Bab 106: Pesan yang Bikin Emosi
Kurang asem! Obat apa ini yang diberi oleh Ibu Joyce? Warnanya hijau dengan motif dan tekstur yang aneh, sama sekali tidak mirip dengan pil kebanyakan yang beredar di toko-toko obat. Diameternya yang besar membuatku terpaksa memecahnya menjadi dua. Masih kebesaran aku pecah lagi menjadi empat. Masih juga kebesaran aku pecah lagi menjadi delapan. Lalu aku tenggak semuanya beramai-ramai. Rasanya, seperti kotoran sapi! Sumpah, seperti kotoran sapi!
Bagaimana aku tahu rasanya kotoran sapi?? Karena aku memang pernah memakannya! Lalu bagaimana pula aku bisa memakannya?? Ini semua gara-gara Alex, si gembala sapi yang sedang mendengkur di sampingku ini!
Aku membaringkan tubuh. Sembari memejam mata aku mencoba mengenang kejadian yang aku alami bersama Alex
Bab 107: Jus Mengkudu Selama menjalani masa pemulihan ini, saban hari ada saja orang yang membesuk aku. Rekan kerjaku dari Sinergi Laras, dalam hal ini Ibu Kemas, Danil dan Gofur menjenguk aku dalam waktu yang bersamaan. Lalu Menuk dan Yana, mereka juga datang, dan untungnya tidak dalam waktu yang bersamaan. Pada hari yang berbeda, rekan-rekan kampusku teman seangkatan di kelas Cik Udin juga datang menjenguk. Tidak semuanya memang, mengingat mayoritas dari mereka juga adalah para pekerja. Namun hanya perwakilan saja, dan beberapa di antaranya adalah Elisabet Manurung, Mbak Kurnia Sari, Rahadian Putra, lalu tiga laki-laki lain yang kesemuanya itu memiliki nama dengan akhiran kata Din. Mereka semua sangat menyayangkan perihal diriku yang tidak bisa turun ke gelanggang pada partai final Walikota Cup yang lalu. Padahal, mereka telah meluangkan waktu untuk bisa menonton dan mendukung bersama mahasiswa-mahasiswa kelas reguler yang lainnya. Akan tetapi, apa daya?“Untu
Bab 108:Susuk KB Sebelum Yana datang itu, aku sedang melamun. Aku memikirkan tentang Pak Sadeli dan semua hal yang telah berlalu hingga berakhir dengan pemukulan, penganiayaan atau pengeroyokan yang ia lakukan terhadapku. Teringat Robin dan Daud, dengan semua tipu daya mereka yang menjebakku, rasanya aku kesal saja. Aku bahkan menjadi tidak yakin bahwa Robin dan juga Daud adalah nama asli mereka.Tidak mudah memang, untuk mengembalikan mood-ku seperti sedia kala. Kedatangan teman-teman untuk menjenguk dan menghiburku ternyata juga tidak cukup berhasil membuat suasana hatiku kembali seperti semula. Tanpa ada alasan yang jelas aku menjadi mudah merasa cemas, takut, atau curiga. Khususnya kepada orang asing yang tidak aku kenal, khususnya lagi jika orang asing itu sedang melihat ke arahku, baik itu sengaja ataupun tidak sengaja.Seperti m
Bab 109:Masih Tentang Susuk KB “Susuk KB?? Itu untuk perempuan, Ko..!!! Ngapain juga kamu pasang susuk?? Hahaha..!!”Aku mengatupkan mulutku karena geregetan. “Padahal kamu tadi sudah berjanji tidak akan tertawa lho.”“Eh, eh, iya, maaf,” Yana tersedak-sedak tawanya sendiri. “Maaf ya, Ko. Kalau yang ini memang asli, lucu, Ko. Lucu! Hahaha..!”“Maksudku bukan susuk KB, Yan.”“Jadi, susuk apa?” tanya Yana seketika hentikan tawanya.“Susuk pemikat, atau susuk pengasih.”&nb
Bab 110:Bidadari Bersayap Kupu-kupu “Kecuali Joko..,” kata Ibu Joyce tiba-tiba, dengan suaranya yang tetap datar dan tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar tablet.Fiuh..!Aku menghela nafas, lalu menoleh pada Ibu Kemas dan Gofur. Mereka berdua serentak mengangkat bahu. Sekilas Ibu Kemas memberi isyarat padaku dengan lirikan matanya, supaya aku menanyakan langsung pada Ibu Joyce tentang apa yang ingin ia sampaikan.“Lho? Danil mana?” tanya Ibu Joyce tiba-tiba tersadar. Ia mengalihkan matanya sebentar dari layar tablet ke arah kami bertiga. Wibawanya ikut menyorot kami melewati kacamata silindrisnya itu.
