Februari 2009,
Gienka berdiri di depan pintu ruang 16, kantor dosen Sastra Inggris. Di depan pintu berbahan kayu yang sudah terlihat tua itu tergantung sebuah papan kayu kecil bertuliskan:
Speak English, please!
Jadi memang tulisan itu adalah salah satu peraturan mutlak bagi semua mahasiswa Sasing (Sastra Inggris). Mereka harus menggunakan Bahasa Inggris untuk berkomunikasi saat masuk ke kantor dosen.
Ada beberapa mahasiswa yang protes terhadap aturan ini, karena di dalam kelas pun mereka sudah full menggunakan Bahasa Inggris, lantas di kantor masih juga harus menggunakan Bahasa Internasional tersebut. Namun tentu saja protes itu tidak digubris. Toh peraturan itu dibuat demi mereka juga agar Bahasa Inggris mereka lebih fasih.
Gienka menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia mengangguk mantap dan kemudian mengetuk pintu yang terbuka itu.
Tok..tok..tok..
"Excuse me?"
Tidak ada sahutan.
Tok..tok..tok..
Dia mengetuk sekali lagi namun tetap tak ada jawaban.
Dia menjulurkan kepalanya ke dalam ruangan yang memiliki 8 meja itu.
Kosong.
"Hayo loh.. Lagi cari siapa?" punggungnya ditepuk oleh seseorang dari belakang.
"Astaga, Mbak. Kaget aku." Gienka mengusap dadanya.
Mareta tersenyum jail.
"Halah, gitu aja kaget," ucap Mareta.
"Ya kaget lah Mbak, orang Mbak Maret datang langsung tepuk punggungku. Mana aku gak denger lagi tadi suara langkah kaki Mbak."
Mareta yang sering di panggil Maret itu pun cengengesan. Wanita muda ini adalah petugas administrasi jurusan Sasing. Para mahasiswa Sasing akrab dengannya. Selain karena usianya yang masih 24 tahun, Mareta adalah orang yang mudah bergaul.
"Anyway, dosen-dosen pada kemana sih?" tanya Gienka heran.
"Masih di bawah, lagi meeting. Mau ke wali studi?" tanya Mareta sambil mempersilahkan Gienka duduk di sofa hitam dekat pintu.
"Iya, Mbak. Aku belum KRS-an nih." Gienka mengeluarkan dua lembar kertas dari tas ransel hitamnya.
"Lah, kemana aja? Hari terakhir baru ngampus. Teman seangkatan kamu udah pada memproses itu loh. Tinggal kamu doang yang belum."
"Ya liburan dong Mbak. Kaya Mbak aja nggak pernah liburan," ejek Gienka.
"Ih, dasar. Watch out!"
Mareta melempar kulit kacang tanah ke arah Gienka.
Namun Gienka berhasil menangkap itu.
"Hey, Mbak. Kalau mau lempar kulit kacang ke aku ya jangan kasih peringatan. Gimana sih, Mbak?"
Gienka tersenyum memamerkan deretan giginya yang sangat rapi. Mareta menepuk jidatnya membenarkan ucapan Gienka.
"Good morning, sir!" sapa Gienka begitu melihat Pak Maruli masuk ke ruangan itu.
"Ah... Good morning, my baby!"
Pak Maruli tersenyum lebar pada Gienka.Tak perlu berpikir macam-macam. Beliau memang terbiasa memanggil mahasiswanya begitu. Jadi panggilan itu tak berarti apa-apa. 'Baby' disini hanya berupa sebuah panggilan akrab saja.
"Are you waiting for me?" tanya Pak Maruli masih berdiri.
Gienka pun ikutan berdiri.
Iyalah, pak. Kan bapak wali studi saya. Tentu saja bapak yang saya tunggu, batin Gienka.
"Yes, sir. I need you to sign my Course Selection Sheet," jawab Gienka.
Pak Maruli mengangguk.
