"Mas, gimana kalau kita mengadakan syukuran untuk rumah baru kita ini, dengan mengundang beberapa tetangga baru kita, sama keluarga kamu juga, itung-itung kita sedekahkan sebagian rezeki kita dengan berbentuk makanan ke mereka?" usul Nadira penuh semangat. "Emmm, ide yang bagus sayang, aku setuju," ucap Chandra yang masih memeluk tubuh Nadira di atas kasur. "Ya udah kalau gitu, aku siap-siap dulu, aku mau milih makanan apa aja yang akan aku pesan dan seberapa banyaknya dulu, makasih ya Mas, kamu selalu mendukung keinginan ku," Nadira tersenyum menatap suaminya. "Karena semua yang kamu inginkan itu positif, sayang. Tentunya aku setuju, apalagi di sela-sela kebahagiaan kamu, kamu masih berpikir untuk memberikan sedekah untuk orang-orang, itu bentuk perkenalan yang baik, karena kita penghuni baru di sini." jawab Chandra melempar senyum. Nadira pun bangkit dari tempat tidurnya, wajahnya begitu sumringah saat menerima pujian dari sang suami yang tidak begitu berlebihan itu, namun terke
"Kamu nggak papa kan, sayang?" tanya Chandra memastikan. "Ya Mas, aku nggak papa, kok." jawab Nadira yang sudah terlihat lebih baik. Chandra kini berhadapan dengan bu Hesti, ia menatap lurus ke arahnya untuk menjawab pertanyaan sang ibu yang terkesan wajar itu, Chandra tidak menyalahkan pertanyaan tersebut, hanya saja waktunya yang terasa tidak tepat baginya. "Bu, aku dan Nadira memang belum siap untuk memiliki keturunan," ucap Chandra singkat. "Kenapa tidak siap? Apa alasannya, Chandra. Pernikahan kalian ini kan sudah dua tahun, dan kabarnya rumah yang kalian bangun itu sudah kalian tempati, kan? Lalu apa lagi alasan kalian untuk menunda punya momongan?" begitu penasarannya bu Hesti saat itu. "Ibu benar-benar ingin tahu alasan ku!" tegas Chandra menjawab. "Ya, tentu saja Ibu penasaran. Sekarang coba jawab dengan jujur," seru bu Hesti. "Aku dan Nadira akan siap memiliki momongan jika sikap Ibu berubah, tidak seperti ini lagi pada Nadira. Karena aku tidak mau jika sampai anakku
"Bu, boleh aku masuk?" tawar Roy, ia berdiri di ambang pintu, menyaksikan tangisan sang ibu yang berusaha disembunyikannya. "Ya, masuk lah." jawab bu Hesti mempersilahkan. Roy melangkah dengan mantap, mendekati sang ibu yang terlihat berpura-pura tersenyum. Meskipun demikian Roy tetap tahu apa yang sedang dirasakan oleh bu Hesti, untuk itulah ia datang menemui ibunya. Roy menggenggam salah satu tangan bu Hesti, berusaha memberikan nya sebuah kekuatan dan semangat, melihat Roy memperlakukan dirinya begitu hangat, bu Hesti pun tak kuasa menahan air mata yang kini membanjiri wajahnya lagi. "Jangan ditahan kalau memang Ibu mau menangis, menangis lah Bu, siapa tahu itu dapat membuat hatimu jauh lebih baik," ucap Roy. Dengan setia ia duduk di samping ibunya. "Hiks, kenapa kamu sangat baik Roy, berbeda dengan adik mu yang sekarang lebih memilih hidup bersama wanita itu, bahkan adik mu tidak tahu betapa hancur dan terluka nya hati Ibu saat ini," rengek bu Hesti tak kuasa menahan tangis.