Bab 111:Sebuah Tatapan “Kamu izin sakitnya cuma satu hari, kan..??! Iya, kan??! Tapi kamu tidak masuk kerja sampai empat hari??! Seenak udel saja kamu kerja di sini!”Satu detik, benar, tidak lebih. Hanya dalam waktu satu detik saja suasana berganti. Aku terkejut dengan kehadiran Danil, lebih terkejut lagi dengan perubahan sikap Ibu Joyce yang cepatnya seumpama lampu neon yang padam ketika tombol saklarnya ditekan. Terang putih berseri-seri dirinya yang tadi telah berubah menjadi gelap hitam kelam dan menyeramkan.Danil yang baru satu langkah memasuki ruangan CS pun serentak berhenti. Ia berdiri mematung, tercekat, bingung, dan serba salah antara berbalik mundur atau teruskan langkah.Aku paham sekali, situasi ini adalah momen yang teramat sangat “membag
Bab 112: Rahasia Tentang Seseorang “Mas Joko, dengarkan ceritaku ini ya. Jangan berkomentar, dan jangan merespon! Jangan bereaksi walaupun hanya dengan satu kata sekalipun! Pokoknya, aku ingin bicara dengan kamu di mana pun sekarang ini kamu berada! Di Kalimantan? Terserah. Di Papua? Terserah!”“Nyatanya kamu tidak ada di hadapanku, kan? Terserah! Aku hadir-hadirkan saja bayangan kamu, dan aku dudukkan di depan aku. Mudah-mudahan kamu di dunia yang antah berantah sana bisa merasa. Batuk, batuklah situ. Bersin, bersinlah situ!” “Hari ini aku kesal sekali pada Mas Tentara. Janjinya molor, janjinya ngaret, melar semelar-melarnya! Dia bilang mau menjemput aku sepulang kuliah. Nyatanya, apa? Mana?? Sampai satu jam aku menunggu dia di depan g
Bab 113:Nilai B Beberapa hari kemudian, aku sudah semakin membaik. Kakiku yang sakit akibat dipukul balok kayu oleh Robin dan Daud sudah benar-benar pulih. Aku sudah bisa mengayuh sepedaku kencang-kencang lagi, sudah bisa berlari, melompat, dan kembali bermain voli bersama rekan-rekan STMIK.Jika pun masih ada yang tersisa, mungkin hanya sedikit lebam membiru yang berada persis di kelopak mataku bagian bawah. Benar juga kata Ibu Joyce, darah beku akibat luka lebam ini bisa sangat lama sembuhnya. Tak menutup kemungkinan bahkan tidak bisa hilang.Akan tetapi syukurlah, kombinasi obat sinse antara yang kuminum dan yang kuoleskan pada luka memarku sepertinya membawa dampak yang positif. Proses regenerasi sel-sel mati di dalam tubuhku berjalan dengan begitu cepat.&n
Bab 114:Bersama Orang Yang Kucinta Detik demi detik yang berlalu dengan amat perlahan ini membuatku merasa melewati siang dan malam dalam waktu yang bersamaan. Aku menelan ludah. Bagai memandang fatamorgana tapi ini begitu nyata. Bagai mengalami mimpi tapi..,Aku menatap wajah Ibu Joyce yang bercahaya. Aku menatap matanya yang bening serupa kaca. Aku juga menatap rambutnya yang lurus sedikit bergelombang, hidungnya yang bangir dan pipinya yang sedikit tembam. Tidak luput pula aku menatap bibirnya yang merah muda menyala dan tampak basah, menampilkan senyum khas yang seperti sedang mengulum permen pedas.Kata-kata Ibu Joyce yang terakhir itu benar-benar membuat aku terperangah dan terpana. Di dalam ruang waktu yang seakan-akan berhenti dan diam ini, aku terus saja menatap Ibu Joy