"Mas Daffa jadi ke Amerika?"
Pertanyaan sang asisten membuat pria itu menghentikan aktivitasnya. "Jadi Ray, besok aku akan berangkat. Aku titip perusahaan," jawabnya dengan tersenyum "Dengan senang hati mas, salam ya buat keluarga di sana." Hari pun semakin sore, Daffa memutuskan untuk pulang terlebih dahulu karena dia harus bersiap untuk perjalanan ke Amerika besok. Saat di lampu merah Daffa memandang di luar jendela sambil menunggu lampu hijau, berbeda dengan CEO yang lebih senang menggunakan jasa sopir, Daffa malah sebaliknya, dia lebih suka mengendarai mobilnya sendiri. Tepat di samping kiri mobilnya, tampak seorang wanita yang mengendarai sepeda motor bututnya kemudian wanita itu memarkir motornya dan turun dari aspal. Hal yang membuat Daffa tak melepas pandangannya adalah saat sang wanita berlari menolong nenek-nenek yang hendak menyebrang jalan. "Jaman sekarang ternyata masih ada yang memiliki jiwa sosial tinggi," gumam Daffa lalu melajukan mobilnya karena sudah lampu hijau. Daffa mengendarai mobilnya dengan santai, bibirnya selalu mengukirkan senyuman. Dia sungguh rindu dengan keluarganya yang hidup di luar negeri. Lebih tepatnya dia merindukan Kaka iparnya, dulu sebelum menikah dengan kakaknya, Kaka Iparnya adalah wanita yang amat sangat Daffa cintai. Sesampainya di apartemen, Daffa merebahkan dirinya di kasur, dia mengambil ponsel di sakunya lalu memandangi foto kakak iparnya. "Aku kangen sekali Put, ingin rasanya aku memelukmu saat ini." Penyesalan datang menggerogoti hati CEO itu, seandainya dulu dia memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya tentu saat ini wanita itu akan menjadi miliknya. "Kini tinggallah aku di sini dengan penyesalan yang menggerogoti jiwa yang selalu saja menyiksaku Put." Matanya berkaca, sungguh berat hidup tanpa sang kekasih. "Biasanya aku selalu bertahan cukup dengan senyummu namun kali ini berat sekali menjalani hidup tanpa senyummu." Daffa berkali-kali mencium foto si wanita di wallpaper ponselnya. Setelah puas Daffa memutuskan untuk membersihkan diri. Selesai mandi, Ray menghubunginya, dia mengatakan ada masalah besar yang mana jika masalah ini tidak segera diselesaikan proyek terhenti dan perusahaan akan rugi ratusan milyar. Mendengar kabar dari Ray, membuat Daffa menjadi frustasi pasalnya dia harus menunda keberangkatannya ke Amerika karena masalah ini. "Brengsek, ada saja masalah," umpat Daffa. Keesokannya Daffa dengan serius memeriksa berkas-berkas yang dibawa oleh Ray, netra nya menjelajah satu persatu torehan tinta hitam yang berbaris rapi di atas kertas. Tampak raut wajah yang berubah, tangannya juga mengepal yang menandakan dia tengah marah. Plak Daffa meletakkan berkasnya dengan kasar di meja, Ray yang duduk berseberangan dengannya menjadi kaget. "Hampir saja jantungku copot," batin Ray dengan mengelus dadanya "Jadi hanya karena satu orang ini, proyek kita belum dimulai?" tanya Daffa dengan suara meninggi. "Benar Pak hanya tinggal satu orang ini bahkan kita sudah menawarkan harga yang tinggi daripada lainnya namun tetap saja dia tidak mau menjualnya," jawab Ray sedikit takut. "Temui dia lagi, naikkan harganya. Bagaimanapun caranya kita harus mendapatkan tanah itu." Terukir senyum licik di bibir sang CEO. Karena sudah tidak ada yang dibicarakan, Ray pamit undur diri untuk menjalankan perintah Daffa. Ray adalah sepupu Daffa, dia direkrut Daffa untuk menjadi asistennya karena