Pagi ini Nadira begitu semangat pergi ke kantor, ia hendak mengundang beberapa teman dekat yang ia harapkan akan ikut meramaikan acara syukuran esok malam, Nadira juga sudah menyiapkan satu undangan yang akan ia antar ke ruangan Wildan Saputra, ia adalah atasan Nadira yang telah memberikannya banyak bonus dadakan ketika ia berhasil memenangkan tender selama ini. Wildan pria sukses di masa muda, yang belum memiliki pasangan. Langkah kaki Nadira tiba di ruangan yang ia tuju, setelah mengetuk pintu beberapa kali, akhirnya Nadira dapat mendengar bahwa Wildan bersuara dan mempersilahkannya masuk. "Selamat pagi, Pak," sapa Nadira melempar senyum. "Selamat pagi Nadira, masuk saja," ucap Wildan melempar senyum, pria itu sedang duduk di kursi singgasananya. "Terima kasih Pak, saya datang ke sini karena saya ingin memberikan undangan ini untuk Bapak," Nadira langsung saja menyodorkan undangan tersebut. Setelah dipersilahkan duduk. "Undangan apa ini, Nadira?" Wildan menerima kertas tersebut
"Apa, ikut? Kok tumben Mas kamu mau ikut," Nadira menatap suaminya aneh. "Emmm, ya udah nggak jadi deh, aku tunggu kamu di kantor aja," sahut Chandra mengurungkan niatnya. "Mas, kamu kenapa si, kok dari tadi kamu kayaknya aneh banget? Mas, jangan bilang kalau kamu itu cemburu ya sama pak Wildan? Mas, kalau memang dugaan ku bener, aku seneng si kalau kamu cemburu, itu artinya kamu sayang sama aku," ucap Nadira melempar senyum. "Apaan si, ya iya lah jelas aku sayang sama kamu, ya udah kalau gitu aku masuk dulu." pamit Chandra melangkah pergi. Dengan berat hati Chandra akhirnya membiarkan Nadira pergi bersama atasannya, setelah ia pikir-pikir akan sangat malu jika sampai Wildan menyadari kecemburuannya, sehingga membuat Chandra mengurungkan niat untuk ikut pergi bersama Nadira. Sementara Nadira sendiri hanya menatap suaminya yang berprilaku aneh hari ini semakin menjauhi dirinya, dan tak lama kemudian akhirnya Nadira pergi bersama Wildan menggunakan mobil dan supir pribadinya. ***
"Nadira, tunggu Nadira!"Chandra memanggil istrinya yang saat itu berjalan menjauhi rumah, namun Nadira sama sekali tak menggubris, ia tetap melangkah dengan bulir air mata yang membasahi pipinya. Chandra terus mengejar hingga akhirnya ia dapat meraih Nadira, ia merasa kesal dan marah ketika Nadira mengabaikan panggilannya. "Nadira, ada apa si dengan kamu, kenapa kamu bersikap seperti ini sama aku? Katakan jika memang aku melakukan kesalahan," ucap Chandra dengan nada tinggi. "Mas, sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini sama aku? Tidur sama ibu, pulang kerja main sama ibu, bahkan kamu sama sekali nggak ingat aku kalau kamu sudah mengobrol sama ibu. Mas, aku juga butuh perhatian dari kamu," rengek Nadira, ia sudah lelah menerima sikap suami dan ibu mertua yang sudah mengabaikannya selama beberapa pekan terkahir. "Astaga, jadi kamu cemburu sama ibu? Kamu cemburu saat aku deket sama ibu? Nadira, yang benar saja kamu ini," Chandra tersenyum kecut menanggapi kecemburuan Nadira. "
Sudah hampir sore, bu Hesti menunggu kedatangan Chandra maupun Chelsea yang tak kunjung kembali, ia menatap panik sambil terus berjalan ke sana ke mari di teras rumah, tatapannya fokus pada pintu pagar yang tertutup rapat. "Aduh, di mana si sebenarnya Chandra dan Nadira ini, kenapa mereka belum juga pulang, ini sudah mau magrib, pergi nggak ngomong-ngomong!" omel bu Hesti berdialog pada dirinya sendiri. "Ini pasti gara-gara Nadira! Dia yang telah membawa Chandra pergi sampai se-sore ini, karena dia merasa cemburu kalau aku dekat dengan suaminya, kenapa si Nadira itu tidak pernah melakukan perbuatan yang benar? Selalu sesuka hati dan seenaknya sendiri." sambung bu Hesti terus mengomel. Triing.... Triing... Dering telpon rumah berbunyi, bu Hesti mengarahkan pandangannya ke dalam rumah, ia sudah cukup lama berada di luar dan mondar mandir tak jelas, kini ia pun harus mengakhiri karena ada telpon masuk. Cepat-cepat bu Hesti mengangkat telpon tersebut dan mendengar suara orang asing ya
