Falisha sudah sampai di sebuah restoran tempat di mana dia dan Fahri akan makan siang. Meskipun sedikit telat tapi Fahri begitu sabar menunggu kedatangan Falisha ke rumah. Hampir saja Fahri merasa kecewa dan kesal kepada Falisha karena tak kunjung datang menepati janji. Wanita cantik itu sadar akan hal itu dan segera menjelaskan kenapa dia terlambat karena jalanan yang macet dan baru menyelesaikan pekerjaannya. Raut wajah anak kecil itu kembali ceria saat Falisha datang menjemputnya. “Apa kita akan makan siang di tempat ini?” tanya Fahri menatap keluar ke arah tempat itu setelah mereka sampai di sana. Mereka masih di dalam mobil mengamati dari luar tempat restoran itu. “Iya apakah Fahri tidak suka atau tempatnya kurang bagus?” tanya balik Falisha penasaran. “Hemmm bagus tapi ... ucapannya menggantung dan terlihat sedih membuat Falisha semakin penasaran. “Fahri nggak suka ya? Baiklah nggak apa-apa kita cari tempat yang lain, bagaimana? Atau ada tempat yang ingin Fahri kunjungi?” t
“Ada apa Tante?” tanya Fahri penasaran. Dia pun mengikuti arah tatapan mata Falisha dan langsung mengerti. “Ayuk Tante!” ajaknya kemudian dengan menarik tangan Falisha yang tak sabaran. Falisha pun mengikutinya dan benar saja Fahri membawanya untuk menemui orang itu. Mau tak mau Falisha tidak protes. Entah kenapa saat hampir sampai mendekati meja makan orang itu terasa Falisha seperti mengenal dari postur tubuhnya. “Ini hanya pemikiran aku saja tapi kenapa aku merasa tidak asing dengan dia, apakah aku mengenalnya?” batin Falisha penasaran sambil mengikuti tangannya yang masih ditarik oleh Fahri. “Maaf Om, apakah Fahri boleh duduk dan makan di meja ini bersama Om? Lagian kaki Fahri udah capek berdiri?” tanya Fahri langsung dengan berani. Orang itu menghentikan aktivitas makannya dan menoleh ke belakang karena posisi anak dan Falisha tepat berada di belakang orang itu. Pria itu menoleh ke belakang dan seketika pria itu terkejut. Begitu juga dengan Falisha yang sadar akan hal it
“Oh nggak ada, Tante” jawab Fahri cepat dan kembali melanjutkan makannya. “Bagaimana kamu suka?” tanya Sadam basa-basi. “Iya Om, Fahri sangat suka dengan mie pangsit, dulu kalau masih ada mami Fahri sering diajak ke sini, ya meskipun mami nggak suka dengan mie pangsit,” lanjutnya lagi. “Oh ya kenapa? Berarti yang suka makanan ini papi Fahri?” tanya Sadam penasaran. “Nggak, Papi juga nggak suka, makanya papi jarang menemani kita ke sini paling Fahri sama mami saja, papi kan sibuk kerja,” celetuknya lagi.Sadam menatap tajam ke arah Falisha. Tentu saja membuat wanita cantik itu kembali salah tingkah. “Sudah jangan diajak ngobrol terus anaknya, kita tidak boleh mengajarkan anak makan sambil bicara bisa kebiasaan nanti,” protes Falisha. “Oke.” Sadam menggerakkan tangannya seperti mengunci mulutnya sendiri dan kembali mereka menikmati hidangan itu dengan nikmat. Sadam pun tak tanggung-tanggung memesan kembali satu porsi untuknya sendiri untuk ikut menemani makan mereka.Lagi-lagi Sad
Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Falisha mengantarkan Fahri pulang terlebih dahulu setelah itu dia pun kembali ke kantor.Ada banyak pertanyaan di benaknya. Untuk apa pria itu kembali muncul dan kenapa ada dia sana? Tempat mereka untuk pertama kali bertemu dan menyatakan cinta dan bertunangan sebelum semuanya dihancurkan oleh Sadam sendiri dengan berselingkuh di depan matanya.“Ah kenapa dia kembali sih, bukannya dia sudah jatuh miskin tapi dari penampilannya Mas Sadam nggak terlihat orang susah malahan seperti orang kaya?” tanya Falisha dalam hati penasaran. Dua puluh menit berlalu akhirnya Falisha telah sampai di kantor. Falisha langsung menuju ruangannya. Melihat kedatangan wanita cantik itu Fattan menyuruh Nola untuk memanggil Falisha ke ruangannya. Mau tak mau Falisha harus memutar langkahnya dan menemui Fattan di ruangan itu. Ketukan pintu terdengar dari luar. Falisha pun masuk ke ruangan Fattan. Terlihat pria tampan itu sedang memeriksa banyak tumpukan berkas dengan
Pekerjaan yang banyak membuat pikiran Fattan teralihkan sesaat. Begitu juga dengan Falisha yang melanjutkan pekerjaannya. Tinggal beberapa bulan lagi perjanjian kerja sama itu akan berakhir. Falisha pun sudah membuat rencana untuk berhenti bekerja setelah kerja sama dengan perusahaan Fattan selesai. Dia ingin fokus untuk membesarkan dan merawat Fahri meskipun nanti Fattan akan bercerai dengannya. “Kamu kenapa lagi sih, bete banget kelihatannya, ada masalah dengan Pak Fattan?” tanya Silvi saat dia menyerahkan laporan untuk diperiksa oleh Falisha. “Ya begitulah, mentang-mentang dia yang mempunyai kuasa seenaknya saja memarahi orang lain,” ketus Falisha sedikit kesal. “Oh ya, tapi kalian kan satu rumah nggak pernah begitu ...” tanya Silvi penasaran dengan tangan mengekspresikan saling berciuman. Tentu saja membuat wajah Falisha memerah dengan mata melotot ke arah Silvi. “Apaan sih? Parno terus pikirannya! Kita memang satu rumah tapi kamar kita berbeda ya,” celetuknya kesal dan men
Posisi wanita itu dengan Fattan begitu intim. Ingin rasanya menarik wanita itu agar turun dari pangkuan pria itu yang tak lain adalah suaminya sendiri, tapi entah kenapa langkahnya terasa berat untuk sampai di sana. “Maaf kalau saya mengganggu, apakah kalian tidak bisa mencari tempat lain selain di kantor?” kesal Falisha menatap mereka secara bergantian.Fattan terdiam sesaat, tapi seketika tangan pria tampan itu makin mengeratkan pelukannya di pinggang wanita itu. “Kenapa ada masalah?” tanya Fattan tampak biasa saja dan tersenyum. “Maaf, aku nggak sengaja tadi hanya terbawa perasaan saja dan ...Fattan lepaskan, nggak enak tahu, ada karyawan kamu,” desaknya berusaha melepaskan tangan Fattan dari pinggangnya.Namun, lagi-lagi Fattan tak peduli dengan keluh wanita itu. “Bukankah kamu sudah diberitahu oleh Nola untuk tidak mengganggu kami?” tanya Fattan menatap tajam ke arah Falisha. “Ya, saya sudah tahu dari Nola kalau Anda sedang bersama tamu dan ini yang Anda bilang? Bagaimana
Falisha keluar dari ruangan Fattan dengan wajah cemberut. Nola dan Mira bingung melihat ekspresi wajah Falisha yang tak bersahabat. “Bu Falisha dari ruangan Pak Fattan, berarti bertemu dengan nenek lampir dong?” tanya Mira penasaran. “Ya begitulah,” jawab singkat Nola yang kembali sibuk dengan layar laptopnya. “Apa mungkin Bu Falisha cemburu saat melihat wanita itu lagi bermesraan di ruangan Pak Fattan?” tanya Mira yang begitu ingin tahu.“Iya kali, secara Syakira itu cantik dan seksi , siapa sih yang nggak tergoda dengan penampilannya yang glamor, dia kan model,” cerca Nola tanpa melihat ke arah Mira karena masih fokus.Mira berpikir sejenak, lalu beberapa saat kemudian dia baru bisa menyimpulkan masalah.“Sepertinya aku tahu kenapa Bu Falisha cemberut keluar dari ruangan Pak Fattan,” ucap Mira tersenyum.“Apa?” tanya Nola ikutan penasaran.“Karena Pak Fattan sudah mendapatkan model untuk produk kita yaitu si nenek lampir itu,” jawab Mira mampu menghentikan gerakan tangan Nola ya
