***
Derap langkah milik gadis kecil itu menemani Nina mengelilingi rumah orang tuanya. Ame, ia gadis kecil yang periang. Kata Mama sifat ini sangat mirip dengannya di masa itu. Masa ketika dirinya belum mengerti tentang luka.
Helaan napas berat terdengar dari mulut Nina. Sampai kapanpun ia dan Ame akan selalu memiliki kemiripan. Seperti dirinya, pun Ame mudah sekali disukai. Dengan caranya sendiri, Ame berhasil meluluhkan hati Nina yang selama Lima tahun ini menutup rapat hatinya untuk semua hal yang berhubungan dengan masa lalu. Sekali saja, Ame berhasil mencuri hatinya.
"Kak Nina kenapa baru datang sekarang?" Pertanyaan Ame menyadarkan Nina dari lumunannya. Raut wajah penasaran teramat jelas di wajah Ame. Lantas, jawaban seperti apa yang harus Nina berikan. "Kakak kerja, Sayang." Sungguh, bagi Nina ada desir halus yang menyentuh kalbunya kala ia menyebut kata sayang untuk Ame.
Gadis kecil itu mengernyitkan kening. "Tapi Papa selalu pulang walaupun pergi bekerja," ucapnya. Ada sesak saat Nina mendengar Ame memanggil Papanya dengan panggilan yang sama. "Karena ini rumah Papa." Jawaban Nina mendapatkan anggukan dari Ame. Nina pikir anggukan itu adalah penutup dari rasa penasaran Ame, tapi ternyata dirinya salah. "Rumah Papa sama dengan rumah Ame, karena Kak Nina adalah kakak Ame, jadi ini juga rumah kak Nina, kan?" Sejujurnya Nina ragu apa ini juga rumahnya.
Ame terkekeh kecil melihat raut wajah Nina yang kebingungan. "Bodoh sekali Ame ini, rumah Ame ya rumah Kak Nina juga!" ujarnya. Entah seperti apa Livia mendidik Ame sampai gadis kecil itu terlalu pintar untuk anak seumurannya.
Nina menghentikan langkahnya. Ia menunduk demi mensejajarkan tingginya dengan Ame. "Dulu, ini rumah Kakak. Tempat ternyaman bagi Kakak, tapi sekarang sudah berubah," Nina juga tidak tahu kenapa ia mengatakan semua itu pada Ame.
Kemudian, Nina terusik ketika ia menangkap mata sendu Ame. "Apa karena Ame?" Pertanyaan Ame menciptakan luka baru dalam hati Nina. Seketika itu pula ia menyesal telah mengatakan sesuatu yang tak seharusnya pada gadis kecil yang polos seperti Ame. "Bukan sayang," jawabnya. Sedikit ragu ia menarik tubuh kecil Ame ke dalam pelukannya. Hangat. Tidak mungkin Nina bisa berdusta dengan kehangatan ini. Jantungnya berdegup. Nina sangat mengenal degup ini, degup yang sama saat dirinya bersentuhan dengan seseorang, dulu.
Nina melepas pelukannya. "Mau ke taman?" Senyuman di bibir Ame memenuhi penglihatan Nina. Gadis kecil pemilik bola mata hitam itu mengangguk antusias. "Mauuu!" ujarnya dengan semangat. Nina mengangguk, iya, sudah seharusnya dia melakukan ini. "Ayo!" ajaknya. Maka, Nina mengajak Ame ke taman dekat rumahnya. Sudah barang tentu Nina tidak lupa dengan tempat ini. Sejujurnya, lidah Nina kelu untuk menyebutkan bahwa tak jauh dari taman ini adalah rumah laki-laki itu. Pun, Nina enggan mengatakan bahwa dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua di taman ini.
Mengembuskan napas letih, Nina terlihat berkaca-kaca kala mengingat lagi kenangan manisnya. "Kak Nina ada apa?" Pekikan Ame berhasil membawa Nina kembali pada kenyataan yang sesungguhnya.
