***
Nina, begitu orang terdekat memanggil namanya. Perempuan cantik berusia Dua Puluh Lima tahun itu bekerja sebagai pelatih pada salah satu sanggar tari terkenal di Jakarta. Memiliki paras yang menawan, juga tubuh yang professional membuat Nina selalu dinilai sempurna. Nina mendapatkan pujian itu dari banyak orang terutama lelaki. Namun kesempurnaan itu tak pernah benar-benar membuat Nina bahagia.
Faranina memiliki banyak sekali rahasia dalam hidupnya, termasuk tentang lelaki yang selama lima tahun ini ia sembunyikan dalam relung hati. Nina enggan mengingatnya, tapi namanya selalu terngingang dalam sukma. Kafta Ragas Fatih nama lelaki itu, lelaki yang selalu memenuhi ruang rindu milik Nina. Sosok antara ada dan tiada. Bukan, Kafta bukan makhluk tak kasat mata seperti hantu. Ia hanya masa lalu yang tak bisa Nina gapai lagi.
Nina tidak mengerti mengapa Tuhan menciptakan Kafta dalam angannya. Nina lebih tidak mengerti kenapa Kafta tak bisa ia gapai. Sementara pertemuan mereka terlihat begitu nyata.
Terkadang Nina berpikir apakah kegilaan ini ia yang ciptakan atau Tuhan mempunyai rencana lain yang tidak mungkin dia ketahui.
"Melamun lagi?" tegur Bagas. Nina menolehkan kepala untuk sekedar memberikan senyuman pada Bagas. "Belum pulang?" tanyanya. Bagas mendecakan lidah karena Nina mengalihkan pembicaraan tanpa menjawab pertanyaannya.
"Belum. Nunggu kamu," jawab Bagas.
Nina terkekeh atau mencoba terkekeh. "Kenapa?" tanyanya.
"Nothing," Bagas mengedikan bahunya.
Di halte bus yang sama, yang selalu Nina jadikan tempat untuk mengenang setelah ia selesai melatih penarinya, di halte yang sama pula seorang Bagas Winata selalu menemui Nina hanya sekedar untuk melepas rindunya. Ah ya, Bagas adalah salah satu laki-laki yang mengagumi Nina. Hebatnya seorang Bagas tak pernah benar-benar menunjukan ketertarikannya pada wanita itu. Katakan lah ia seorang lelaki yang pengecut karena takut Nina menjauhinya begitu tahu perasaannya yang sesungguhnya karena Bagas tahu Nina tidak akan pernah bisa menganggapnya lebih dari seorang sahabat.
"Ayo pulang!" Seperti biasa, Bagas akan mengakak Nina pulang. Seolah ia sedang lewat secara kebetulan, padahal datang ke tempat ini memang ingin menjemput sang pujaan hati.
Nina menganggukan kepalanya. "Ayo!" serunya.
Bagas membukakan pintu penumpang untuk Nina sebelum memutari mobil untuk duduk di belakang kemudi. Sekilas Bagas menatap Nina yang sedang sibuk memainkan ponselnya.
Lelaki itu terkekeh. Bagas membantu Nina memasang seatbelt seperti biasa. Tanpa canggung ia melakukannya. "Nggak pernah berubah," komentarnya.
Nina tersenyum sembari menoleh pada Bagas. "Kamu juga," balasnya. Bagas satu-satunya orang yang tahu kecerobohannya selama ini. Bagaimana ia selalu enggan memasang seatbelt karena merepotkan. Padahal pekerjaan itu jauh lebih mudah dari pada menari. Sungguh beruntung ia memiliki Bagas. Lelaki itu adalah orang yang tak akan pernah membiarkannya berpergian tanpa sabuk pengaman.
"Thanks," ucap Nina setelah Bagas selesai membantunya. Bagas mengedikan bahu seolah tak peduli, padahal dalam hati ia lega hanya karena Nina mengucapkan kata terima kasihnya. Bagas merasa bangga pada diri sendiri karena kembali berhasil melakukan sesuatu yang berguna untuk Nina, meski itu hanya pekerjaan kecil.
