Bab 109: Masih Tentang Susuk KB
“Susuk KB?? Itu untuk perempuan, Ko..!!! Ngapain juga kamu pasang susuk?? Hahaha..!!”
Aku mengatupkan mulutku karena geregetan. “Padahal kamu tadi sudah berjanji tidak akan tertawa lho.”
“Eh, eh, iya, maaf,” Yana tersedak-sedak tawanya sendiri. “Maaf ya, Ko. Kalau yang ini memang asli, lucu, Ko. Lucu! Hahaha..!”
“Maksudku bukan susuk KB, Yan.”
“Jadi, susuk apa?” tanya Yana seketika hentikan tawanya.
“Susuk pemikat, atau susuk pengasih.” &nb
Bab 110:Bidadari Bersayap Kupu-kupu “Kecuali Joko..,” kata Ibu Joyce tiba-tiba, dengan suaranya yang tetap datar dan tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar tablet.Fiuh..!Aku menghela nafas, lalu menoleh pada Ibu Kemas dan Gofur. Mereka berdua serentak mengangkat bahu. Sekilas Ibu Kemas memberi isyarat padaku dengan lirikan matanya, supaya aku menanyakan langsung pada Ibu Joyce tentang apa yang ingin ia sampaikan.“Lho? Danil mana?” tanya Ibu Joyce tiba-tiba tersadar. Ia mengalihkan matanya sebentar dari layar tablet ke arah kami bertiga. Wibawanya ikut menyorot kami melewati kacamata silindrisnya itu.
Bab 111:Sebuah Tatapan “Kamu izin sakitnya cuma satu hari, kan..??! Iya, kan??! Tapi kamu tidak masuk kerja sampai empat hari??! Seenak udel saja kamu kerja di sini!”Satu detik, benar, tidak lebih. Hanya dalam waktu satu detik saja suasana berganti. Aku terkejut dengan kehadiran Danil, lebih terkejut lagi dengan perubahan sikap Ibu Joyce yang cepatnya seumpama lampu neon yang padam ketika tombol saklarnya ditekan. Terang putih berseri-seri dirinya yang tadi telah berubah menjadi gelap hitam kelam dan menyeramkan.Danil yang baru satu langkah memasuki ruangan CS pun serentak berhenti. Ia berdiri mematung, tercekat, bingung, dan serba salah antara berbalik mundur atau teruskan langkah.Aku paham sekali, situasi ini adalah momen yang teramat sangat “membag
Bab 112: Rahasia Tentang Seseorang “Mas Joko, dengarkan ceritaku ini ya. Jangan berkomentar, dan jangan merespon! Jangan bereaksi walaupun hanya dengan satu kata sekalipun! Pokoknya, aku ingin bicara dengan kamu di mana pun sekarang ini kamu berada! Di Kalimantan? Terserah. Di Papua? Terserah!”“Nyatanya kamu tidak ada di hadapanku, kan? Terserah! Aku hadir-hadirkan saja bayangan kamu, dan aku dudukkan di depan aku. Mudah-mudahan kamu di dunia yang antah berantah sana bisa merasa. Batuk, batuklah situ. Bersin, bersinlah situ!” “Hari ini aku kesal sekali pada Mas Tentara. Janjinya molor, janjinya ngaret, melar semelar-melarnya! Dia bilang mau menjemput aku sepulang kuliah. Nyatanya, apa? Mana?? Sampai satu jam aku menunggu dia di depan g
Bab 113:Nilai B Beberapa hari kemudian, aku sudah semakin membaik. Kakiku yang sakit akibat dipukul balok kayu oleh Robin dan Daud sudah benar-benar pulih. Aku sudah bisa mengayuh sepedaku kencang-kencang lagi, sudah bisa berlari, melompat, dan kembali bermain voli bersama rekan-rekan STMIK.Jika pun masih ada yang tersisa, mungkin hanya sedikit lebam membiru yang berada persis di kelopak mataku bagian bawah. Benar juga kata Ibu Joyce, darah beku akibat luka lebam ini bisa sangat lama sembuhnya. Tak menutup kemungkinan bahkan tidak bisa hilang.Akan tetapi syukurlah, kombinasi obat sinse antara yang kuminum dan yang kuoleskan pada luka memarku sepertinya membawa dampak yang positif. Proses regenerasi sel-sel mati di dalam tubuhku berjalan dengan begitu cepat.&n