Nina menahan air mata yang akan tumpah. "Nggak apa-apa, sayang." Sebisa mungkin Nina bersikap biasa. Ia tidak ingin melukai hatinya lagi. Namun seolah semesta menolak keinginan itu, seseorang yang menjadi penyebab rapuhnya sedang berdiri di sana, tak jauh darinya dan Ame berada.
"Om Kafta?"
Lagi, seakan belum cukup rasa terkejutnya, Ame berlari menuju orang itu.
"Jangan berlari!" teriak Kafta menegur Ame, sedangkan Nina masih berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia terlalu tidak paham kenapa Tuhan membuatnya merasakan sesak sedalam ini. Sebenarnya apa lagi yang Tuhan rencanakan untuknya?
"Ayo om, Ame kenalkan pada Kak Nina!" Samar-samar Nina kembali mendengar langkah kaki menuju ke arahnya.
"Kak Nina, kenalkan ini om Kafta. Teman Ame yang paling genteng," ucap Ame sambil terkikik. Nina hanya diam mendengar ucapan Ame. Dirinya terpaku pada sosok yang sejak Lima tahun lalu terus saja membayanginya. Kali ini Kafta benar-benar nyata. Bukan mimpi seperti yang biasa ia alami. Nina tenggelam pada telaga hitam sepekat malam milik laki-laki itu. Telaga yang sama seperti milik Amedia Mentari. "Nina! Faranina!" Ujaran Kafta membuat Ame melotot. "Om sudah kenal sama Kakakku?" tanyanya dengan ceria.
Nina menegang. Terlalu banyak tanya dalam pikirannya. Kenapa Ame bisa begitu akrab dengan laki-laki ini? Apa Kafta tahu siapa Ame sebenarnya?
Nina menatap Kafta dengan perasaan yang campur aduk. Ini terlalu nyata untuk menjadi mimpi. Kafta bukan lagi bayangan seperti malam itu. Terlalu lelah, Nina mengalihkan tatapannya kepada bocah kecil yang dirinya ajak ke taman beberapa saat lalu. "Ame! Kita pulang!" Itu perintah. Nina yakin air matanya akan jatuh jika ia tak segera membawa Ame pergi dari sini. "Tapi kita baru sampai, Kak." Rengekan Ame tak Nina gubris. Ia menggapai tangan Ame yang digenggam erat oleh Kafta. Nina menariknya hingga tanpa sadar Ame meringis. "Cukup!" bentak suara itu. Nina tidak mengerti kenapa Kafta muncul di saat seperti ini.
"Berhenti menarik tangan Ame! Sudah cukup selama ini kamu menelantarkannya." Teguran itu tak pernah sekalipunn Nina duga sebelumnya. Secepat kilat dirinya menolehkan kepalanya pada Kafta. "Maksud kamu?" Nina terlalu takut mengartikan kata-kata itu.
Kafta mendengus. Dia juga tidak menyangka akan mengatakan itu pada Nina. "Jangan berpura-pura Nina. Kamu dan Papamu sama saja. Bisanya cuma menyakiti hati orang lain." Nina merasakan hatinya patah sekali lagi. Ia menggeleng. Bagaimana Kafta bisa dengan mudahnya menyalahkannya, sementara dulu, laki-laki itulah yang meninggalkannya.
"Kamu nggak ngerti apapun!"
Kafta berdecih mendengar pembelaan Nina. Mengabaikan semua persepsi Kafta, Nina kembali menggapai Ame. "Kita pulang, Sayang," Nina berusaha sebisa mungkin mengontrol emosinya. Entahlah, selain rindu, benci pun begitu mendominasi dalam hati Nina untuk Kafta.
Ame terpaksa melepaskan genggaman Om Kaftanya. Gadis kecil itu terlalu khawatir Kak Ninanya akan kecewa. "Om Kafta, Ame pulang dulu ya," pamitnya. Kafta menunduk, mensejajarkan tingginya dengan Ame. Sepenuh hati Kafta mengelus pipi Ame, "Sayang, jagain Kak Nina, ya." Hati Nina berdesir mendengar kata-kata lembut itu. Bagi Nina, pertemuannya kembali dengan Kafta adalah kejutan yang luar biasa, ditambah lagi dengan ucapan lembut Kafta yang meminta Ame menjaganya. Semua itu diluar nalarnya. Bagaimana mungkin Kafta mengatakan itu setelah menyalahkannya.
