***
Kafta sibuk berperang dengan pikirannya begitu berada di depan rumah orang tua Nina. Hari ini ia memutuskan untuk datang ke tempat ini lagi setelah sekian lama menghindar sejauh-jauhnya. Kafta hanya ingin membayar lunas hutangnya pada Nina yang akhirnya memberanikan diri untuk pulang setelah Lima tahun menghilang.
Dengan Satu kali tarikan napas, Kafta akhirnya maju satu langkah menuju gerbang rumah. Ia mengangkat tangannya untuk menekan bel agar dibukakan gerbang.
“Mas Kafta, ya?” tanya secuirity rumah mantan pacarnya itu ketika membukakan pintu gerbang. Kafta mengangguk singkat, ia tahu secuirity yang ia kenali dengan nama Mang Dadang itu pasti setengah mengenalinya karena mereka sudah lama tidak bertemu. “Boleh saya masuk, Mang?” tanyanya.
Dengan cepat Mang Dadang menganggukan kepala. “Masuk Mas!” ujarnya sembari mempersilakan.
Masih ada sedikit keraguan di hati Kafta setelah mendengar Mang Dadang mengizinkannya masuk. Untuk pertama kalinya ia kembali ke rumah ini setelah Lima tahun yang lalu meninggalkannya dengan marah-marah. Jujur, kenangan itu masih membekas di hatinya. Ada segudang penyesalan di sana, tetapi karena semua sudah lama terjadi, maka tak mungkin ia urungkan lagi.
“Ayo, Mas! Mau ketemu Bapak atau Ibu?”
Lamunan Kafta yang baru saja terperangkap pada masa menyakitkan itu pun terhentikan begitu mendengar suara Mang Dadang. Kafta mengembuskan napasnya dengan berat. Ia mengangguk singkat sebelum melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan. “Saya ingin bertemu keduanya, Mang,” ucapnya menjawab pertanyaan Mang Dadang. Penjaga gerbang rumah Nina itu mengikutinya setelah pintu kembali ditutup.
“Ohh, Keduanya ada Mas. Mereka di dalam,” Mang Dadang menginformasikan di mana majikannya berada. “Mau Mamang antarkan sekalian, Mas?” tanyanya.
Sekali lagi Kafta mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih kepada Mang Dadang.
Pria berseragam secuirity itu mendahului langkah kaki Kafta ketika di depan mereka pintu utama telah terlihat. Dadang mengetuknya terlebih dahulu sebelum membukanya. “Pak, Bu, ada Mas Kafta di sini. Dia ingin bertemu,” ucapnya mengumumkan.
Di dalam rumah itu, tepatnya di ruang tamu keluarga yang dulu menjadi tempat favorit Kafta dan Nina untuk berbagi cerita, Jonatan dan Livia duduk bersama Amedia. Jonatan terlihat terkejut ketika matanya menangkap keberadaan Kafta. Lelaki itu terakhir kali ia lihat saat masih berumur Dua Puluh Satu tahun. Dan, kini dia sudah tumbuh lebih dewasa sebab sudah berumur Dua Puluh Enam tahun.
“Akhirnya kamu berani menginjak rumah ini lagi,” sindirnya sembari menghampiri Kafta. Di belakangnya Livia mengikuti, ia menepuk bahu Jonatan untuk memberi peringatan. Jonatan menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan.
Sementara itu, Kafta mengepalkan tangannya. Mencoba menahan amarah yang kembali meledak saat melihat Jonatan. Sesungguhnya ia tak pernah siap bertemu Jonatan, pria yang dulu telah merusak kebahagian keluarganya. Terutama yang menyebabkan ayahnya meninggalkan karena serangan jantung. “Saya hanya berusaha abai tentang semuanya, Om. Demi Ame,” balasnya atas sindirian Jonatan.
Kalau bukan karena ingin membuat Amedia bahagia, Kafta mungkin lebih baik bersembunyi dan tak pernah kembali lagi. Namun, ia tidak bisa melakukan itu karena Amedia adalah bagian dari hidupnya juga, bagian paling penting yang dulu ia lupakan begitu saja.