“Tante mau ya?” wajah Fahri memelas membuat Falisha makin bingung. Di satu sisi dia sangat malas bahkan membenci pria itu karena masa lalunya sedangkan di sisi lain Falisha merasa kasihan dengan putranya yang ingin sekali pergi keluar. Mungkin dulu Fattan tidak pernah mengajak Fahri untuk sekedar jalan-jalan sehingga mereka tidak terlalu akrab bahkan Fattan tak peduli dengan putranya sendiri. Falisha menghela napas panjang. “Baiklah, kita pergi tapi ...”“Hore! Makasih Tante!” Fahri berlompat kegirangan dan kemudian memeluk Falisha dengan hangat. Fahri pun segera pergi ke kamar dan bersiap-siap untuk pergi. Falisha meminta bantuan Mbok Ratmi untuk menyiapkan pakaian untuk Fahri. “Kenapa kamu datang, Mas?” tanya Falisha saat mereka telah duduk berdua di ruang tamu. Suasana kembali canggung. Wajah Falisha terlihat kesal. Sedangkan Sadam tak lepas selalu memandangi wajah wanita yang pernah singgah di hatinya itu. “Lis, ada banyak yang harus aku jelaskan sama kamu. Aku mohon dengarkan
“Mbok di mana Mas Fattan?” tanya Farah pelan.“Belum pulang Bu,” jawab Mbok Ijah singkat. Farah melirik ke jam dingin yang terpajang cantik di dalam kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, membuat Farah sedikit khawatir. Namun, sesaat kemudian kekhawatiran itu berangsur sirna dikala dia mengingat kalau ada wanita lain yang biasa menemaninya. “Apa yang Bu Farah pikirkan?” Mbok Ijah menemani Farah di dalam kamar.“Mas Fattan pasti dengan Syakira. Mbok apakah Mas Fattan mencintai Syakira, sepertinya mereka saling mencintai? Apakah Syakira adalah cinta pertama Mas Fattan?” tanya Farah mulai bimbang. “Enggak Bu, mereka hanya teman masa kecil. Dulu Syakira pergi dari kehidupan Den Fattan saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah Syakira ditugaskan di Semarang saat Syakira berusia sembilan tahun dan Den Fattan berusia dua belas tahun. Setelah itu mereka tidak pernah saling menghubungi atau bertukar kabar. Kalau sekarang Mbok enggak tahu juga apakah Den Fatta
“Jika kamu mencintainya kenapa kamu dulu pergi meninggalkannya? Kenapa Syakira? Kenapa kamu malah pergi dari kehidupan Mas Fattan dan kenapa kembali disaat Mas Fattan sudah menikah denganku?” Farah menghujaninya begitu banyak pertanyaan yang dari dulu ingin sekali dia tanyakan kepada Syakira.Syakira terdiam sesaat sambil menatap sendu wanita di hadapannya dan kemudian kembali tersenyum sebelum berbicara. “Aku kembali bukan karena ingin merebut Mas Fattan dari kamu, Mbak. Aku kembali karena langkah kakiku yang menuntunku sampai ke sini. Apakah ini yang bisa dibilang sebuah takdir? Bahkan berkat kerja kerasku selama ini akhirnya kembali ke sini dan bertemu Mas Fattan. Aku hanya ingin menjadi temanmu, Mbak dan berbagi apa saja jika Mbak mau. Aku juga bisa menjadi teman curhat dan menjadi pendengar yang baik,” jelasnya.“Kata-katamu sungguh manis dan cukup mengesankan. Apa yang kamu inginkan Syakira? Kehidupanku atau cinta suamiku?” tanya Farah pelan. “Hanya Mbak Farah yang tahu jaw
