"Kaa! Dimana tempat pengawasan cctv, ya?" tanya Siska.
Ika langsung mengangkat kepalanya menatap Siska sekilas. Hanya sekilas saja karena kedua pasang matanya kembali tertuju pada layar laptopnya.
"Di lantai bawah," balas Ika.
"Oke, makasih. Dan aku harap sikap dinginmu ini segera menghangat kembali, nggak enek begini terus kitanya, Kaa," seru Siska lalu beranjak pergi.
"Hahaha..."
Mendengar suara tawa Ika yang mengudara sontak saja membuat Siska kembali menatap wanita itu, kedua matanya menyipit, ia menelisik wajah Ika.
"Kenapa?" Siska mengangkat bahunya.
"Gara-gara satu kesalahan wanita ini kita semua jadi kena semprot Pak Haris, temen-temen!" seru Ika dengan lantang dan ia pun kini sedang berdiri seraya menantang Siska.
Siska tak percaya dengan apa yang ia dengar ini. Walau ia tahu memang ada sebuah kesalahan di si
"Sebentar ya, saya mau angkat telepon dulu," pamit Siska lalu melangkah keluar karena memang di dalam kantornya sedang sangat ramai hingga tak akan bisa mendengar suara yang keluar dari speaker ponselnya.Lalu, Siska menatap layar ponselnya, ada rasa takut dan canggung ketika hendak mengangkatnya. Tapi, dengan berat hati ia tetap memaksa dirinya untuk mengangkat panggilan telepon Haris itu."Assalamualaikum," sapa Haris dari seberang."Waalaikumsalam," balas Siska lesu."Kamu kemana? Kenapa nggak ada di kantor?""Saya pulang, Pak. Maaf kalau kerja saya nggak becus, emang sepertinya saya nggak pantas kerja di perusahaan Pak Haris. Sekali lagi saya minta maaf, Pak," ungkap Siska. Sebenarnya ia merasa sangat tidak enak karena kejadian semua ini, apalagi yang main tiba-tiba pergi saja dari kantor tanpa seizin Haris."Siapa yang ngizinin kamu pulang! Di sini kerja
Saat di rumah Haris yang sedang duduk seraya menatap layar laptopnya itu dibuat terheran-heran.Di dalam saja terlihat jelas bahwa Dewi mengambil berkas yang ada di dalam laci dan memasukkannya ke dalam berkas-berkas yang menggunung di atas meja.Haris benar-benar tak habis pikir dengan apa yang tengah Dewi lakukan."Astaghfirullah, Dewi! Apa tujuanmu melakukan semua ini?! Kamu benar-benar membuat saya jadi kehilangan respek sama kamu, saya pikir selama ini kamu itu karyawan yang baik dan diantara semua karyawan yang udah memaki Siska saya pikir hanya kamu yang nggak ikut melakukan itu. Tapi, justru ternyata kamu lah yang lebih berbahaya dan sangat licik. Bisa-bisanya saya pelihara ular berbisa di dalam kantor," gumam Haris lalu segera mengambil kunci mobilnya di atas nakas."Mau kemana, Ris? Ke pesantren? Kamu ini sibuk terus sampe nggak ada waktu buat Mamamu ini, padahal Mama selalu kesepian di rum
"Assalamualaikum," ucap Bapak yang baru saja pulang dari masjid."Waalaikumsalam," balas semua orang.Haris pun langsung berdiri dan mencium punggung tangan Bapak.Melihat adanya Haris di dalam rumahnya ini membuat beliu sedikit mengernyitkan dahinya heran. Baru tadi siang Siska mengatakan bahwa ia tidak akan lagi ke kantor Bosnya itu karena tidak ada satu orang pun yang membelanya dan kini tiba-tiba saja Haris datang, seoalah tidak ada apa-apa yang terjadi."Loh, kok udah pulang, Pak? Katanya tadi pulangnya jam 9," seru Ibu."Iya, Bu. Tadi acaranya dipercepat," jawab Bapak lalu duduk di sebelah Haris seraya menelisik wajah laki-laki yang sudah berumur itu.[Ris! Kamu kapan pulangnya? Mama mau nitip durian ya nanti!] seru Rosalinda, ponsel Haris dibiarkan tergelak di meja saat mengetahui kedatangan Bapak tadi.Dan Haris pun