Tck!
Bukan Jonatan atau Kafta yang mendecakan lidah seperti itu, melainkan Livia. Wanita parubaya yang jauh terlihat lebih tua dari Lima tahun lalu itu tampak berkacak pinggang menatap Kafta dan Jonatan secara bergantian. “Kenapa kita nggak duduk dulu sambil ngobrol?” Ia layangkan pertanyaan yang bernada paksaan itu kepada keduanya.
Tanpa menjawab, Jonatan berbalik lalu melangkah menuju sofa ruang tamu yang masih dihuni oleh Ame. “Ame masuk ke kamar dulu ya. Papa dan Mama mau bicara sama Om Kafta,” pintanya pada gadis cilik itu.
“Mama, Ame ke kamar dulu ya! Om Kafta dadah!”
Tanpa membantah Ame langsung setuju. Ia berlari menuju kamar tidurnya. Sementara itu, Kafta terpaku melihat kepergian Ame. Juga, pada panggilan Ame kepada Jonatan dan Livia. Remuk sudah hatinya kala mendengar secara dekat seperti ini. Biasanya ia bertemu dengan Ame ketika di taman saja, tante Livia yang berbaik hati mengantarkan Ame ke sana bila ia ingin berjumpa.
“Kafta!” Livia menepuk bahu Kafta, menyadarkan lelaki itu dari lamunan panjangnya.
“Ayo bicara di sana. Tante yakin kamu memiliki tujuan datang ke rumah ini lagi,”
Kafta mengangguk singkat, mengiakan segala tebakan wanita yang pernah menjadi korban perselingkuhan Jonatan dan mamanya, Larasati tersebut.
Diam-diam Kafta kagum pada Livia, sebab di antara semua orang yang tersakiti, dia adalah yang paling terluka. Namun, hatinya begitu tangguh, begitu kuat dalam menghadapi semua ini. Bahkan tanpa peduli perasaannya sendiri, Livia membesarkan Amedia Mentari layaknya anak sendiri.
“Sebelumnya, saya ingin meminta maaf pada tante Livia atas nama Mama,” ucap Kafta begitu mereka bertiga duduk di ruang tamu. Lelaki itu tak lelah meyakinkan diri untuk mengakui bahwa yang salah di sini tak hanya Jonatan saja, tapi juga mamanya, Larasati.
Kafta berharap langkah ini membawanya pada perubahan yang baru. Berbaikan dengan Nina, misalnya.
Livia tersenyum lembut kepada Kafta. Selama setahun ini Kafta sudah meminta maaf untuk yang kesekian kalinya kepadanya. “Tante kan sudah minta kamu lupain semuanya, Kaf,” ucapnya.
“Sejujurnya, saya nggak bisa tante, semuanya terlalu menyakitkan,”
“Loh, katanya kamu mau memperbaiki semuanya bersama Nina demi Ame. Kamu harus merelakan semua yang terjadi di masa lalu kalau begitu,” ucap Livia. Kalau boleh jujur, dirinya pun sama sulitnya memaafkan apalagi melupakan, tapi demi kebahagian Nina dan Ame, ia rela mengalah.
“Papa juga! Papa harus berdamai dengan Kafta demi Nina dan Amedia,” Livia buru-buru memberi peringatan pada Jonatan begitu Jonatan ingin membuka mulutnya. Mungkin untuk menyanggah Kafta. “Papa tidak boleh egois seperti dulu lagi. Sudah cukup Papa melukai semua orang,” ucapnya.
Mendengar itu membuat Jonatan terdiam. Sudah syukur ia dimaafkan oleh Livia setelah melakukan kesalahan besar di masa lalu, kini ia hanya perlu menuruti apa yang istrinya mau.
“Papa tahu apa yang harus Papa lakukan untuk memulai semuanya?” tanya Livia. Jonatan menggelengkan kepala. “Pertama, Papa harus meminta maaf pada Kafta dan Nina. Tapi, karena Nina sudah pulang ke Jakarta, Papa cukup meminta maaf pada Kafta dulu,” terangnya.
