tidur sama papa?”
Ruli mengangguk antusias. “Iya. Kakak tidur bareng-bareng kami.”
Lala kontan membelalakkan mata. “Nggak bisa, Sayang. Nggak boleh kayak gitu.”
“Kenapa nggak boleh?” tanya Ruli polos.
“Ya, enggak boleh aja. Kakak nanti tidur di kamar lain aja.”
Aiden yang semula diam mendengarkan sambil mengulum senyum, menyahut. “Masalahnya kamar lain sudah jadi gudang, La. Diisi mainan Ruli.”
“Kalau gitu aku tidur di sofa aja,” putus Lala.
Dan Lala memang tidur di sofa pada akhirnya. Bahkan sofa berwarna merah hati ini lebih nyaman daripada kasur butut di kosnya. Aiden juga memberikannya selimut tebal, lembut dan harum. Jauh beda dengan selimut di kosnya.
Lala semakin menyamankan punggungnya di sofa. Jadi orang kaya enak banget, ya.
Dia meraih ponselnya yang terletak di atas meja. Ada pesan dari tante yang mengatakan kondisi mamanya sudah jauh lebih baik. Lalu pesan kedua, menanyakan di mana Lala dapat uang untuk membayar biaya rumah sakit dan obat-obatan. Untuk yang satu ini Lala tidak akan mengatakannya. Jika mamanya tahu Lala kembali berhubungan dengan Aiden, wanita setengah baya itu pasti akan langsung membunuhnya.
Jam berdentang sepuluh kali. Lala kembali meletakkan ponselnya ke meja sebelum menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Dia memejamkan mata. Tak lama kemudian, napasnya mulai teratur.
* * *
Lala tersentak dari tidur ketika mendengar bunyi deringan jam di belakangnya. Setan mana yang sudah berani mengganggu acara tidur sakralnya? Ini adalah saat tidur paling nyaman selama dia berada di kota ini.
Dua hal postif dari Aiden adalah uangnya dan sofanya yang sangat empuk.
Jam itu masih berdering. Lala enggan bangun walaupun hanya untuk mematikannya. Jam laknat itu akhirnya berhenti berteriak setelah seseorang mematikannya. Entah seseorang yang mematikannya, atau berhenti sendiri. Lala tidak mau ambil pusing.
Lalu, masih dalam keadaan setengah tidur, Lala merasa ada tangan yang melingkar di pinggangnya. Pucuk kepalanya dicium bertubi-tubi seiring mengeratnya pelukan di pinggangnya. Situasi yang aneh ini mengharuskan Lala membuka matanya. Tapi kenapa sepasang indera penglihatan ini masih sibuk bersembunyi di bawah kelopaknya?
Aneh, tapi nyaman. Sangat nyaman. Alih-alih bangun dan melihat keadaan, Lala malah semakin terbuai. Detik selanjutnya, dia kembali larut dalam mimpinya.
Sedangkan Aiden, orang yang memeluk Lala, membuka matanya. Cewek itu sudah dia pindahkan ke kamarnya tanpa sepengetahuannya.
Memeluk tubuh kurus Lala seperti ini membuat hatinya menghangat.
“Maaf ya, La. Tapi tolong buka hati kamu sekali lagi untuk aku. Kasih aku kesempatan untuk menebus kesalahan aku di masa lalu.”
Setetes airmata keluar dari sudut mata Aiden sebelum akhirnya dia ikut memejamkan mata. Hari ini dia sudah memutuskan akan datang telat ke kantor demi bisa bersama Lala lebih lama. Karena hanya pada saat Lala tidurlah Aiden bisa memandangi wajahnya lebih lama. Kalau mata indah itu sudah terbuka, dia tidak akan bisa melakukan apa-apa.