Ame mengangguk dengan semangat. "Siap!" ujar Ame sambil memberi hormat pada Kafta.
"Apa Om mau terbang lagi?" Meskipun kini hati Nina penuh sesak tapi pertanyaan Ame mencuri perhatiannya. Apa lagi setelah itu Kafta menganggukkan kepalanya. "Iya. Tapi setelah Om kembali, kita bisa main lagi, setuju?" Janji Kafta pada Ame. Melihat interaksi mereka, Nina yakin Ame dan Kafta sudah mengenal sejak lama.
Kafta menegakkan tubuhnya. Kini ia menatap Nina. "Jangan mengabaikannya lagi," Nina memucat. Kafta terlihat mengetahui banyak hal yang sepertinya bisa mengejutkan Nina.
Kafta menggenggam pergelangan tangan Nina. Kemudian tanpa Nina sadari Kafta menariknya ke dalam pelukan. Alih-alih membalasnya seperti di mimpinya waktu itu, Nina hanya terpaku, ia terlena mendengar detak jantung Kafta yang sama menggilanya seperti miliknya.
.
.
Bersambung.
***Nina mengantar Ame ke kamarnya. Dia perlu menenangkan diri atas apa yang baru saja terjadi. Setelah Lima tahun berlalu, Kafta memberinya kejutan yang luar biasa. Ya, Nina tidak perlu berpura-pura bodoh ketika mendengar perkataan Kafta tadi. Memang, semuanya benar. Namun, Nina tidak siap. Sampai kapanpun dia tidak akan pernah siap menapaki lagi masa lalu itu.Suara pintu kamar yang terbuka mengantarkan mata Nina untuk melihat siapa yang datang. "Mama," lirihnya. Wanita yang dipanggilnya Mama itu semakin mendekat. "Kamu sudah ketemu Kafta?" Satu kejutan lagi. Nina sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mama seolah tahu kejadian ini.Nina memberikan tatapan penuh tuntutan agar Mamanya mau menjelaskan semuanya. "Kafta, dia sudah setahun ini kembali ke rumah itu." Livia menghela napasnya. "Dia sering menemui Ame." Sekali lagi, Nina merasakan jantungnya berdegup kencang. Pertanyaan silih berganti memenuhi benaknya. Kenapa Kafta kembali? Apa yang sebenarnya diketa
***Kafta sibuk berperang dengan pikirannya begitu berada di depan rumah orang tua Nina. Hari ini ia memutuskan untuk datang ke tempat ini lagi setelah sekian lama menghindar sejauh-jauhnya. Kafta hanya ingin membayar lunas hutangnya pada Nina yang akhirnya memberanikan diri untuk pulang setelah Lima tahun menghilang.Dengan Satu kali tarikan napas, Kafta akhirnya maju satu langkah menuju gerbang rumah. Ia mengangkat tangannya untuk menekan bel agar dibukakan gerbang.“Mas Kafta, ya?” tanya secuirity rumah mantan pacarnya itu ketika membukakan pintu gerbang. Kafta mengangguk singkat, ia tahu secuirity yang ia kenali dengan nama Mang Dadang itu pasti setengah mengenalinya karena mereka sudah lama tidak bertemu. “Boleh saya masuk, Mang?” tanyanya.Dengan cepat Mang Dadang menganggukan kepala. “Masuk Mas!” ujarnya sembari mempersilakan.Masih ada sedikit keraguan di hati Kafta setelah mendengar Mang Dadang mengizinkannya masuk. Untuk pertama kalinya ia kembali ke rumah ini setelah Lima t
*** Setelah terdiam mendengar kata-kata Livia, Jonatan pun akhirnya kembali membuka mulutnya. “Baik lah, mari kita berdamai Kafta. Tak baik bila menyimpan dendam meskipun kau dan aku sama-sama bersalah di masa lalu. Kita sama-sama menyianyiakan wanita yang kita cintai. Bahkan almarhum papamu pun melakukan itu hingga membuat