Jonatan sama sekali tak keberatan meminta maaf pada Kafta atas kesalahannya di masa lalu. Namun, Jonatan masih kesal akan sikap Kafta kepada Nina ketika Nina hampir saja kehilangan nyawanya.
“Saya minta maaf atas kesalahan saya bersama Larasati di masa lalu. Dan, kalau Ayahmu masih ada, saya pun akan bersimpuh padanya untuk memohon maaf karena telah menghancurkan semuanya,”
“Tapi, saya masih kesal padamu, Kafta! Ke mana kamu saat Nina dalam keadaan terpuruk waktu itu? Kamu hanya tahu melimpahkan kesalahan saya kepada Nina, padahal dia juga menjadi korbannya. Bahkan Ame ... ”
“Pa!” Livia menghentikan apapun yang ingin Jonatan katakan. Terpaksa pria parubaya itu mengunci mulutnya. Pembicaraan tentang Amedia Mentari memang selalu berakhir menegangkan. Akan selalu ada airmata yang coba untuk ditahan oleh siapapun yang mengucapkannya.
.
.
Bersambung.
*** Setelah terdiam mendengar kata-kata Livia, Jonatan pun akhirnya kembali membuka mulutnya. “Baik lah, mari kita berdamai Kafta. Tak baik bila menyimpan dendam meskipun kau dan aku sama-sama bersalah di masa lalu. Kita sama-sama menyianyiakan wanita yang kita cintai. Bahkan almarhum papamu pun melakukan itu hingga membuat mamamu melakukan kesalahan bersamaku,” ucapnya panjang lebar. “Beruntung aku masih mendapatkan maaf dari istriku, Livia.” Jotanatan menoleh pada Livia sejenak. Lalu kembali melabuhkan tatapnya pada Kafta yang juga dengan tegas menatapnya. “Aku dengan tulus meminta maaf padamu bagaimanapun juga,” lanjutnya. Dalam diam Livia tahu suaminya benar-benar menyesali perbuatannya di masa lalu. Dan, Livia dengan lapang dada memaafkan Jonatan beserta kesalahannya. “Om benar, kita salah. Tapi, aku tak setuju bila Om ikut menyalahkan Papaku. Dia hanya korban keegoisan mamaku dan Om Jo!” Jonatan tersenyum tipis. Rupanya hingga detik ini Larasati tak mengungkapkan cerita yang
***Livia mengangguk mantap. “Kalau begitu yang harus kamu luluhkan selanjutnya adalah hati Nina, Kafta. Dia belum sembuh dari masa lalu yang pernah menyakitinya dulu,” ucapnya mengingat kesedihan di mata Nina yang tak kunjung hilang hingga detik ini.Kafta paham. Luka itu dirinya yang menorehkan, maka hanya ia pula yang bisa menyembuhkan. “Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mengambalikan Nina seperti dulu lagi, Tante,” balasnya.“Tapi, itu tidak akan mudah. Nina benar-benar membenci kita berdua. Bahkan putri kalian terkena imbasnya!” tutur Jonatan sembari mengingat kembali panggilan Ame untuk Nina. Kakak. Begitu cara cucunya itu memanggil ibunya.Jonatan menghela napas dengan berat. Begitu rumit masalah ini, sedang Ame semakin tumbuh besar. Jonatan khawatir Ame sulit menerima kenyataan yang sebenarnya jika benabng kusut ini tak juga teruraikan.“Aku tahu Om, tapi aku tidak bisa kecewa pada Nina. Semua memang salahku karena dulu meninggalkan Nina dan ikut menyalahkannya,” Kafta be
***Larasati membuang tatap dari putra semata wayangnya. Bahkan kini ia membelakangi Kafta. “Mama setuju kamu mengakui Ame sebagai anakmu, Kafta, tapi mama nggak setuju kamu kembali bersama Nina. Terlalu banyak luka yang menyelimuti kalian berdua. Mama nggak yakin kalian bisa bahagia,” ucapnya.