Beberapa hari setelah Rosella menjual tanahnya Daffa tidak bisa dihubungi tentu hal ini membuat Rosella resah tak menentu juga gelisah di hati. Ingin sekali dia datang ke rumah Daffa namun dia tidak tahu alamatnya, sebenarnya Rosella takut jika Daffa kenapa-napa.
"Mas ganteng kamu dimana sih, ada masalah apa? kenapa telepon dan juga pesanku nggak pernah dijawab. Aku sangat khawatir padamu apalagi aku mempunyai hutang banyak padamu," gumam Rosella sambil menatap langit di depan rumahnya. Dia terus saja menatap Sirius, bintang yang paling terang diantara yang lainnya. Dari kecil Rosella ingin seperti Sirius yang bersinar terang diantara lainnya. Lelah dan ngantuk menghampirinya, dengan langkah malas Rosella masuk dalam rumah. Setelah di kamar dia mengecek ponselnya dan lagi-lagi zonk, Daffa sungguh tak menghubunginya sama sekali. "Sudahlah, anggap saja dia tidak pernah ada. Stop thinking about him Rose." Rosella pun menyemangati dirinya sendiri Hari-hari berlalu, Daffa sibuk dengan Mega proyek barunya. Dia sungguh-sungguh mengabaikan Rosella. Jam istirahat datang, di depan restoran tempat dia bekerja Rosella terus saja melihat ponselnya berharap Daffa membalas pesannya. Dan benar saja Daffa membalas pesannya, Daffa bilang jika malam ini dia akan datang ke rumah Rosella tentu hal ini membuat Rosella bahagia bahkan sepulang dari bekerja dia belanja banyak untuk menyambut Daffa. "Semoga mas ganteng suka, aku sangat merindukanmu mas," gumam Rosella sambil menata makanannya di meja makan kecil miliknya. Lama menunggu namun Daffa tak kunjung datang, dia sangat kecewa pada dirinya sendiri yang sangat berharap pada Daffa sedangkan Daffa tak mengharapkannya. Rosella bangkit dari tempat duduknya dan hendak masuk dalam rumahnya namun tiba-tiba terdengar suara yang memanggilnya. "Rose." Mendengar namanya dipanggil Rosella segera membalikan badannya, terlihat sesosok pria yang dia rindukan. "Mas ganteng." Karena tidak bisa menahan gejolak di dadanya tanpa pikir panjang dan aba-aba Rosella berlari dan memeluk Daffa. "Aku rindu sekali mas padamu, kamu kok tega menghilang begitu saja dan tidak pernah membalas pesan serta tak menerima panggilan dariku?" tanya Rosella yang masih dalam pelukan Daffa. "Maafkan aku Rose, aku sangat sibuk," jawab Daffa Rosella melepas pelukannya, kata sibuk dari Daffa membuatnya berpikir sejenak, apa Daffa sudah mendapatkan pekerjaan? "Kamu sudah mendapatkan pekerjaan mas?" tanya Rosella. "Iya, aku sudah bekerja sekarang." Rosella turut senang karena Daffa sudah mendapatkan pekerjaan. "Selamat ya Mas, by the Way kamu kerja apa?" "OB Rose," jawab Daffa. Mereka asik berbincang hingga Rose lupa tidak menyuruh Daffa masuk ke dalam rumah. "Maaf mas karena keasikan sampai lupa nggak mempersilahkan masuk," ujar Rosella. "Iya Rose nggak papa lagian di luar enak nggak panas," sahut Daffa. Setelah Daffa masuk Rosella mengajak Daffa untuk makan karena tadi dia memasak banyak untuk menyambut Daffa. "Makan dulu ya mas, aku tadi udah masak yang banyak," kata Rosella. "kebetulan Rose aku juga belum makan," sahut Daffa. Rosella menggiring Daffa ke meja makan, di atas meja makan tersaji banyak