"Alright, let's go!" ajak Pak Maruli ke meja kerjanya.
"Take a seat!" perintah Pak Maruli.
"Thank you, sir," sahut Gienka. Dia pun duduk. Dia segera menyerahkan KHS dan KRS-nya.
"Let me see!" Pak Maruli membaca dan mulai meneliti dua lembar kertas itu. Dua sesekali menganggukkan kepalanya dan berpikir.
"Hmm... Well done, well done.. You get A for Speaking, A for.....bla bla bla."
Pak Maruli menyebutkan hasil studi Gienka sambil tersenyum manggut-manggut dengan puas.
"You did a great job in your first semester. Your GPA is 3.95. That's wonderful, my baby Gienka!" Pak Maruli bertepuk tangan seperti anak kecil yang berhasil mendapatkan mainan.
Gienka yang melihat tingkah dosen berusia 60 tahun itu pun bingung harus bereaksi seperti apa.
Namun akhirnya Gienka memilih cara yang paling aman, yakni tersenyum.
"You only take 11 courses.
22 credits. Add one more!" titah Pak Maruli."But, sir. I can't. History of England has the same day as Listening II," ucap Gienka yang sudah memperkirakan akan diminta mengambil mata kuliah untuk Semester Empat itu.
Pak Maruli memainkan penanya, berpikir sebentar. Gienka masih menunggu.
"No, it's not History of England. Take English for Tourism and Guiding!" ucap Pak Maruli.
Gienka terkejut.
"Sir, that's for Semester six."
"That's why you have to take it."
Pak Maruli tersenyum dan menambah kode mata kuliah itu, mencoret-coret sebentar sebelum menyerahkan kembali kertas itu kepada Gienka.Setelah selesai berkonsultasi, Gienka menuju tempat administrasi dan lanjut ke bank terdekat untuk membayar biaya kuliahnya.
Semua orang pun tau, berkuliah di Universitas Swasta itu jauh dari kata murah. Maka dari itu Gienka berusaha keras agar dapat membanggakan orangtuanya dengan menunjukkan kemampuan maksimalnya. Ini terbukti dari hasil belajar satu semesternya.
***
"Nanti aku kembalikan setelah aku balik," rayu Nendra sambil menggenggam tangan Gienka.
Gienka tak habis pikir, kenapa pacarnya ini sering meminjam uang darinya.
"Tapi pegangan aku tinggal sedikit. Nanti gimana kalau aku lagi butuh sesuatu. Aku nggak mungkin minta papaku lagi." Gienka mencoba memberi pengertian pada Nendra.
"Aku nggak pinjam banyak, caramia. Dua ratus ribu aja. Aku pasti bakal balikin kok. Hari Kamis aku udah balik. Aku kan perginya cuman tiga hari aja."
Nendra mengusap-usap punggung tangan Gienka dan mengendusnya seperti anak kucing. Dia berharap Gienka menyetujuinya.
Gienka pun luluh. Bagaimanapun juga, Nendra adalah orang yang disayanginya.
"Oke, Ra. Tapi beneran yah nanti di balikin?" Gienka meyakinkan dirinya sendiri jika Nendra akan menepati janjinya.
"Iya, caramia. Pasti. Kamu tenang aja. Lagipula ini juga buat masa depan kita. Aku ke Surabaya buat tes kerja, bukan main. Kalau aku dapat kerja, kan kamu juga yang senang. Trust me, ok?" Nendra berusaha meyakinkan Gienka.
Gienka mengangguk. Nggak ada salahnya kan membantu pacar sendiri yang lagi berjuang?
Nendra adalah pacar pertama Gienka. Mereka baru empat bulan berpacaran. Gienka yang baru dalam hal berhubungan dengan lawan jenis pun tak bisa menolak pesona Nendra. Nendra yang tinggi. Nendra yang tampan. Nendra yang perhatian. Nendra yang banyak sekali mengumbar kata-kata manis. Singkatnya, Gienka jatuh hati pada Nendra.