kepintaran yang dia miliki, selain itu Ray adalah lulusan terbaik di kampus. Keesokannya Ray dan para bodyguard datang di sebuah restoran yang tidak begitu besar, dia ingin menemui wanita tersebut. Ray mendatangi pelayan, dia meminta ijin untuk bertemu dengan manager atau pemilik restoran tersebut. "Tolong panggilkan manager karena saya ingin bertemu." Salah satu pelayan pergi ke ruangan pemilik restoran untuk melaksanakan titah Ray. "Selamat pagi pak, di luar ada orang yang ingin bertemu dengan bapak." Pemilik restoran mengangguk, kemudian dia mengkode si pelayan agar keluar. Tau siapa yang datang pak Sony sedikit gugup, bagaimana bisa seorang asisten sebuah perusahaan besar datang ke restorannya. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya pak Sony. "Maaf mengganggu waktunya, kami suruhan dari pak Daffa Anderson dari Anderson Group. Maksud kedatangan kami kesini ingin menemui salah satu karyawan bapak yang bernama Rosella putri." Suara Ray begitu tegas. Ada masalah apa? kenapa orang suruhan Anderson Grup mencari Rosella? kepala Pak Sony dipenuhi pertanyaan itu, tapi dia segera masuk ke dalam untuk memanggil karyawannya yang bernama Rosella. "Ros, seseorang utusan dari Daffa Anderson mencari mu, temui mereka sekarang." Rosela bingung, ada apa? kerutan demi kerutan bermunculan di dahinya, buru-buru dia melepas afron yang dia kenakan lalu keluar. Melihat para bodyguard yang banyak serta wajah mereka yang serius membuat Rosella gugup layaknya pak Sony tadi. "Permisi tuan tuan, ada apa kalian mencari saya?" Netranya memutar melihat satu persatu wajah pria-pria yang ada di depannya. "Duduklah nona." Melihat wajah tampan Ray membuat Rosela terpana, apalagi sikap pria itu sopan terhadapnya. "Cakep sekali pria ini?"batin Rosella dengan terus menatap Ray. Bukannya duduk, Rosella malah melamun sembari menatap wajah tampan Ray. "Nona Rosella, apa anda mendengar saya?" Mendengar kata-kata Ray, Rosella tersentak dan sadar dari lamunannya. "Eh iya pak,"sahutnya. Ray mempersilakan Rosella untuk duduk di seberangnya lalu dia mengeluarkan berkas-berkas yang tadi sudah dipersiapkan. "Kami harap nona bisa bekerja sama dengan kami, kami memberi harga tertinggi untuk nona jadi jual lah tanah nona pada kami." Ray berusaha membujuk Rosella dengan sopan. Netra Rosella menyusuri setiap goresan tinta hitam pada berkas yang dipegangnya setelah puas membaca semuanya Rosella menyunggingkan senyuman, hilang sudah rasa kagum terhadap Ray, dan kini yang ada hanya rasa kesal. "Jadi kalian yang membujuk aku beberapa hari yang lalu!" Wanita itu menatap Ray dengan tatapan kesal., "Hey....Tuan-tuan sampai kapan pun aku tak akan menjual tanah itu pada kalian, sudahlah percuma kalian membujukku." Rosella lalu pamit dan pergi begitu saja meninggalkan Ray dan bodyguardnya. "Brengsek sekali wanita itu," umpat Ray. Karena tidak mendapatkan apa yang di mau, Ray dan bodyguardnya kembali ke kantor dengan tangan kosong. Brak.... Daffa menggebrak meja, "Besok aku sendiri yang akan menemuinya, awas saja jika dia masih bersikeras." Setelah kepulangan para rombongan suruhan Daffa, terjadi lah kegaduhan di restoran tempat Rosella bekerja. Pak Sony sang pemilik restoran sungguh kepo dengan apa yang terjadi. Segera dia memanggil Rosella ke ruangannya. "Ros, kenapa suruhan Daffa Anderson mencari mu? apa kamu mengenal mereka?" tanya pak Sony dengan penasaran tingkat dewa. Ntah dapat