Bab 103: Obat dari Sinse
Tiba-tiba.., drrrt.., drrrrtt! Ponselku bergetar. Ada pesan masuk! Siapa pula ini??
Seketika saja obrolan liar antara Ibu Joyce dan Resti terjeda. Aku menatap kedua wanita cantik yang adan di hadapanku ini berganti-gantian. Mereka berdua juga ternyata sedang menatap ke arahku. Lalu ajaibnya secara bersamaan pula mereka mengalihkan pandangan pada ponselku yang sedang bergetar di atas meja, persis di sampingku.
Harap-harap cemas aku kemudian mengambil ponsel. Setelah membuka kunci, aku bersusah payah membaca pesan di antara garis-garis retakan di layar ponselku. Dag-dig-dug jantungku berharap ini bukan pesan dari Menuk atau Yana. Tak terbayang kejadiannya bila kedua gadis itu tiba-tiba datang ke sini. &nb
Bab 104:Masih Tentang Pemain Nomor Lima “Eh, iya, Mas Joko. Ngomong-ngomong, kamu masih bisa main voli? Di Kalimantan atau Papua tempat perantauan kamu sana apakah kamu sesekali masih bermain? Kalaupun kamu punya tim, lalu apakah kamu sering ikut turnamen?”“Mas Joko, kamu tahu? Saking penasarannya aku pada pemain nomor lima dari tim STMIK itu, aku sampai bela-belain datang ke Gelanggang Remaja sejak pukul tiga, lho. Pertandingan babak final tim Putra digelar selepas Maghrib, kan? Jam tujuh, iya kan? Tidak apa-apa aku menunggu, sekalian menonton juga pertandingan babak final untuk tim Putri.”“Chintya, temanku itu juga sih yang kelewat ngebet pengin cepat datang. ‘Ayo, Ningsih, nanti
Bab 105:Semakin Membayang “Beeeuuh..! Aku jadi makin penasaran saja!”“Hingga kemudian, tibalah saatnya pertandingan akan dimulai. Para pemain dari masing-masing tim keluar dari sebuah lorong di pojok gelanggang sana. Dengan gagah mereka berjalan beriring-iringan menuju lapangan.”“Wuiiihh..! Gemuruhnya! Para penonton serentak berdiri untuk menyambut para pemain dari kedua tim itu. Tanpa ada yang mengomando ribuan penonton bertepuk tangan, bersuat-suit, berteriak-teriak, memekik-mekik, dan memanggil-manggil nama pemain idola mereka.”“Whuaaa..! Itu Hafiz Gober! Itu Revan Nurmulki! Aku hafal sekali karena sering melihat kedua pemain Proxliga itu di tivi. Nah, bersama Hafiz dan Revan itulah pacarnya Chintya itu berjalan bareng
Bab 106:Pesan yang Bikin Emosi Kurang asem! Obat apa ini yang diberi oleh Ibu Joyce? Warnanya hijau dengan motif dan tekstur yang aneh, sama sekali tidak mirip dengan pil kebanyakan yang beredar di toko-toko obat. Diameternya yang besar membuatku terpaksa memecahnya menjadi dua. Masih kebesaran aku pecah lagi menjadi empat. Masih juga kebesaran aku pecah lagi menjadi delapan. Lalu aku tenggak semuanya beramai-ramai. Rasanya, seperti kotoran sapi! Sumpah, seperti kotoran sapi!Bagaimana aku tahu rasanya kotoran sapi?? Karena aku memang pernah memakannya! Lalu bagaimana pula aku bisa memakannya?? Ini semua gara-gara Alex, si gembala sapi yang sedang mendengkur di sampingku ini!Aku membaringkan tubuh. Sembari memejam mata aku mencoba mengenang kejadian yang aku alami bersama Alex