Sepulang dari sekolah, Lala duduk di sofa menemani Ruli belajar membaca. Setelah selesai merapikan rumah –yang-sebenarnya-tidak-pernah-berantakan-, tapi karena Lala merasa sungkan, digaji puluhan juta sedangkan kerjaannya semrawutan. Akhirnya dia secara sukarela menjadi pembantu di sini. Bersih-bersih rumah, menyiapkan makan siang untuk Ruli dan mencuci piring. Bahkan semua itu tidak sepadan dengan gajinya yang luar biasa.Aiden memang gila. Rela mengeluarkan uang puluhan juta cuma untuk membayar tenaganya yang tidak seberapa. Tanpa sadar Lala menggelengkan kepala. Dia kembali memerhatikan Ruli yang sibuk menulis huruf-huruf di bukunya. Lala akui, anak Aiden ini, kepintarannya di atas rata-rata. Saat anak seusianya masih sibuk menghapal huruf, dia sudah bisa membaca. Saat anak-anak lain masih menghapal angka, Ruli sudah hapal perkalian tiga. Gila!Pasti otak encernya ketularan sang papa. Lala ingat saat masih SMA Aiden pasti, selalu, memenangkan olimpiade. Membua
Lala menyesal karena sudah menerima tawaran Aiden untuk bekerja dengannya. Semuanya jadi runyam. Hidupnya yang sekarang, juga yang akan datang semakin tidak jelas arahnya. Harusnya dia menolak saja tawaran Aiden itu. Peduli setan dengan gaji puluhan juta jika akhirnya akan begini jadinya. Dia merasa semakin terperosok jauh ke dalam lubang gelap. Semakin gelap ketika Marina mengatakan sepatah kalimat yang tidak pernah Lala sangka sebelumnya.“Menikah dengan Aiden, ya, La.”Menikah dengan Aiden? Sialan! Gila apa?! Menikah dengan Aiden tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Bahkan bertemu dengan cowok itu pun tidak pernah dia harapkan. Dia sudah bertekad akan berhenti bekerja dengan Aiden ketika ibunya sudah sembuh. Lala yakin itu tidak akan lama lagi. Karena kata tante, kesehatan ibunya sudah jauh lebih baik.Hanya satu niatnya berkerja untuk Aiden. Uang. Adien adalah ATM berjalannya. Setelah dia tidak
Lala harus segera berhenti bekerja dengan Aiden. Pokoknya dia harus bisa melepaskan diri dari sana sebelum ketahuan ibunya. Bisa mati dirajam dia kalau sampai wanita kesayangannya itu tahu kalau dia kembali berhubungan dengan Aiden. Cowok yang sudah membuatnya dan sang ibu terpuruk selama delapan tahun.Setelah mengetahui kebenaran perasaan Aiden dari mulut Dauni saat itu, yang Lala rasakan adalah langit runtuh menimpa dirinya dan bumi menghimpit tubuhnya. Seketika itu juga Lala merasa mati adalah pilihan yang tepat daripada harus menahan hati yang terus menggaungkan luka. Tambah lagi, dia harus menanggung akibat dari perbuatan mereka saat merayakan anniversary itu.Lala pernah hamil. Lima bulan. Lalu janin yang sangat dia sayangi itu pergi meninggalkannya untuk selamanya. Padahal, Lala bersumpah akan menyayangi anak itu sepenuh hatinya. Dia rela berhenti sekolah karena tidak mau menggugurkan kandungannya.Dia tahu ibu sangat kecewa padanya. Untungnya w