makanan tentu hal ini membuat Daffa heran. "Tumben kamu masak banyak Rose?" "Iya Mas, untuk menyambut kamu." "Ngapain repot seperti ini," sahut Daffa. "Nggak papa Mas." Karena sudah lapar Rosella mengajak Daffa untuk makan, tak lupa berdoa sebelum makan. "Enak sekali Rose masakan kamu." "Kalau kamu mau, aku bisa membuatkan makanan ini setiap hari untuk kamu Mas," timpal Rose. "Nggak udah repot-repot," sahut Daffa. Dalam sekejap makanannya habis tak tersisa, perut Daffa sungguh sesak karena dia makan sangat banyak. "Kenyang sekali." Rosella hanya tertawa melihat Daffa yang kekenyangan. Setelah makan Rose mengambil uang di kamar lalu memberikannya pada Daffa. "Ini mas, uang untuk biaya mobil dan lain-lain." Daffa nampak bingung, harus buat alasan apa untuk menolak uang dari Rosella. "Lebih baik kamu simpan uang itu saja Rose, uang buat sewa mobil dan lain-lain sudah aku lunasi." Dia terpaksa berbohong. "Nggak mas, itu tanggung jawab aku jadi aku nggak mau merepotkan mas ganteng," sahut Rosella. Rosella terus saja membujuk Daffa supaya menerima uang darinya dan mau nggak mau Daffa menerimanya. "Aku terima tapi nggak semua Rose, kamu juga perlu uang ini." "Nggak mas, kamu yang lebih butuh uang daripada aku jadi buat kamu saja ya." Daffa menghela nafas, seharusnya Rosella senang jika dirinya tidak meminta uang sewa mobil dan lain-lain. "Seharusnya kamu senang Rose, tapi kenapa kamu malah memberikan semua uang kamu?" "Biaya sewa mobil kan banyak Mas, belum lagi biaya barang-barang branded yang kamu pakai, dan sisanya itu bisa kamu pakai untuk membeli sepeda Mas." Daffa terkejut, tak disangka Rosella care sekali dengannya. "Kenapa kamu peduli padaku Rose?" Pertanyaan Daffa membuat Rosella bingung, dia sendiri tidak tau kenapa dia bisa peduli seperti ini pada Daffa, entah karena jiwa sosialnya yang tinggi atau ada hal lain. "Entahlah Mas, intinya aku tidak ingin melihat kamu susah itu aja," jawab Rosella sambil tersenyum. "Tapi nggak harus seperti ini juga Rose." "Sudahlah Mas, aku ngga papa Kok, terima saja ya." Daffa tersenyum, andaikan Rosella tau jika dirinya benar Daffa Anderson, apakah dia masih memberikan uangnya?Hari sudah malam, Daffa memutuskan untuk pamit. "Aku pamit ya Rose, udah malam takutnya nanti ada grebegan lagi," kata Daffa dengan terkekeh. "Kamu tu ada-ada saja mas," sahut Rosella dengan tertawa. Daffa menatap wajah Rosella yang tertawa lepas, terbesit sebuah rasa aneh tapi Daffa segera menghalaunya. "Kalau digrebeg gawat Rose, pasti kita dinikahkan. Aku belum siap, untuk makan sendiri saja aku masih kurang apalagi punya istri." Daffa memegang tengkuknya. Setelah kepulangan Daffa, Rosella senyum-senyum sendiri sambil menutup wajahnya dengan tangan. "Mas cakep, aku sangat bahagia," gumamnya. Rosella seperti tanaman layu yang diguyur air hujan, "Rasa apa ini ya Tuhan." Sepanjang perjalanannya pulang, Daffa terus memikirkan Rose, dia bingung mau digunakan untuk apa uang Rose, padahal Daffa tau jika Rose juga memerlukan uang itu. Sesampainya di rumah, Daffa segera merebahkan diri di tempat tidurnya, dia merasa bersalah pada wanita berjiwa sosial itu. "Arrrgggg biarlah," teri
