“Ayah bicara apa? Kok wajah Bunda tiba-tiba berubah sendu seperti ini?” tanyanya sambil menyapu lembut air mata yang ternyata sudah memburai di pipi.
“Enggak apa-apa, Sayang. Ayah kamu Cuma membicarakan tentang restoran doang kok?” Menatap mata teduh anakku, rasanya seperti menatap pantulan wajah Mas Abi, sebab baik dari segi wajah maupun perawakannya Zafranlah yang paling mirip dengan sang ayah.Maka dari itu aku selalu berdoa kepada Allah, meminta kepada Sang Maha Rahim agar anak lelaki selalu dalam perlindungannya, dijaga hati serta perbuatannya agar tidak meniru apa yang telah dilakukan oleh ayahnya. Aku tidak mau kalau sampai anak menantuku merasakan apa yang aku rasa saat ini, sebab ini terlalu menyakitkan. Cukup aku saja yang merasakan pahitnya dikhianati oleh suami.“Tapi kenapa Bunda bersedih? Apa Ayah menyakiti perasaan Bunda?”“Enggak, Sayang. Sudah, ayo kita ke Kakak.” Menggamit lengan kekarnya, dan pria remajaku segera merangkul pundAku menatap wajah teduh anakku, merasa bersyukur karena ternyata dia lebih memilih aku daripada wanita yang ia cintai, walaupun dalam hati ada dilema, khawatir nanti dia patah hati saat melihat pujaan hatinya dipinang laki-laki lain, sebab pasti ustaz Habsy akan mengundang kami jika mengadakan acara walimatul arsy."Yasudah kalau begitu, Nak Fran. Berarti kamu ikhlas ya kalau Adinda saya nikahkan dengan anak sahabat saya," ucap Ustaz Habsyi sambil menerbitkan senyuman."Insya Allah saya ikhlas, Ustaz. Mungkin Dinda bukan jodoh saya," Zafran membalas senyuman guru spiritualnya, walaupun samar di matanya memancarkan luka yang berusaha ia sembunyikan.Sebenarnya aku ingin menyela pembicaraan mereka, akan tetapi tidak berani karena takut malah membuat kesalahan. Biarlah anakku menyelesaikan semua sendiri, sebab yakin apa pun yang ia putuskan pasti sudah dipertimbangkan dengan matang."Baik, saya permisi dulu, Fran, Bu Hanin. Assalamualaikum!" Ustaz Ha
Dua hari kemudian, aku bersama Zafran pergi melihat ruko yang hendak disewakan atas rekomendasi Amira. Katanya, di sana lokasinya sangat strategis karena dekat dengan sekolah juga kampus, dan kalau aku menjual makanan dengan harga terjangkau pasti akan menjadi tempat favorit anak-anak muda.Mendengar ada peluang bagus seperti itu aku segera bergerak cepat, siapa tahu ada rezeki di tempat itu.Amira sudah menunggu di ruko bersama pemiliknya, dan mereka langsung menyambut ketika aku serta Zafran turun dari mobil.Kami pun berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya masuk dan melihat-lihat isi dalam ruko, mengedarkan pandangan ke arah sekitarnya dan memang benar apa yang dikatakan oleh Amira. Lokasinya memang tidak di jalan utama, akan tetapi begitu strategis karena berada di dekat sekolah juga sebuah universitas."Omong-omong sewanya berapa, Pak?" tanyaku pada pemilik ruko."Empat puluh juta per tahun, Bu. Minimal kontrak satu tahun," jawab yan
Amira berjalan menghampiri lalu bertanya, "ada apa, Han? Wajah kamu kenapa mendadak kelihatan pucat begitu?" "Mas Abi masuk rumah sakit. Katanya dia terkena serangan jantung, padahal selama ini dia nggak pernah ngeluh sakit loh?" jawabku sambil memutus sambungan telepon."Mungkin itu karma buat dia karena sudah mengkhianati wanita sebaik kamu. Mas Abi yang tadinya sehat jadi sakit, supaya dia tahu kalau perempuan pilihannya, si getel itu hanya mau duitnya dia doang!" cerocos Amira dengan nada kesal.Semenjak tahu Mas Abi berselingkuh dia jadi membenci mantan suami, karena dialah orang yang paling tahu kehidupan kami berdua sejak baru menikah, juga ketika masih hidup susah."Katanya sih Mas Abi sudah menalak Fira juga, Mir. Sekarang dia sudah enggak sama si pelakor. Lagian memangnya kamu nggak tahu kalau Elfira sekarang dipenjara? Dia dianggap telah lalai meninggalkan anaknya sampai Sabrina meninggal.""Inalillahi, ya Allah. Demi Allah ak
