Gienka memegang ujung kaos panjangnya. Dia memilin baju itu sambil menahan kesal. Dia dipaksa oleh mamanya keluar kamar untuk menemani tamu Papanya.
"Gienka, itu kuenya, sayang."
Amanda menyikut lengan Gienka.
"Apa sih Ma?" sahut Gienka ogah-ogahan, melirik kue itu sekilas.
"Itu Lapis Surabaya. Kesukaan kamu. Cepat dimakan! Udah repot-repot dibawain juga sama nak Sancaka."
Amanda memberikan Gienka tatapan peringatan agar tak membuatnya malu.
Sancaka yang melihat itu hanya mengulum senyumnya. Dia tau Gienka terlihat terpaksa duduk di ruang tamu ini.
Lagian, siapa juga yang nyuruh bawa, gerutu Gienka dalam hati.
Gienka kemudian mengambil sepotong kue yang sebenarnya sangat menggoda untuk dilahap itu. Dia hanya gengsi saja di hadapan Sancaka. Dia langsung menggigit kue itu dan wajahnya menampilkan ekspresi lucu yang sangat menggemaskan bagi Sancaka.
"Kuliahnya lancar kan, Dik?" tanya Sancaka memulai obrolan dengan Gienka.
Gienka menunjuk kue yang dia pegang di tangan kanannya.
"Orang lagi makan itu nggak boleh diajak ngomong," ujar Gienka sambil mengunyah kue yang sangat disukainya.
"Aduh, Ma.. sakit."
Gienka meringis.Amanda mencubit lengannya.
"Makannya yang sopan sama tamu," tegur Amanda.
"Nak Sancaka, maafin Gienka ya?" ucap Amanda tersenyum malu atas kelakuan anak gadisnya.
"Nggak apa-apa, Bu. Saya ngerti."
Sancaka mengangguk sambil tersenyum.Ih, sok kalem banget ni orang, pakai senyum lagi, batin Gienka sebal.
Gienka mengambil air putih dan meminumnya.
"Ma, Gienka bener kok. Kalau makan terus diajak bicara ya bisa tersedak lah. Iya kan, Mas?" Gienka meminta dukungan Sancaka.
"Hush, kamu ini..." Kata-kata Amanda terpotong.
"Sudah, sudah. Malah debat di depan tamu," potong Yusuf yang baru saja selesai mandi.
Sancaka bangkit dan mencium tangan Yusuf.
"Apa kabar, Pak? Sehat kan, Pak?" tanya Sancaka.
"Alhamdulillah, saya sehat seperti yang kamu lihat, nak. Bapak masih kuat. Lihat ini!" gurau Yusuf.
Yusuf memamerkan otot lengannya yang gempal sambil tertawa. Gienka malah malu melihat tingkah Papanya ini, kaya anak kecil pikirnya. Sedangkan Amanda terlihat bangga suaminya itu masih bugar di usia akhir lima puluhan. Kemudian mereka kembali duduk.
Sancaka tersenyum senang karena guru semasa SMP-nya ini terlihat bugar.
"Gimana S2 kamu? Ada kendala?" tanya Yusuf.
"Sejauh ini tidak ada, Pak. Lancar-lancar saja, Alhamdulillah," jawab Sancaka.
Yusuf manggut-manggut.
"Baiklah, lantas ada hal penting apa yang membuatmu kesini?" tanya Yusuf.
"Mau lamar Gienka ya?" tanya Amanda dengan senyum berbinar.
Uhuk.. Uhuk..
Gienka yang mendengar itu langsung tersedak.
Amanda segera menepuk punggung Gienka, sedangkan Yusuf mengambilkan segelas air putih yang tadi diminum Gienka.
"Pelan-pelan kalau makan!" ucap Yusuf.
Gienka menoleh ke arah Sancaka yang sekarang tersenyum menunduk.
"Mama apaan sih, kan Mama tau Gienka udah punya pacar, kok malah tanya Mas Sancaka kaya begitu,"
Gienka heran kenapa mamanya bertanya seperti itu.
"Gienka!" tegur Yusuf.
Gienka menutup mulutnya.
"Saya tahu kamu menaruh hati sama anak saya sejak lama, apakah benar kamu berniat melamar Gienka?" tanya Yusuf tenang.
Benarkah? Gienka membatin.
Gienka menahan napasnya menunggu jawaban Sancaka.
"Maaf, Bapak dan Ibu. Benar, saya memang menyukai Gienka dari dulu. Tapi kalau untuk melamarnya saya masih belum berani. Saya masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak, Pak. Saya belum pantas mendampingi Gienka," jelas Sancaka.
Gienka menghembuskan napasnya pelan. Dia lega luar biasa.
Sedangkan kedua orangtuanya tersenyum kagum pada jawaban yang diberikan Sancaka. Mereka tau Sancaka adalah laki-laki yang bertanggung jawab.