mamamu melakukan kesalahan bersamaku,” ucapnya panjang lebar. “Beruntung aku masih mendapatkan maaf dari istriku, Livia.” Jotanatan menoleh pada Livia sejenak. Lalu kembali melabuhkan tatapnya pada Kafta yang juga dengan tegas menatapnya. “Aku dengan tulus meminta maaf padamu bagaimanapun juga,” lanjutnya. Dalam diam Livia tahu suaminya benar-benar menyesali perbuatannya di masa lalu. Dan, Livia dengan lapang dada memaafkan Jonatan beserta kesalahannya. “Om benar, kita salah. Tapi, aku tak setuju bila Om ikut menyalahkan Papaku. Dia hanya korban keegoisan mamaku dan Om Jo!” Jonatan tersenyum tipis. Rupanya hingga detik ini Larasati tak mengungkapkan cerita yang
***Livia mengangguk mantap. “Kalau begitu yang harus kamu luluhkan selanjutnya adalah hati Nina, Kafta. Dia belum sembuh dari masa lalu yang pernah menyakitinya dulu,” ucapnya mengingat kesedihan di mata Nina yang tak kunjung hilang hingga detik ini.Kafta paham. Luka itu dirinya yang menorehkan, maka hanya ia pula yang bisa menyembuhkan. “Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mengambalikan Nina seperti dulu lagi, Tante,” balasnya.“Tapi, itu tidak akan mudah. Nina benar-benar membenci kita berdua. Bahkan putri kalian terkena imbasnya!” tutur Jonatan sembari mengingat kembali panggilan Ame untuk Nina. Kakak. Begitu cara cucunya itu memanggil ibunya.Jonatan menghela napas dengan berat. Begitu rumit masalah ini, sedang Ame semakin tumbuh besar. Jonatan khawatir Ame sulit menerima kenyataan yang sebenarnya jika benabng kusut ini tak juga teruraikan.“Aku tahu Om, tapi aku tidak bisa kecewa pada Nina. Semua memang salahku karena dulu meninggalkan Nina dan ikut menyalahkannya,” Kafta be
***Larasati membuang tatap dari putra semata wayangnya. Bahkan kini ia membelakangi Kafta. “Mama setuju kamu mengakui Ame sebagai anakmu, Kafta, tapi mama nggak setuju kamu kembali bersama Nina. Terlalu banyak luka yang menyelimuti kalian berdua. Mama nggak yakin kalian bisa bahagia,” ucapnya.“Mama nggak bisa menghalangi aku. Bagaimanapun juga hingga detik ini aku masih mencintai Nina. Dia wanita yang nggak akan pernah bisa aku lupakan, Ma.”“Tapi … ”“Jangan pernah mama berpikir untuk melanjutkan perjodohan dengan Naura. Dia berhak mendapatkan seorang lelaki yang tulus mencintainya, ma!” tegas Kafta.Larasati membalikan badannya, kembali melabuhkan tatap pada Kafta. “Nggak semudah itu, Kafta. Kamu terlanjur setuju untuk bertunangan dengan Naura. Dia juga mencintaimu,” ucapnya sambil menggelengkan kepala.Jujur saja, masalah ini cukup menyita perhatian Kafta. Sebelumnya kehadiran Naura tak begitu mengganggu karena ia pikir tak mungkin ada kesempatan untuk bersama Nina lagi. Namun, k
*** Nina, begitu orang terdekat memanggil namanya. Perempuan cantik berusia Dua Puluh Lima tahun itu bekerja sebagai pelatih pada salah satu sanggar tari terkenal di Jakarta. Memiliki paras yang menawan, juga tubuh yang professional membuat Nina selalu dinilai sempurna. Nina mendapatkan pujian itu dari banyak orang terutama lelaki. Namun kesempurnaan itu tak pernah benar-benar membuat Nina bahagia.Faranina memiliki banyak sekali rahasia dalam hidupnya, termasuk tentang lelaki yang