bisikan dari mana, Rosella langsung saja menjawab, "Mereka disuruh Daffa Anderson untuk melamar saya namun karena saya belum memikirkan pernikahan, saya pun menolaknya." Pak Sony membulatkan matanya dengan sempurna tanpa terasa mulutnya juga ikut terbuka. "Apa Rose?" teriak Pak Sony antusias. "Iya Pak, Dia ingin menjadikan saya istrinya namun saya tidak mau." Sebenarnya Rosella menahan tawannya, sungguh pemilik restoran mudah sekali dia bohongi. "Rasain aku bohongin, jadi orang kepo sekali," batin Rose. "Kalian bertemu di mana Rose? bagaimana bisa seorang Daffa Anderson bertemu denganmu yang hanya seorang Chef abal-abal?" Di bilang chef abal-abal membuat Rose kesal, meski tidak memiliki skill memasak layaknya koki terkenal tapi masakan Rose tidak boleh diragukan, semua pelanggan datang karena masakannya. Drama masih berlanjut, Rose bersiap membuat cerita epik selanjutnya. "Beberapa waktu yang lalu kami tak sengaja bertemu di sebuah mall, mungkin saat melihat saya dia jatuh cinta pada pandangan pertama pak, seperti yang di film-film," ujar Rose sembari menutup mulutnya. Pak Sony tercengang namun ucapan sesaatnya membuat Rose kesal, "Apa menariknya dari kamu Rose sehingga seorang Daffa jatuh cinta padamu." "Pak Sony nggak boleh begitu, setiap orang memiliki daya tarik sendiri." Rose kembali membual pada pak Sony, banyak hal-hal yang dia ceritakan namun semua adalah bohong dan bodohnya pak Sony percaya kata-kata Rosella. Tepat di samping ruangan pak Sony, ada ruangan khusus VIP, sehingga sedikit banyak orang yang duduk di ruang VIP tersebut bisa mendengar apapun yang dibicarakan. Siapa sangka seorang wartawan dari media terkenal duduk dan makan disana, mendengar bualan Rosela tentu sangat menggembirakan hatinya. "Akan menjadi berita besar." Senyuman terukir di bibir pria itu. Benar saja, keesokannya berita tentang Rose dan Daffa menyebar luas. Bahkan menjadi headline dimana-mana, satu negara dibuat shock dengan berita hoax yang Rosella buat. Semenjak mencuatnya berita hoax itu banyak wartawan yang datang ke restoran mencari Rosella untuk diwawancarai. Rosella bingung sendiri atas cerita hoax yang telah dia buat. Banyaknya pertanyaan yang para wartawan lontarkan sehingga Rosella bingung "Apa benar anda adalah wanitanya Daffa Anderson? bagaimana bisa anda bisa bertemu dengannya? apa anda akan segera menikah?" Dia diberondong banyak pertanyaan. "Ah.... Sudahlah tinggal jawab saja, lagipula aku tak kenal dengan Daffa, dia juga tak mengenalku. Nanti tinggal minta maaf saja." Rosella bermonolog dengan dirinya di dalam hati. "Apa hubungan anda dengan tuan Daffa nona?" tanya wartawan lagi, mereka berharap jawaban dari Rosella. "Awalnya kami tak mempunyai hubungan apa apa, waktu itu kami bertemu di sebuah mall. Mungkin dia jatuh cinta pada pandangan pertama lalu dia mengajak aku untuk menikah namun aku menolaknya. Tentu aku pikir-pikir dulu dong untuk menerima cintanya," jawab Rose dengan percaya diri. Mereka semua percaya atas bualan Rosella seperti pak Sony. "Kenapa anda tidak mau nona, padahal pak Daffa adalah seorang CEO yang hebat. Selain hebat dia juga sangat tampan, para wanita ingin bersanding dengannya namun kenapa anda malah pikir-pikir dulu?" tanya para wartawan lagi. "Iya sih, tapi sebagai cewek harus jual mahal dong jangan langsung mau." Setelah wawancara selesai Rosella meminta ijin pak Sony untuk pulang lebih awal, sungguh dia pusing