"Lalu apa yang mau kamu sampaikan?" tanya Yusuf.
"Begini Pak, saya kan mengambil program magister yang double degree. Jadinya saya akan menjalani kuliah di Perancis selama satu tahun. Saya ingin pamit, Pak. Minggu depan saya akan terbang kesana," jelas Sancaka
Gienka bengong. Dia tak menyangka, Sancaka secerdas itu. Oke, dia tau Sancaka memang pintar. Dia hanya tak menduga bahwa ternyata Sancaka mampu mendapatkan beasiswa luar negeri. Untuk beberapa detik dia kagum.
"Wah, hebat sekali, nak!" puji Amanda.
Yusuf tersenyum bangga. Iya dia bangga, pasalnya Sancaka adalah murid kesayangannya saat Sancaka masih bersekolah di sekolah Yusuf mengajar.
***
"Jaga diri baik-baik ya, Dik!" ucap Sancaka sambil memandang lekat ke arah Gienka yang sekarang sedang berdiri di depan pagar. Dia mengantar Sancaka pergi.
Gienka sebenarnya tak kuat dipandangi seperti itu oleh Sancaka yang sebenarnya sangat tampan sekali itu.
"Iya," sahut Gienka tanpa memandang ke arah Sancaka.
"Gienka," panggil Sancaka.
"Iya," sahut Gienka tetap tak menoleh.
"Lihat saya sebentar!" pinta Sancaka.
Gienka pun dengan enggan menoleh ke arah Sancaka yang masih berdiri di samping motor Maticnya.
"Saya suka kamu. Tidak. Tapi saya cinta kamu," ungkap Sancaka.
Gienka terkejut. Dia tak memperkirakan akan mendapat ungkapan cinta dari Sancaka. Mereka memang sudah saling mengenal sejak Sancaka masih SMP dan Gienka duduk di Sekolah Dasar. Tapi ini aneh.
Gienka bingung kenapa Sancaka bisa menyukainya? Selama ini mereka bisa dibilang sangat jarang berbicara. Mereka hanya bertegur sapa sekedarnya saja.
Sancaka sering datang ke rumah Gienka sejak dia masih bersekolah di tempat Yusuf mengajar, tapi itupun untuk hanya untuk kepentingan les saja.
Saat Sancaka sudah menjadi mahasiswa pun juga dia berkunjung ke rumah Gienka namun tetap yang dia temui ya Yusuf, bukan Gienka.
Tapi tadi bahkan Yusuf tahu kalau Sancaka memiliki perasaan khusus terhadapnya.
Bagaimana bisa? tanya Gienka pada dirinya sendiri.
"Saya punya pacar, Mas. Kenapa Mas bilang seperti itu?" tanya Gienka yang bingung bagaimana meresponnya.
Sancaka tersenyum.
"Saya tahu itu, Gienka. Saya hanya mengungkapkan perasaan saya saja," ucap Sancaka.
"Nggak ada larangan untuk mengungkapkan perasaan kepada orang yang sudah memiliki pasangan, Gienka. Hal itu hanya menjadi terlarang ketika berniat merusaknya. Dan saya tidak berniat merusak hubungan kamu," jelas Sancaka.
Sancaka masih memuaskan matanya untuk menatap gadis yang sudah mengisi hatinya selama bertahun-tahun ini.
Gienka terdiam. Dia tak berani memandang Sancaka lagi.
"Saya hanya jatuh cinta sama kamu. Suatu saat jika takdir mempertemukan kita kembali dan saat itu kamu sedang tidak terikat dengan orang lain, saya yang akan mengikatmu. Bukan untuk jadi kekasih saya, tapi istri saya," lanjut Sancaka.
Setelah mengatakan itu Sancaka langsung menaiki motornya.
"Kamu akan selalu ada di sini. Di hati saya. It's always you, Gienka," ucap Sancaka.
Sancaka menunjuk dadanya ketika mengatakan itu. Kali ini dia tersenyum sangat manis pada Gienka yang menoleh ke arahnya.
Sancaka pergi.
Gienka mematung di depan pagar.
"Apa-apaan dia? Setelah menyatakan cinta terus pergi begitu saja? Dia kan mau ke Perancis, kenapa juga dia harus ungkapin perasaannya? Gunanya apa coba?" omel Gienka kesal.
***
Gienka ingin berteriak. Diliriknya lagi ponselnya yang dia taruh di nakas.
Ada satu pesan disana yang membuatnya sedikit sebal. Pesan dari Nendra,Caramia, maaf ya. Aku belum bisa balikin uang kamu. Aku lagi sepi nih. Nanti ya..! Jangan lupa makan ya! Aku nggak mau kamu sakit.