"Kamu yang apa-apaan, Anita! Kamu marah-marah di rumah sakit dengan keadaan genting seperti ini, kamu pakai perasaan dong, gimana kalau kamu yang ada di posisi itu," marah Roy menatap istrinya nanar. "Mas! Jadi kamu do'ain aku biar aku kecelakaan kayak Nadira? Kok kamu jahat banget, si!" sungut Anita. "Agar kamu merasakan bagaimana keadaan mental Nadira sekarang ini, Anita! Aku marah sama kamu bukan karena aku lebih peduli sama Nadira, tapi karena aku ingin kamu punya sedikit simpati sama Nadira. Tapi jika hatimu masih keras seperti batu, lebih baik kita saling diam untuk sementara waktu." celetuk Roy, ia nampak kewalahan dalam menghadapi istrinya. Mendengar kalimat itu, tentu saja membuat Anita kesal, ia bahkan sama sekali tak menjadikan ucapan Roy sebagai peringatan. Bu Hesti mendatangi mereka dan meminta mereka untuk berhenti bertengkar, baru kali ini bu Hesti merasa sangat terpukul dan butuh sekali sandaran ketika melihat Chandra berada di ruangannya. "Maaf Bu, mari Bu, dudukl
"Alhamdulillah pak, bu, operasinya berjalan dengan lancar meski tadi ada sedikit kendala karena ibu Nadira mengalami pendarahan tapi kami berhasil mengatasinya," ucao sang dokter."Syukurlah kalau begitu. Terima kasih banyak, dok. Terima kasih banyak atas kerja keras dokter semuanya yang sudah menangani operasi ini," ucap Wildan.Hatinya merasa sangat lega mendengar bahwa Nadira baik-baik saja. Begitu juga dengan Hesti dan juga Roy yang kini terlihat sedikit semringah."Lalu apa kita boleh melihat mereka, sok?" tanya Wildan yang sudah tak sabar untuk melihat Nadira."Emmm untuk saat ini sebaiknya jangan dijenguk dulu, ya. Kami akan memindahkan mereka ke ruangan perawatan dan nanti di sana kalian baru bisa menjenguknya," ucap sang dokter."Baik kalau begitu, dok. Sekali lagi terima kasih banyak." Roy menjabat tangan sang dokter begitupun dengan Wildan."Baik Pak sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu." Sang dokter pun kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan mereka.Tak lama
Nadira telah tiba di rumah sakit dan tengah bersiap untuk melakukan operasi. Ditemani oleh Hesti dan Roy, Nadira duduk di sebuah kursi tunggu menanti jadwal operasi yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi."Wildan nggak ikut ke sini, Nadira?" tanya Roy pada Nadira.Seketika lamunan Nadira pun buyar mendengar pertanyaan dari Roy saat itu."Iya Nadira, nak Wildan kok nggak ikut menemani kamu di sini. Apa jangan-jangan dia marah karena kamu akan mendonorkan ginjal mu untuk Chandra?" tanya Hesti.Nadira pun segera meraih tangan Hesti yang saat itu berada di pangkuannya. Nadira mencoba menenangkan dan meluruskan pikiran Hesti yang sempat berpikir jauh tentang Wildan."Nggak begitu, Bu. Mas Wildan sama sekali nggak marah kok. Tadi dia bilang sedang ada urusan sebentar dan nanti dia akan kembali ke sini setelah urusannya selesai.""Kamu yakin dia tidak marah? Ibu takut dia marah. Ibu sudah sangat berhutang budi padanya. Ibu tidak ingin membuat nak Wildan kecewa," ucap Hesti."Nggak kok, Bu.