"Makan dulu?" tanya Bagas saat mobil mereka berhenti di lampu merah pertama.
Nina mengernyitkan keningnya. Melirik sekilas pada jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu masih menunjukan pukul Tujuh lewat Lima Belas menit, artinya masih terlalu cepat untuk kembali ke apartement. "Boleh," jawab Nina kemudian.
Bagas menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis begitu mendengar jawaban Nina. Ia melajukan mobilnya begitu lampu lalu lintas kembali berubah warna menjadi hijau. Tak jauh dari lampu lalu lintas tersebut restoran favorit keduanya berada. Bagas menepikan mobilnya, masuk ke halaman restoran yang cukup luas sebagai parkiran.
Lelaki itu melepaskan seatbeltnya, lalu beralih melepaskan seatbelt Nina. "Sini." Lagi-lagi Nina mengucapkan terima kasih atas inisiatif yang Bagas lakukan untuknya.
Mereka berdua memasuki restorant dan duduk di tempat yang paling pojok. Ini juga merupakan tempat kesukaan mereka berdua atau lebih tepatnya tempat favorit Nina. "Seperti biasa?" tanya Bagas yang langsung mendapat anggukan dari Nina.
Bagas meninggalkan Nina untuk memesan makanan. Nina menatap punggung Bagas yang menjauh. Ada rasa haru sekaligus sendu melihat punggung itu. Nina menggeleng, lalu menunduk, entah apa yang Nina pikirkan. Nina terdiam hingga tanpa sadar ada seseorang yang berdiri di depannya.
"Faranina?” Suara itu membuat Nina mengangkat kepalanya dengan cepat. Ini praduga yang tak pernah salah jika tentang dia. Tentang seseorang yang baru saja memberikan kejutan padanya.
"Kafta?" Suara Nina seakan tertelan oleh gemuruh dalam hatinya. Iya, Nina masih sangat mengenali laki-laki dengan suara berat tapi seksi itu. Begitu juga dengan telaga kelam yang saat ini tengah menatap dirinya dalam.
Ya Tuhan..
Lelaki yang saat ini tengah berdiri menatapnya itu adalah senandung rindu yang miliki seluruh risaunya, yang selama ini ingin ia lupakan, tapi tak bisa.
Nina bertanya-tanya, haruskah ia bertemu dengan Kafta saat ini juga? Kenapa Kafta ada di sini? Tak ada yang menjawab tanya itu sebab Nina tak pernah benar-benar membiarkan tanyanya didengarkan.
Seakan waktu menghentikan semuanya, baik Kafta maupun Nina sama-sama terkunci dalam tatapan mereka sampai suara Bagas mengintrupsi keduanya.
"Nina," panggilnya. Nina mengerjapkan matanya. Mengalihkan tatapan pada Bagas yang terlihat begitu sabar untuk seseorang yang sedang patah hati. Ah siapa yang tahu? Pun dengan Nina. Perempuan Dua Puluh Lima tahun itu selamanya tidak akan tahu bagaimana perasaan Bagas.
"Halo Kafta," Bagas sedikit menundukan kepalanya untuk menyapa Kafta. Namun seperti biasa, Kafta seolah tak mendengar sapaan itu. Dia sama dinginnya dengan Lima tahun lalu.
Ah, ya Lima tahun lalu. Itu adalah pertemuan terakhir antara Nina, Bagas dan Kafta. Pertemuan yang selamanya akan Nina ingat. Pertemuan yang sampai saat ini menyisakan tanya bagi ketiganya.
Kini, di detik yang berubah menjadi menit, Kafta dengan dingin berdiri di depannya. Seolah tak memberikan ruang untuk Nina bernapas, Kafta enggan mengalihkan tatapannya dari telaga bening milik perempuan itu.