“Mama nggak bisa menghalangi aku. Bagaimanapun juga hingga detik ini aku masih mencintai Nina. Dia wanita yang nggak akan pernah bisa aku lupakan, Ma.”“Tapi … ”“Jangan pernah mama berpikir untuk melanjutkan perjodohan dengan Naura. Dia berhak mendapatkan seorang lelaki yang tulus mencintainya, ma!” tegas Kafta.Larasati membalikan badannya, kembali melabuhkan tatap pada Kafta. “Nggak semudah itu, Kafta. Kamu terlanjur setuju untuk bertunangan dengan Naura. Dia juga mencintaimu,” ucapnya sambil menggelengkan kepala.Jujur saja, masalah ini cukup menyita perhatian Kafta. Sebelumnya kehadiran Naura tak begitu mengganggu karena ia pikir tak mungkin ada kesempatan untuk bersama Nina lagi. Namun, k
*** Nina, begitu orang terdekat memanggil namanya. Perempuan cantik berusia Dua Puluh Lima tahun itu bekerja sebagai pelatih pada salah satu sanggar tari terkenal di Jakarta. Memiliki paras yang menawan, juga tubuh yang professional membuat Nina selalu dinilai sempurna. Nina mendapatkan pujian itu dari banyak orang terutama lelaki. Namun kesempurnaan itu tak pernah benar-benar membuat Nina bahagia.Faranina memiliki banyak sekali rahasia dalam hidupnya, termasuk tentang lelaki yang selama lima tahun ini ia sembunyikan dalam relung hati. Nina enggan mengingatnya, tapi namanya selalu terngingang dalam sukma. Kafta Ragas Fatih nama lelaki itu, lelaki yang selalu memenuhi ruang rindu milik Nina. Sosok antara ada dan tiada. Bukan, Kafta bukan makhluk tak kasat mata seperti hantu. Ia hanya masa lalu yang tak bisa Nina gapai lagi.Nina tidak mengerti mengapa Tuhan menciptakan Kafta dalam angannya. Nina lebih tidak mengerti kenapa Kafta tak bisa ia gapai. Sementara pertemuan mereka terlihat
***Nina mengerjap, mengusap wajahnya dengan kasar. “Ya Tuhan ... mimpi itu lagi.” Lirih sekali suara Nina dalam berucap. Iya, dirinya baru saja terbangun dari tidurnya. Bukan sungguhan ia bertemu dengan Kafta karena ternyata semua hanya mimpi indah yang terus berulang dalam tidurnya.Kafta selalu terlihat begitu nyata, tapi semua hanya ilusi semata.Nina ingat kemarin malam dia dan Bagas makan di restoran. Semua tampak normal. Tidak ada Kafta di sana. Mereka hanya berdua. Setelah itu Bagas mengantarnya pulang. Tidak ada senyum mengembang dari Kafta.Begitu pula dengan pelukan hangatnya, atau balasan rindu yang lelaki itu ungkapkan. Tak ada. Nina hanya bermimpi.Ini yang membuat Nina enggan memejamkan matanya. Entah bagaimana lagi ia melupakan sosok itu. Segala cara sudah Nina lakukan untuk mengenyahkan semua tentang Kafta.Bagi Nina, sosok itu mengerikan. Semesta mempermainkannya. Membiarkan alam bawah sadarnya selalu mengingat Kafta."Tidak," gelengan tak pernah benar-benar mengeny
***Derap langkah milik gadis kecil itu menemani Nina mengelilingi rumah orang tuanya. Ame, ia gadis kecil yang periang. Kata Mama sifat ini sangat mirip dengannya di masa itu. Masa ketika dirinya belum mengerti tentang luka.Helaan napas berat terdengar dari mulut Nina. Sampai kapanpun ia dan Ame akan selalu memiliki kemiripan. Seperti dirinya, pun Ame mudah sekali disukai. Dengan caranya sendiri, Ame berhasil meluluhkan hati Nina yang selama Lima tahun ini menutup rapat