selama lima tahun ini ia sembunyikan dalam relung hati. Nina enggan mengingatnya, tapi namanya selalu terngingang dalam sukma. Kafta Ragas Fatih nama lelaki itu, lelaki yang selalu memenuhi ruang rindu milik Nina. Sosok antara ada dan tiada. Bukan, Kafta bukan makhluk tak kasat mata seperti hantu. Ia hanya masa lalu yang tak bisa Nina gapai lagi.Nina tidak mengerti mengapa Tuhan menciptakan Kafta dalam angannya. Nina lebih tidak mengerti kenapa Kafta tak bisa ia gapai. Sementara pertemuan mereka terlihat
***Nina mengerjap, mengusap wajahnya dengan kasar. “Ya Tuhan ... mimpi itu lagi.” Lirih sekali suara Nina dalam berucap. Iya, dirinya baru saja terbangun dari tidurnya. Bukan sungguhan ia bertemu dengan Kafta karena ternyata semua hanya mimpi indah yang terus berulang dalam tidurnya.Kafta selalu terlihat begitu nyata, tapi semua hanya ilusi semata.Nina ingat kemarin malam dia dan Bagas makan di restoran. Semua tampak normal. Tidak ada Kafta di sana. Mereka hanya berdua. Setelah itu Bagas mengantarnya pulang. Tidak ada senyum mengembang dari Kafta.Begitu pula dengan pelukan hangatnya, atau balasan rindu yang lelaki itu ungkapkan. Tak ada. Nina hanya bermimpi.Ini yang membuat Nina enggan memejamkan matanya. Entah bagaimana lagi ia melupakan sosok itu. Segala cara sudah Nina lakukan untuk mengenyahkan semua tentang Kafta.Bagi Nina, sosok itu mengerikan. Semesta mempermainkannya. Membiarkan alam bawah sadarnya selalu mengingat Kafta."Tidak," gelengan tak pernah benar-benar mengeny
***Larasati membuang tatap dari putra semata wayangnya. Bahkan kini ia membelakangi Kafta. “Mama setuju kamu mengakui Ame sebagai anakmu, Kafta, tapi mama nggak setuju kamu kembali bersama Nina. Terlalu banyak luka yang menyelimuti kalian berdua. Mama nggak yakin kalian bisa bahagia,” ucapnya.“Mama nggak bisa menghalangi aku. Bagaimanapun juga hingga detik ini aku masih mencintai Nina. Dia wanita yang nggak akan pernah bisa aku lupakan, Ma.”“Tapi … ”“Jangan pernah mama berpikir untuk melanjutkan perjodohan dengan Naura. Dia berhak mendapatkan seorang lelaki yang tulus mencintainya, ma!” tegas Kafta.Larasati membalikan badannya, kembali melabuhkan tatap pada Kafta. “Nggak semudah itu, Kafta. Kamu terlanjur setuju untuk bertunangan dengan Naura. Dia juga mencintaimu,” ucapnya sambil menggelengkan kepala.Jujur saja, masalah ini cukup menyita perhatian Kafta. Sebelumnya kehadiran Naura tak begitu mengganggu karena ia pikir tak mungkin ada kesempatan untuk bersama Nina lagi. Namun, k
***Livia mengangguk mantap. “Kalau begitu yang harus kamu luluhkan selanjutnya adalah hati Nina, Kafta. Dia belum sembuh dari masa lalu yang pernah menyakitinya dulu,” ucapnya mengingat kesedihan di mata Nina yang tak kunjung hilang hingga detik ini.Kafta paham. Luka itu dirinya yang menorehkan, maka hanya ia pula yang bisa menyembuhkan. “Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mengambalikan Nina seperti dulu lagi, Tante,” balasnya.