Lala mengerjap beberapa kali. Menyesuaikan dengan cahaya terang dari tempat asing ini. Ruangan yang serba putih. Bau obat tercium kuat semakin membuatnya pusing. Hampir muntah. Lala sungguh tidak tahan berada di sini. Ruangan yang dia yakin sebagai rumah sakit ini terasa begitu sunyi.Dia menoleh ketika pintu terbuka. Aiden masuk sambil membawa makanan. Lala bangun dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Baru diasadari di tangan kirinya tertanam selang infus. Tangannya sedikit berdenyut nyeri ketika benda itu tak sengaja tertarik.“Kamu tiduran aja dulu, La.” Aiden mengganjal punggungnya dengan bantal lain.“Aku mau pulang.”Lala memalingkan wajah karena tidak tahan mencium bau tubuh Aiden yang tidak pernah bisa dialupakan.“Nggak boleh.” Aiden mengambil kursi kecil dan duduk di samping ranjang. “Kata dokter kamu nggak boleh pulang dulu. Kumpulin stamina kamu. Baru bisa pulang.”&
Lala turun dari mobil Aiden dan tergesa-gesa masuk ke taman. Tidak dipedulikannya teriakan Aiden yang menyuruhnya hati-hati. Bodo, lah! Gara-gara cowok itu dia sampai terlambat menemui Mario. Dia sudah sangat tega membiarkan kekasihnya menunggu lama. Seorang diri di taman ini.“Mas Mario!”Senyum Lala terkembang ketika Mario berlalu di hadapannya setelah membeli camilan.Mario menoleh lalu menghampiri Lala. “Hai, Sayang.” Dia menyeka keringat di pelipis gadis itu. “Kok ngos-ngosan gitu?”Lala nyengir. “Mas udah nunggu lama, ya? Maaf, Mas. Tadi ada sedikit masalah,” ujar Lala merasa sangat bersalah.Cowok berkumis tipis itu tersenyum manis dan menggeleng. “Nggak pa-pa, La. Aku juga baru datang kok. Malah aku kira kamu yang udah nunggu lama.”Dia menggenggam tangan Lala dan membawanya ke salah satu bangku taman yang menghadap danau.Mereka duduk bersisian. Mario merengkuh pingg
Lagi-lagi Ruli menangis ketika akan ditinggal Lala pulang ke kosnya. Anak laki-laki itu terus duduk di pangkuan Lala dan memeluk lehernya erat-erat. Seolah takut Lala akan pergi ketika pelukannya melonggar sedikit saja.“Ruli … Kakak harus pulang, Sayang. Kakak nggak bisa tinggal di sini terus-terusan. Besok nanti Kakak ke sini lagi, ya?” bujuk Lala.Sayangnya Ruli kukuh menggelengkan kepala dan tangisannya semakin kuat saja.Lala akhirnya pasrah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh. Harusnya Aiden sudah pulang setengah jam yang lalu, tapi tidak. Lala berharap cowok ganteng itu ada di sini sekarang dan membantunya membujuk Ruli agar membiarkannya pulang. Sumpaaah, menginap di rumah Aiden ini enak banget. Meskipun enak begitu tetap dia tidak mau menginap di sini. Apa kata tetangga Aiden nanti? Bisa hancur nama baik keluarga Baratya karena membiarkan seorang cewek dekil menginap di rumah super mewah ini. Sialnya, baik Aiden
Panas, panas! Kuping Lala benar-benar panas. Pasalnya, sejak sepuluh menit setelah Lala dan Ruli pulang dari Taman Kanak-kanak, anak-anak perempuan di komplek perumahan elit ini menatap sinis padanya. Satu hal yang Lala tahu adalah mereka tidak suka Lala dekat-dekat dengan Aiden. Lala maklum, Aiden memang cowok yang most wanted, tapi acuh. Tidak heran cewek-cewek iri padanya karena berhasil dekat dengan Aiden.Dia sebenarnya dekat karena terpaksa loh, ya. Ingat baik-baik. Ter-pak-sa. Kalau ada pilihan lain kenapa harus memilih Aiden? Tapi Lala tidak ingin menceritakan kisah pilunya kepada empat orang perempuan labil ini. Nggak ada gunanya. Mereka pasti tidak akan percaya, juga. Jadi, biar sajalah mereka berpikiran miring padanya.Ruli sudah dia suruh masuk ke rumah lebih dulu. Tidak mungkin Lala meminta jagoan kecil itu tinggal bersamanya menghadapi cemoohan anak-anak manja ini. Ya, Lala menyebut mereka anak-anak manja karena di umur setua itu beraninya keroyo