dengan banyaknya wartawan. "Silahkan Rose." Berbeda dengan Rose, justru pak Sony sangat senang akan berita tersebut sehingga restorannya sangat ramai dan terkenal. "Maafkan aku Daffa Anderson karena sudah membual."Rose melajukan motornya namun sebelum pulang dia mampir dulu ke mini market untuk membeli makanan dan minuman, daripada nanti harus keluar lagi. Begitu pula dengan Daffa, setelah meeting dengan klien dia mampir ke mini market untuk membeli rokok dan minuman. Melihat ada seorang pengemis membuat Rosella iba, "Kasian sekali nenek itu, kira-kira sudah makan atau belum ya?" batin Rosella sambil melihat isi dari kantong plastik yang dibawanya. Rosella berniat untuk memberikan separuh makanan yang dia beli untuk pengemis itu. Dengan senyuman yang mengembang di bibirnya, Rosella melangkahkan kaki menuju tempat dimana nenek itu duduk. "Sedikit rejeki buat nenek." Rosella menyodorkan makanan dan minuman. "Terima kasih nak, semoga Tuhan membalas kebaikanmu." Nenek pun berdoa atas kebaikan Rosella. Meski hanya doa kecil yang diucapkan sang nenek, Rosella begitu bahagia. Setelah itu Rosella mengendarai motornya dan berlalu. Melihat Rosella, Daffa pun menyunggingkan senyuman, dia sungguh s
Malam itu saat Rosella bersantai dia mendapat pemberitahuan dari grub yang ia ikuti terkait lowongan pekerjaan. Dia teringat akan pria yang menemuinya tadi di restoran alias Daffa Anderson. "Aku save ah nomornya, siapa tau dia berminat dengan pekerjaan ini," gumam Rosella lalu menyimpan nomor si pemberi pekerjaan. Pagi ini di Anderson Group, Daffa ada meeting dengan para petinggi perusahaan serta investor terkait tertundanya proyek mereka. "Bagaimana bisa proyek kita tertunda pak, padahal kami sudah berinvestasi untuk proyek ini." Protes salah satu kliennya. "Mohon maaf pak untuk hal itu, ada sedikit kendala, namun jangan khawatir secepatnya akan saya selesaikan supaya proyek kita segera terealisasi," ucap Daffa mencoba menenangkan para investor Seusai rapat, Daffa kembali ke ruangannya lalu dia melemparkan tubuhnya di sofa. Dia sungguh bingung harus bagaimana, jika tertunda maka keberangkatannya ke Amerika juga akan tertunda. "Mau nggak mau aku harus membujuknya sendiri untuk m
Semenjak pertemuan kedua itu, Daffa dan Rosella sering bertemu, bahkan Daffa memberanikan diri meminta alamat dan berkunjung ke rumah Rosella, dia semakin gencar mendekati Rosella mengingat deadline dari investor sudah semakin dekat. Meski keduanya semakin dekat tapi Daffa masih belum bisa membahas ke arah tanah dengan Rosella. "Bagaimana ini pak, investor sudah mulai mengoceh, mereka menuntut proyek agar segera di realisasi?" Ray melaporkan keadaan lapangan pada Daffa. Daffa memijat pelipisnya, dia sungguh bingung, selama dua minggu dekat dengan Rosella, dia belum bisa menemukan cara untuk mengobrol ke arah situ. "Temui mereka Ray, bilang ke mereka dua Minggu lagi, proyek sudah bisa di mulai." Daffa nekat memberikan titah yang belum pasti. "Anda yakin Pak?" tanya Ray penuh penekanan, karena dia merasa tidak yakin dengan Daffa. "Yakin, aku tak akan menunda lagi, aku harus mendapatkannya dengan cara apapun," jawab Daffa. Mereka berdua kalut dengan pikiran mereka masing-masing, Ra