Bab 114:Bersama Orang Yang Kucinta Detik demi detik yang berlalu dengan amat perlahan ini membuatku merasa melewati siang dan malam dalam waktu yang bersamaan. Aku menelan ludah. Bagai memandang fatamorgana tapi ini begitu nyata. Bagai mengalami mimpi tapi..,Aku menatap wajah Ibu Joyce yang bercahaya. Aku menatap matanya yang bening serupa kaca. Aku juga menatap rambutnya yang lurus sedikit bergelombang, hidungnya yang bangir dan pipinya yang sedikit tembam. Tidak luput pula aku menatap bibirnya yang merah muda menyala dan tampak basah, menampilkan senyum khas yang seperti sedang mengulum permen pedas.Kata-kata Ibu Joyce yang terakhir itu benar-benar membuat aku terperangah dan terpana. Di dalam ruang waktu yang seakan-akan berhenti dan diam ini, aku terus saja menatap Ibu Joy
Bab 115:Bayangan di Rinai Hujan Aku mengayuh sepedaku dengan suasana hati yang tak keruan, morat-marit, dan entah bagaimana bentuknya jika diterjemahkan ke dalam bentuk bidang dimensi tiga. Pikiranku terbang serabutan entah ke mana, serupa asap dupa yang melayang meninggalkan bokornya. Ke angkasa, mungkin, atau terbawa angin yang berlalu dari mobil-mobil yang melintas di sebelahku.Hujan gerimis turun dengan tiba-tiba, namun aku tetap melanjutkan kayuhan sepedaku yang rasanya begitu berat malam ini. Aku seperti kuda dengan gerobak pedati, seakan sedang menarik beban dengan bobot ribuan kati.Sekelebat cahaya kilat membelah langit kota Bandar Baru yang gelap, disusul kemudian dengan suara gemuruh dari guntur yang bersambung-sambungan tanpa jeda dan tanpa irama. Aku terus saja men
Bab 116: Cinta Yang Tak Terbeli Hujan hanya menyisakan rintik ketika Joyce Angelique memarkirkan mobil sekenanya saja di halaman. Ia lalu keluar dari mobil dengan sangat tergesa-gesa. Langkah kakinya memasuki rumah dihadang oleh Joko, alias si Manis kucing betina kesayangannya. Namun Joyce tidak menggubris. Ia terus saja masuk ke dalam, melewati kedua orang tuanya yang sedang duduk menonton televisi di ruang keluarga, juga tanpa kata sapaan. “Joyce..” panggil sang ibu. Joyce bahkan setengah berlari ketika menaiki anak tangga menuju ke lantai atas rumahnya. Sampai di dalam kamar, Joyce mengunci pintu dan segera saja menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, membenamkan wajahnya ke dalam bantal, dan menangis sejadi-jadinya. Suara ketukan di pintu dan juga panggilan dari ibunya yang menyusul tak lama setelah itu pun tak digubris oleh bidadari bersayap kupu-kupu yang sayapnya telah patah ini. Joyce hanya menoleh sebentar, tetapi hanya untuk menjangkau tas jinji
Bab 117:Surat Pemecatan Wanita berusia tiga puluhan yang biasa dipanggil Ibu Dewi ini merasakan sedikit keheranan kala melihat Joyce Angelique, atasan sekaligus bosnya yang tidak seperti biasa. Wajahnya tampak kuyu dan matanya memerah seperti habis bergadang semalaman.Lain dari pada itu, sikap yang ia tampilkan juga sedikit ganjil hari ini. Tidak ada senyuman dan juga sapaan hangat yang selalu ia tebar pada seluruh bawahannya kala memasuki kantor. Sembari menunggu Joyce menandatangani berkas yang baru ia sodorkan tadi, Ibu Dewi terus saja mencoba mencuri pandang pada wajah sang atasan yang tengah menunduk itu. “Ibu Dewi,” panggil Joyce tiba-tiba.“Ya, Bu?”“Tolong buatkan surat pemecatan untuk Joko.”Ibu Dewi terperangah. Dahinya berkerut dan matanya sedikit menyipit. Ia tetap berdiri di depan meja Joyce, menunggu berkas yang masih juga belum d