"Faranina!" ujarnya sekali lagi. Nina kembali menatap Kafta.
Detak jantung Nina bertalu seiring sesak menyapanya. "Kafta," lirihnya.
Senyum Kafta mengembang.
Bagi Nina itu adalah kebahagian yang tak seharusnya ia lewatkan.
Nina menikmati senyuman itu. Kafta berubah. Ia tak seperti dulu lagi. Laki-laki itu terlihat bersahabat. Dia tidak membenci Nina seperti Lima tahun lalu.
Nina bangkit dari duduknya. Tanpa peduli tatapan dari Bagas, Nina menghambur ke dalam pelukan Kafta. Perasaan Nina menghangat kala telapak tangan Kafta mengelus lembut rambutnya.
"I miss you," lirihnya.
"I miss you too, Faranina." Nina mengeratkan pelukannya. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat kesungguhan di mata hitam milik Kafta. Senyumnya melebar ketika ketulusan itu terlihat begitu nyata.
.
.
Bersambung.
***Nina mengerjap, mengusap wajahnya dengan kasar. “Ya Tuhan ... mimpi itu lagi.” Lirih sekali suara Nina dalam berucap. Iya, dirinya baru saja terbangun dari tidurnya. Bukan sungguhan ia bertemu dengan Kafta karena ternyata semua hanya mimpi indah yang terus berulang dalam tidurnya.Kafta selalu terlihat begitu nyata, tapi semua hanya ilusi semata.Nina ingat kemarin malam dia dan Bagas makan di restoran. Semua tampak normal. Tidak ada Kafta di sana. Mereka hanya berdua. Setelah itu Bagas mengantarnya pulang. Tidak ada senyum mengembang dari Kafta.Begitu pula dengan pelukan hangatnya, atau balasan rindu yang lelaki itu ungkapkan. Tak ada. Nina hanya bermimpi.Ini yang membuat Nina enggan memejamkan matanya. Entah bagaimana lagi ia melupakan sosok itu. Segala cara sudah Nina lakukan untuk mengenyahkan semua tentang Kafta.Bagi Nina, sosok itu mengerikan. Semesta mempermainkannya. Membiarkan alam bawah sadarnya selalu mengingat Kafta."Tidak," gelengan tak pernah benar-benar mengeny
***Derap langkah milik gadis kecil itu menemani Nina mengelilingi rumah orang tuanya. Ame, ia gadis kecil yang periang. Kata Mama sifat ini sangat mirip dengannya di masa itu. Masa ketika dirinya belum mengerti tentang luka.Helaan napas berat terdengar dari mulut Nina. Sampai kapanpun ia dan Ame akan selalu memiliki kemiripan. Seperti dirinya, pun Ame mudah sekali disukai. Dengan caranya sendiri, Ame berhasil meluluhkan hati Nina yang selama Lima tahun ini menutup rapat hatinya untuk semua hal yang berhubungan dengan masa lalu. Sekali saja, Ame berhasil mencuri hatinya."Kak Nina kenapa baru datang sekarang?" Pertanyaan Ame menyadarkan Nina dari lumunannya. Raut wajah penasaran teramat jelas di wajah Ame. Lantas, jawaban seperti apa yang harus Nina berikan. "Kakak kerja, Sayang." Sungguh, bagi Nina ada desir halus yang menyentuh kalbunya kala ia menyebut kata sayang untuk Ame. Gadis kecil itu mengernyitkan kening. "Tapi Papa selalu pulang walaupun pergi bekerja," ucapnya. Ada sesak
***Nina mengantar Ame ke kamarnya. Dia perlu menenangkan diri atas apa yang baru saja terjadi. Setelah Lima tahun berlalu, Kafta memberinya kejutan yang luar biasa. Ya, Nina tidak perlu berpura-pura bodoh ketika mendengar perkataan Kafta tadi. Memang, semuanya benar. Namun, Nina tidak siap. Sampai kapanpun dia tidak akan pernah siap menapaki lagi masa