hatinya untuk semua hal yang berhubungan dengan masa lalu. Sekali saja, Ame berhasil mencuri hatinya."Kak Nina kenapa baru datang sekarang?" Pertanyaan Ame menyadarkan Nina dari lumunannya. Raut wajah penasaran teramat jelas di wajah Ame. Lantas, jawaban seperti apa yang harus Nina berikan. "Kakak kerja, Sayang." Sungguh, bagi Nina ada desir halus yang menyentuh kalbunya kala ia menyebut kata sayang untuk Ame. Gadis kecil itu mengernyitkan kening. "Tapi Papa selalu pulang walaupun pergi bekerja," ucapnya. Ada sesak
***Nina mengantar Ame ke kamarnya. Dia perlu menenangkan diri atas apa yang baru saja terjadi. Setelah Lima tahun berlalu, Kafta memberinya kejutan yang luar biasa. Ya, Nina tidak perlu berpura-pura bodoh ketika mendengar perkataan Kafta tadi. Memang, semuanya benar. Namun, Nina tidak siap. Sampai kapanpun dia tidak akan pernah siap menapaki lagi masa lalu itu.Suara pintu kamar yang terbuka mengantarkan mata Nina untuk melihat siapa yang datang. "Mama," lirihnya. Wanita yang dipanggilnya Mama itu semakin mendekat. "Kamu sudah ketemu Kafta?" Satu kejutan lagi. Nina sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mama seolah tahu kejadian ini.Nina memberikan tatapan penuh tuntutan agar Mamanya mau menjelaskan semuanya. "Kafta, dia sudah setahun ini kembali ke rumah itu." Livia menghela napasnya. "Dia sering menemui Ame." Sekali lagi, Nina merasakan jantungnya berdegup kencang. Pertanyaan silih berganti memenuhi benaknya. Kenapa Kafta kembali? Apa yang sebenarnya diketa
***Larasati membuang tatap dari putra semata wayangnya. Bahkan kini ia membelakangi Kafta. “Mama setuju kamu mengakui Ame sebagai anakmu, Kafta, tapi mama nggak setuju kamu kembali bersama Nina. Terlalu banyak luka yang menyelimuti kalian berdua. Mama nggak yakin kalian bisa bahagia,” ucapnya.“Mama nggak bisa menghalangi aku. Bagaimanapun juga hingga detik ini aku masih mencintai Nina. Dia wanita yang nggak akan pernah bisa aku lupakan, Ma.”“Tapi … ”“Jangan pernah mama berpikir untuk melanjutkan perjodohan dengan Naura. Dia berhak mendapatkan seorang lelaki yang tulus mencintainya, ma!” tegas Kafta.Larasati membalikan badannya, kembali melabuhkan tatap pada Kafta. “Nggak semudah itu, Kafta. Kamu terlanjur setuju untuk bertunangan dengan Naura. Dia juga mencintaimu,” ucapnya sambil menggelengkan kepala.Jujur saja, masalah ini cukup menyita perhatian Kafta. Sebelumnya kehadiran Naura tak begitu mengganggu karena ia pikir tak mungkin ada kesempatan untuk bersama Nina lagi. Namun, k
***Livia mengangguk mantap. “Kalau begitu yang harus kamu luluhkan selanjutnya adalah hati Nina, Kafta. Dia belum sembuh dari masa lalu yang pernah menyakitinya dulu,” ucapnya mengingat kesedihan di mata Nina yang tak kunjung hilang hingga detik ini.Kafta paham. Luka itu dirinya yang menorehkan, maka hanya ia pula yang bisa menyembuhkan. “Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mengambalikan Nina seperti dulu lagi, Tante,” balasnya.