Lagi. Begini lagi. Mau sampai kapan dia begini? Gienka tak tau harus bagaimana lagi menghadapi Nendra. Bukankah dia sudah terlalu bersabar pada Nendra. Apa memang benar apa yang di bilang Mamanya? Nendra banyak bohong. Haruskah dia menjauhi Nendra saja? Tapi bagaimana dengan hatinya? Apa hatinya sudah siap melepas Nendra?
Gienka segera memasukkan ponsel itu kedalam tasnya dan bergegas berangkat ke kampus. Dia tak mau terlambat di hari pertamanya di semester dua ini.
***********
"Aku nggak bisa yang itu. Terlalu tinggi, Gie. Yang itu saja ya?" tanya Daniel.Daniel menunjuk buah kersen yang warnanya merah."Ya udah yang itu aja deh. Ada banyak yang udah matang itu," jawab Gienka.Gienka menengadah melihat betapa ranumnya buah itu."Oke. Bentar!" ucap Daniel.Daniel memanjat pohon kersen itu.Pohon yang terletak di depan gedung fakultas teknik itu bisa dibilang cukup tinggi. Pohon itu memiliki daun yang lumayan lebat dan seakan-akan tak pernah berhenti berbuah.Di bawah pohon itu terdapat bangku-bangku yang bisa digunakan oleh mahasiswa untuk bersantai maupun mengerjakan tugas. Tempat itu adalah salah satu tempat favorit Gienka karena berdekatan dengan gedung fakultasnya.Fakultas sastra kebetulan terletak di samping fakultas teknik. Makannya tidak heran jika banyak diantara mereka yang bisa berteman atau bahkan ber
Gienka sudah beberapa hari mengabaikan pesan dan telepon Nendra. Rasa kecewa sudah menguasai hatinya. Berulang kali Nendra mengingkari janjinya dan Gienka selalu memaafkannya. Namun kali ini dia tak bisa memaafkannya dengan mudah. Bukan soal uang yang Nendra pinjam, tapi ada hal lain yang membuat Gienka murka.Dua hari yang lalu disaat Gienka sedang menemani Feli guna membeli Brem untuk adiknya, Gienka tak sengaja melihat Nendra bersama teman-temannya. Dia sedang merokok di pinggir jalan. Padahal malam sebelumnya Nendra pamit pergi ke Surabaya lagi untuk mengikuti tes kerja kembali.Gienka merasa menjadi gadis paling bodoh selama ini karena terlalu mempercayai Nendra yang ternyata tukang kibul seperti yang mamanya katakan.Gienka tertunduk lesu di parkiran. Kampus masih sepi. Gienka sengaja datang pagi-pagi karena Nendra memaksa untuk bertemu.Nendra menghampiri Gienka dengan senyum terukir di wajah tampan
Gienka masih tak habis pikir dengan Nendra. Bagaimana mungkin laki-laki itu tak menyadari kesalahannya. Dia meminta Gienka untuk memikirkan kembali hubungan mereka.Gienka sudah lelah. Namun dia menuruti Nendra. Tapi untuk saat ini dia tak ingin bertatap muka dengan Nendra karena bertatap muka dengan Nendra yang maniputif membuat Gienka takut jika dia kembali luluh oleh bujuk rayunya.Gienka memilih untuk fokus terhadap kuliahnya. Tugas-tugasnya cukup berat di semester dua ini. Dia sudah memutuskan akan pergi ke Surakarta pada hari ini. Dia sudah menghubungi teman SMA-nya yang kebetulan berkuliah di kota tersebut. Dia memaksa temannya itu untuk menemaninya melihat-lihat objek wisata di sana.Gienka melihat arloji di tangan kanannya. Jarum pendek menunjukkan angka lima. Ya, sekarang masih jam lima pagi. Tapi Gienka sudah berada di terminal ditemani Papa tercintanya. Dia akan berangkat menuju Surakarta. Setelah bus besar tujuan Solo-Jogja itu berhenti di terminal,
Gienka masih bersungut-sungut sekarang. Bagaimana mungkin Rega Setega itu kepadanya? Saking kesalnya dia sampai tak sadar bahwa sekarang ada seorang laki-laki muda seusia dirinya sedang duduk di atas motornya sambil mengamati dirinya.Namun akhirnya dia tersadar dan menoleh ke arah lelaki yang memakai Jas Almamater biru muda. Tatapan mereka bertemu."Sudah selesai kesalnya?" tanya laki-laki itu dan tersenyum."Eh-""Saya Arham, Rega nggak bisa jemput kamu karena tadi pacarnya datang ke kosnya dia," jelas Arham."Oh, terus?" tanya Gienka.Gienka masih bingung. Dia tak menyangka teman Rega itu sudah berada di depannya."Saya yang akan menemani kamu berkeliling ke tempat wisata di sini," ucap Arham."Hah? Beneran Mas?" tanya Gienka lagi.Arham tersenyum lagi. Kali ini Gienka terperangah. Senyum Arham sungguh meneduhkan hati."Jangan panggil Mas! Kita itu seumuran. Panggil saya Arham saja. Nama kamu?" tanya Arham.
