"Kamu nggak papa kan, sayang?" tanya Chandra memastikan. "Ya Mas, aku nggak papa, kok." jawab Nadira yang sudah terlihat lebih baik. Chandra kini berhadapan dengan bu Hesti, ia menatap lurus ke arahnya untuk menjawab pertanyaan sang ibu yang terkesan wajar itu, Chandra tidak menyalahkan pertanyaan tersebut, hanya saja waktunya yang terasa tidak tepat baginya. "Bu, aku dan Nadira memang belum siap untuk memiliki keturunan," ucap Chandra singkat. "Kenapa tidak siap? Apa alasannya, Chandra. Pernikahan kalian ini kan sudah dua tahun, dan kabarnya rumah yang kalian bangun itu sudah kalian tempati, kan? Lalu apa lagi alasan kalian untuk menunda punya momongan?" begitu penasarannya bu Hesti saat itu. "Ibu benar-benar ingin tahu alasan ku!" tegas Chandra menjawab. "Ya, tentu saja Ibu penasaran. Sekarang coba jawab dengan jujur," seru bu Hesti. "Aku dan Nadira akan siap memiliki momongan jika sikap Ibu berubah, tidak seperti ini lagi pada Nadira. Karena aku tidak mau jika sampai anakku
"Bu, boleh aku masuk?" tawar Roy, ia berdiri di ambang pintu, menyaksikan tangisan sang ibu yang berusaha disembunyikannya. "Ya, masuk lah." jawab bu Hesti mempersilahkan. Roy melangkah dengan mantap, mendekati sang ibu yang terlihat berpura-pura tersenyum. Meskipun demikian Roy tetap tahu apa yang sedang dirasakan oleh bu Hesti, untuk itulah ia datang menemui ibunya. Roy menggenggam salah satu tangan bu Hesti, berusaha memberikan nya sebuah kekuatan dan semangat, melihat Roy memperlakukan dirinya begitu hangat, bu Hesti pun tak kuasa menahan air mata yang kini membanjiri wajahnya lagi. "Jangan ditahan kalau memang Ibu mau menangis, menangis lah Bu, siapa tahu itu dapat membuat hatimu jauh lebih baik," ucap Roy. Dengan setia ia duduk di samping ibunya. "Hiks, kenapa kamu sangat baik Roy, berbeda dengan adik mu yang sekarang lebih memilih hidup bersama wanita itu, bahkan adik mu tidak tahu betapa hancur dan terluka nya hati Ibu saat ini," rengek bu Hesti tak kuasa menahan tangis.
Pagi ini Nadira begitu semangat pergi ke kantor, ia hendak mengundang beberapa teman dekat yang ia harapkan akan ikut meramaikan acara syukuran esok malam, Nadira juga sudah menyiapkan satu undangan yang akan ia antar ke ruangan Wildan Saputra, ia adalah atasan Nadira yang telah memberikannya banyak bonus dadakan ketika ia berhasil memenangkan tender selama ini. Wildan pria sukses di masa muda, yang belum memiliki pasangan. Langkah kaki Nadira tiba di ruangan yang ia tuju, setelah mengetuk pintu beberapa kali, akhirnya Nadira dapat mendengar bahwa Wildan bersuara dan mempersilahkannya masuk. "Selamat pagi, Pak," sapa Nadira melempar senyum. "Selamat pagi Nadira, masuk saja," ucap Wildan melempar senyum, pria itu sedang duduk di kursi singgasananya. "Terima kasih Pak, saya datang ke sini karena saya ingin memberikan undangan ini untuk Bapak," Nadira langsung saja menyodorkan undangan tersebut. Setelah dipersilahkan duduk. "Undangan apa ini, Nadira?" Wildan menerima kertas tersebut
"Apa, ikut? Kok tumben Mas kamu mau ikut," Nadira menatap suaminya aneh. "Emmm, ya udah nggak jadi deh, aku tunggu kamu di kantor aja," sahut Chandra mengurungkan niatnya. "Mas, kamu kenapa si, kok dari tadi kamu kayaknya aneh banget? Mas, jangan bilang kalau kamu itu cemburu ya sama pak Wildan? Mas, kalau memang dugaan ku bener, aku seneng si kalau kamu cemburu, itu artinya kamu sayang sama aku," ucap Nadira melempar senyum. "Apaan si, ya iya lah jelas aku sayang sama kamu, ya udah kalau gitu aku masuk dulu." pamit Chandra melangkah pergi. Dengan berat hati Chandra akhirnya membiarkan Nadira pergi bersama atasannya, setelah ia pikir-pikir akan sangat malu jika sampai Wildan menyadari kecemburuannya, sehingga membuat Chandra mengurungkan niat untuk ikut pergi bersama Nadira. Sementara Nadira sendiri hanya menatap suaminya yang berprilaku aneh hari ini semakin menjauhi dirinya, dan tak lama kemudian akhirnya Nadira pergi bersama Wildan menggunakan mobil dan supir pribadinya. ***
