Mas Abi ... Mas Abi. Entah ke mana sikap penuh cinta yang selama ini melekat di hatinya. Apa mungkin dosa yang telah dia lakukan menghapus perlahan perasaan di dalam sanubarinya, sehingga dia menjadi manusia tidak bernurani seperti ini?
Masuk ke dalam mobil, aku memutuskan untuk segera meninggalkan parkiran kantor polisi juga Mas Abi yang masih berdiri mematung sambil menatap ke arah mobilku yang perlahan mulai bergerak menjauh darinya.Di saat bersamaan ponsel milikku terdengar berdering nyaring. Ada panggilan masuk dari Zafran, dan aku segera menjawab panggilan dari anak keduaku, menyapanya dengan salam juga dengan kata-kata selembut mungkin.“Waalaikumussalam, Bunda ada di mana?” tanya anak lelakiku terdengar cemas.“Lagi di jalan, Sayang. Mau pulang,” jawabku.“Alhamdulillah kalau begitu, soalnya tadi Zafir bilang katanya Bunda dipanggil polisi, jadi saya khawatir sama Bunda.”“Bunda hanya dimintai keterangan terkait kejadianMelihat aku sedang berbicara serius dengan ayahnya Zarina segera menghampiri, mengambil putranya dari gendongan Mas Abi lalu kembali pergi meninggalkan kami.“Serius Cuma laku dua M doang, Mas?” Aku kembali bertanya, hanya untuk sekedar memastikan.“Iya, Dek. Nanti Mas transfer ke kamu dua ratus juta dulu, karena limit transfernya Mas cuma segitu per hari, nanti Mas kirim selama lima hari berturut-turut. Nggak apa-apa kan?” Mas Abi menatap wajahku.“Mas jual restoran sudah berapa lama?” Membalas tatapan Mas Abi sekilas, lalu kembali membuang pandang ke arah lain sebab lelaki di hadapanku ini sudah bukan lagi mahramku.“Sudah sekitar lima harian, Dek,” jawabnya.“Lima hari?” Dahiku mengernyit mendengar pengakuannya. Bukannya kemarin kata pelayanan bosnya sudah membeli restoran itu sekitar dua pekan yang lalu? Kenapa Mas Abi malah berbohong?“Iya, kurang lebih sekitar lima hari.”“Bukannya sudah sekitar dua mingguan?”
“Ayah bicara apa? Kok wajah Bunda tiba-tiba berubah sendu seperti ini?” tanyanya sambil menyapu lembut air mata yang ternyata sudah memburai di pipi.“Enggak apa-apa, Sayang. Ayah kamu Cuma membicarakan tentang restoran doang kok?” Menatap mata teduh anakku, rasanya seperti menatap pantulan wajah Mas Abi, sebab baik dari segi wajah maupun perawakannya Zafranlah yang paling mirip dengan sang ayah.Maka dari itu aku selalu berdoa kepada Allah, meminta kepada Sang Maha Rahim agar anak lelaki selalu dalam perlindungannya, dijaga hati serta perbuatannya agar tidak meniru apa yang telah dilakukan oleh ayahnya. Aku tidak mau kalau sampai anak menantuku merasakan apa yang aku rasa saat ini, sebab ini terlalu menyakitkan. Cukup aku saja yang merasakan pahitnya dikhianati oleh suami.“Tapi kenapa Bunda bersedih? Apa Ayah menyakiti perasaan Bunda?” “Enggak, Sayang. Sudah, ayo kita ke Kakak.” Menggamit lengan kekarnya, dan pria remajaku segera merangkul pund
Aku menatap wajah teduh anakku, merasa bersyukur karena ternyata dia lebih memilih aku daripada wanita yang ia cintai, walaupun dalam hati ada dilema, khawatir nanti dia patah hati saat melihat pujaan hatinya dipinang laki-laki lain, sebab pasti ustaz Habsy akan mengundang kami jika mengadakan acara walimatul arsy."Yasudah kalau begitu, Nak Fran. Berarti kamu ikhlas ya kalau Adinda saya nikahkan dengan anak sahabat saya," ucap Ustaz Habsyi sambil menerbitkan senyuman."Insya Allah saya ikhlas, Ustaz. Mungkin Dinda bukan jodoh saya," Zafran membalas senyuman guru spiritualnya, walaupun samar di matanya memancarkan luka yang berusaha ia sembunyikan.Sebenarnya aku ingin menyela pembicaraan mereka, akan tetapi tidak berani karena takut malah membuat kesalahan. Biarlah anakku menyelesaikan semua sendiri, sebab yakin apa pun yang ia putuskan pasti sudah dipertimbangkan dengan matang."Baik, saya permisi dulu, Fran, Bu Hanin. Assalamualaikum!" Ustaz Ha