“Tapi, itu tidak akan mudah. Nina benar-benar membenci kita berdua. Bahkan putri kalian terkena imbasnya!” tutur Jonatan sembari mengingat kembali panggilan Ame untuk Nina. Kakak. Begitu cara cucunya itu memanggil ibunya.Jonatan menghela napas dengan berat. Begitu rumit masalah ini, sedang Ame semakin tumbuh besar. Jonatan khawatir Ame sulit menerima kenyataan yang sebenarnya jika benabng kusut ini tak juga teruraikan.“Aku tahu Om, tapi aku tidak bisa kecewa pada Nina. Semua memang salahku karena dulu meninggalkan Nina dan ikut menyalahkannya,” Kafta be
*** Setelah terdiam mendengar kata-kata Livia, Jonatan pun akhirnya kembali membuka mulutnya. “Baik lah, mari kita berdamai Kafta. Tak baik bila menyimpan dendam meskipun kau dan aku sama-sama bersalah di masa lalu. Kita sama-sama menyianyiakan wanita yang kita cintai. Bahkan almarhum papamu pun melakukan itu hingga membuat mamamu melakukan kesalahan bersamaku,” ucapnya panjang lebar. “Beruntung aku masih mendapatkan maaf dari istriku, Livia.” Jotanatan menoleh pada Livia sejenak. Lalu kembali melabuhkan tatapnya pada Kafta yang juga dengan tegas menatapnya. “Aku dengan tulus meminta maaf padamu bagaimanapun juga,” lanjutnya. Dalam diam Livia tahu suaminya benar-benar menyesali perbuatannya di masa lalu. Dan, Livia dengan lapang dada memaafkan Jonatan beserta kesalahannya. “Om benar, kita salah. Tapi, aku tak setuju bila Om ikut menyalahkan Papaku. Dia hanya korban keegoisan mamaku dan Om Jo!” Jonatan tersenyum tipis. Rupanya hingga detik ini Larasati tak mengungkapkan cerita yang
***Kafta sibuk berperang dengan pikirannya begitu berada di depan rumah orang tua Nina. Hari ini ia memutuskan untuk datang ke tempat ini lagi setelah sekian lama menghindar sejauh-jauhnya. Kafta hanya ingin membayar lunas hutangnya pada Nina yang akhirnya memberanikan diri untuk pulang setelah Lima tahun menghilang.Dengan Satu kali tarikan napas, Kafta akhirnya maju satu langkah menuju gerbang rumah. Ia mengangkat tangannya untuk menekan bel agar dibukakan gerbang.“Mas Kafta, ya?” tanya secuirity rumah mantan pacarnya itu ketika membukakan pintu gerbang. Kafta mengangguk singkat, ia tahu secuirity yang ia kenali dengan nama Mang Dadang itu pasti setengah mengenalinya karena mereka sudah lama tidak bertemu. “Boleh saya masuk, Mang?” tanyanya.Dengan cepat Mang Dadang menganggukan kepala. “Masuk Mas!” ujarnya sembari mempersilakan.Masih ada sedikit keraguan di hati Kafta setelah mendengar Mang Dadang mengizinkannya masuk. Untuk pertama kalinya ia kembali ke rumah ini setelah Lima t
***Nina mengantar Ame ke kamarnya. Dia perlu menenangkan diri atas apa yang baru saja terjadi. Setelah Lima tahun berlalu, Kafta memberinya kejutan yang luar biasa. Ya, Nina tidak perlu berpura-pura bodoh ketika mendengar perkataan Kafta tadi. Memang, semuanya benar. Namun, Nina tidak siap. Sampai kapanpun dia tidak akan pernah siap menapaki lagi masa lalu itu.Suara pintu kamar yang terbuka mengantarkan mata Nina untuk melihat siapa yang datang. "Mama," lirihnya. Wanita yang dipanggilnya Mama itu semakin mendekat. "Kamu sudah ketemu Kafta?" Satu kejutan lagi. Nina sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mama seolah tahu kejadian ini.Nina memberikan tatapan penuh tuntutan agar Mamanya mau menjelaskan semuanya. "Kafta, dia sudah setahun ini kembali ke rumah itu." Livia menghela napasnya. "Dia