lalu itu.Suara pintu kamar yang terbuka mengantarkan mata Nina untuk melihat siapa yang datang. "Mama," lirihnya. Wanita yang dipanggilnya Mama itu semakin mendekat. "Kamu sudah ketemu Kafta?" Satu kejutan lagi. Nina sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mama seolah tahu kejadian ini.Nina memberikan tatapan penuh tuntutan agar Mamanya mau menjelaskan semuanya. "Kafta, dia sudah setahun ini kembali ke rumah itu." Livia menghela napasnya. "Dia sering menemui Ame." Sekali lagi, Nina merasakan jantungnya berdegup kencang. Pertanyaan silih berganti memenuhi benaknya. Kenapa Kafta kembali? Apa yang sebenarnya diketa
***Kafta sibuk berperang dengan pikirannya begitu berada di depan rumah orang tua Nina. Hari ini ia memutuskan untuk datang ke tempat ini lagi setelah sekian lama menghindar sejauh-jauhnya. Kafta hanya ingin membayar lunas hutangnya pada Nina yang akhirnya memberanikan diri untuk pulang setelah Lima tahun menghilang.Dengan Satu kali tarikan napas, Kafta akhirnya maju satu langkah menuju gerbang rumah. Ia mengangkat tangannya untuk menekan bel agar dibukakan gerbang.“Mas Kafta, ya?” tanya secuirity rumah mantan pacarnya itu ketika membukakan pintu gerbang. Kafta mengangguk singkat, ia tahu secuirity yang ia kenali dengan nama Mang Dadang itu pasti setengah mengenalinya karena mereka sudah lama tidak bertemu. “Boleh saya masuk, Mang?” tanyanya.Dengan cepat Mang Dadang menganggukan kepala. “Masuk Mas!” ujarnya sembari mempersilakan.Masih ada sedikit keraguan di hati Kafta setelah mendengar Mang Dadang mengizinkannya masuk. Untuk pertama kalinya ia kembali ke rumah ini setelah Lima t
*** Setelah terdiam mendengar kata-kata Livia, Jonatan pun akhirnya kembali membuka mulutnya. “Baik lah, mari kita berdamai Kafta. Tak baik bila menyimpan dendam meskipun kau dan aku sama-sama bersalah di masa lalu. Kita sama-sama menyianyiakan wanita yang kita cintai. Bahkan almarhum papamu pun melakukan itu hingga membuat mamamu melakukan kesalahan bersamaku,” ucapnya panjang lebar. “Beruntung aku masih mendapatkan maaf dari istriku, Livia.” Jotanatan menoleh pada Livia sejenak. Lalu kembali melabuhkan tatapnya pada Kafta yang juga dengan tegas menatapnya. “Aku dengan tulus meminta maaf padamu bagaimanapun juga,” lanjutnya. Dalam diam Livia tahu suaminya benar-benar menyesali perbuatannya di masa lalu. Dan, Livia dengan lapang dada memaafkan Jonatan beserta kesalahannya. “Om benar, kita salah. Tapi, aku tak setuju bila Om ikut menyalahkan Papaku. Dia hanya korban keegoisan mamaku dan Om Jo!” Jonatan tersenyum tipis. Rupanya hingga detik ini Larasati tak mengungkapkan cerita yang
***Livia mengangguk mantap. “Kalau begitu yang harus kamu luluhkan selanjutnya adalah hati Nina, Kafta. Dia belum sembuh dari masa lalu yang pernah menyakitinya dulu,” ucapnya mengingat kesedihan di mata Nina yang tak kunjung hilang hingga detik ini.Kafta paham. Luka itu dirinya yang menorehkan, maka hanya ia pula yang bisa menyembuhkan. “Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mengambalikan Nina seperti dulu lagi, Tante,” balasnya.