Siska menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Kini kedua tangannya sudah berada tepat di bahu Ika sembari menatap wanita itu dengan lekat. “Udah, Ika. Nggak papa. Toh kejadiannya juga udah berlalu,” balas Siska seraya tersenyum tipis. Jujur saja ia memang merasa kecewa atas sikap Ika kepadanya. Namun, jika Ika sendiri sudah meminta maaf apakah Siska akan tetap mempermasalahkannya? Tentu saja tidak. Siska adalah wanita yang paling tidak bisa berdiam-diaman dengan temannya sendiri. Apa lagi saat didiamkan oleh Ika beberapa hari ke belakang itu. Hal tersebut membuatnya tidak tenang. “Mba!” Perlahan Ika kembali
Para karyawan seketika tersentak dan terdiam ketika mendengar teriakan dari Bos mereka. Saat itu juga Haris segera menghampiri kegaduhan yang terjadi di pagi hari ini. “Ssshhh.... awchhh.” Tampak Siska yang tengah berseringai menahan sakit pada bagian lutut dan kedua telapak tangannya akibat didorong secara paksa oleh beberapa karyawan yang tidak suka dengan kehadirannya. “Mba, kamu nggak papa?” tanya Ika sembari membantu Siska untuk berdiri. Sedangkan Haris kini tengah menatap tajam seluruh karyawan yang baru saja menghakimi Siska. Lelaki itu paham bahwa mereka semua pasti sangat kesal dengan sekretarisnya itu akiba
Siska menyenderkan kepalanya pada sandaran sofa yang ada di ruangan Haris. Kini Ika tengah membantu Siska untuk membersihkan luka itu, sedangkan Haris sendiri sudah pergi ke ruang meeting. “Nggak nyangka banget kalo semua ini karena ulah Dewi, Kaa. Di balik sikap baiknya ternyata dia nggak suka sama aku,” keluh Siska dengan pandangan kosong. Ia memang tidak mengharuskan semua orang untuk selalu menyukai dirinya. Namun, dibenci tanpa alasan seperti ini oleh seseorang yang dianggap sebagai teman yang baik rasanya sudah pasti tidak mengenakan. “Iya, Mba sama. Padahal setahu aku ya selama di
“Mama!” sarkas Haris yang entah sudah sejak kapan berdiri di ambang pintu. Kemudian, dengan cepat ia segera menutup pintu ruangannya agar para karyawannya tidak akan ada yang mendengar percakapan ini. Sudah cukup permasalahan Dewi saja yang membuat suasana kantor menjadi riuh dan kacau. Ia tak ingin jika sampai hal ini kembali membuat Siska dalam masalah dan justru benar-benar memilih untuk meninggalkan pekerjaan ini dari kantornya. “Meetingnya sudah selesai?” Rosalinda pun bangkit dan menghampiri sang putra. “Mama tolong jangan memperkeruh keadaan. Siska mau kembali ke sini aja Haris udah bersyukur, tapi apa yang justru Mama perbuat. Mama
Hari ini terasa begitu panjang bagi Siska dengan masalah demi masalah yang menghampiri paginya hampir membuatnya putus asa. Masalah satu selesai, namun masalah baru justru kembali hadir. Bahkan menurutnya jauh lebih mengganggu ketenangan dan kenyamanannya. “Astagfirullah!” Siska menghela napas berat sembari memejamkan kedua matanya. Begitu masuk rumah dan melihat putri kecilnya yang langsung berlari ke arah dirinya membuat beban di pundak Siska sedikit mereda. Senyuman Qila mampu membuatnya sejenak melupakan segala kepenatan yang terjadi hari ini. “Tangan Bunda kenapa?” Aqila meraih kedua tangan Siska dengan wajah yang mur