"Ti amo, caramia," ucap Nendra begitu Gienka menyerahkan apa yang dia mau. Nendra memberikan Gienka senyuman termanisnya.
***
Gienka sedang memainkan ponsel baru miliknya, Nokia 6220 classic. Sebuah hadiah dari papanya karena dia berhasil mendapatkan IP (Indeks Prestasi) tertinggi.
"Sayang, Mama mau bicara sebentar, Boleh?"
Amanda, Mama Gienka sudah duduk disamping Gienka yang sedang rebahan di kasurnya."Iya, Ma. Ada apa, Ma? Kok serius amat."
Gienka meletakkan ponselnya di nakas dan segera duduk mendengarkan Mamanya."Kamu masih sama si Nendra itu?" pertanyaan yang membuat Gienka waspada. Ekspresi Mama terlihat tidak suka.
"Masih, Ma. Tadi ketemu sebentar habis Gienka dari kampus," jawab Gienka.
"Gienka, Mama udah bilang kan, Mama nggak sreg sama dia. Mama nggak suka dia. Dia itu kaya nutupin sesuatu. Dia bukan orang yang jujur, nak," jelas Amanda.
Gienka mulai tak suka arah pembicaraan Mamanya.
"Enggak, Ma. Dia jujur kok. Dia bilang semua apa yang dia lakukan ke Gienka," bantah Gienka.
"Jujur kamu bilang? Dia aja udah bohongi kamu lho, sayang. Bilangnya punya kedai kopi tapi ternyata nggak punya," ucap Amanda dengan menahan emosi.
"Dia punya, Ma. Orang Gienka udah pernah kesana kok. Sekarang lagi tutup aja. Dia lagi nyari kerja. Biar bisa punya modal buat buka kedai lagi, Ma," bela Gienka.
"Kamu itu dibohongi, sayang. Kapan sih kamu mau dengerin Mama?D itu pengangguran nggak jelas," Amanda mulai kesal karena Gienka masih juga membela Nendra.
Mama Gienka memang benar. Nendra telah membohonginya. Di awal pertemuan mereka, Nendra mengaku memiliki sebuah kedai yang sudah dia jalankan selama dua tahun. Saat itu Papa Gienka, Yusuf, ingin datang ke kedai itu. Namun Nendra selalu beralasan. Dan ternyata kedai itu ditutup. Nendra berdalih bahwa kedainya itu baru mengalami kebangkrutan. Tapi tentu saja Papa Gienka sudah tidak mempercayainya lagi. Karena terlihat dari depan, kedai itu sudah lama ditutup dan bisa saja kedai tersebut bukan milik Nendra.
"Bukan kaya gitu, Ma. Kan dia sekarang lagi mencoba bangkit dari keterpurukannya," bantah Gienka.
"Dan asal kamu tau, Gienka. Mama juga ngerti kamu sering kasih duit ke si Nendra itu," kata Amanda.
Gienka kaget. Dari mana Sang Mama mengetahui hal ini.
Dia pun hanya menunduk. Dia tak tahu harus bagaimana lagi menjelaskan.
"Gienka, kamu perempuan. Nggak sepantasnya kamu memberi uang pada laki-laki. Seharusnya dia itu malu meminta uang seperti itu sama kamu."
"Dia nggak minta, Ma. Dia pinjam." Gienka mulai frustrasi.
"Dibalikin? Seringnya nggak kan?" tebak Mamanya yang ternyata memang benar adanya.
Gienka terdiam. Mamanya benar.
"Kalau Papa kamu sampai tahu hal ini, entah apa yang akan dilakukannya pada pacar kamu itu."
Gienka masih belum berani menjawab perkataan Mamanya.
Ting tong..Ting tong..
