(PoV Siska)
Ternyata Mas Ilham tak mendengar apa yang sudah aku katakan, entah ditaruh dimana ponselnya. Aku benar-benar kesal, lalu apa fungsinya aku ke sini jika wanita itu tetap juga ikut ke rumah bapakku?
Aku pun segera mengakhiri panggilan teleponnya, ku tarik napasku dalam lagi dan mencoba menenangkan pikiranku.
Ku tatap lekat kedua mata anakku yang dipenuihi dengan genangan air. Ku usap dengan lembut seraya tersenyum simpul.
"Bunda.... ayah beneran ke sini, kan?"
"Iya, Sayang... sebentar lagi ayah juga sampe, kok. Kamu sabar dulu, ya!"
"Iya, Bunda." Qila mengangguk seraya tersenyum lebar, begitu senangnya putriku mengetahui ayahnya akan ke mari.
Walau dadaku terasa sesak karena Mas Ilham
20 menit telah berlalu, Siska dan Qila sampai tak sadar bahwa Ilham sudah datang dan kini tengah berdiri diambang pintu bersama dengan Nabila."Ya Allah, kok anak ayah jam segini belum tidur juga," ujar Ilham seraya berjalan ke arah anak dan istrinya yang sedang asik menonton vidio.Seketika Siska dan Qila langsung menolehkan kepala mereka."Ayah....." Qila langsung memeluk Ilham dengan sangat erat. Ternyata memang Qila sangat merindukan Ayahnya itu."Kangen banget ya sama, Ayah?" tanya Ilham seraya mengangkat dagu Qila agar putri manisnya itu menatap dirinya."Iya... kangen, Ayah," balas Qila lalu kembali menenggelamkan wajahnya di dada Ilham."Ayah jarang pulang. Eh, waktu Ayah udah pulang tapi Qila sama Bunda yang nggak pulang," lanjutnya."Iya kan, kakek lagi sakit, Sayang. Jadi, Qila sama Bunda emang harus nginep di sin
Suasana seketika menjadi sangat haru, Ilham memeluk istri dan anaknya dengan penuh rasa kasih sayang. Sudah sangat lama keluarga kecil ini tidak berkumpul bersama seperti ini.Qila terlihat sangat bahagia. Namun, jelas saja tidak dengan Siska. Rasa sakit hatinya yang mendalam sulit untuk ia hilangkan sejenak saja walau sudah bersama dengan Ilham seperti ini. Perasaanya sudah hancur berkeping-keping, mau dengan cara yang paling haru, romantis dan juga hangat tak membuat hati Siska dengan mudahnya mencair.Di dalam dadanya hanya ada sebuah rasa pahit yang terkadang membuatnya susah untuk bernapas karena begitu sesaknya yang ia rasa."Hambar sekali pelukan malam ini," gumam Siska lirih lalu melepaskan tangan Ilham yang meraih punggungnya. Tanpa ia sadari air matanya luruh begitu saja membasahi pipinya, lalu dengan segera ia menyeka kedua matanya, menghembuskan napas kasar lalu bangkit dari kasur."Loh,
PRANK...Gelas pun jatuh ke lantai hingga pecah."Awchh, Sakit. Panas," rintih Siska seraya memegang perutnya. Ia takut terjadi hal buruk yang menimpa calon buah hatinya karena baru saja kejatuhan gelas kaca yang berisi air panas itu. Ia begitu was-was dan sangat ketakutan, perutnya tiba-tiba langsung sakit dan keram."Kurang ajar kamu, ya!" Napas Siska memburu dan menatap Nabila dengan tajam. Ia segera mengambil air dingin dari keran dan mengusapkannya ke perut.Rasanya masih begitu sakit, Siska beberapa kali berseringai menahan sakit namun, seketika Siska terkejut saat melihat darah di lantai."Hah anakku. A-aku pendarahan." Siska panik dan sangat terkejut. Ia langsung berjalan cepat menuju kamarnya untuk memanggil Ilham.Sedangkan Nabila, ia hanya bisa diam mematung saat melihat darah dimana-mana, apa lagi saat Siska berjalan. Lantai dengan ubin berwarna p