"Sembarangan, calon istri dari Hongkong," sahut Daffa kesal. Ray hanya tertawa, memang terkadang dia suka sekali menggoda atasan serta kakak sepupunya itu. Pesawat pribadinya telah siap, kini saatnya dia terbang ke US, rasa rindu kepada keluarga tercinta disana sudah tidak bisa dia bendung. Dari Bandara Internasional Los Angels, Daffa memerlukan waktu sekitar dua puluh tujuh menit untuk tiba ke Beverly Hills, rumah keluarganya. Kini pria itu telah tiba di rumah keluarganya, ketika dia keluar dari mobil pandangannya tertuju pada sesosok wanita yang sangat dia cintai. "Put," ucapnya sambil tersenyum. Dia mengambil koper miliknya, lalu berjalan mendekat ke arah Kakak iparnya. "Mas Daffa." Melihat Daffa Putri sangat senang. Putri segera meletakkan majalah yang dia bawa, dia berdiri dan membuka tangannya. Daffa mempercepat langkahnya lalu dia segera memeluk kakak iparnya. "I Miss you," kata Daffa sembari memeluk erat Putri. "I miss you too," sahut Putri. Rindu Daffa dan Putri be
Di US, Daffa bahagia tapi juga tersiksa, bagaimana tidak setiap hari dia harus melihat kemesraan Putri dan juga Sean. Hatinya meronta ingin memecah kemesraan mereka tapi dia tidak memiliki hak akan hal itu. "Put, andaikan kamu tahu rasa ini menyiksaku." Di balik pintu dia menahan kesakitan hatinya. Tepat di depan kamarnya, ada balkon dalam dan memang disitu adalah tempat Putri dan Sean bercanda bersama setiap harinya selain di kamar pribadi mereka.Sean yang ingat akan sang adik menyudahi bercandanya, dia beranjak dan berjalan menuju kamar Daffa. "Daffa." Sean langsung saja masuk.Daffa sudah duduk di sofa segera merespon panggilan kakaknya. "Ada apa kak?" "Bergabunglah bersama kami, ngapain menyendiri di kamar.""Tidak, aku lagi malas ngobrol." Tak mau tahu, Sean pun menarik tangan sang adik, dia memaksa Daffa untuk bergabung dengannya dan juga Putri. "Kamu ini pemaksa sekali sih!" gerutu Daffa."Sudah jangan cerewet!"Ketika mereka asik bercengkerama, Sean tiba-tiba dapat p
"Ada masalah apa sih Mas?" "Aku harus menikah," jawab Daffa yang membuat Ray terkejut."Menikah?!" ujarnya.Daffa mengangguk, dia menceritakan semua kepada Ray, dan sontak pria itu tertawa. "Astaga Mas, mas, masalah kamu itu muter saja di Kak Putri." "Terus tertawa potong gaji!" Seketika Ray terdiam, Daffa selalu saja mengancamnya dengan hal itu, lagipula tidak ada hubungannya sama sekali antara gaji dan tertawa."Kalau harus menikah ya menikah saja memangnya kamu sudah memiliki calon?" tanya Ray."Rosella." Lagi-lagi pria itu dibuat terkejut oleh Daffa, "Mas si Rosella yang menjual tanahnya pada kita itu!" "Iya," sahut Daffa."Kamu yakin?" sekali lagi Ray meyakinkan Daffa akan keputusannya."Entahlah." "Kalau kamu mau, aku bisa mencarikan wanita lain Mas, nggak harus Rosella." Daffa menggeleng, Rosella lah wanita yang beberapa lalu dikenalkan di publik olehnya jadi sandiwara harus berlanjut.Keesokan harinya, sepulang dari kerja Daffa pergi ke rumah Rosella, hal ini membuat ga