"Ada tamu, Mama bukain dulu. Kita bicara lagi nanti," ucap Amanda
Gienka hanya bisa pasrah
*****
- Course Selection Sheet: Kartu Rencana Studi (KRS)
- Course: Mata Kuliah- Credit: Satuan Kredit Semester (SKS)- GPA (Grade Point Average): Indeks Prestasi Komulatif (IPK)- Caramia: Sayangku (B. Italia)- Ti amo: Aku Cinta Kamu (B. Italia)**********
Gienka memegang ujung kaos panjangnya. Dia memilin baju itu sambil menahan kesal. Dia dipaksa oleh mamanya keluar kamar untuk menemani tamu Papanya."Gienka, itu kuenya, sayang."Amanda menyikut lengan Gienka."Apa sih Ma?" sahut Gienka ogah-ogahan, melirik kue itu sekilas."Itu Lapis Surabaya. Kesukaan kamu. Cepat dimakan! Udah repot-repot dibawain juga sama nak Sancaka."Amanda memberikan Gienka tatapan peringatan agar tak membuatnya malu.Sancaka yang melihat itu hanya mengulum senyumnya. Dia tau Gienka terlihat terpaksa duduk di ruang tamu ini.Lagian, siapa juga yang nyuruh bawa, gerutu Gienka dalam hati.Gienka kemudian mengambil sepotong kue yang sebenarnya sangat menggoda untuk dilahap itu. Dia hanya gengsi saja di hadapan Sancaka. Dia langsung menggigit kue itu dan wajahnya menampilkan ekspresi lucu yang sangat menggemaskan bagi Sancaka."Kuliahnya lancar kan, Dik?" tanya Sancaka memulai obrolan dengan Gienka.
"Aku nggak bisa yang itu. Terlalu tinggi, Gie. Yang itu saja ya?" tanya Daniel.Daniel menunjuk buah kersen yang warnanya merah."Ya udah yang itu aja deh. Ada banyak yang udah matang itu," jawab Gienka.Gienka menengadah melihat betapa ranumnya buah itu."Oke. Bentar!" ucap Daniel.Daniel memanjat pohon kersen itu.Pohon yang terletak di depan gedung fakultas teknik itu bisa dibilang cukup tinggi. Pohon itu memiliki daun yang lumayan lebat dan seakan-akan tak pernah berhenti berbuah.Di bawah pohon itu terdapat bangku-bangku yang bisa digunakan oleh mahasiswa untuk bersantai maupun mengerjakan tugas. Tempat itu adalah salah satu tempat favorit Gienka karena berdekatan dengan gedung fakultasnya.Fakultas sastra kebetulan terletak di samping fakultas teknik. Makannya tidak heran jika banyak diantara mereka yang bisa berteman atau bahkan ber
Gienka sudah beberapa hari mengabaikan pesan dan telepon Nendra. Rasa kecewa sudah menguasai hatinya. Berulang kali Nendra mengingkari janjinya dan Gienka selalu memaafkannya. Namun kali ini dia tak bisa memaafkannya dengan mudah. Bukan soal uang yang Nendra pinjam, tapi ada hal lain yang membuat Gienka murka.Dua hari yang lalu disaat Gienka sedang menemani Feli guna membeli Brem untuk adiknya, Gienka tak sengaja melihat Nendra bersama teman-temannya. Dia sedang merokok di pinggir jalan. Padahal malam sebelumnya Nendra pamit pergi ke Surabaya lagi untuk mengikuti tes kerja kembali.Gienka merasa menjadi gadis paling bodoh selama ini karena terlalu mempercayai Nendra yang ternyata tukang kibul seperti yang mamanya katakan.Gienka tertunduk lesu di parkiran. Kampus masih sepi. Gienka sengaja datang pagi-pagi karena Nendra memaksa untuk bertemu.Nendra menghampiri Gienka dengan senyum terukir di wajah tampan