Setelah 2 jam berlalu dan dokter belum juga keluar membuat Ilham semakin cemas dan perasaannya tidak karuan. Rasa takut kini sedang menyelimuti dirinya. Tak henti-hentinya ia berdoa untuk istri dan calon buah hatinya, air matanya luruh membahasi pipi. Tubuhnya lemas hingga ia merasa tak bertulang.Krek...Pintu terbuka, Dokter wanita berjilbab biru keluar seraya menghembuskan napasnya. Ia terlihat sangat lelah dan letih. Keningnya bercucuran keringat. Padahal malam ini udara sedang sangat dingin tapi, memang tidak dengan ruang ICU. Walau sudah ada AC jelas saja siapa saja yang masuk ke sana akan terasa panas karena harus menghadapi pasien yang sedang dalam keadaan membahayakan.Ilham segera bangkit dan menghampiri Dokter itu lalu berkata, "gimana keadaan istri saya, Dok?""Istri Bapak mengalami pendarahan yang sangat hebat, banyak darah yang keluar. Kami sudah berusaha menghentikan pend
20 menit kemudian akhirnya Ilham sampai.Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat putri kecilnya sedang menangis sesenggukan di teras rumah seraya memeluk guling kecil dan menenggelamkan wajahnya di guling yang ia peluk.Ilham segera turun dari mobilnya dan menghampiri putrinya."Ya Allah, Sayang.Kamu ngapain di luar? Tante Nabila mana?"Tak ada jawaban dari Qila, ia hanya mendongakkan kepalanya sebentar lalu kembali menenggelamkan wajahnya.Ilham langsung menggendong Qila dan membawanya masuk. Dadanya bergemuruh, ia kesal dengan Nabila karena tidak menjaga Qila bahkan membiarkannya sendirian di luar rumah di jam yang sudah hampir lewat dari tengan malam ini."Keterlaluan sekali Nabila ini," gumam Ilham kesal dan langsung masuk ke dalam.Niatnya pulang untuk segera mengambil ponsel dan segera menghubungi teman-temanya tapi justru Nabila
Ternyata anak kyai ini tidak sebaik kelihatan, bukan? Wajah lugu dan polos memang tidak bisa menjamin isi hati seseorang. Jadi, jangan menilai orang semata-mata hanya dari luarnya saja!"Pokoknya Mas nggak mau tau, kamu harus jagain Qila malam ini! Mau minta tolong siapa lagi kalau bukan kamu, Nab? Kamu istri saya jadi, tolong anggap Qila seperti anak kandungmu sendiri!" tutur Ilham seraya menatap Nabila dengan lekat dan serius."I-iya, Mas. Nanti akan aku kunci pintunya biar Qila nggak keluar lagi," balas Nabila gugup dan sedikit menunduk kepalanya."Jagain yang bener! Sayangi dia seperti anakmu sendiri!" celetuk Ilham. Walau sebenarnya ia tak bisa percaya begitu saja namun, malam-malam begini memang tak ada lagi yang bisa diminta bantuan untuk menjaga Qila kecuali Nabila."Iya, Mas. Aku sayang kok sama Qila, memang tadi aku yang teledor. Aku bener-bener minta maaf, Mas."Ilham
(PoV Nabila)Sesampainya di rumah sakit aku segera menuju tempat administrasi, kalau saja bukan karena aku Siska jadi seperti ini pasti aku enggan mendonorkan darah untuknya.Kakak maduku itu memang sangat arogan, dia yang selalu mulai duluan dan pasti akhirnya kita berkelahi. Padahal aku sudah berusaha baik dengannya tapi ia tetap saja ingin ribut denganku.Padahal menurutku tinggal berbagai saja itu bukan lah hal yang sulit, kita bisa bersama-sama mengurus Mas Ilham dan juga rumah. Tapi Siska tetap tidak mau, memang dasar manusia sukanya yang tidak berjalan ya lancar-lancar saja ya seperti itu.Apalagi anaknya, Aqila itu sangat manja dan juga menyebalkan. Gara-gara dia tidak mau masuk aku mendapatkan kemarahan dari Mas Ilham. Anak dan Ibu memang tidak ada bedanya sama sekali, senangnya membuat ulah yang akan menyengsarakan diriku."Hhhhh... makanya nggak usah banyak ulah, kena