"Manusia mana yang tidak bisa mengendarai motor." Daffa terus menyahut enteng ucapan dari Ray. "Tapi ini sudah malam, mana ada dealer buka?" Daffa hanya melirik Ray, dia seakan nggak mau tahu. Melihat lirikan Daffa membuat asisten itu mengambil ponselnya, dia menghubungi langsung manager dealer salah satu produk dari Jepang. Tau Daffa ingin membeli motor, sang manager segera meminta anak buahnya untuk membuka dealer yang sudah tutup. Ditemani manager itu sendiri, Daffa berkeliling memilih motor yang cocok. "Motor moge kah Mas?" tanya Ray. "Ogah, tulangku bisa encok dan urat kalau mengendarai motor moge," jawabnya. "Sadar diri juga kalau udah tua," sahut Ray dengan tertawa. "Tertawa terus potong gaji." Seketika Ray terdiam, kemudian dia menyarankan sebuah motor matic yang nyaman. "Lebih baik ini saja." Dia menunjuk motor matic warna abu-abu. "Ini cocok sekali untuk digunakan pak Daffa, bodinya yang besar membuatnya lebih stabil saat dikendarai." Sang Manager tu
Pernikahan sederhana telah siap, baik Rosella maupun Daffa sama-sama memakai pakaian yang sederhana. "Mana mas orang tua kamu?" tanya Rosella. "Masih latihan di dalam," jawab Daffa. Jawaban Daffa tentu membuat Rosella bingung, latihan apa? memangnya pernikahan mereka adalah pentas seni sehingga harus latihan. "Latihan apa Mas?" tanya Rosella bingung. "Latihan jadi orang tua aku," jawab Daffa sambil membolakan matanya. "Jadi orang tua kamu?" Segera Daffa meralat ucapannya, "Maksud aku mempersiapkan diri untuk bertemu menantunya." Rosella mengangguk, kemudian dia juga latihan untuk bertemu orang tua Daffa. Daffa yang melihat apa yang dilakukan Rosella hanya bisa menggelengkan kepala. Tak selang kemudian kedua orang tua pura-pura Daffa keluar, dengan senyum yang mengembang mereka mendatangi Daffa dan Rosella. "Ini menantu kami?" tanya kedua orang tuanya yang merupakan pegawai di kantor juga. "Iya Pak, Bu," jawab Daffa. Sebagai seoarang mantu, tentu Rosella menunjukkan rasa h
Di ruangannya, Daffa nampak memijat lengannya tidurnya semalam sungguh tidak enak sekali, apalagi harus terus miring. "Kamu kenapa Pak?" tanya Ray yang tiba-tiba muncul. "Mengagetkan saja, kenapa tidak ketuk pintu terlebih dahulu!" Protes Daffa. Ray hanya terkekeh, biasanya juga tidak mengetuk pintu. "Pegal Mas?" tanyanya. "Banget, aku tidak bisa tidur," jawab Daffa. "Memangnya berapa ronde? gimana rasanya malam pertama, enak nggak?" Ray segera menarik bangku di hadapannya tak sabar menunggu cerita sepupunya tersebut. "Enak sekali mangkanya cepatlah menikah." Ray menghela nafas, bagaimana mau nikah jika waktu kencan saja dia hampir tak punya waktu. "Mana bisa aku menikah sedang berkenaan saja aku nggak sempat." Daffa tertawa mendengar keluhan Ray, lagipula dia tidak diktator banget, tidak seperti CEO pada umumnya. "Oh ya Mas, apa kamu tidak berbulan madu?" "Tidak," jawab Daffa tegas. "Lah kenapa? kan kasian istri kamu Mas, seorang wanita juga ingin moment