“Tapi, itu tidak akan mudah. Nina benar-benar membenci kita berdua. Bahkan putri kalian terkena imbasnya!” tutur Jonatan sembari mengingat kembali panggilan Ame untuk Nina. Kakak. Begitu cara cucunya itu memanggil ibunya.Jonatan menghela napas dengan berat. Begitu rumit masalah ini, sedang Ame semakin tumbuh besar. Jonatan khawatir Ame sulit menerima kenyataan yang sebenarnya jika benabng kusut ini tak juga teruraikan.“Aku tahu Om, tapi aku tidak bisa kecewa pada Nina. Semua memang salahku karena dulu meninggalkan Nina dan ikut menyalahkannya,” Kafta be
***Larasati membuang tatap dari putra semata wayangnya. Bahkan kini ia membelakangi Kafta. “Mama setuju kamu mengakui Ame sebagai anakmu, Kafta, tapi mama nggak setuju kamu kembali bersama Nina. Terlalu banyak luka yang menyelimuti kalian berdua. Mama nggak yakin kalian bisa bahagia,” ucapnya.“Mama nggak bisa menghalangi aku. Bagaimanapun juga hingga detik ini aku masih mencintai Nina. Dia wanita yang nggak akan pernah bisa aku lupakan, Ma.”“Tapi … ”“Jangan pernah mama berpikir untuk melanjutkan perjodohan dengan Naura. Dia berhak mendapatkan seorang lelaki yang tulus mencintainya, ma!” tegas Kafta.Larasati membalikan badannya, kembali melabuhkan tatap pada Kafta. “Nggak semudah itu, Kafta. Kamu terlanjur setuju untuk bertunangan dengan Naura. Dia juga mencintaimu,” ucapnya sambil menggelengkan kepala.Jujur saja, masalah ini cukup menyita perhatian Kafta. Sebelumnya kehadiran Naura tak begitu mengganggu karena ia pikir tak mungkin ada kesempatan untuk bersama Nina lagi. Namun, k
***Larasati membuang tatap dari putra semata wayangnya. Bahkan kini ia membelakangi Kafta. “Mama setuju kamu mengakui Ame sebagai anakmu, Kafta, tapi mama nggak setuju kamu kembali bersama Nina. Terlalu banyak luka yang menyelimuti kalian berdua. Mama nggak yakin kalian bisa bahagia,” ucapnya.“Mama nggak bisa menghalangi aku. Bagaimanapun juga hingga detik ini aku masih mencintai Nina. Dia wanita yang nggak akan pernah bisa aku lupakan, Ma.”“Tapi … ”“Jangan pernah mama berpikir untuk melanjutkan perjodohan dengan Naura. Dia berhak mendapatkan seorang lelaki yang tulus mencintainya, ma!” tegas Kafta.Larasati membalikan badannya, kembali melabuhkan tatap pada Kafta. “Nggak semudah itu, Kafta. Kamu terlanjur setuju untuk bertunangan dengan Naura. Dia juga mencintaimu,” ucapnya sambil menggelengkan kepala.Jujur saja, masalah ini cukup menyita perhatian Kafta. Sebelumnya kehadiran Naura tak begitu mengganggu karena ia pikir tak mungkin ada kesempatan untuk bersama Nina lagi. Namun, k
***Livia mengangguk mantap. “Kalau begitu yang harus kamu luluhkan selanjutnya adalah hati Nina, Kafta. Dia belum sembuh dari masa lalu yang pernah menyakitinya dulu,” ucapnya mengingat kesedihan di mata Nina yang tak kunjung hilang hingga detik ini.Kafta paham. Luka itu dirinya yang menorehkan, maka hanya ia pula yang bisa menyembuhkan. “Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mengambalikan Nina seperti dulu lagi, Tante,” balasnya.“Tapi, itu tidak akan mudah. Nina benar-benar membenci kita berdua. Bahkan putri kalian terkena imbasnya!” tutur Jonatan sembari mengingat kembali panggilan Ame untuk Nina. Kakak. Begitu cara cucunya itu memanggil ibunya.Jonatan menghela napas dengan berat. Begitu rumit masalah ini, sedang Ame semakin tumbuh besar. Jonatan khawatir Ame sulit menerima kenyataan yang sebenarnya jika benabng kusut ini tak juga teruraikan.