Bab 104: Masih Tentang Pemain Nomor Lima
“Eh, iya, Mas Joko. Ngomong-ngomong, kamu masih bisa main voli? Di Kalimantan atau Papua tempat perantauan kamu sana apakah kamu sesekali masih bermain? Kalaupun kamu punya tim, lalu apakah kamu sering ikut turnamen?”
“Mas Joko, kamu tahu? Saking penasarannya aku pada pemain nomor lima dari tim STMIK itu, aku sampai bela-belain datang ke Gelanggang Remaja sejak pukul tiga, lho. Pertandingan babak final tim Putra digelar selepas Maghrib, kan? Jam tujuh, iya kan? Tidak apa-apa aku menunggu, sekalian menonton juga pertandingan babak final untuk tim Putri.”
“Chintya, temanku itu juga sih yang kelewat ngebet pengin cepat datang. ‘Ayo, Ningsih, nanti
Bab 105:Semakin Membayang “Beeeuuh..! Aku jadi makin penasaran saja!”“Hingga kemudian, tibalah saatnya pertandingan akan dimulai. Para pemain dari masing-masing tim keluar dari sebuah lorong di pojok gelanggang sana. Dengan gagah mereka berjalan beriring-iringan menuju lapangan.”“Wuiiihh..! Gemuruhnya! Para penonton serentak berdiri untuk menyambut para pemain dari kedua tim itu. Tanpa ada yang mengomando ribuan penonton bertepuk tangan, bersuat-suit, berteriak-teriak, memekik-mekik, dan memanggil-manggil nama pemain idola mereka.”“Whuaaa..! Itu Hafiz Gober! Itu Revan Nurmulki! Aku hafal sekali karena sering melihat kedua pemain Proxliga itu di tivi. Nah, bersama Hafiz dan Revan itulah pacarnya Chintya itu berjalan bareng
Bab 106:Pesan yang Bikin Emosi Kurang asem! Obat apa ini yang diberi oleh Ibu Joyce? Warnanya hijau dengan motif dan tekstur yang aneh, sama sekali tidak mirip dengan pil kebanyakan yang beredar di toko-toko obat. Diameternya yang besar membuatku terpaksa memecahnya menjadi dua. Masih kebesaran aku pecah lagi menjadi empat. Masih juga kebesaran aku pecah lagi menjadi delapan. Lalu aku tenggak semuanya beramai-ramai. Rasanya, seperti kotoran sapi! Sumpah, seperti kotoran sapi!Bagaimana aku tahu rasanya kotoran sapi?? Karena aku memang pernah memakannya! Lalu bagaimana pula aku bisa memakannya?? Ini semua gara-gara Alex, si gembala sapi yang sedang mendengkur di sampingku ini!Aku membaringkan tubuh. Sembari memejam mata aku mencoba mengenang kejadian yang aku alami bersama Alex
Bab 107: Jus Mengkudu Selama menjalani masa pemulihan ini, saban hari ada saja orang yang membesuk aku. Rekan kerjaku dari Sinergi Laras, dalam hal ini Ibu Kemas, Danil dan Gofur menjenguk aku dalam waktu yang bersamaan. Lalu Menuk dan Yana, mereka juga datang, dan untungnya tidak dalam waktu yang bersamaan. Pada hari yang berbeda, rekan-rekan kampusku teman seangkatan di kelas Cik Udin juga datang menjenguk. Tidak semuanya memang, mengingat mayoritas dari mereka juga adalah para pekerja. Namun hanya perwakilan saja, dan beberapa di antaranya adalah Elisabet Manurung, Mbak Kurnia Sari, Rahadian Putra, lalu tiga laki-laki lain yang kesemuanya itu memiliki nama dengan akhiran kata Din. Mereka semua sangat menyayangkan perihal diriku yang tidak bisa turun ke gelanggang pada partai final Walikota Cup yang lalu. Padahal, mereka telah meluangkan waktu untuk bisa menonton dan mendukung bersama mahasiswa-mahasiswa kelas reguler yang lainnya. Akan tetapi, apa daya?“Untu
