Ponsel milik Amira terdengar berdering nyaring. Wanita yang sejak dulu menjadi sahabatku itu berjalan sedikit menjauh, dan tidak lama kemudian pamit pulang karena diminta suaminya untuk ikut ke undangan.
"Hati-hati di jalan, Mir. Salam buat Mas Hari," ucapku sambil bercipika-cipiki."Iya nanti aku sampein ke suami. Kamu yang sabar, ya Han. Jaga Zafir, jangan sampai dia semakin sakit hati sama ayahnya. Aku yakin pasti kamu bisa menghadapi masalah ini. Kamu itu perempuan hebat, Hanina. Semoga Allah semakin mengangkat derajat kamu," ucapnya sebelum pergi."Terima kasih, Mir.""Kembali kasih. Bye!"Aku melambaikan tangan, kembali masuk setelah melihat Amira menaiki ojek yang dia pesan lalu pergi ke dapur untuk membuat teh madu supaya pikiran sedikit tenang."Allahumma inni as-aluka nafsan bika muthma-innah, tu'minu biliqo-ika wa tardho bi qodho-ika wataqna'u bi 'atho-ika," ucapku dalam hati, sambil mengaduk teh di cawan dan segera me"Fran?" Aku menyenggol pinggang anakku sambil terus menatapnya."Iya, Bun. Manis, cantik!" jawabnya spontan.Ya Allah, rasanya ingin tertawa melihat reaksi anak lelakiku yang sampai segitunya saat melihat adiknya Syailendra."Bunda nggak minta pendapat dia cantik apa enggak, tapi nanya dia itu yang nabrak kita di acaranya Om Rendi atau bukan?" kataku lagi, mengulangi pertanyaannya yang aku ajukan."I--iya kayaknya, Bun." Pria berusia hampir dua puluh tiga tahun itu menjawab sambil tersipu malu.Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri, dan ternyata sudah pukul tiga sore. Aku pun pamit pulang kepada tuan rumah, karena tidak bisa terlalu lama meninggalkan Zafir sendirian."Loh, Mbak Hanin. Kenapa buru-buru sekali?" tanya Mbak Sania saat kami pamit kepadanya."Soalnya anak bungsu saya lagi sakit dan sendirian di rumah. Kasihan takut dia butuh apa-apa," sahutku."Oh, seperti itu? Kalau begitu Mba
Krieet ....Terdengar suara pintu terbuka, seiring munculnya seorang perawat dengan ponsel di tangannya. Dia kemudian menghampiri, menyerahkan benda mati berbentuk pipih persegi itu kepadaku lalu pamit kembali bekerja.Dengan gemetar jemari ini bergulir di layar, mencoba menghubungi nomor Zafran, akan tetapi nomor anak keduaku ternyata sedang sibuk. [Assalamualaikum, Fran. Bisa temani Ayah di rumah sakit? Ayah sakit dan sedang dirawat.]Mengirimkan pesan kepada Zafran, berharap dia akan berkenan datang menemuiku di sini.Tidak lupa juga menghubungi teman-teman yang memiliki sangkutan, membayar hutang kepada mereka supaya jika kelak Allah mengambil nyawa ini dari raga sudah tidak ada lagi sangkutan dengan orang-orang juga tidak merepotkan Hanina serta anak-anak.Aku juga segera mengirimkan sisa uang milik Hanina, karena kemarin baru memberi dia delapan ratus juga selama empat hari berturut-turut sebelum akhirnya aku jatuh sakit.
"Ayah bisa jelaskan masalah itu, Fran?" Mencoba mencari pembelaan."Apanya yang perlu dijelaskan, Yah? Bahkan kalau Bunda tidak tahu ruko itu sudah terjual pun mungkin Ayah tidak akan memberitahunya. Ayah akan diam menikmati uang itu dengan istri baru Ayah tanpa ingat dengan orang yang sudah mendampingi Ayah sejak masih nol, dari Ayah belum punya apa-apa sampai Ayah berjaya!" sungutnya lagi, masih dengan wajah memerah dan semakin terlihat marah."Fran, Ayah tidak seperti itu. Ayah cuma ....""Tidak seperti itu bagaimana?" potongnya cepat. "Maaf, ya Ayah. Bukannya saya mau jadi anak durhaka ataupun hanya memikirkan uang saja, tetapi ruko itu dibangun menggunakan uang Bunda. Semua yang Ayah miliki itu dicari bersama, dari mangkal di pinggir jalan sampai hujan kehujanan, panas kepanasan dan Ayah berjuangnya sama siapa? Sama Bunda, Yah? Bukan sama Mbak Fira!""Fran?""Saya itu bener-bener kecewa sama Ayah. Dulu saya pikir Ayah adalah panutan. Bahkan kami anak-anak Ayah selalu mengidolakan