Daffa bersikap layaknya dirinya, dia berbincang dengan wartawan mengenai perusahaannya serta hal lain, tentu kesempatan emas ini tidak disia-siakan oleh wartawan karena kapan lagi bisa mewawancarai Daffa Anderson. Pak Sony meminta Daffa untuk mempromosikan restorannya, dan tentu Daffa menyaggupinya meski enggan. Melihat sikap Daffa yang seperti itu membuat Rosella puyeng, entah bagaimana jadinya sandiwaranya malam ini. "Mas ganteng, cukup sudah, akting kamu benar-benar over, ingat woy kamu bukan Daffa Anderson," bisik Rosella sembari menyenggol kaki Daffa. "Tenang, biar semua percaya memang harus seperti ini Rose," bisik Daffa balik. Acara sudah usai, Rose dan Daffa berpamitan pulang. Di dalam mobil Rosella terus diam, dia mengingat kembali sandiwara over Daffa, dia benar-benar pasrah jika besok muncul berita hoax, dan juga juga akan menerima konsekuensinya apalagi Daffa yang asli marah. "Apa yang kamu pikirkan Rose?" tanya Daffa. "Nasib aku besok Mas," jawab Rosella den
Beberapa hari setelah Rosella menjual tanahnya Daffa tidak bisa dihubungi tentu hal ini membuat Rosella resah tak menentu juga gelisah di hati. Ingin sekali dia datang ke rumah Daffa namun dia tidak tahu alamatnya, sebenarnya Rosella takut jika Daffa kenapa-napa. "Mas ganteng kamu dimana sih, ada masalah apa? kenapa telepon dan juga pesanku nggak pernah dijawab. Aku sangat khawatir padamu apalagi aku mempunyai hutang banyak padamu," gumam Rosella sambil menatap langit di depan rumahnya. Dia terus saja menatap Sirius, bintang yang paling terang diantara yang lainnya. Dari kecil Rosella ingin seperti Sirius yang bersinar terang diantara lainnya. Lelah dan ngantuk menghampirinya, dengan langkah malas Rosella masuk dalam rumah. Setelah di kamar dia mengecek ponselnya dan lagi-lagi zonk, Daffa sungguh tak menghubunginya sama sekali. "Sudahlah, anggap saja dia tidak pernah ada. Stop thinking about him Rose." Rosella pun menyemangati dirinya sendiri Hari-hari berlalu, Daffa sibuk d
Hari sudah malam, Daffa memutuskan untuk pamit. "Aku pamit ya Rose, udah malam takutnya nanti ada grebegan lagi," kata Daffa dengan terkekeh. "Kamu tu ada-ada saja mas," sahut Rosella dengan tertawa. Daffa menatap wajah Rosella yang tertawa lepas, terbesit sebuah rasa aneh tapi Daffa segera menghalaunya. "Kalau digrebeg gawat Rose, pasti kita dinikahkan. Aku belum siap, untuk makan sendiri saja aku masih kurang apalagi punya istri." Daffa memegang tengkuknya. Setelah kepulangan Daffa, Rosella senyum-senyum sendiri sambil menutup wajahnya dengan tangan. "Mas cakep, aku sangat bahagia," gumamnya. Rosella seperti tanaman layu yang diguyur air hujan, "Rasa apa ini ya Tuhan." Sepanjang perjalanannya pulang, Daffa terus memikirkan Rose, dia bingung mau digunakan untuk apa uang Rose, padahal Daffa tau jika Rose juga memerlukan uang itu. Sesampainya di rumah, Daffa segera merebahkan diri di tempat tidurnya, dia merasa bersalah pada wanita berjiwa sosial itu. "Arrrgggg biarlah," teri
"Sembarangan, calon istri dari Hongkong," sahut Daffa kesal. Ray hanya tertawa, memang terkadang dia suka sekali menggoda atasan serta kakak sepupunya itu. Pesawat pribadinya telah siap, kini saatnya dia terbang ke US, rasa rindu kepada keluarga tercinta disana sudah tidak bisa dia bendung. Dari Bandara Internasional Los Angels, Daffa memerlukan waktu sekitar dua puluh tujuh menit untuk tiba ke Beverly Hills, rumah keluarganya. Kini pria itu telah tiba di rumah keluarganya, ketika dia keluar dari mobil pandangannya tertuju pada sesosok wanita yang sangat dia cintai. "Put," ucapnya sambil tersenyum. Dia mengambil koper miliknya, lalu berjalan mendekat ke arah Kakak iparnya. "Mas Daffa." Melihat Daffa Putri sangat senang. Putri segera meletakkan majalah yang dia bawa, dia berdiri dan membuka tangannya. Daffa mempercepat langkahnya lalu dia segera memeluk kakak iparnya. "I Miss you," kata Daffa sembari memeluk erat Putri. "I miss you too," sahut Putri. Rindu Daffa dan Putri be