Bab 108:Susuk KB Sebelum Yana datang itu, aku sedang melamun. Aku memikirkan tentang Pak Sadeli dan semua hal yang telah berlalu hingga berakhir dengan pemukulan, penganiayaan atau pengeroyokan yang ia lakukan terhadapku. Teringat Robin dan Daud, dengan semua tipu daya mereka yang menjebakku, rasanya aku kesal saja. Aku bahkan menjadi tidak yakin bahwa Robin dan juga Daud adalah nama asli mereka.Tidak mudah memang, untuk mengembalikan mood-ku seperti sedia kala. Kedatangan teman-teman untuk menjenguk dan menghiburku ternyata juga tidak cukup berhasil membuat suasana hatiku kembali seperti semula. Tanpa ada alasan yang jelas aku menjadi mudah merasa cemas, takut, atau curiga. Khususnya kepada orang asing yang tidak aku kenal, khususnya lagi jika orang asing itu sedang melihat ke arahku, baik itu sengaja ataupun tidak sengaja.Seperti m
Bab 109:Masih Tentang Susuk KB “Susuk KB?? Itu untuk perempuan, Ko..!!! Ngapain juga kamu pasang susuk?? Hahaha..!!”Aku mengatupkan mulutku karena geregetan. “Padahal kamu tadi sudah berjanji tidak akan tertawa lho.”“Eh, eh, iya, maaf,” Yana tersedak-sedak tawanya sendiri. “Maaf ya, Ko. Kalau yang ini memang asli, lucu, Ko. Lucu! Hahaha..!”“Maksudku bukan susuk KB, Yan.”“Jadi, susuk apa?” tanya Yana seketika hentikan tawanya.“Susuk pemikat, atau susuk pengasih.”&nb
Bab 110:Bidadari Bersayap Kupu-kupu “Kecuali Joko..,” kata Ibu Joyce tiba-tiba, dengan suaranya yang tetap datar dan tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar tablet.Fiuh..!Aku menghela nafas, lalu menoleh pada Ibu Kemas dan Gofur. Mereka berdua serentak mengangkat bahu. Sekilas Ibu Kemas memberi isyarat padaku dengan lirikan matanya, supaya aku menanyakan langsung pada Ibu Joyce tentang apa yang ingin ia sampaikan.“Lho? Danil mana?” tanya Ibu Joyce tiba-tiba tersadar. Ia mengalihkan matanya sebentar dari layar tablet ke arah kami bertiga. Wibawanya ikut menyorot kami melewati kacamata silindrisnya itu.
Bab 111:Sebuah Tatapan “Kamu izin sakitnya cuma satu hari, kan..??! Iya, kan??! Tapi kamu tidak masuk kerja sampai empat hari??! Seenak udel saja kamu kerja di sini!”Satu detik, benar, tidak lebih. Hanya dalam waktu satu detik saja suasana berganti. Aku terkejut dengan kehadiran Danil, lebih terkejut lagi dengan perubahan sikap Ibu Joyce yang cepatnya seumpama lampu neon yang padam ketika tombol saklarnya ditekan. Terang putih berseri-seri dirinya yang tadi telah berubah menjadi gelap hitam kelam dan menyeramkan.Danil yang baru satu langkah memasuki ruangan CS pun serentak berhenti. Ia berdiri mematung, tercekat, bingung, dan serba salah antara berbalik mundur atau teruskan langkah.Aku paham sekali, situasi ini adalah momen yang teramat sangat “membag
Bab 112: Rahasia Tentang Seseorang “Mas Joko, dengarkan ceritaku ini ya. Jangan berkomentar, dan jangan merespon! Jangan bereaksi walaupun hanya dengan satu kata sekalipun! Pokoknya, aku ingin bicara dengan kamu di mana pun sekarang ini kamu berada! Di Kalimantan? Terserah. Di Papua? Terserah!”“Nyatanya kamu tidak ada di hadapanku, kan? Terserah! Aku hadir-hadirkan saja bayangan kamu, dan aku dudukkan di depan aku. Mudah-mudahan kamu di dunia yang antah berantah sana bisa merasa. Batuk, batuklah situ. Bersin, bersinlah situ!” “Hari ini aku kesal sekali pada Mas Tentara. Janjinya molor, janjinya ngaret, melar semelar-melarnya! Dia bilang mau menjemput aku sepulang kuliah. Nyatanya, apa? Mana?? Sampai satu jam aku menunggu dia di depan g
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.