“Berhenti! Apa yang kalian lakukan, hah?!”Keempat cewek itu sontak berhenti. Mereka menoleh ke sumber suara. Lala juga ikut menoleh dengan ekor matanya. Di samping mobil mewah hitam berdiri Marina dan Aiden. Mereka berdua segera menghampirinya.Aiden merengkuh Lala sambil mengumpat. Entahlah, mungkin Aiden mengumpat karena melihat wajahnya yang pasti ada lebam. Yang Lala yakin, bibirnya pasti robek karena dia merasa amis ketika meneguk ludah.“Kalian apain Lala, hah!” gigi Aiden bergemerutuk. Detik berikutnya dia mengusap sudut bibir Lala“La, ya ampun. Untung Ruli cepat nelepon aku sama mama. Kalau nggak, kamu bisa mati, La ….” Aiden memeluk Lala dan menciumi pucuk kepalanya berkali-kali.“Mati kayaknya lebih enak.” Lala tersenyum mengejek.“Ssttt! Kamu ngomong apa sih?”“Jika aku punya pilihan, aku lebih memilih mati daripada harus ketemu sama kamu lagi. Sebel
Jaga jarak adalah hal yang Lala gaung-gaungkan sejak lima menit yang lalu mereka sampai di mal ini. Dia hanya tidak mau orang-orang menggunjingkannya. Masalahnya bukan di dirinya saja, tapi di Aiden juga akan digunjingkan. Bayangkan kalau Aiden yang notabenenya adalah pewaris tunggal perusahaan Baratya kedapatan jalan dengan wanita dekil sepertinya. Pasti akan gempar seantero jagat raya. Tapi ujung-ujungnya yang di-judge pasti Lala. Yang tidak bersalah menjadi bersalah karena mereka bukan siapa-siapa. Iya, kan? Lala tahu betul itu karena dia sering mengalaminya.Belum lagi jika dia ketahuan Mario. Bisa sangat gawat ceritanya. Lalu, dari Mario sampai ke tante dan ibunya. Duh, bener deh! Lala pasti akan mati dirajam! Ini meskipun Aiden sudah Lala suruh menyamar dengan memakai topi dan kacamata hitam, tetap saja perempuan itu masih ketar-ketir.“La, aku sudah pakai topi sama kacamata gini lho! Kok kamu masih nggak mau jalan di samping aku?” Aiden yang
Urusan menata hati itu hanya menjadi daftar nomor sekian di hidup Lala yang sekarang. Mulai saat ini dia berusaha memainkan peran sebagai seorang mama yang baik untuk anak berumur lima tahun yang sangat haus kasih sayang mamanya. Lala rela mengesampingkan jeritan perih hatinya ketika Aiden memberikan perlakuan manis. Seperti mengelap sudut bibirnya yang belepotan minyak atau cokelat, menuangkan segelas air untuknya, mengikat rambutnya saat tangannya kotor. Dan banyak lagi perlakuan manis yang Aiden lakukan di depan Ruli.Ingat, La. Semua ini demi Ruli. Setidaknya, berkat ini dia berharap Ruli tidak tumbuh besar menjadi anak nakal.“Besok Ruli ulang tahun.” Aiden mengagetkan Lala yang sibuk memasak sarapan. Cowok itu melingkarkan tangannya di perut Lala dan menopangkan dagunya di tengkuk Lala.“Lepas, Mas.” Lala berontak kecil dalam dekapan Aiden. “Ruli lagi tidur, kan? Kita sepakat nggak kontak fisik kalau nggak ada Ruli di sekitar