"Apa kamu serius mau mendonorkan ginjalmu pada Chandra?" tanya Hesti pada Nadira dengan kedua mata yang masih berkaca-kaca.Nadira pun mengangguk pelan. Sekilas Nadira melirik ke arah Wildan meski ia tak memberikan respon apapun."Baiklah kalau memang sudah ada pendonornya maka operasi untuk pak Chandra akan segera kami siapkan," ucap dokter yang menangani Chandra.Tak lama dokter dan perawat yang menangani Chandra pun lantas pergi meninggalkan mereka."Bu, mas Roy, aku tinggal sebentar ya. Aku mau bicara dulu dengan mas Wildan," ucap Nadira berpamitan.Setelah Hesti dan Roy mengizinkan, Nadira pun langsung berjalan menjauhi mereka bersama dengan Wildan.Sesaat Nadira masih terdiam dan belum mampu mengatakan sepatah kata apapun pada Wildan begitupun dengan Wildan yang masih terdiam.Perlahan Nadira memberanikan dirinya menggapai tangan Wildan. Kedua matanya mencoba menatap pada Wildan yang berdiri di depannya."Mas, aku mau minta izin padamu untuk mendonorkan satu ginjal ku pada mas C
Akhirnya Wildan pun keluar dan langsung disambut oleh Nadira dan juga Hesti yang sudah cukup lama menunggu di depan ruangan Chandra."Emmm M-mas, kamu sudah selesai?" tanya Nadira yang sedikit melirik ke arah Chandra dari pintu yang belum ditutup dengan sempurna oleh Wildan.Nadira merasa cukup lega saat melihat Chandra yang baik-baik dan masih duduk di atas ranjang.Meski sebenarnya Nadira tak ingin berprasangka buruk pada Wildan, tapi rasa khawatir dan cemas terus saja membelenggu di dalam hatinya saat Wildan dan Chandra berada di dalam satu ruangan yang sama."Iya aku sudah selesai. Emmm terima kasih karena kalian sudah mengizinkan aku berbicara berdua dengan Chandra," ucap Wildan."Iya santai saja, Wildan." Roy langsung menanggapi ucapan Wildan saat itu." Oh iya, Nadira, kita pulang sekarang yuk," ajak Wildan."Emmm t-tapi, Mas ...." Nadira menghentikan sejenak ucapannya."Nggak mungkin aku nolak ajakan mas Wildan pun pulang. Nanti yang ada mas Wildan malah berpikir bahwa aku leb
Chandra dan Nadira pun masuk ke dalam ruangan Chandra dan melihatnya yang tengah duduk di atas ranjang.Seketika Chandra pun menoleh ke arah Nadira dan Chandra yang mulai mendekatinya."Bagaimana kabarmu, Chandra?" tanya Wildan pada Chandra."Emmmm k-kabarku baik," jawab Chandra terbata.Ia masih tak percaya melihat kedatangan Chandra yang tiba-tiba apalagi ia datang bersama dengan Nadira.Mata Chandra pun sedikit melirik ke arah tangan Nadira yang tampak menggandeng tangan Wildan."Syukurlah kalau begitu. Aku sempat terkejut mengetahui keadaanmu yang cukup parah begini. Maaf ya karena aku baru bisa menjenguk mu," ucap Wildan lagi."I-iya, tidak apa-apa, kok. Tapi kenapa kamu datang ke sini? Apa kamu tidak bekerja?" tanya Chandra."Aku meliburkan diri untuk hari ini karena aku ingin menjenguk mu."Tak akan Wilda pun melepaskan pegangan tangan Nadira dan menoleh ke arah Nadira."Apa bisa aku bicara berdua saja dengan Chandra?" tanya Wildan pada Nadira."T-tapi, Mas." Nadira yang takut
"Sekali lagi aku tanya padamu, Nadira! Apa kamu masih mencintai Chandra?" tanya Wildan dengan nada suara bergetar.Nadira hanya bisa tertunduk di hadapan Wildan. Tangannya gemetaran dan kedua matanya berkaca-kaca.Perlahan butiran kristal dari kedua mata Nadira jatuh membasahi pipinya. "Aku minta maaf mas jika aku sudah membuatmu marah tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku ini padamu.""Jadi maksud mu?" tanya Wildan cepat."Aku memang masih mencintai mas Wildan tapi aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan kembali dengan mas Wildan. Aku tahu ini sangat menyakiti dirimu tapi asal kamu tahu, aku tidak pernah berniat untuk kembali dengan mas Chandra."Nadira meraih tangan Wildan perlahan. Tampak tak ada perlawanan dari Wildan saat itu. Tangan kekar Wildan kini ada digenggaman Nadira. Perlahan Nadia mengangkat tangan Wildan dan menariknya hingga ke dalam dadanya."Aku pastikan bahwa aku tidak akan kembali pada mas Chandra, Mas. Tolong kamu percaya padaku. Ini sem