Fahri pun mengangkat ponsel itu dengan sedikit malas. “Halo, Pi? Ada apa?”“Fahr? Di mana mami? Kenapa kamu yang angkat telepon mami? Apa mami baik-baik saja?” “Kenapa Papi mencari mami? Untuk sekarang mami enggak bisa diganggu. Papi urus saja pekerjaan penting Papi itu!” “Fahri! Halo ...halo!” Terdengar suara Fahri memutuskan sambungan telepon itu. Kecewa dan marah itu yang dirasakan olehnya. Tak lama kudian ponsel Farah kembali berbunyi. Takut membangunkan Farah sehingga Fahri langsung mematikan ponsel itu. “Untuk apa Papi mengetahui keadaan mami? Papi lebih sayang dengan pekerjaan tante pirang itu,” gerutu dalam hati sambil menatap lekat wajah Farah yang semakin tirus dan pucat. Fahri mengecup kening Farah. Seharusnya bukan anak kecil itu yang menunggu di rumah sakit, tapi anak kecil itu memohon kepada pihak rumah sakit untuk bisa tidur dengan Farah dalam satu ruangan. Ingin menemaninya dalam tidur. Fahri begitu menyayangi Farah dan tak ingin berpisah sedetik pun apalagi
“Mami kenapa Mbok?” tanya Fahri semakin cemas.Farah masih mengatur napasnya perlahan-lahan. Dia berusaha untuk bisa meredam sakit hatinya saat melihat penampakan di sana.Mbok Ijah terlihat panik. Begitu juga dengan Mang Ujang yang langsung ingin menggendong Farah untuk masuk ke dalam mobil kembali. Namun, entah kenapa pandangan wanita paruh baya itu ternyata melihat sang majikan pria yang sedang bahagia bersama wanita lain yang tidak lain adalah Syakira.“Den Fattan?” Mbok Ijah terdiam sesaat. Fahri pun menengok dan mendengarkan ucapan Mbok Ijah. Apalagi pandangan Mbok Ijah tertuju ke satu arah. Fahri mengikuti arah pandangan wanita paru baya itu. Dan benar saja papinya sedang bersama dengan wanita lain. Tentu saja membuat hati Fahri begitu sakit, marah melihat mereka begitu dekat seperti yang dia lihat saat di ruangan papinya sendiri.“Pa—Papi ada di sini juga? Bukannya papi bilang kalau ada urusan mendadak di kantor tapi kenapa ada di sini bersama Tante itu?” kesalnya dan ingin
Hari-hari pun berlalu seperti biasa. Farah pun sudah terbiasa dengan kedatangan Syakira ke rumahnya. Entah itu tentang pekerjaan atau hanya sekedar bertamu. Syakira berusaha untuk menjadi teman dekat Farah dan membuatnya merasa nyaman . Namun, tidak dengan Fahri yang mulai risih dengan kedatangan Syakira. Anak kecil itu tidak terlalu suka jika Syakira sering datang ke rumahnya. Bahkan di hari libur pun Syakira tidak absen untuk bisa jadi di tengah keluarga mereka. Seperti saat ini Fahri yang sudah sedikit melupakan tentang masalah mainan robot itu, kini sedikit terobati saat Fattan berniat untuk mengajak mereka ke pantai. Fahri sangat bahagia karena susah lama mereka tidak pergi berlibur bersama-sama.Dengan penuh semangat Fahri menyiapkan semua keperluan nya sendiri. Mulai dari baju ganti sampai makanan atau camilan untuk di sana. Anak kecil itu begitu Mandiri dia bisa menyiapkan segala kebutuhannya sendiri karena Fahri berpikir untuk tidak merepotkan ibunya yang sering sakit-sak
Sudah tiga hari Farah masih terbaring di rumah sakit. Tubuhnya begitu lemas. Panas dingin kembali menyelimuti dirinya. Meskipun sudah mendapatkan kenangan yang maksimal tapi tubuh kurus itu semakin lemah. Matanya terlihat cekung dengan bibir sedikit pecah. Wajah pucat seperti mayat hidup. Farah menahan rasa sakit semuanya sendiri karena tidak ingin menjadi beban suaminya lagi sehingga dia pun menyembunyikan penyakitnya sendiri. Farah kembali mengingat masa lalu yang begitu romantis disaat Farah masih terlihat segar dan cantik. Fattan begitu memuji kecantikan dan sangat mencintai Farah. Bahkan dia teka menentang keluarga besarnya untuk bisa menikah dengan wanita yang miskin.Keluarga Fattan tidak menyukai pilihan Fattan tapi tidak bisa menolak pilihan Fattan karena begitu menyayangi Fattan. Mereka berdua pun menyembunyikan rahasia besar kalau Farah tidak akan bisa mempunyai anak dari rahimnya karena rahim Farah sudah diangkat karena rusak akibat kecelakaan sebelum mereka menikah.