"Belum, memangnya apa jawabannya." "Dapat hadiah dari kantor lah!" sahut Ray enteng. "Ok." Seusai jam kantor selesai, Daffa segera pulang ke rumah, kali ini dia tidak pergi ke apartemennya karena takut ketiduran seperti kemarin lagi. "Mas tumben pulang cepat?" tanya Rosella. "Iya, oh ya aku punya sesuatu untuk kamu." Daffa menunjukkan dua tiket bulan madu ke pulau dewata. "Mas ini kan tiket ke pulau Bali, kamu dapat darimana?" tanya Rosella. "Hadiah dari kantor," jawab Daffa. Rosella mengerutkan alisnya, dia nampak heran, bagaimana bisa kantor Daffa memberinya dua tiket ke Bali. "Mas bukannya kamu hanya bekerja sebagai ob, mana mungkin kantor kamu memberikan hadiah seperti ini? memangnya kamu kerja dimana sih Mas?" Mendengar jawaban dari Rosella membuat Daffa bingung kembali, memang kalau dipikir-pikir tidak mungkin kantor biasa memberikan hadiah ke pulau dewata apalagi tiket yang dipesan oleh Ray adalah tiket business class. Mau nggak mau Daffa mengatakan jika dia bekerja
"Belum, memangnya apa jawabannya." "Dapat hadiah dari kantor lah!" sahut Ray enteng. "Ok." Seusai jam kantor selesai, Daffa segera pulang ke rumah, kali ini dia tidak pergi ke apartemennya karena takut ketiduran seperti kemarin lagi. "Mas tumben pulang cepat?" tanya Rosella. "Iya, oh ya aku punya sesuatu untuk kamu." Daffa menunjukkan dua tiket bulan madu ke pulau dewata. "Mas ini kan tiket ke pulau Bali, kamu dapat darimana?" tanya Rosella. "Hadiah dari kantor," jawab Daffa. Rosella mengerutkan alisnya, dia nampak heran, bagaimana bisa kantor Daffa memberinya dua tiket ke Bali. "Mas bukannya kamu hanya bekerja sebagai ob, mana mungkin kantor kamu memberikan hadiah seperti ini? memangnya kamu kerja dimana sih Mas?" Mendengar jawaban dari Rosella membuat Daffa bingung kembali, memang kalau dipikir-pikir tidak mungkin kantor biasa memberikan hadiah ke pulau dewata apalagi tiket yang dipesan oleh Ray adalah tiket business class. Mau nggak mau Daffa mengatakan jika dia bekerja
Di ruangannya, Daffa nampak memijat lengannya tidurnya semalam sungguh tidak enak sekali, apalagi harus terus miring. "Kamu kenapa Pak?" tanya Ray yang tiba-tiba muncul. "Mengagetkan saja, kenapa tidak ketuk pintu terlebih dahulu!" Protes Daffa. Ray hanya terkekeh, biasanya juga tidak mengetuk pintu. "Pegal Mas?" tanyanya. "Banget, aku tidak bisa tidur," jawab Daffa. "Memangnya berapa ronde? gimana rasanya malam pertama, enak nggak?" Ray segera menarik bangku di hadapannya tak sabar menunggu cerita sepupunya tersebut. "Enak sekali mangkanya cepatlah menikah." Ray menghela nafas, bagaimana mau nikah jika waktu kencan saja dia hampir tak punya waktu. "Mana bisa aku menikah sedang berkenaan saja aku nggak sempat." Daffa tertawa mendengar keluhan Ray, lagipula dia tidak diktator banget, tidak seperti CEO pada umumnya. "Oh ya Mas, apa kamu tidak berbulan madu?" "Tidak," jawab Daffa tegas. "Lah kenapa? kan kasian istri kamu Mas, seorang wanita juga ingin moment
Pernikahan sederhana telah siap, baik Rosella maupun Daffa sama-sama memakai pakaian yang sederhana. "Mana mas orang tua kamu?" tanya Rosella. "Masih latihan di dalam," jawab Daffa. Jawaban Daffa tentu membuat Rosella bingung, latihan apa? memangnya pernikahan mereka adalah pentas seni sehingga harus latihan. "Latihan apa Mas?" tanya Rosella bingung. "Latihan jadi orang tua aku," jawab Daffa sambil membolakan matanya. "Jadi orang tua kamu?" Segera Daffa meralat ucapannya, "Maksud aku mempersiapkan diri untuk bertemu menantunya." Rosella mengangguk, kemudian dia juga latihan untuk bertemu orang tua Daffa. Daffa yang melihat apa yang dilakukan Rosella hanya bisa menggelengkan kepala. Tak selang kemudian kedua orang tua pura-pura Daffa keluar, dengan senyum yang mengembang mereka mendatangi Daffa dan Rosella. "Ini menantu kami?" tanya kedua orang tuanya yang merupakan pegawai di kantor juga. "Iya Pak, Bu," jawab Daffa. Sebagai seoarang mantu, tentu Rosella menunjukkan rasa h