Di US, Daffa bahagia tapi juga tersiksa, bagaimana tidak setiap hari dia harus melihat kemesraan Putri dan juga Sean. Hatinya meronta ingin memecah kemesraan mereka tapi dia tidak memiliki hak akan hal itu. "Put, andaikan kamu tahu rasa ini menyiksaku." Di balik pintu dia menahan kesakitan hatinya. Tepat di depan kamarnya, ada balkon dalam dan memang disitu adalah tempat Putri dan Sean bercanda bersama setiap harinya selain di kamar pribadi mereka.Sean yang ingat akan sang adik menyudahi bercandanya, dia beranjak dan berjalan menuju kamar Daffa. "Daffa." Sean langsung saja masuk.Daffa sudah duduk di sofa segera merespon panggilan kakaknya. "Ada apa kak?" "Bergabunglah bersama kami, ngapain menyendiri di kamar.""Tidak, aku lagi malas ngobrol." Tak mau tahu, Sean pun menarik tangan sang adik, dia memaksa Daffa untuk bergabung dengannya dan juga Putri. "Kamu ini pemaksa sekali sih!" gerutu Daffa."Sudah jangan cerewet!"Ketika mereka asik bercengkerama, Sean tiba-tiba dapat p
"Belum, memangnya apa jawabannya." "Dapat hadiah dari kantor lah!" sahut Ray enteng. "Ok." Seusai jam kantor selesai, Daffa segera pulang ke rumah, kali ini dia tidak pergi ke apartemennya karena takut ketiduran seperti kemarin lagi. "Mas tumben pulang cepat?" tanya Rosella. "Iya, oh ya aku punya sesuatu untuk kamu." Daffa menunjukkan dua tiket bulan madu ke pulau dewata. "Mas ini kan tiket ke pulau Bali, kamu dapat darimana?" tanya Rosella. "Hadiah dari kantor," jawab Daffa. Rosella mengerutkan alisnya, dia nampak heran, bagaimana bisa kantor Daffa memberinya dua tiket ke Bali. "Mas bukannya kamu hanya bekerja sebagai ob, mana mungkin kantor kamu memberikan hadiah seperti ini? memangnya kamu kerja dimana sih Mas?" Mendengar jawaban dari Rosella membuat Daffa bingung kembali, memang kalau dipikir-pikir tidak mungkin kantor biasa memberikan hadiah ke pulau dewata apalagi tiket yang dipesan oleh Ray adalah tiket business class. Mau nggak mau Daffa mengatakan jika dia bekerja
Di ruangannya, Daffa nampak memijat lengannya tidurnya semalam sungguh tidak enak sekali, apalagi harus terus miring. "Kamu kenapa Pak?" tanya Ray yang tiba-tiba muncul. "Mengagetkan saja, kenapa tidak ketuk pintu terlebih dahulu!" Protes Daffa. Ray hanya terkekeh, biasanya juga tidak mengetuk pintu. "Pegal Mas?" tanyanya. "Banget, aku tidak bisa tidur," jawab Daffa. "Memangnya berapa ronde? gimana rasanya malam pertama, enak nggak?" Ray segera menarik bangku di hadapannya tak sabar menunggu cerita sepupunya tersebut. "Enak sekali mangkanya cepatlah menikah." Ray menghela nafas, bagaimana mau nikah jika waktu kencan saja dia hampir tak punya waktu. "Mana bisa aku menikah sedang berkenaan saja aku nggak sempat." Daffa tertawa mendengar keluhan Ray, lagipula dia tidak diktator banget, tidak seperti CEO pada umumnya. "Oh ya Mas, apa kamu tidak berbulan madu?" "Tidak," jawab Daffa tegas. "Lah kenapa? kan kasian istri kamu Mas, seorang wanita juga ingin moment