Pintu kamar kos Lala diketuk berkali-kali, tapi perempuan itu tidak beranjak sejengkalpun dari tempat tidurnya untuk membukakan pintu. Dia tahu siapa gerangan yang ada di balik pintu itu. Siapa lagi kalau bukan Aiden. Sudah sepuluh menit cowok itu memintanya membuka pintu kamar dan meminta Lala mendengarkan penjelasannya.Menjelaskan tentang apalagi sih? Tentang rencana pernikahan mereka? Lala bukan seseorang yang perlu dijelaskan berkali-kali dulu sampai bisa paham. Sepertinya Marinalah yang perlu diberi penjelasan sejelas-jelasnya. Entah di bagian mana dari kalimat “Saya sudah punya tunangan” yang tidak wanita paruh baya itu pahami.“La, tolong buka pintunya.”Lala tetap bergeming.“Lala, plis, buka. Kalau kamu tetap nggak mau buka pintu terpaksa aku dobrak.”Gila! Edan! Aiden benar-benar sudah sinting!Tidak mau menimbulkan keributan lain, Lala akhirnya membuka pintu. Wajah kusut Aiden terpampang di had
“Berhenti! Apa yang kalian lakukan, hah?!”Keempat cewek itu sontak berhenti. Mereka menoleh ke sumber suara. Lala juga ikut menoleh dengan ekor matanya. Di samping mobil mewah hitam berdiri Marina dan Aiden. Mereka berdua segera menghampirinya.Aiden merengkuh Lala sambil mengumpat. Entahlah, mungkin Aiden mengumpat karena melihat wajahnya yang pasti ada lebam. Yang Lala yakin, bibirnya pasti robek karena dia merasa amis ketika meneguk ludah.“Kalian apain Lala, hah!” gigi Aiden bergemerutuk. Detik berikutnya dia mengusap sudut bibir Lala“La, ya ampun. Untung Ruli cepat nelepon aku sama mama. Kalau nggak, kamu bisa mati, La ….” Aiden memeluk Lala dan menciumi pucuk kepalanya berkali-kali.“Mati kayaknya lebih enak.” Lala tersenyum mengejek.“Ssttt! Kamu ngomong apa sih?”“Jika aku punya pilihan, aku lebih memilih mati daripada harus ketemu sama kamu lagi. Sebel
Panas, panas! Kuping Lala benar-benar panas. Pasalnya, sejak sepuluh menit setelah Lala dan Ruli pulang dari Taman Kanak-kanak, anak-anak perempuan di komplek perumahan elit ini menatap sinis padanya. Satu hal yang Lala tahu adalah mereka tidak suka Lala dekat-dekat dengan Aiden. Lala maklum, Aiden memang cowok yang most wanted, tapi acuh. Tidak heran cewek-cewek iri padanya karena berhasil dekat dengan Aiden.Dia sebenarnya dekat karena terpaksa loh, ya. Ingat baik-baik. Ter-pak-sa. Kalau ada pilihan lain kenapa harus memilih Aiden? Tapi Lala tidak ingin menceritakan kisah pilunya kepada empat orang perempuan labil ini. Nggak ada gunanya. Mereka pasti tidak akan percaya, juga. Jadi, biar sajalah mereka berpikiran miring padanya.Ruli sudah dia suruh masuk ke rumah lebih dulu. Tidak mungkin Lala meminta jagoan kecil itu tinggal bersamanya menghadapi cemoohan anak-anak manja ini. Ya, Lala menyebut mereka anak-anak manja karena di umur setua itu beraninya keroyo
Lagi-lagi Ruli menangis ketika akan ditinggal Lala pulang ke kosnya. Anak laki-laki itu terus duduk di pangkuan Lala dan memeluk lehernya erat-erat. Seolah takut Lala akan pergi ketika pelukannya melonggar sedikit saja.“Ruli … Kakak harus pulang, Sayang. Kakak nggak bisa tinggal di sini terus-terusan. Besok nanti Kakak ke sini lagi, ya?” bujuk Lala.Sayangnya Ruli kukuh menggelengkan kepala dan tangisannya semakin kuat saja.Lala akhirnya pasrah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh. Harusnya Aiden sudah pulang setengah jam yang lalu, tapi tidak. Lala berharap cowok ganteng itu ada di sini sekarang dan membantunya membujuk Ruli agar membiarkannya pulang. Sumpaaah, menginap di rumah Aiden ini enak banget. Meskipun enak begitu tetap dia tidak mau menginap di sini. Apa kata tetangga Aiden nanti? Bisa hancur nama baik keluarga Baratya karena membiarkan seorang cewek dekil menginap di rumah super mewah ini. Sialnya, baik Aiden