Gienka masih tak habis pikir dengan Nendra. Bagaimana mungkin laki-laki itu tak menyadari kesalahannya. Dia meminta Gienka untuk memikirkan kembali hubungan mereka.Gienka sudah lelah. Namun dia menuruti Nendra. Tapi untuk saat ini dia tak ingin bertatap muka dengan Nendra karena bertatap muka dengan Nendra yang maniputif membuat Gienka takut jika dia kembali luluh oleh bujuk rayunya.Gienka memilih untuk fokus terhadap kuliahnya. Tugas-tugasnya cukup berat di semester dua ini. Dia sudah memutuskan akan pergi ke Surakarta pada hari ini. Dia sudah menghubungi teman SMA-nya yang kebetulan berkuliah di kota tersebut. Dia memaksa temannya itu untuk menemaninya melihat-lihat objek wisata di sana.Gienka melihat arloji di tangan kanannya. Jarum pendek menunjukkan angka lima. Ya, sekarang masih jam lima pagi. Tapi Gienka sudah berada di terminal ditemani Papa tercintanya. Dia akan berangkat menuju Surakarta. Setelah bus besar tujuan Solo-Jogja itu berhenti di terminal,
Gienka masih bersungut-sungut sekarang. Bagaimana mungkin Rega Setega itu kepadanya? Saking kesalnya dia sampai tak sadar bahwa sekarang ada seorang laki-laki muda seusia dirinya sedang duduk di atas motornya sambil mengamati dirinya.Namun akhirnya dia tersadar dan menoleh ke arah lelaki yang memakai Jas Almamater biru muda. Tatapan mereka bertemu."Sudah selesai kesalnya?" tanya laki-laki itu dan tersenyum."Eh-""Saya Arham, Rega nggak bisa jemput kamu karena tadi pacarnya datang ke kosnya dia," jelas Arham."Oh, terus?" tanya Gienka.Gienka masih bingung. Dia tak menyangka teman Rega itu sudah berada di depannya."Saya yang akan menemani kamu berkeliling ke tempat wisata di sini," ucap Arham."Hah? Beneran Mas?" tanya Gienka lagi.Arham tersenyum lagi. Kali ini Gienka terperangah. Senyum Arham sungguh meneduhkan hati."Jangan panggil Mas! Kita itu seumuran. Panggil saya Arham saja. Nama kamu?" tanya Arham.
Taman Satwa Taru Jurug, itu nama tempat pertama yang dikunjungi Gienka dan Arham. Gienka sedang asik mengambil foto dengan menggunakan Digital Camera yang dia pinjam dari Papanya.Gienka berkeliling dengan Arham yang setia mengikuti di belakangnya. Gienka sesekali mengajak bermain hewan-hewan di sana. Arham pun tak henti memerhatikan gadis cantik itu. Senyumnya menggoyahkan hatinya."Ham, penjaganya dimana ya?" tanya Gienka.Arham celingukan mencoba mencari ruang penjaga."Itu di sebelah sana sepertinya," tunjuk Arham menggunakan jari telunjuknya."Mau ngapain?" tanya Arham."Aku harus interview orangnya. Buat data aku. Soalnya nanti itu buat bukti kalau aku sudah datang ke tempat ini," jelas Gienka."Oh iya paham. Kalau begitu kita langsung temui aja penjaganya."Arham melepas Jas Almamaternya dan menyampirkan Jas itu di bahu kirinya."Permisi, Pak. Boleh minta waktunya sebentar?" tanya Arham sopan begitu sampai d
Arham sedang tersenyum sambil melihat-lihat ponselnya."Woi, senyam-senyum sendirian di luar. Nggak sakit kan, Ham?" tanya Lidya mengagetkan Arham.Lidya, Tante Arham yang hanya berbeda sepuluh tahun dengan Arham itu heran melihat keponakannya yang terus menerus memandangi ponselnya itu dengan wajah berbinar.Arham tak menjawab, dia malah tersenyum memandang langit."Aduh, Ham! Jangan bikin Tante takut deh! Kamu nggak kerasukan setan kan, Ham?" Lidya memegang pipi Arham."Ah, Tante apaan sih." Arham geli dipegang-pegang pipinya begitu. Dia menghindari Tantenya."Lha kamu aneh, Ham. Beneran, dari tadi sore bengong, senyam-senyum. Dikit-dikit lirik ponsel, serem tau nggak,"Arham menghela napasnya."Yah, keponakan Tante ini hanya lagi senang aja. Tadi pagi, Arham baru aja ketemu cewek.""Cewek baru? Lha si Varisa gimana?""Kenapa bawa-bawa Varisa sih?""Lha emang kamu udah putus sama Varisa?