“Aku tahu Om, tapi aku tidak bisa kecewa pada Nina. Semua memang salahku karena dulu meninggalkan Nina dan ikut menyalahkannya,” Kafta be
*** Setelah terdiam mendengar kata-kata Livia, Jonatan pun akhirnya kembali membuka mulutnya. “Baik lah, mari kita berdamai Kafta. Tak baik bila menyimpan dendam meskipun kau dan aku sama-sama bersalah di masa lalu. Kita sama-sama menyianyiakan wanita yang kita cintai. Bahkan almarhum papamu pun melakukan itu hingga membuat mamamu melakukan kesalahan bersamaku,” ucapnya panjang lebar. “Beruntung aku masih mendapatkan maaf dari istriku, Livia.” Jotanatan menoleh pada Livia sejenak. Lalu kembali melabuhkan tatapnya pada Kafta yang juga dengan tegas menatapnya. “Aku dengan tulus meminta maaf padamu bagaimanapun juga,” lanjutnya. Dalam diam Livia tahu suaminya benar-benar menyesali perbuatannya di masa lalu. Dan, Livia dengan lapang dada memaafkan Jonatan beserta kesalahannya. “Om benar, kita salah. Tapi, aku tak setuju bila Om ikut menyalahkan Papaku. Dia hanya korban keegoisan mamaku dan Om Jo!” Jonatan tersenyum tipis. Rupanya hingga detik ini Larasati tak mengungkapkan cerita yang
***Kafta sibuk berperang dengan pikirannya begitu berada di depan rumah orang tua Nina. Hari ini ia memutuskan untuk datang ke tempat ini lagi setelah sekian lama menghindar sejauh-jauhnya. Kafta hanya ingin membayar lunas hutangnya pada Nina yang akhirnya memberanikan diri untuk pulang setelah Lima tahun menghilang.Dengan Satu kali tarikan napas, Kafta akhirnya maju satu langkah menuju gerbang rumah. Ia mengangkat tangannya untuk menekan bel agar dibukakan gerbang.“Mas Kafta, ya?” tanya secuirity rumah mantan pacarnya itu ketika membukakan pintu gerbang. Kafta mengangguk singkat, ia tahu secuirity yang ia kenali dengan nama Mang Dadang itu pasti setengah mengenalinya karena mereka sudah lama tidak bertemu. “Boleh saya masuk, Mang?” tanyanya.Dengan cepat Mang Dadang menganggukan kepala. “Masuk Mas!” ujarnya sembari mempersilakan.Masih ada sedikit keraguan di hati Kafta setelah mendengar Mang Dadang mengizinkannya masuk. Untuk pertama kalinya ia kembali ke rumah ini setelah Lima t
***Nina mengantar Ame ke kamarnya. Dia perlu menenangkan diri atas apa yang baru saja terjadi. Setelah Lima tahun berlalu, Kafta memberinya kejutan yang luar biasa. Ya, Nina tidak perlu berpura-pura bodoh ketika mendengar perkataan Kafta tadi. Memang, semuanya benar. Namun, Nina tidak siap. Sampai kapanpun dia tidak akan pernah siap menapaki lagi masa lalu itu.Suara pintu kamar yang terbuka mengantarkan mata Nina untuk melihat siapa yang datang. "Mama," lirihnya. Wanita yang dipanggilnya Mama itu semakin mendekat. "Kamu sudah ketemu Kafta?" Satu kejutan lagi. Nina sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mama seolah tahu kejadian ini.Nina memberikan tatapan penuh tuntutan agar Mamanya mau menjelaskan semuanya. "Kafta, dia sudah setahun ini kembali ke rumah itu." Livia menghela napasnya. "Dia sering