Di dalam kamarnya, Nadira terus memandangi hasil tes miliknya yang ternyata cocok untuk didonorkan pada Chandra."Bagaimana caranya aku membujuk mas Chandra agar mau menerima donor dariku, ya. Aku ingin mas Chandra segera sembuh," batin Nadira.Nadira sangat terkejut saat tiba-tiba Wildan memanggilnya dari luar kamarnya. Terdengar suara ketukan pintu kamarnya beberapa kali."Nadira, apa kamu sudah tidur?" tanya Wildan sembari mengetuk pintu kamar Nadira yang masih belum terbuka.Dengan cepat, Nadira pun bangkit dari duduknya dan segera menyembunyikan hasil tes yang sedari tadi ia pandangi.Rasa paniknya saat itu membuat Nadira tak bisa berpikir dengan jernih. Ia menindih surat hasil tesnya dengan menggunakan bantal dan berharap agar Wildan tak melihatnya.Setelah menutup aurat itu dengan banyak, Nadira pun kemudian menghampiri pintu dan membukanya perlahan.Terpampang dengan jelas wajah tampan Wildan yang saat itu masih sedikit basah seperti habis mandi. Rambutnya masih acak-acakan da
Keesokannya Nadira kembali ke rumah sakit untuk menemui Chandra. Kali ini Wilda menemaninya hingga masuk ke dalam dan bertemu dengan Hesti dan Roy."Nadira," ucap Hesti menyambut kedatangan Nadira dengan senyum di wajahnya."Bu, Mas. Ini aku bawakan kalian makanan, kalian makan dulu, ya. Pasti kalian belum makan, kan," ucap Nadira.Tiba-tiba Hesti memeluk erat tubuh Nadira hingga membuatnya sedikit bingung."Terima kasih, ya, Nadira. Kamu sangat baik pada kamu. Aku benar-benar merasa bersalah padamu karena sudah selalu berbuat jahat padamu, dulu," ucap Hesti.Perlahan Nadira pun mengusap pundak Hesti dengan sangat lembut. "Tidak apa-apa, Bu. Sudah ibu tidak usah pikirkan hal itu lagi, ya. Lebih baik sekarang ibu dan mas Roy makan supaya kalian tidak sakit," ucap Nadira.Hesti dan Roy pun tersenyum semringah pada Nadira namun tidak dengan Wildan yang hanya termenung menatap mereka dengan tatapan yang sedikit sendu."Sepertinya mereka berdua sudah akur. Apa ini adalah pertanda bahwa Nad
Wildan menatap kosong Nadira yang tengah mencoba baju pengantin yang telah mereka pesan sejak jauh-jauh hari.Kini Wildan merasakan sesuatu yang berbeda melihat ekspresi di wajah Nadira yang tampak tak begitu bersemangat."Nadira, apa benar dugaan ku selama ini bahwa kamu masih mencintai Chandra?" batin Wildan bertanya-tanya.Pertanyaan semacam itu terus saja bermain di kepalanya meski ia berkali-kali berusaha menghilangkannya tapi tetap tak bisa.Nadira yang tengah mencoba gaun pernikahannya pun tak sengaja melihat Wildan yang sedang melamun."Mas Wildan kenapa ya, kok dari tadi melamun terus?" tanya Nadia pada dirinya sendiri.Ia pun kemudian memberanikan dirinya untuk mendekati Wildan. Mas," ucap Nadira pelan.Wildan pun terperanjat mendengar suara Nadira saat itu. Ia langsung menoleh ke arah Nadira yang saat itu telah berdiri di hadapannya."Kamu kenapa kok dari tadi aku lihat melamun terus. Apa kamu sedang ada masalah? Atau kamu tidak enak badan?" tanya Nadira memegang lengan tang