Hari kedua dan terakhir bagi Gienka di kota Surakarta menjadi hari yang tidak akan dia lupakan. Gienka memilih Candi Cetho yang terletak di Kabupaten Karanganyar. Jaraknya berpuluh-puluh kilometer dari kota Solo. Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih sekitar satu jam jika ditempuh menggunakan motor.Mereka tiba di sana saat masih pukul delapan pagi. Kabutnya masih lumayan tebal karena memang terletak di dataran tinggi. Udaranya masih terasa dingin bagi Gienka. Maka dari itu dia merapatkan jaketnya, memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. Arham kali ini memakai sweater berwarna merah bata yang membuat kulitnya nampak bersih. Dia terlihat sangat menawan dengan jeans hitamnya. Gienka sempat terkagum begitu Arham turun dari motornya kala menjemputnya di kos tadi."Kamu tunggu di sini. Saya beli tiketnya dulu," ujar Arham.Gienka mengangguk sembari melihat pemandangan di Candi Cetho yang ternyata indah sekali. Dia bisa melihat sawah-sawah di sekitar Candi it
Gienka menguatkan hatinya agar tak terpengaruh dengan pesona Sancaka Marvelo yang kelewat tampan itu. Dia tahu dia tak boleh memikirkan Sancaka sementara dirinya telah memberikan hatinya pada Arham.Gienka berusaha keras menepis semua bayangan Sancaka yang lewat di kepalanya di malam harinya."Tidak. Tidak. Aku tak boleh begini." Gienka menggelengkan kepalanya dan mengacak-acak rambutnya sendiri.Dia lalu melirik ponsel hitamnya dan melihat galeri ponselnya. Dilihatnya potret dirinya bersama Arham yang mereka ambil terakhir kali. Photo itu memperlihatkan ekspresi lucu Arham yang sedang menjahili dirinya dengan menggunakan rambutnya.Gienka tersenyum memandangnya. Gadis itu merindukannya.Gienka yang jarang menelepon Arham terlebih dulu itu memutuskan untuk meneleponnya duluan.Dering pertama tak diangkat. Dering kedua masih tak diangkat. Dering ketiga belum juga terdengar suara Arham yang dia rindukan. Sampai entah deringan ke berapa,
"Hai, Gienka. Apa kabar?" tanya Sancaka dengan senyum manisnya. Gienka masih mematung berdiri di depan pintu karena terlalu kaget. "Gienka!" panggil Sancaka dengan suara lembutnya. Gienka langsung tersadar dari lamunannya. Dia pun berjalan pelan masuk ke dalam rumah. "Baru pulang ya?" tanya Sancaka lagi. "I-iya," jawab Gienka tergagap. Aduh, aku ini kenapa sih pakai gugup segala? batin Gienka. "Ya udah kamu lebih baik ganti baju dulu dan jangan lupa makan siang ya," ucap Sancaka. Gienka seperti kerbau dicucuk hidungnya, dia menurut saja. "Ya udah saya masuk ke kamar dulu," pamit Gienka. Sancaka mengangguk. Gienka langsung melesat ke dalam kamarnya. Dia menutup pintunya rapat-rapat. Dia melemparkan tasnya ke atas kasur dan mulai mondar-mandir sendirian di dalam kamar.