"Nadira, tunggu Nadira!"Chandra memanggil istrinya yang saat itu berjalan menjauhi rumah, namun Nadira sama sekali tak menggubris, ia tetap melangkah dengan bulir air mata yang membasahi pipinya. Chandra terus mengejar hingga akhirnya ia dapat meraih Nadira, ia merasa kesal dan marah ketika Nadira mengabaikan panggilannya. "Nadira, ada apa si dengan kamu, kenapa kamu bersikap seperti ini sama aku? Katakan jika memang aku melakukan kesalahan," ucap Chandra dengan nada tinggi. "Mas, sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini sama aku? Tidur sama ibu, pulang kerja main sama ibu, bahkan kamu sama sekali nggak ingat aku kalau kamu sudah mengobrol sama ibu. Mas, aku juga butuh perhatian dari kamu," rengek Nadira, ia sudah lelah menerima sikap suami dan ibu mertua yang sudah mengabaikannya selama beberapa pekan terkahir. "Astaga, jadi kamu cemburu sama ibu? Kamu cemburu saat aku deket sama ibu? Nadira, yang benar saja kamu ini," Chandra tersenyum kecut menanggapi kecemburuan Nadira. "
Sudah hampir sore, bu Hesti menunggu kedatangan Chandra maupun Chelsea yang tak kunjung kembali, ia menatap panik sambil terus berjalan ke sana ke mari di teras rumah, tatapannya fokus pada pintu pagar yang tertutup rapat. "Aduh, di mana si sebenarnya Chandra dan Nadira ini, kenapa mereka belum juga pulang, ini sudah mau magrib, pergi nggak ngomong-ngomong!" omel bu Hesti berdialog pada dirinya sendiri. "Ini pasti gara-gara Nadira! Dia yang telah membawa Chandra pergi sampai se-sore ini, karena dia merasa cemburu kalau aku dekat dengan suaminya, kenapa si Nadira itu tidak pernah melakukan perbuatan yang benar? Selalu sesuka hati dan seenaknya sendiri." sambung bu Hesti terus mengomel. Triing.... Triing... Dering telpon rumah berbunyi, bu Hesti mengarahkan pandangannya ke dalam rumah, ia sudah cukup lama berada di luar dan mondar mandir tak jelas, kini ia pun harus mengakhiri karena ada telpon masuk. Cepat-cepat bu Hesti mengangkat telpon tersebut dan mendengar suara orang asing ya
"Kamu yang apa-apaan, Anita! Kamu marah-marah di rumah sakit dengan keadaan genting seperti ini, kamu pakai perasaan dong, gimana kalau kamu yang ada di posisi itu," marah Roy menatap istrinya nanar. "Mas! Jadi kamu do'ain aku biar aku kecelakaan kayak Nadira? Kok kamu jahat banget, si!" sungut Anita. "Agar kamu merasakan bagaimana keadaan mental Nadira sekarang ini, Anita! Aku marah sama kamu bukan karena aku lebih peduli sama Nadira, tapi karena aku ingin kamu punya sedikit simpati sama Nadira. Tapi jika hatimu masih keras seperti batu, lebih baik kita saling diam untuk sementara waktu." celetuk Roy, ia nampak kewalahan dalam menghadapi istrinya. Mendengar kalimat itu, tentu saja membuat Anita kesal, ia bahkan sama sekali tak menjadikan ucapan Roy sebagai peringatan. Bu Hesti mendatangi mereka dan meminta mereka untuk berhenti bertengkar, baru kali ini bu Hesti merasa sangat terpukul dan butuh sekali sandaran ketika melihat Chandra berada di ruangannya. "Maaf Bu, mari Bu, dudukl
Nadira berada di ruangan Chandra, saat ini Chandra terbaring lemah di atas brankar dengan beberapa alat terpasang di tubuhnya, dokter Anwar yang menangani Chandra sejak awal itu ikut masuk dengan memakai pakaian khusus, sama halnya dengan yang dipakai oleh Nadira saat ini. Dokter tersebut berdiri bersebrangan dengan Nadira yang tak berkedip sejak tadi, melihat suaminya yang terkulai lemah tak berdaya. "Suamimu akan baik-baik saja, hanya saja dia tidak akan menjadi orang yang sempurna lagi seperti sebelumnya," ucap dokter Anwar. Nadira terbelalak menatap dokter tersebut, "A-apa maksud Dokter?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Nadira. "Lengan kanan suamimu mengalami mati rasa, tidak berfungsi layaknya anggota tubuh lainnya, dia mengalami cacat permanen." jelas dokter tersebut. Deg! Betapa terkejutnya Nadira saat itu, rasa bersalahnya kian besar ketika mendengar kebenaran yang baru diucapkan oleh dokter Anwar, dokter Anwar belum memberitahu keluarga lainnya, karena memang