“Tapi, itu tidak akan mudah. Nina benar-benar membenci kita berdua. Bahkan putri kalian terkena imbasnya!” tutur Jonatan sembari mengingat kembali panggilan Ame untuk Nina. Kakak. Begitu cara cucunya itu memanggil ibunya.Jonatan menghela napas dengan berat. Begitu rumit masalah ini, sedang Ame semakin tumbuh besar. Jonatan khawatir Ame sulit menerima kenyataan yang sebenarnya jika benabng kusut ini tak juga teruraikan.“Aku tahu Om, tapi aku tidak bisa kecewa pada Nina. Semua memang salahku karena dulu meninggalkan Nina dan ikut menyalahkannya,” Kafta be
*** Setelah terdiam mendengar kata-kata Livia, Jonatan pun akhirnya kembali membuka mulutnya. “Baik lah, mari kita berdamai Kafta. Tak baik bila menyimpan dendam meskipun kau dan aku sama-sama bersalah di masa lalu. Kita sama-sama menyianyiakan wanita yang kita cintai. Bahkan almarhum papamu pun melakukan itu hingga membuat mamamu melakukan kesalahan bersamaku,” ucapnya panjang lebar. “Beruntung aku masih mendapatkan maaf dari istriku, Livia.” Jotanatan menoleh pada Livia sejenak. Lalu kembali melabuhkan tatapnya pada Kafta yang juga dengan tegas menatapnya. “Aku dengan tulus meminta maaf padamu bagaimanapun juga,” lanjutnya. Dalam diam Livia tahu suaminya benar-benar menyesali perbuatannya di masa lalu. Dan, Livia dengan lapang dada memaafkan Jonatan beserta kesalahannya. “Om benar, kita salah. Tapi, aku tak setuju bila Om ikut menyalahkan Papaku. Dia hanya korban keegoisan mamaku dan Om Jo!” Jonatan tersenyum tipis. Rupanya hingga detik ini Larasati tak mengungkapkan cerita yang
***Kafta sibuk berperang dengan pikirannya begitu berada di depan rumah orang tua Nina. Hari ini ia memutuskan untuk datang ke tempat ini lagi setelah sekian lama menghindar sejauh-jauhnya. Kafta hanya ingin membayar lunas hutangnya pada Nina yang akhirnya memberanikan diri untuk pulang setelah Lima tahun menghilang.Dengan Satu kali tarikan napas, Kafta akhirnya maju satu langkah menuju gerbang rumah. Ia mengangkat tangannya untuk menekan bel agar dibukakan gerbang.“Mas Kafta, ya?” tanya secuirity rumah mantan pacarnya itu ketika membukakan pintu gerbang. Kafta mengangguk singkat, ia tahu secuirity yang ia kenali dengan nama Mang Dadang itu pasti setengah mengenalinya karena mereka sudah lama tidak bertemu. “Boleh saya masuk, Mang?” tanyanya.Dengan cepat Mang Dadang menganggukan kepala. “Masuk Mas!” ujarnya sembari mempersilakan.Masih ada sedikit keraguan di hati Kafta setelah mendengar Mang Dadang mengizinkannya masuk. Untuk pertama kalinya ia kembali ke rumah ini setelah Lima t
***Nina mengantar Ame ke kamarnya. Dia perlu menenangkan diri atas apa yang baru saja terjadi. Setelah Lima tahun berlalu, Kafta memberinya kejutan yang luar biasa. Ya, Nina tidak perlu berpura-pura bodoh ketika mendengar perkataan Kafta tadi. Memang, semuanya benar. Namun, Nina tidak siap. Sampai kapanpun dia tidak akan pernah siap menapaki lagi masa lalu itu.Suara pintu kamar yang terbuka mengantarkan mata Nina untuk melihat siapa yang datang. "Mama," lirihnya. Wanita yang dipanggilnya Mama itu semakin mendekat. "Kamu sudah ketemu Kafta?" Satu kejutan lagi. Nina sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mama seolah tahu kejadian ini.Nina memberikan tatapan penuh tuntutan agar Mamanya mau menjelaskan semuanya. "Kafta, dia sudah setahun ini kembali ke rumah itu." Livia menghela napasnya. "Dia