Bab 107: Jus Mengkudu Selama menjalani masa pemulihan ini, saban hari ada saja orang yang membesuk aku. Rekan kerjaku dari Sinergi Laras, dalam hal ini Ibu Kemas, Danil dan Gofur menjenguk aku dalam waktu yang bersamaan. Lalu Menuk dan Yana, mereka juga datang, dan untungnya tidak dalam waktu yang bersamaan. Pada hari yang berbeda, rekan-rekan kampusku teman seangkatan di kelas Cik Udin juga datang menjenguk. Tidak semuanya memang, mengingat mayoritas dari mereka juga adalah para pekerja. Namun hanya perwakilan saja, dan beberapa di antaranya adalah Elisabet Manurung, Mbak Kurnia Sari, Rahadian Putra, lalu tiga laki-laki lain yang kesemuanya itu memiliki nama dengan akhiran kata Din. Mereka semua sangat menyayangkan perihal diriku yang tidak bisa turun ke gelanggang pada partai final Walikota Cup yang lalu. Padahal, mereka telah meluangkan waktu untuk bisa menonton dan mendukung bersama mahasiswa-mahasiswa kelas reguler yang lainnya. Akan tetapi, apa daya?“Untu
Bab 108:Susuk KB Sebelum Yana datang itu, aku sedang melamun. Aku memikirkan tentang Pak Sadeli dan semua hal yang telah berlalu hingga berakhir dengan pemukulan, penganiayaan atau pengeroyokan yang ia lakukan terhadapku. Teringat Robin dan Daud, dengan semua tipu daya mereka yang menjebakku, rasanya aku kesal saja. Aku bahkan menjadi tidak yakin bahwa Robin dan juga Daud adalah nama asli mereka.Tidak mudah memang, untuk mengembalikan mood-ku seperti sedia kala. Kedatangan teman-teman untuk menjenguk dan menghiburku ternyata juga tidak cukup berhasil membuat suasana hatiku kembali seperti semula. Tanpa ada alasan yang jelas aku menjadi mudah merasa cemas, takut, atau curiga. Khususnya kepada orang asing yang tidak aku kenal, khususnya lagi jika orang asing itu sedang melihat ke arahku, baik itu sengaja ataupun tidak sengaja.Seperti m
Bab 109:Masih Tentang Susuk KB “Susuk KB?? Itu untuk perempuan, Ko..!!! Ngapain juga kamu pasang susuk?? Hahaha..!!”Aku mengatupkan mulutku karena geregetan. “Padahal kamu tadi sudah berjanji tidak akan tertawa lho.”“Eh, eh, iya, maaf,” Yana tersedak-sedak tawanya sendiri. “Maaf ya, Ko. Kalau yang ini memang asli, lucu, Ko. Lucu! Hahaha..!”“Maksudku bukan susuk KB, Yan.”“Jadi, susuk apa?” tanya Yana seketika hentikan tawanya.“Susuk pemikat, atau susuk pengasih.”&nb
Bab 110:Bidadari Bersayap Kupu-kupu “Kecuali Joko..,” kata Ibu Joyce tiba-tiba, dengan suaranya yang tetap datar dan tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar tablet.Fiuh..!Aku menghela nafas, lalu menoleh pada Ibu Kemas dan Gofur. Mereka berdua serentak mengangkat bahu. Sekilas Ibu Kemas memberi isyarat padaku dengan lirikan matanya, supaya aku menanyakan langsung pada Ibu Joyce tentang apa yang ingin ia sampaikan.“Lho? Danil mana?” tanya Ibu Joyce tiba-tiba tersadar. Ia mengalihkan matanya sebentar dari layar tablet ke arah kami bertiga. Wibawanya ikut menyorot kami melewati kacamata silindrisnya itu.
Bab 111:Sebuah Tatapan “Kamu izin sakitnya cuma satu hari, kan..??! Iya, kan??! Tapi kamu tidak masuk kerja sampai empat hari??! Seenak udel saja kamu kerja di sini!”Satu detik, benar, tidak lebih. Hanya dalam waktu satu detik saja suasana berganti. Aku terkejut dengan kehadiran Danil, lebih terkejut lagi dengan perubahan sikap Ibu Joyce yang cepatnya seumpama lampu neon yang padam ketika tombol saklarnya ditekan. Terang putih berseri-seri dirinya yang tadi telah berubah menjadi gelap hitam kelam dan menyeramkan.Danil yang baru satu langkah memasuki ruangan CS pun serentak berhenti. Ia berdiri mematung, tercekat, bingung, dan serba salah antara berbalik mundur atau teruskan langkah.Aku paham sekali, situasi ini adalah momen yang teramat sangat “membag