menemui Ame." Sekali lagi, Nina merasakan jantungnya berdegup kencang. Pertanyaan silih berganti memenuhi benaknya. Kenapa Kafta kembali? Apa yang sebenarnya diketa
***Derap langkah milik gadis kecil itu menemani Nina mengelilingi rumah orang tuanya. Ame, ia gadis kecil yang periang. Kata Mama sifat ini sangat mirip dengannya di masa itu. Masa ketika dirinya belum mengerti tentang luka.Helaan napas berat terdengar dari mulut Nina. Sampai kapanpun ia dan Ame akan selalu memiliki kemiripan. Seperti dirinya, pun Ame mudah sekali disukai. Dengan caranya sendiri, Ame berhasil meluluhkan hati Nina yang selama Lima tahun ini menutup rapat hatinya untuk semua hal yang berhubungan dengan masa lalu. Sekali saja, Ame berhasil mencuri hatinya."Kak Nina kenapa baru datang sekarang?" Pertanyaan Ame menyadarkan Nina dari lumunannya. Raut wajah penasaran teramat jelas di wajah Ame. Lantas, jawaban seperti apa yang harus Nina berikan. "Kakak kerja, Sayang." Sungguh, bagi Nina ada desir halus yang menyentuh kalbunya kala ia menyebut kata sayang untuk Ame. Gadis kecil itu mengernyitkan kening. "Tapi Papa selalu pulang walaupun pergi bekerja," ucapnya. Ada sesak
***Nina mengerjap, mengusap wajahnya dengan kasar. “Ya Tuhan ... mimpi itu lagi.” Lirih sekali suara Nina dalam berucap. Iya, dirinya baru saja terbangun dari tidurnya. Bukan sungguhan ia bertemu dengan Kafta karena ternyata semua hanya mimpi indah yang terus berulang dalam tidurnya.Kafta selalu terlihat begitu nyata, tapi semua hanya ilusi semata.Nina ingat kemarin malam dia dan Bagas makan di restoran. Semua tampak normal. Tidak ada Kafta di sana. Mereka hanya berdua. Setelah itu Bagas mengantarnya pulang. Tidak ada senyum mengembang dari Kafta.Begitu pula dengan pelukan hangatnya, atau balasan rindu yang lelaki itu ungkapkan. Tak ada. Nina hanya bermimpi.Ini yang membuat Nina enggan memejamkan matanya. Entah bagaimana lagi ia melupakan sosok itu. Segala cara sudah Nina lakukan untuk mengenyahkan semua tentang Kafta.Bagi Nina, sosok itu mengerikan. Semesta mempermainkannya. Membiarkan alam bawah sadarnya selalu mengingat Kafta."Tidak," gelengan tak pernah benar-benar mengeny
*** Nina, begitu orang terdekat memanggil namanya. Perempuan cantik berusia Dua Puluh Lima tahun itu bekerja sebagai pelatih pada salah satu sanggar tari terkenal di Jakarta. Memiliki paras yang menawan, juga tubuh yang professional membuat Nina selalu dinilai sempurna. Nina mendapatkan pujian itu dari banyak orang terutama lelaki. Namun kesempurnaan itu tak pernah benar-benar membuat Nina bahagia.Faranina memiliki banyak sekali rahasia dalam hidupnya, termasuk tentang lelaki yang selama lima tahun ini ia sembunyikan dalam relung hati. Nina enggan mengingatnya, tapi namanya selalu terngingang dalam sukma. Kafta Ragas Fatih nama lelaki itu, lelaki yang selalu memenuhi ruang rindu milik Nina. Sosok antara ada dan tiada. Bukan, Kafta bukan makhluk tak kasat mata seperti hantu. Ia hanya masa lalu yang tak bisa Nina gapai lagi.Nina tidak mengerti mengapa Tuhan menciptakan Kafta dalam angannya. Nina lebih tidak mengerti kenapa Kafta tak bisa ia gapai. Sementara pertemuan mereka terlihat