sering menemui Ame." Sekali lagi, Nina merasakan jantungnya berdegup kencang. Pertanyaan silih berganti memenuhi benaknya. Kenapa Kafta kembali? Apa yang sebenarnya diketa
***Derap langkah milik gadis kecil itu menemani Nina mengelilingi rumah orang tuanya. Ame, ia gadis kecil yang periang. Kata Mama sifat ini sangat mirip dengannya di masa itu. Masa ketika dirinya belum mengerti tentang luka.Helaan napas berat terdengar dari mulut Nina. Sampai kapanpun ia dan Ame akan selalu memiliki kemiripan. Seperti dirinya, pun Ame mudah sekali disukai. Dengan caranya sendiri, Ame berhasil meluluhkan hati Nina yang selama Lima tahun ini menutup rapat hatinya untuk semua hal yang berhubungan dengan masa lalu. Sekali saja, Ame berhasil mencuri hatinya."Kak Nina kenapa baru datang sekarang?" Pertanyaan Ame menyadarkan Nina dari lumunannya. Raut wajah penasaran teramat jelas di wajah Ame. Lantas, jawaban seperti apa yang harus Nina berikan. "Kakak kerja, Sayang." Sungguh, bagi Nina ada desir halus yang menyentuh kalbunya kala ia menyebut kata sayang untuk Ame. Gadis kecil itu mengernyitkan kening. "Tapi Papa selalu pulang walaupun pergi bekerja," ucapnya. Ada sesak
***Nina mengerjap, mengusap wajahnya dengan kasar. “Ya Tuhan ... mimpi itu lagi.” Lirih sekali suara Nina dalam berucap. Iya, dirinya baru saja terbangun dari tidurnya. Bukan sungguhan ia bertemu dengan Kafta karena ternyata semua hanya mimpi indah yang terus berulang dalam tidurnya.Kafta selalu terlihat begitu nyata, tapi semua hanya ilusi semata.Nina ingat kemarin malam dia dan Bagas makan di restoran. Semua tampak normal. Tidak ada Kafta di sana. Mereka hanya berdua. Setelah itu Bagas mengantarnya pulang. Tidak ada senyum mengembang dari Kafta.Begitu pula dengan pelukan hangatnya, atau balasan rindu yang lelaki itu ungkapkan. Tak ada. Nina hanya bermimpi.Ini yang membuat Nina enggan memejamkan matanya. Entah bagaimana lagi ia melupakan sosok itu. Segala cara sudah Nina lakukan untuk mengenyahkan semua tentang Kafta.Bagi Nina, sosok itu mengerikan. Semesta mempermainkannya. Membiarkan alam bawah sadarnya selalu mengingat Kafta."Tidak," gelengan tak pernah benar-benar mengeny
*** Nina, begitu orang terdekat memanggil namanya. Perempuan cantik berusia Dua Puluh Lima tahun itu bekerja sebagai pelatih pada salah satu sanggar tari terkenal di Jakarta. Memiliki paras yang menawan, juga tubuh yang professional membuat Nina selalu dinilai sempurna. Nina mendapatkan pujian itu dari banyak orang terutama lelaki. Namun kesempurnaan itu tak pernah benar-benar membuat Nina bahagia.Faranina memiliki banyak sekali rahasia dalam hidupnya, termasuk tentang lelaki yang selama lima tahun ini ia sembunyikan dalam relung hati. Nina enggan mengingatnya, tapi namanya selalu terngingang dalam sukma. Kafta Ragas Fatih nama lelaki itu, lelaki yang selalu memenuhi ruang rindu milik Nina. Sosok antara ada dan tiada. Bukan, Kafta bukan makhluk tak kasat mata seperti hantu. Ia hanya masa lalu yang tak bisa Nina gapai lagi.Nina tidak mengerti mengapa Tuhan menciptakan Kafta dalam angannya. Nina lebih tidak mengerti kenapa Kafta tak bisa ia gapai. Sementara pertemuan mereka terlihat