Lala turun dari mobil Aiden dan tergesa-gesa masuk ke taman. Tidak dipedulikannya teriakan Aiden yang menyuruhnya hati-hati. Bodo, lah! Gara-gara cowok itu dia sampai terlambat menemui Mario. Dia sudah sangat tega membiarkan kekasihnya menunggu lama. Seorang diri di taman ini.“Mas Mario!”Senyum Lala terkembang ketika Mario berlalu di hadapannya setelah membeli camilan.Mario menoleh lalu menghampiri Lala. “Hai, Sayang.” Dia menyeka keringat di pelipis gadis itu. “Kok ngos-ngosan gitu?”Lala nyengir. “Mas udah nunggu lama, ya? Maaf, Mas. Tadi ada sedikit masalah,” ujar Lala merasa sangat bersalah.Cowok berkumis tipis itu tersenyum manis dan menggeleng. “Nggak pa-pa, La. Aku juga baru datang kok. Malah aku kira kamu yang udah nunggu lama.”Dia menggenggam tangan Lala dan membawanya ke salah satu bangku taman yang menghadap danau.Mereka duduk bersisian. Mario merengkuh pingg
Lala mengerjap beberapa kali. Menyesuaikan dengan cahaya terang dari tempat asing ini. Ruangan yang serba putih. Bau obat tercium kuat semakin membuatnya pusing. Hampir muntah. Lala sungguh tidak tahan berada di sini. Ruangan yang dia yakin sebagai rumah sakit ini terasa begitu sunyi.Dia menoleh ketika pintu terbuka. Aiden masuk sambil membawa makanan. Lala bangun dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Baru diasadari di tangan kirinya tertanam selang infus. Tangannya sedikit berdenyut nyeri ketika benda itu tak sengaja tertarik.“Kamu tiduran aja dulu, La.” Aiden mengganjal punggungnya dengan bantal lain.“Aku mau pulang.”Lala memalingkan wajah karena tidak tahan mencium bau tubuh Aiden yang tidak pernah bisa dialupakan.“Nggak boleh.” Aiden mengambil kursi kecil dan duduk di samping ranjang. “Kata dokter kamu nggak boleh pulang dulu. Kumpulin stamina kamu. Baru bisa pulang.”&
Lala harus segera berhenti bekerja dengan Aiden. Pokoknya dia harus bisa melepaskan diri dari sana sebelum ketahuan ibunya. Bisa mati dirajam dia kalau sampai wanita kesayangannya itu tahu kalau dia kembali berhubungan dengan Aiden. Cowok yang sudah membuatnya dan sang ibu terpuruk selama delapan tahun.Setelah mengetahui kebenaran perasaan Aiden dari mulut Dauni saat itu, yang Lala rasakan adalah langit runtuh menimpa dirinya dan bumi menghimpit tubuhnya. Seketika itu juga Lala merasa mati adalah pilihan yang tepat daripada harus menahan hati yang terus menggaungkan luka. Tambah lagi, dia harus menanggung akibat dari perbuatan mereka saat merayakan anniversary itu.Lala pernah hamil. Lima bulan. Lalu janin yang sangat dia sayangi itu pergi meninggalkannya untuk selamanya. Padahal, Lala bersumpah akan menyayangi anak itu sepenuh hatinya. Dia rela berhenti sekolah karena tidak mau menggugurkan kandungannya.Dia tahu ibu sangat kecewa padanya. Untungnya w