Ponsel milik Amira terdengar berdering nyaring. Wanita yang sejak dulu menjadi sahabatku itu berjalan sedikit menjauh, dan tidak lama kemudian pamit pulang karena diminta suaminya untuk ikut ke undangan."Hati-hati di jalan, Mir. Salam buat Mas Hari," ucapku sambil bercipika-cipiki."Iya nanti aku sampein ke suami. Kamu yang sabar, ya Han. Jaga Zafir, jangan sampai dia semakin sakit hati sama ayahnya. Aku yakin pasti kamu bisa menghadapi masalah ini. Kamu itu perempuan hebat, Hanina. Semoga Allah semakin mengangkat derajat kamu," ucapnya sebelum pergi."Terima kasih, Mir.""Kembali kasih. Bye!"Aku melambaikan tangan, kembali masuk setelah melihat Amira menaiki ojek yang dia pesan lalu pergi ke dapur untuk membuat teh madu supaya pikiran sedikit tenang."Allahumma inni as-aluka nafsan bika muthma-innah, tu'minu biliqo-ika wa tardho bi qodho-ika wataqna'u bi 'atho-ika," ucapku dalam hati, sambil mengaduk teh di cawan dan segera me
"Fran?" Aku menyenggol pinggang anakku sambil terus menatapnya."Iya, Bun. Manis, cantik!" jawabnya spontan.Ya Allah, rasanya ingin tertawa melihat reaksi anak lelakiku yang sampai segitunya saat melihat adiknya Syailendra."Bunda nggak minta pendapat dia cantik apa enggak, tapi nanya dia itu yang nabrak kita di acaranya Om Rendi atau bukan?" kataku lagi, mengulangi pertanyaannya yang aku ajukan."I--iya kayaknya, Bun." Pria berusia hampir dua puluh tiga tahun itu menjawab sambil tersipu malu.Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri, dan ternyata sudah pukul tiga sore. Aku pun pamit pulang kepada tuan rumah, karena tidak bisa terlalu lama meninggalkan Zafir sendirian."Loh, Mbak Hanin. Kenapa buru-buru sekali?" tanya Mbak Sania saat kami pamit kepadanya."Soalnya anak bungsu saya lagi sakit dan sendirian di rumah. Kasihan takut dia butuh apa-apa," sahutku."Oh, seperti itu? Kalau begitu Mba
Krieet ....Terdengar suara pintu terbuka, seiring munculnya seorang perawat dengan ponsel di tangannya. Dia kemudian menghampiri, menyerahkan benda mati berbentuk pipih persegi itu kepadaku lalu pamit kembali bekerja.Dengan gemetar jemari ini bergulir di layar, mencoba menghubungi nomor Zafran, akan tetapi nomor anak keduaku ternyata sedang sibuk. [Assalamualaikum, Fran. Bisa temani Ayah di rumah sakit? Ayah sakit dan sedang dirawat.]Mengirimkan pesan kepada Zafran, berharap dia akan berkenan datang menemuiku di sini.Tidak lupa juga menghubungi teman-teman yang memiliki sangkutan, membayar hutang kepada mereka supaya jika kelak Allah mengambil nyawa ini dari raga sudah tidak ada lagi sangkutan dengan orang-orang juga tidak merepotkan Hanina serta anak-anak.Aku juga segera mengirimkan sisa uang milik Hanina, karena kemarin baru memberi dia delapan ratus juga selama empat hari berturut-turut sebelum akhirnya aku jatuh sakit.
"Ayah bisa jelaskan masalah itu, Fran?" Mencoba mencari pembelaan."Apanya yang perlu dijelaskan, Yah? Bahkan kalau Bunda tidak tahu ruko itu sudah terjual pun mungkin Ayah tidak akan memberitahunya. Ayah akan diam menikmati uang itu dengan istri baru Ayah tanpa ingat dengan orang yang sudah mendampingi Ayah sejak masih nol, dari Ayah belum punya apa-apa sampai Ayah berjaya!" sungutnya lagi, masih dengan wajah memerah dan semakin terlihat marah."Fran, Ayah tidak seperti itu. Ayah cuma ....""Tidak seperti itu bagaimana?" potongnya cepat. "Maaf, ya Ayah. Bukannya saya mau jadi anak durhaka ataupun hanya memikirkan uang saja, tetapi ruko itu dibangun menggunakan uang Bunda. Semua yang Ayah miliki itu dicari bersama, dari mangkal di pinggir jalan sampai hujan kehujanan, panas kepanasan dan Ayah berjuangnya sama siapa? Sama Bunda, Yah? Bukan sama Mbak Fira!""Fran?""Saya itu bener-bener kecewa sama Ayah. Dulu saya pikir Ayah adalah panutan. Bahkan kami anak-anak Ayah selalu mengidolakan
"Yasudah tidak apa-apa, mungkin dia masih butuh waktu untuk menenangkan diri, supaya bisa memaafkan Ayah," lirihku kemudian."Bisa jadi!" jawab anakku."Fran? Apa Ayah boleh mengajukan satu permintaan ke kamu?""Kalau bukan permintaan yang sulit, insya Allah saya bisa membantu.""Jika suatu saat Ayah tidak ada umur dan kelihatan sulit saat menghadapi sakaratul maut, Ayah minta kamu dan Zafir bimbing Ayah membaca syahadat, setidaknya ingatkan Ayah untuk menyebut asma Allah. Ayah juga ingin kamu dan adik kamu yang mengentar ke pemakaman, tetapi itu jika kalian berkenan."Mata jernih Zafran mendadak berembun mendengar permintaan yang aku ajukan."Bagaimana, Fran?" Terus memindai wajahnya yang kembali memerah."Sebaiknya Ayah tidak usah berkata yang aneh-aneh. Kita fokus saja kepada kesehatan Ayah!" ujarnya dengan nada bergetar.Aku tahu sebenarnya dia tengah merasa bersedih, akan tetapi terus mencoba menyembunyikan