Pernikahan sederhana telah siap, baik Rosella maupun Daffa sama-sama memakai pakaian yang sederhana. "Mana mas orang tua kamu?" tanya Rosella. "Masih latihan di dalam," jawab Daffa. Jawaban Daffa tentu membuat Rosella bingung, latihan apa? memangnya pernikahan mereka adalah pentas seni sehingga harus latihan. "Latihan apa Mas?" tanya Rosella bingung. "Latihan jadi orang tua aku," jawab Daffa sambil membolakan matanya. "Jadi orang tua kamu?" Segera Daffa meralat ucapannya, "Maksud aku mempersiapkan diri untuk bertemu menantunya." Rosella mengangguk, kemudian dia juga latihan untuk bertemu orang tua Daffa. Daffa yang melihat apa yang dilakukan Rosella hanya bisa menggelengkan kepala. Tak selang kemudian kedua orang tua pura-pura Daffa keluar, dengan senyum yang mengembang mereka mendatangi Daffa dan Rosella. "Ini menantu kami?" tanya kedua orang tuanya yang merupakan pegawai di kantor juga. "Iya Pak, Bu," jawab Daffa. Sebagai seoarang mantu, tentu Rosella menunjukkan rasa h
"Manusia mana yang tidak bisa mengendarai motor." Daffa terus menyahut enteng ucapan dari Ray. "Tapi ini sudah malam, mana ada dealer buka?" Daffa hanya melirik Ray, dia seakan nggak mau tahu. Melihat lirikan Daffa membuat asisten itu mengambil ponselnya, dia menghubungi langsung manager dealer salah satu produk dari Jepang. Tau Daffa ingin membeli motor, sang manager segera meminta anak buahnya untuk membuka dealer yang sudah tutup. Ditemani manager itu sendiri, Daffa berkeliling memilih motor yang cocok. "Motor moge kah Mas?" tanya Ray. "Ogah, tulangku bisa encok dan urat kalau mengendarai motor moge," jawabnya. "Sadar diri juga kalau udah tua," sahut Ray dengan tertawa. "Tertawa terus potong gaji." Seketika Ray terdiam, kemudian dia menyarankan sebuah motor matic yang nyaman. "Lebih baik ini saja." Dia menunjuk motor matic warna abu-abu. "Ini cocok sekali untuk digunakan pak Daffa, bodinya yang besar membuatnya lebih stabil saat dikendarai." Sang Manager tu
"Ada masalah apa sih Mas?" "Aku harus menikah," jawab Daffa yang membuat Ray terkejut."Menikah?!" ujarnya.Daffa mengangguk, dia menceritakan semua kepada Ray, dan sontak pria itu tertawa. "Astaga Mas, mas, masalah kamu itu muter saja di Kak Putri." "Terus tertawa potong gaji!" Seketika Ray terdiam, Daffa selalu saja mengancamnya dengan hal itu, lagipula tidak ada hubungannya sama sekali antara gaji dan tertawa."Kalau harus menikah ya menikah saja memangnya kamu sudah memiliki calon?" tanya Ray."Rosella." Lagi-lagi pria itu dibuat terkejut oleh Daffa, "Mas si Rosella yang menjual tanahnya pada kita itu!" "Iya," sahut Daffa."Kamu yakin?" sekali lagi Ray meyakinkan Daffa akan keputusannya."Entahlah." "Kalau kamu mau, aku bisa mencarikan wanita lain Mas, nggak harus Rosella." Daffa menggeleng, Rosella lah wanita yang beberapa lalu dikenalkan di publik olehnya jadi sandiwara harus berlanjut.Keesokan harinya, sepulang dari kerja Daffa pergi ke rumah Rosella, hal ini membuat ga
Di US, Daffa bahagia tapi juga tersiksa, bagaimana tidak setiap hari dia harus melihat kemesraan Putri dan juga Sean. Hatinya meronta ingin memecah kemesraan mereka tapi dia tidak memiliki hak akan hal itu. "Put, andaikan kamu tahu rasa ini menyiksaku." Di balik pintu dia menahan kesakitan hatinya. Tepat di depan kamarnya, ada balkon dalam dan memang disitu adalah tempat Putri dan Sean bercanda bersama setiap harinya selain di kamar pribadi mereka.Sean yang ingat akan sang adik menyudahi bercandanya, dia beranjak dan berjalan menuju kamar Daffa. "Daffa." Sean langsung saja masuk.Daffa sudah duduk di sofa segera merespon panggilan kakaknya. "Ada apa kak?" "Bergabunglah bersama kami, ngapain menyendiri di kamar.""Tidak, aku lagi malas ngobrol." Tak mau tahu, Sean pun menarik tangan sang adik, dia memaksa Daffa untuk bergabung dengannya dan juga Putri. "Kamu ini pemaksa sekali sih!" gerutu Daffa."Sudah jangan cerewet!"Ketika mereka asik bercengkerama, Sean tiba-tiba dapat p