sering menemui Ame." Sekali lagi, Nina merasakan jantungnya berdegup kencang. Pertanyaan silih berganti memenuhi benaknya. Kenapa Kafta kembali? Apa yang sebenarnya diketa
***Derap langkah milik gadis kecil itu menemani Nina mengelilingi rumah orang tuanya. Ame, ia gadis kecil yang periang. Kata Mama sifat ini sangat mirip dengannya di masa itu. Masa ketika dirinya belum mengerti tentang luka.Helaan napas berat terdengar dari mulut Nina. Sampai kapanpun ia dan Ame akan selalu memiliki kemiripan. Seperti dirinya, pun Ame mudah sekali disukai. Dengan caranya sendiri, Ame berhasil meluluhkan hati Nina yang selama Lima tahun ini menutup rapat hatinya untuk semua hal yang berhubungan dengan masa lalu. Sekali saja, Ame berhasil mencuri hatinya."Kak Nina kenapa baru datang sekarang?" Pertanyaan Ame menyadarkan Nina dari lumunannya. Raut wajah penasaran teramat jelas di wajah Ame. Lantas, jawaban seperti apa yang harus Nina berikan. "Kakak kerja, Sayang." Sungguh, bagi Nina ada desir halus yang menyentuh kalbunya kala ia menyebut kata sayang untuk Ame. Gadis kecil itu mengernyitkan kening. "Tapi Papa selalu pulang walaupun pergi bekerja," ucapnya. Ada sesak
***Nina mengerjap, mengusap wajahnya dengan kasar. “Ya Tuhan ... mimpi itu lagi.” Lirih sekali suara Nina dalam berucap. Iya, dirinya baru saja terbangun dari tidurnya. Bukan sungguhan ia bertemu dengan Kafta karena ternyata semua hanya mimpi indah yang terus berulang dalam tidurnya.Kafta selalu terlihat begitu nyata, tapi semua hanya ilusi semata.Nina ingat kemarin malam dia dan Bagas makan di restoran. Semua tampak normal. Tidak ada Kafta di sana. Mereka hanya berdua. Setelah itu Bagas mengantarnya pulang. Tidak ada senyum mengembang dari Kafta.Begitu pula dengan pelukan hangatnya, atau balasan rindu yang lelaki itu ungkapkan. Tak ada. Nina hanya bermimpi.Ini yang membuat Nina enggan memejamkan matanya. Entah bagaimana lagi ia melupakan sosok itu. Segala cara sudah Nina lakukan untuk mengenyahkan semua tentang Kafta.Bagi Nina, sosok itu mengerikan. Semesta mempermainkannya. Membiarkan alam bawah sadarnya selalu mengingat Kafta."Tidak," gelengan tak pernah benar-benar mengeny
*** Nina, begitu orang terdekat memanggil namanya. Perempuan cantik berusia Dua Puluh Lima tahun itu bekerja sebagai pelatih pada salah satu sanggar tari terkenal di Jakarta. Memiliki paras yang menawan, juga tubuh yang professional membuat Nina selalu dinilai sempurna. Nina mendapatkan pujian itu dari banyak orang terutama lelaki. Namun kesempurnaan itu tak pernah benar-benar membuat Nina bahagia.Faranina memiliki banyak sekali rahasia dalam hidupnya, termasuk tentang lelaki yang selama lima tahun ini ia sembunyikan dalam relung hati. Nina enggan mengingatnya, tapi namanya selalu terngingang dalam sukma. Kafta Ragas Fatih nama lelaki itu, lelaki yang selalu memenuhi ruang rindu milik Nina. Sosok antara ada dan tiada. Bukan, Kafta bukan makhluk tak kasat mata seperti hantu. Ia hanya masa lalu yang tak bisa Nina gapai lagi.Nina tidak mengerti mengapa Tuhan menciptakan Kafta dalam angannya. Nina lebih tidak mengerti kenapa Kafta tak bisa ia gapai. Sementara pertemuan mereka terlihat