Fattan masih tertegun melihat benda itu. Apalagi saat pelayan toko mainan itu bilang kalau hanya ada satu barang. Berarti orang yang membeli mainan robot itu adalah Fahri. Anak kecil itu pun mengerti apa yang dilihat oleh papinya sendiri. Fahri melihat ada barang yang diletakkan di tempat tidurnya tanpa berniat untuk membuka kotak itu. “Apakah isinya itu adalah mainan?” pikir Fahri sesaat. Fahri masih saja menatap wajah Fattan dengan sendu. “Mainan robot itu bagus kan, Pi? Fahri meminta Mami untuk membelikannya. Mainan yang tidak jadi dibeli oleh Papi di sana. Papi lebih memilih pergi dengan Tante pirang itu daripada membelikan untuk Fahri,” ucapnya seketika membuyarkan lamunannya.. “Fahri ... apakah kamu dan Mami ada di mall itu juga?” tanyanya lebih memastikan.“Iya Pi. Mami bilang kalau Papi dan Tante pirang itu sedang berlatih memainkan peran tapi Papi lupa kalau Fahri ini anak. Papi yang bisa menangkap pikiran orang dewasa. Papi sudah berubah, enggak sayang lagi sama kami. O
Di dalam mobil Fattan masih tak percaya apa yang mereka lakukan semalam. Tentu saja apa yang dilakukan oleh Syakira tadi malam membuatnya terbangun dan mengikuti permainan Syakira yang begitu panas. “Oh Syakira, kamu membuatku gila, tubuhmu, aromamu membuat aku tak bisa melupakan kejadian semalam. Bagaimana aku bisa konsentrasi di kantor jika terus membayangkan perbuatan Syakira?” gerutunya membuatnya semakin gelisah. Tiba di perempatan jalan Fattan melihat sebuah mall. Tempat di mana kemarin dia singgah di sana. Terlintas di benaknya langsung saat Fattan berada di toko mainan. “Ah iya aku mau membelikan mainan untuk Fahri tapi ....” Fattan melihat jam di pergelangan tangannya yang melingkar. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi sedangkan mall itu belum buka. Fattan pun berniat akan kembali ke toko mainan itu saat jam makan siang nanti sehingga dia pun melajukan kendaraannya kembali. Tiba di kantor Fattan langsung fokus ke pekerjaan yang menunggunya. Dia sudah lupa untuk men
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun, mata sendu itu belum bisa terpejam sempurna betul. Setelah kejadian di mall Fahri tak bisa melupakan apa yang terjadi di sana.Bahkan semula rencana untuk bermain di mall secara tiba-tiba dibatalkan oleh Fahri sendiri. Dia lebih memilih untuk pulang ke rumah cepat. Tak ada keceriaan seperti tadi setelah sampai di rumah. Farah ikutan sedih saat anak angkatnya kini tidak berselera untuk makan. Fahri hanya menatap sendu ke arah robot yang dibeli yang menjadi pilihan Fattan meskipun tidak jadi dibelinya. Farah menemaninya di dalam kamar. Sungguh tak tega melihatnya sendirian. “Apa yang kamu pikirkan, Sayang? Kamu tidak lapar? Jika Fahri enggak mau makan lebih baik tidur, biar besok bisa bangun pagi, kan sekolah, tapi Mami akan sedih jika Fahri tidur dalam keadaan perut kosong, nanti Fahri sakit dan Mami akan bertambah sedih melihatnya dan juga akan membuat Mami semakin lama sembuhnya. Fahri mau seperti itu?” bujuk lembut Farah yang su