"Sembarangan, calon istri dari Hongkong," sahut Daffa kesal. Ray hanya tertawa, memang terkadang dia suka sekali menggoda atasan serta kakak sepupunya itu. Pesawat pribadinya telah siap, kini saatnya dia terbang ke US, rasa rindu kepada keluarga tercinta disana sudah tidak bisa dia bendung. Dari Bandara Internasional Los Angels, Daffa memerlukan waktu sekitar dua puluh tujuh menit untuk tiba ke Beverly Hills, rumah keluarganya. Kini pria itu telah tiba di rumah keluarganya, ketika dia keluar dari mobil pandangannya tertuju pada sesosok wanita yang sangat dia cintai. "Put," ucapnya sambil tersenyum. Dia mengambil koper miliknya, lalu berjalan mendekat ke arah Kakak iparnya. "Mas Daffa." Melihat Daffa Putri sangat senang. Putri segera meletakkan majalah yang dia bawa, dia berdiri dan membuka tangannya. Daffa mempercepat langkahnya lalu dia segera memeluk kakak iparnya. "I Miss you," kata Daffa sembari memeluk erat Putri. "I miss you too," sahut Putri. Rindu Daffa dan Putri be
Hari sudah malam, Daffa memutuskan untuk pamit. "Aku pamit ya Rose, udah malam takutnya nanti ada grebegan lagi," kata Daffa dengan terkekeh. "Kamu tu ada-ada saja mas," sahut Rosella dengan tertawa. Daffa menatap wajah Rosella yang tertawa lepas, terbesit sebuah rasa aneh tapi Daffa segera menghalaunya. "Kalau digrebeg gawat Rose, pasti kita dinikahkan. Aku belum siap, untuk makan sendiri saja aku masih kurang apalagi punya istri." Daffa memegang tengkuknya. Setelah kepulangan Daffa, Rosella senyum-senyum sendiri sambil menutup wajahnya dengan tangan. "Mas cakep, aku sangat bahagia," gumamnya. Rosella seperti tanaman layu yang diguyur air hujan, "Rasa apa ini ya Tuhan." Sepanjang perjalanannya pulang, Daffa terus memikirkan Rose, dia bingung mau digunakan untuk apa uang Rose, padahal Daffa tau jika Rose juga memerlukan uang itu. Sesampainya di rumah, Daffa segera merebahkan diri di tempat tidurnya, dia merasa bersalah pada wanita berjiwa sosial itu. "Arrrgggg biarlah," teri
Beberapa hari setelah Rosella menjual tanahnya Daffa tidak bisa dihubungi tentu hal ini membuat Rosella resah tak menentu juga gelisah di hati. Ingin sekali dia datang ke rumah Daffa namun dia tidak tahu alamatnya, sebenarnya Rosella takut jika Daffa kenapa-napa. "Mas ganteng kamu dimana sih, ada masalah apa? kenapa telepon dan juga pesanku nggak pernah dijawab. Aku sangat khawatir padamu apalagi aku mempunyai hutang banyak padamu," gumam Rosella sambil menatap langit di depan rumahnya. Dia terus saja menatap Sirius, bintang yang paling terang diantara yang lainnya. Dari kecil Rosella ingin seperti Sirius yang bersinar terang diantara lainnya. Lelah dan ngantuk menghampirinya, dengan langkah malas Rosella masuk dalam rumah. Setelah di kamar dia mengecek ponselnya dan lagi-lagi zonk, Daffa sungguh tak menghubunginya sama sekali. "Sudahlah, anggap saja dia tidak pernah ada. Stop thinking about him Rose." Rosella pun menyemangati dirinya sendiri Hari-hari berlalu, Daffa sibuk d