"Yasudah tidak apa-apa, mungkin dia masih butuh waktu untuk menenangkan diri, supaya bisa memaafkan Ayah," lirihku kemudian."Bisa jadi!" jawab anakku."Fran? Apa Ayah boleh mengajukan satu permintaan ke kamu?""Kalau bukan permintaan yang sulit, insya Allah saya bisa membantu.""Jika suatu saat Ayah tidak ada umur dan kelihatan sulit saat menghadapi sakaratul maut, Ayah minta kamu dan Zafir bimbing Ayah membaca syahadat, setidaknya ingatkan Ayah untuk menyebut asma Allah. Ayah juga ingin kamu dan adik kamu yang mengentar ke pemakaman, tetapi itu jika kalian berkenan."Mata jernih Zafran mendadak berembun mendengar permintaan yang aku ajukan."Bagaimana, Fran?" Terus memindai wajahnya yang kembali memerah."Sebaiknya Ayah tidak usah berkata yang aneh-aneh. Kita fokus saja kepada kesehatan Ayah!" ujarnya dengan nada bergetar.Aku tahu sebenarnya dia tengah merasa bersedih, akan tetapi terus mencoba menyembunyikan
Sepertinya ada yang sengaja memanfaatkan momen retaknya hubunganku dengan Hanina untuk mendekati dia, sebab jika dilihat-lihat, kayaknya ada perasaan spesial di hati Rendi, dan mungkin secepatnya dia akan menggantikan posisiku di tengah-tengah mereka.Ya Allah ... apa jadinya aku jika suatu saat nanti melihat Rendi bersanding dengan mantan istri? Pasti rasanya sakit sekali, jika melihat wanita yang masih begitu aku cintai harus melabuhkan cintanya kepada sahabatku sendiri.Kembali meletakkan ponsel, mengurungkan niat untuk meminta bantuan kepada Rendi, sebab takut dia semakin besar kepala juga semakin merasa begitu dibutuhkan. Aku tidak mau menjatuhkan harga diri di depannya.Tidak lama kemudian pintu kamar inapku terbuka, seiring munculnya dokter Umar dengan stetoskop menggantung di leher. Dokter muda dengan wajah penuh kharisma itu tersenyum sambil mengucapkan salam, lalu berjalan menghampiri dan menanyakan keadaanku saat ini.“Alhamdulillah sud
“Ayah minta maaf, Fran. Ayah mengaku salah,” kataku penuh dengan penyesalan.Zafran kemudian kembali melajukan mobilnya karena di belakang banyak yang meneriaki juga menekan klakson berkali-kali, akan tetapi kali ini dia tetap fokus mengemudi, tidak lagi mau berbicara kepadaku seperti sebelumnya.Bodoh. Aku sudah merusak suasana yang sudah mulai mencair dengan pertanyaan konyol yang aku ajukan.Zafran menepikan mobilnya ketika kami sampai, akan tetapi dia menolak ketika aku ajak singgah. Pasti dia marah karena perkataanku tadi. Ya Allah ...“Saya pulang, semoga Ayah cepet sehat. Jangan lupa melakukan salat taubat, banyak-banyak beristigfar supaya hati Ayah terasa lapang!” pamit Zafran.“Kamu tidak mampir dulu, Fran?” Menatap wajah tampan anakku.“Lain kali saja. Assalamualaikum!”Tanpa menunggu aku menjawab salam, Zafran sudah terlebih dahulu menutup kaca mobil dan langsung pergi begitu saja.Bodoh. Aku memang b
"Teruslah sakiti perasaan Bunda sampai rasa benci semakin memenuhi rongga dada kami!" Aku terkesiap ketika mendengar suara Zafir, menoleh ke arahnya lalu berjalan menghampiri, hendak mengusap pipi anak yang teramat kurindukan namun dia malah menghindari sentuhanku.Remaja berusia sembilan belas tahun itu kemudian berjalan mengikuti ibunya, terlihat kepayahan saat melangkah karena dia masih harus menggunakan tongkat.Pun dengan Zarina. Anak perempuanku satu-satunya itu terus menatap penuh dengan kebencian, lalu segera bergabung bersama dengan yang lainnya.Dan herannya, mereka terlihat begitu menghormati Rendi, seolah sahabatku itu yang perlu mereka hargai, bukan aku yang notabene adalah ayah kandung mereka.Perlahan mobil yang dikemudikan oleh suaminya Zarina berjalan meninggalkan parkiran. Aku terus menatap kendaraan roda empat tersebut hingga menghilang di balik tikungan, kembali merema* dada yang terasa sesak seolah tidak ada lagi pas
“Mas?” Aku yang sudah terpejam membuka mata secara perlahan karena mendengar Elfira memanggil namaku.“Apa kita sudah berada di surga? Tadi Bina ngajak aku ke surga loh?” racunnya sambil mengedarkan pandang.“Ini rumah sakit, bukan surga!” ketusku.“Kenapa aku ada di rumah sakit?” Wajah wanita itu terlihat kebingungan. Entah dia sedang bersandiwara dan berpura-pura, atau memang akibat dari halusinasi.“Kamu mencoba mengakhiri hidup dengan cara memotong nadi.”“Bunuh diri?” “Iya. Lihat tangan kamu, diperban kan? Tolong jangan bertingkah konyol, Fira. Jangan bikin Mas tambah susah. Lagian bunuh diri itu bukan jalan keluar dari semua masalah, tetapi justru malah menambah masalah baru. Memangnya dengan bunuh diri semuanya langsung selesai dan kamu bakalan masuk surga? Yang ada kamu bakalan jadi kerak di neraka untuk selamanya,” nasihatku panjang lebar, siapa tahu Elfira paham dengan apa yang tengah aku katakan.“A