Matthew Barnaby memasuki Ruang 70 yang langsung disambut senyuman para mahasiswinya. Sedangkan mahasiswanya datar-datar saja.Angela, Feli dan Gienka memilih duduk di bangku deret kedua. Daniel yang tak dapat bangku di samping teman-temannya, akhirnya mendapat bangku paling belakangan."Hi, class. I'm glad to see you again. Welcome to English Conversation Club," sapa Matthew memulai perkuliahan.Matthew adalah dosen muda yang baru berusia dua puluh dua tahun yang berasal dari Kansas, Kanada. Dia mengajar empat kelas di kampus itu, yakni English Conversation Club untuk empat tingkat. Kelas ini tak masuk dalam daftar SKS. Ini adalah sebuah kelas bebas untuk para mahasiswa, yang mana boleh absen jika memang tak ingin hadir."Where have you been, Sir?" tanya Calista yang duduk paling depan."I have been in Canada for a month. Alright, let's start our class today!"Matthew tersenyum pada mahasiswanya.***"Hai, bagaimana kabar
Matahari sudah sangat terik. Gienka dan Arham memutuskan untuk segera naik ke atas. Perut Gienka sudah minta diisi dan Arham pun mulai terlihat lelah. Gienka kemudian mengajak Arham makan siang di sebuah warung di dekat Wisata Grape, sebuah wisata alam di area Dungus. Warung itu terbilang cukup ramai dikunjungi. Gienka segera memesan satu ayam panggang untuk mereka berdua. "Kamu pintar milih tempat," puji Arham sambil melihat ke arah sungai yang tak jauh dari tempat mereka makan itu. Gienka hanya tersipu malu mendengarnya. "Kamu suka ke sini?" tanya Arham. "Suka. Aku pernah beberapa kali ke sini bersama ...," ucap Gienka bingung bagaimana melanjutkannya. Kan nggak mungkin sekali dia bilang kalau Gienka pernah ke sini sama Nendra. Gienka yakin nggak ada cowok yang suka kalau seorang cewek berbicara tentang mantannya. "Oh, aku paham. Lain kali, sama aku aja kalau mau ke sini. Jangan sama yang lain!" ucap Arham. "Iya
"..."Gienka tak tahu harus bereaksi bagaimana setiap Arham melontarkan kata-kata yang Astagfirullahhaladzim bikin dia nyebut terus dalam hati."Kita mau ke mana?" tanya Gienka."Terserah kamu aja.""Kok terserah aku?""Iya kan aku nggak ngerti apa-apa tentang kota kamu ini, Gienka," ucap Arham lembut.Arham tersenyum lagi.Duh, bisa nggak sih dia nggak senyum terus, batin Gienka.Gienka berusaha dengan keras untuk menetralkan detak jantungnya yang sudah tidak karuan.Gienka akhirnya menyerahkan sebuah helm pada Arham yang diterima langsung dan dipakainya cepat."Kamu suka main air nggak, Ham?" tanya Gienka.Gienka suka ke tempat yang banyak airnya semacam air terjun atau pantai begitu. Dia sudah lama ingin mengunjungi sebuah air terjun yang tak jauh dari pusat kota. Air terjun itu bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih tiga puluh menit dengan motor berkecepatan sedang.Gienka ingin menga
Bukannya pacar aku itu kamu ya. Kata-kata Arham terus terngiang di telinga Gienka. Demi apapun, jiwanya meronta-ronta karena rasa bahagia yang meluap-luap. Gienka tak bisa tidur setelah ucapan Arham yang menurutnya kontroversial itu. Dia tak menduga Arham akan mengatakan hal itu. Kini dia tahu, Arham Al Shawqi menyukainya. Arham memiliki rasa yang sama dengannya. Tak ada yang bisa mengalahkan rasa leganya ini. Gienka tak paham jika menyukai seseorang bisa sesederhana ini. Mereka baru bertemu dua kali, dua hari di Surakarta. Mereka pun melanjutkan komunikasi mereka. Penjajakan mereka hanya via SMS dan telepon. Namun, memang cinta itu unik. Perasaan itu tumbuh begitu saja tanpa mengenal waktu, tempat, ataupun jarak. Dia tak perlu alasan yang masuk akal untuk hinggap di hati manusia. Harapan di hatinya kian terbumbung ketika laki-laki yang sedang dipikirkannya ini memberi sebuah janji bahwa dia akan segera menemuinya. Gienka tentu saja sangat menan