Setelah dokter melakukan pengobatan di ruang ICU dan keadaan Siska sudah tidak kritis lagi, para perawat segera memindahkannya ke ruang rawat inap.Hingga di pagi harinya pada pukul 08:15 akhirnya Siska dapat membuka kedua matanya. Ia merasa kepalanya pusing, tubuh lemas dan sakit di bagian perut."Hsss..." desis Siska menahan sakit.Ia melihat tangan kirinya yang berbalut infus lalu beralih melihat ke sekeliling ruangan. Ia melihat keberadaan Nabila yang sedang duduk di sofa seraya memainkan ponselnya.Dahi Siska pun mengerut, ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sampai ia harus ada di ruangan ini.Sontak kedua mata Siska membelalak dengan sangat lebar. Ia langsung memegang perutnya yang terasa sakit, buliran cairan bening mulai keluar dari kedua sudut matanya."Anakku," gumamnya lirih.Kemudian, ia beralih melihat Nabila sambil m
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,
Malam ini di tengah rasa cemas, khawatir, dan bercampur bimbang Haris dengan terpaksa harus mengikuti keinginan Rosalinda untuk makan malam di luar bersama Syakira. Jangan anggap lelaki itu tidak menolaknya, sudah berulang kali Haris tidak mau, tetapi Sang Mama tetap saja memaksannya. Padahal malam ini ia ingin menemani Siska di rumah sakit, sekaligus menyelesaikan percakapan mereka yang ia anggap belum sepenuhnya selesai. Masih banyak hal yang ingin Haris katakan untuk membuat wanita itu mau memberinya kesempatan dan kepercayaan. Namun, sayangnya keadaan sama sekali tak mendukungnya. “Makan, Haris!” seru Rosalinda, sedari tadi wanita itu memperhatikan putranya yang terus sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan dirinya dan juga Syakira. “Haris nggak lapar, Ma,” balas Haris lirih, lalu menghela napas panjang karena sedari tadi Siska tak mau mengangkat panggilan telepon atau pun membalas pesan-pesannya. Ingin rasanya saat ini juga ia k
Kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya Ika sendiri sangat malu. Apalagi kenyataannya dia tak mempunyai hak untuk memiliki rasa cemburu itu, bahkan sekedar dekat dengan bosnya itu pun tidak. Lalu, kenapa dia harus marah dengan Ika waktu itu? Ahhh... Ika sendiri juga tak paham tentang persoalan rasa seperti ini. Sungguh rumit dan tak bisa dijelaskan. “Iya, Kaa. Aku juga udah jaga jarak banget sama Pak Haris setelah ditegur sama Bu Rosalinda, beliau ngelarang aku buat deketin anaknya. Padahal aku sendiri juga nggak ada fikiran sampai ke sana. Nggak tahu kenapa Bu Rosalinda dan Syakira justru beranggapan yang enggak-enggak tentang aku,” balas Siska, sedih rasanya kalau semakin banyak orang yang tak menyukai dirinya seperti ini. “Namanya juga manusia, Siska. Mereka pasti berasumsi sendiri-sendiri, karena para pembenci nggak akan peduli dengan semua kebaikan yang udah kamu berbuat. Di mata mereka apa yang kamu lakukan itu akan selalu buruh,” sambun
Drttt... Drttt... Drttt... Berulang kali ponsel Siska berdering, menandakan ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk. Namun, wanita itu sengaja mengabaikannya dan justru memejamkan kedua matanya dalam posisinya yang masih duduk bersender. Ia tak mau memikirkan apapun yang akan membuat kepalanya semakin pusing. Hari ini sudah banyak sekali hal yang membuatnya penat, ingin sekali ia sejenak untuk beristirahat dari segala permasalahannya. Hingga beberapa saat kemudian Ika pun telah datang bersama dengan Fatya dan juga beberapa sahabat Siska yang lain. Wanita itu bahkan tak tahu jika Ika telah memberitahukan keadaannya yang sedang tidak baik-baik ini kepada mereka. “Assalamualikum....” ucap Ika pelan sembari berjalan ke arah Siska, namun kedua matanya justru fokus pada dua paper bag di atas nakas. “Waalaikumsalam,” balas Siska yang sudah kembali membuka kedua matanya setelah mendengar suara pintu yang terbuk