"Manusia mana yang tidak bisa mengendarai motor." Daffa terus menyahut enteng ucapan dari Ray. "Tapi ini sudah malam, mana ada dealer buka?" Daffa hanya melirik Ray, dia seakan nggak mau tahu. Melihat lirikan Daffa membuat asisten itu mengambil ponselnya, dia menghubungi langsung manager dealer salah satu produk dari Jepang. Tau Daffa ingin membeli motor, sang manager segera meminta anak buahnya untuk membuka dealer yang sudah tutup. Ditemani manager itu sendiri, Daffa berkeliling memilih motor yang cocok. "Motor moge kah Mas?" tanya Ray. "Ogah, tulangku bisa encok dan urat kalau mengendarai motor moge," jawabnya. "Sadar diri juga kalau udah tua," sahut Ray dengan tertawa. "Tertawa terus potong gaji." Seketika Ray terdiam, kemudian dia menyarankan sebuah motor matic yang nyaman. "Lebih baik ini saja." Dia menunjuk motor matic warna abu-abu. "Ini cocok sekali untuk digunakan pak Daffa, bodinya yang besar membuatnya lebih stabil saat dikendarai." Sang Manager tu
"Ada masalah apa sih Mas?" "Aku harus menikah," jawab Daffa yang membuat Ray terkejut."Menikah?!" ujarnya.Daffa mengangguk, dia menceritakan semua kepada Ray, dan sontak pria itu tertawa. "Astaga Mas, mas, masalah kamu itu muter saja di Kak Putri." "Terus tertawa potong gaji!" Seketika Ray terdiam, Daffa selalu saja mengancamnya dengan hal itu, lagipula tidak ada hubungannya sama sekali antara gaji dan tertawa."Kalau harus menikah ya menikah saja memangnya kamu sudah memiliki calon?" tanya Ray."Rosella." Lagi-lagi pria itu dibuat terkejut oleh Daffa, "Mas si Rosella yang menjual tanahnya pada kita itu!" "Iya," sahut Daffa."Kamu yakin?" sekali lagi Ray meyakinkan Daffa akan keputusannya."Entahlah." "Kalau kamu mau, aku bisa mencarikan wanita lain Mas, nggak harus Rosella." Daffa menggeleng, Rosella lah wanita yang beberapa lalu dikenalkan di publik olehnya jadi sandiwara harus berlanjut.Keesokan harinya, sepulang dari kerja Daffa pergi ke rumah Rosella, hal ini membuat ga
Di US, Daffa bahagia tapi juga tersiksa, bagaimana tidak setiap hari dia harus melihat kemesraan Putri dan juga Sean. Hatinya meronta ingin memecah kemesraan mereka tapi dia tidak memiliki hak akan hal itu. "Put, andaikan kamu tahu rasa ini menyiksaku." Di balik pintu dia menahan kesakitan hatinya. Tepat di depan kamarnya, ada balkon dalam dan memang disitu adalah tempat Putri dan Sean bercanda bersama setiap harinya selain di kamar pribadi mereka.Sean yang ingat akan sang adik menyudahi bercandanya, dia beranjak dan berjalan menuju kamar Daffa. "Daffa." Sean langsung saja masuk.Daffa sudah duduk di sofa segera merespon panggilan kakaknya. "Ada apa kak?" "Bergabunglah bersama kami, ngapain menyendiri di kamar.""Tidak, aku lagi malas ngobrol." Tak mau tahu, Sean pun menarik tangan sang adik, dia memaksa Daffa untuk bergabung dengannya dan juga Putri. "Kamu ini pemaksa sekali sih!" gerutu Daffa."Sudah jangan cerewet!"Ketika mereka asik bercengkerama, Sean tiba-tiba dapat p