Dua hari kemudian, aku bersama Zafran pergi melihat ruko yang hendak disewakan atas rekomendasi Amira. Katanya, di sana lokasinya sangat strategis karena dekat dengan sekolah juga kampus, dan kalau aku menjual makanan dengan harga terjangkau pasti akan menjadi tempat favorit anak-anak muda.Mendengar ada peluang bagus seperti itu aku segera bergerak cepat, siapa tahu ada rezeki di tempat itu.Amira sudah menunggu di ruko bersama pemiliknya, dan mereka langsung menyambut ketika aku serta Zafran turun dari mobil.Kami pun berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya masuk dan melihat-lihat isi dalam ruko, mengedarkan pandangan ke arah sekitarnya dan memang benar apa yang dikatakan oleh Amira. Lokasinya memang tidak di jalan utama, akan tetapi begitu strategis karena berada di dekat sekolah juga sebuah universitas."Omong-omong sewanya berapa, Pak?" tanyaku pada pemilik ruko."Empat puluh juta per tahun, Bu. Minimal kontrak satu tahun," jawab yan
Amira berjalan menghampiri lalu bertanya, "ada apa, Han? Wajah kamu kenapa mendadak kelihatan pucat begitu?" "Mas Abi masuk rumah sakit. Katanya dia terkena serangan jantung, padahal selama ini dia nggak pernah ngeluh sakit loh?" jawabku sambil memutus sambungan telepon."Mungkin itu karma buat dia karena sudah mengkhianati wanita sebaik kamu. Mas Abi yang tadinya sehat jadi sakit, supaya dia tahu kalau perempuan pilihannya, si getel itu hanya mau duitnya dia doang!" cerocos Amira dengan nada kesal.Semenjak tahu Mas Abi berselingkuh dia jadi membenci mantan suami, karena dialah orang yang paling tahu kehidupan kami berdua sejak baru menikah, juga ketika masih hidup susah."Katanya sih Mas Abi sudah menalak Fira juga, Mir. Sekarang dia sudah enggak sama si pelakor. Lagian memangnya kamu nggak tahu kalau Elfira sekarang dipenjara? Dia dianggap telah lalai meninggalkan anaknya sampai Sabrina meninggal.""Inalillahi, ya Allah. Demi Allah ak
Ponsel milik Amira terdengar berdering nyaring. Wanita yang sejak dulu menjadi sahabatku itu berjalan sedikit menjauh, dan tidak lama kemudian pamit pulang karena diminta suaminya untuk ikut ke undangan."Hati-hati di jalan, Mir. Salam buat Mas Hari," ucapku sambil bercipika-cipiki."Iya nanti aku sampein ke suami. Kamu yang sabar, ya Han. Jaga Zafir, jangan sampai dia semakin sakit hati sama ayahnya. Aku yakin pasti kamu bisa menghadapi masalah ini. Kamu itu perempuan hebat, Hanina. Semoga Allah semakin mengangkat derajat kamu," ucapnya sebelum pergi."Terima kasih, Mir.""Kembali kasih. Bye!"Aku melambaikan tangan, kembali masuk setelah melihat Amira menaiki ojek yang dia pesan lalu pergi ke dapur untuk membuat teh madu supaya pikiran sedikit tenang."Allahumma inni as-aluka nafsan bika muthma-innah, tu'minu biliqo-ika wa tardho bi qodho-ika wataqna'u bi 'atho-ika," ucapku dalam hati, sambil mengaduk teh di cawan dan segera me
"Fran?" Aku menyenggol pinggang anakku sambil terus menatapnya."Iya, Bun. Manis, cantik!" jawabnya spontan.Ya Allah, rasanya ingin tertawa melihat reaksi anak lelakiku yang sampai segitunya saat melihat adiknya Syailendra."Bunda nggak minta pendapat dia cantik apa enggak, tapi nanya dia itu yang nabrak kita di acaranya Om Rendi atau bukan?" kataku lagi, mengulangi pertanyaannya yang aku ajukan."I--iya kayaknya, Bun." Pria berusia hampir dua puluh tiga tahun itu menjawab sambil tersipu malu.Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri, dan ternyata sudah pukul tiga sore. Aku pun pamit pulang kepada tuan rumah, karena tidak bisa terlalu lama meninggalkan Zafir sendirian."Loh, Mbak Hanin. Kenapa buru-buru sekali?" tanya Mbak Sania saat kami pamit kepadanya."Soalnya anak bungsu saya lagi sakit dan sendirian di rumah. Kasihan takut dia butuh apa-apa," sahutku."Oh, seperti itu? Kalau begitu Mba
Krieet ....Terdengar suara pintu terbuka, seiring munculnya seorang perawat dengan ponsel di tangannya. Dia kemudian menghampiri, menyerahkan benda mati berbentuk pipih persegi itu kepadaku lalu pamit kembali bekerja.Dengan gemetar jemari ini bergulir di layar, mencoba menghubungi nomor Zafran, akan tetapi nomor anak keduaku ternyata sedang sibuk. [Assalamualaikum, Fran. Bisa temani Ayah di rumah sakit? Ayah sakit dan sedang dirawat.]Mengirimkan pesan kepada Zafran, berharap dia akan berkenan datang menemuiku di sini.Tidak lupa juga menghubungi teman-teman yang memiliki sangkutan, membayar hutang kepada mereka supaya jika kelak Allah mengambil nyawa ini dari raga sudah tidak ada lagi sangkutan dengan orang-orang juga tidak merepotkan Hanina serta anak-anak.Aku juga segera mengirimkan sisa uang milik Hanina, karena kemarin baru memberi dia delapan ratus juga selama empat hari berturut-turut sebelum akhirnya aku jatuh sakit.