"Alright, next. Gienka Neyza Jace," panggil Bu Natasha.Gienka pun maju ke depan dan mulai memasang flashdisk pada laptop khusus jurusan. Setelah menemukan file yang dia cari, dia menge-klik file itu dan mulai mempresentasikan objek wisata pilihannya, Candi Cetho."Good morning, today I'd like to present one of beautiful tourism objects in Surakarta, that is, Candi Cetho," ucap Gienka.Gienka menjelaskan secara detail mengenai Candi itu. Dia juga tak lupa memperlihatkan foto-foto yang diambilnya. Dia membuat presentasi itu terlihat sangat menarik. Bahkan, semua mahasiswa di kelas itu terpukau oleh cara Gienka mempresentasikan tugasnya. Saat Bu Natasha memberikan beberapa pertanyaan mengenai kelebihan dan kekurangan dari Candi itu, Gienka bisa menjawabnya dengan baik.That's wonderful! Sekarang aku paham kenapa dosen-dosen mengatakan anak ini cerdas, Bu Natasha membatin."Well, I think that's all for my presentation, thanks for your kind atten
Hari kedua dan terakhir bagi Gienka di kota Surakarta menjadi hari yang tidak akan dia lupakan. Gienka memilih Candi Cetho yang terletak di Kabupaten Karanganyar. Jaraknya berpuluh-puluh kilometer dari kota Solo. Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih sekitar satu jam jika ditempuh menggunakan motor.Mereka tiba di sana saat masih pukul delapan pagi. Kabutnya masih lumayan tebal karena memang terletak di dataran tinggi. Udaranya masih terasa dingin bagi Gienka. Maka dari itu dia merapatkan jaketnya, memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. Arham kali ini memakai sweater berwarna merah bata yang membuat kulitnya nampak bersih. Dia terlihat sangat menawan dengan jeans hitamnya. Gienka sempat terkagum begitu Arham turun dari motornya kala menjemputnya di kos tadi."Kamu tunggu di sini. Saya beli tiketnya dulu," ujar Arham.Gienka mengangguk sembari melihat pemandangan di Candi Cetho yang ternyata indah sekali. Dia bisa melihat sawah-sawah di sekitar Candi it
Arham sedang tersenyum sambil melihat-lihat ponselnya."Woi, senyam-senyum sendirian di luar. Nggak sakit kan, Ham?" tanya Lidya mengagetkan Arham.Lidya, Tante Arham yang hanya berbeda sepuluh tahun dengan Arham itu heran melihat keponakannya yang terus menerus memandangi ponselnya itu dengan wajah berbinar.Arham tak menjawab, dia malah tersenyum memandang langit."Aduh, Ham! Jangan bikin Tante takut deh! Kamu nggak kerasukan setan kan, Ham?" Lidya memegang pipi Arham."Ah, Tante apaan sih." Arham geli dipegang-pegang pipinya begitu. Dia menghindari Tantenya."Lha kamu aneh, Ham. Beneran, dari tadi sore bengong, senyam-senyum. Dikit-dikit lirik ponsel, serem tau nggak,"Arham menghela napasnya."Yah, keponakan Tante ini hanya lagi senang aja. Tadi pagi, Arham baru aja ketemu cewek.""Cewek baru? Lha si Varisa gimana?""Kenapa bawa-bawa Varisa sih?""Lha emang kamu udah putus sama Varisa?