"Sembarangan, calon istri dari Hongkong," sahut Daffa kesal. Ray hanya tertawa, memang terkadang dia suka sekali menggoda atasan serta kakak sepupunya itu. Pesawat pribadinya telah siap, kini saatnya dia terbang ke US, rasa rindu kepada keluarga tercinta disana sudah tidak bisa dia bendung. Dari Bandara Internasional Los Angels, Daffa memerlukan waktu sekitar dua puluh tujuh menit untuk tiba ke Beverly Hills, rumah keluarganya. Kini pria itu telah tiba di rumah keluarganya, ketika dia keluar dari mobil pandangannya tertuju pada sesosok wanita yang sangat dia cintai. "Put," ucapnya sambil tersenyum. Dia mengambil koper miliknya, lalu berjalan mendekat ke arah Kakak iparnya. "Mas Daffa." Melihat Daffa Putri sangat senang. Putri segera meletakkan majalah yang dia bawa, dia berdiri dan membuka tangannya. Daffa mempercepat langkahnya lalu dia segera memeluk kakak iparnya. "I Miss you," kata Daffa sembari memeluk erat Putri. "I miss you too," sahut Putri. Rindu Daffa dan Putri be
Hari sudah malam, Daffa memutuskan untuk pamit. "Aku pamit ya Rose, udah malam takutnya nanti ada grebegan lagi," kata Daffa dengan terkekeh. "Kamu tu ada-ada saja mas," sahut Rosella dengan tertawa. Daffa menatap wajah Rosella yang tertawa lepas, terbesit sebuah rasa aneh tapi Daffa segera menghalaunya. "Kalau digrebeg gawat Rose, pasti kita dinikahkan. Aku belum siap, untuk makan sendiri saja aku masih kurang apalagi punya istri." Daffa memegang tengkuknya. Setelah kepulangan Daffa, Rosella senyum-senyum sendiri sambil menutup wajahnya dengan tangan. "Mas cakep, aku sangat bahagia," gumamnya. Rosella seperti tanaman layu yang diguyur air hujan, "Rasa apa ini ya Tuhan." Sepanjang perjalanannya pulang, Daffa terus memikirkan Rose, dia bingung mau digunakan untuk apa uang Rose, padahal Daffa tau jika Rose juga memerlukan uang itu. Sesampainya di rumah, Daffa segera merebahkan diri di tempat tidurnya, dia merasa bersalah pada wanita berjiwa sosial itu. "Arrrgggg biarlah," teri
Beberapa hari setelah Rosella menjual tanahnya Daffa tidak bisa dihubungi tentu hal ini membuat Rosella resah tak menentu juga gelisah di hati. Ingin sekali dia datang ke rumah Daffa namun dia tidak tahu alamatnya, sebenarnya Rosella takut jika Daffa kenapa-napa. "Mas ganteng kamu dimana sih, ada masalah apa? kenapa telepon dan juga pesanku nggak pernah dijawab. Aku sangat khawatir padamu apalagi aku mempunyai hutang banyak padamu," gumam Rosella sambil menatap langit di depan rumahnya. Dia terus saja menatap Sirius, bintang yang paling terang diantara yang lainnya. Dari kecil Rosella ingin seperti Sirius yang bersinar terang diantara lainnya. Lelah dan ngantuk menghampirinya, dengan langkah malas Rosella masuk dalam rumah. Setelah di kamar dia mengecek ponselnya dan lagi-lagi zonk, Daffa sungguh tak menghubunginya sama sekali. "Sudahlah, anggap saja dia tidak pernah ada. Stop thinking about him Rose." Rosella pun menyemangati dirinya sendiri Hari-hari berlalu, Daffa sibuk d