Taman Satwa Taru Jurug, itu nama tempat pertama yang dikunjungi Gienka dan Arham. Gienka sedang asik mengambil foto dengan menggunakan Digital Camera yang dia pinjam dari Papanya.Gienka berkeliling dengan Arham yang setia mengikuti di belakangnya. Gienka sesekali mengajak bermain hewan-hewan di sana. Arham pun tak henti memerhatikan gadis cantik itu. Senyumnya menggoyahkan hatinya."Ham, penjaganya dimana ya?" tanya Gienka.Arham celingukan mencoba mencari ruang penjaga."Itu di sebelah sana sepertinya," tunjuk Arham menggunakan jari telunjuknya."Mau ngapain?" tanya Arham."Aku harus interview orangnya. Buat data aku. Soalnya nanti itu buat bukti kalau aku sudah datang ke tempat ini," jelas Gienka."Oh iya paham. Kalau begitu kita langsung temui aja penjaganya."Arham melepas Jas Almamaternya dan menyampirkan Jas itu di bahu kirinya."Permisi, Pak. Boleh minta waktunya sebentar?" tanya Arham sopan begitu sampai d
Arham sedang tersenyum sambil melihat-lihat ponselnya."Woi, senyam-senyum sendirian di luar. Nggak sakit kan, Ham?" tanya Lidya mengagetkan Arham.Lidya, Tante Arham yang hanya berbeda sepuluh tahun dengan Arham itu heran melihat keponakannya yang terus menerus memandangi ponselnya itu dengan wajah berbinar.Arham tak menjawab, dia malah tersenyum memandang langit."Aduh, Ham! Jangan bikin Tante takut deh! Kamu nggak kerasukan setan kan, Ham?" Lidya memegang pipi Arham."Ah, Tante apaan sih." Arham geli dipegang-pegang pipinya begitu. Dia menghindari Tantenya."Lha kamu aneh, Ham. Beneran, dari tadi sore bengong, senyam-senyum. Dikit-dikit lirik ponsel, serem tau nggak,"Arham menghela napasnya."Yah, keponakan Tante ini hanya lagi senang aja. Tadi pagi, Arham baru aja ketemu cewek.""Cewek baru? Lha si Varisa gimana?""Kenapa bawa-bawa Varisa sih?""Lha emang kamu udah putus sama Varisa?
Hari kedua dan terakhir bagi Gienka di kota Surakarta menjadi hari yang tidak akan dia lupakan. Gienka memilih Candi Cetho yang terletak di Kabupaten Karanganyar. Jaraknya berpuluh-puluh kilometer dari kota Solo. Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih sekitar satu jam jika ditempuh menggunakan motor.Mereka tiba di sana saat masih pukul delapan pagi. Kabutnya masih lumayan tebal karena memang terletak di dataran tinggi. Udaranya masih terasa dingin bagi Gienka. Maka dari itu dia merapatkan jaketnya, memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. Arham kali ini memakai sweater berwarna merah bata yang membuat kulitnya nampak bersih. Dia terlihat sangat menawan dengan jeans hitamnya. Gienka sempat terkagum begitu Arham turun dari motornya kala menjemputnya di kos tadi."Kamu tunggu di sini. Saya beli tiketnya dulu," ujar Arham.Gienka mengangguk sembari melihat pemandangan di Candi Cetho yang ternyata indah sekali. Dia bisa melihat sawah-sawah di sekitar Candi it
"Alright, next. Gienka Neyza Jace," panggil Bu Natasha.Gienka pun maju ke depan dan mulai memasang flashdisk pada laptop khusus jurusan. Setelah menemukan file yang dia cari, dia menge-klik file itu dan mulai mempresentasikan objek wisata pilihannya, Candi Cetho."Good morning, today I'd like to present one of beautiful tourism objects in Surakarta, that is, Candi Cetho," ucap Gienka.Gienka menjelaskan secara detail mengenai Candi itu. Dia juga tak lupa memperlihatkan foto-foto yang diambilnya. Dia membuat presentasi itu terlihat sangat menarik. Bahkan, semua mahasiswa di kelas itu terpukau oleh cara Gienka mempresentasikan tugasnya. Saat Bu Natasha memberikan beberapa pertanyaan mengenai kelebihan dan kekurangan dari Candi itu, Gienka bisa menjawabnya dengan baik.That's wonderful! Sekarang aku paham kenapa dosen-dosen mengatakan anak ini cerdas, Bu Natasha membatin."Well, I think that's all for my presentation, thanks for your kind atten
Gienka menguatkan hatinya agar tak terpengaruh dengan pesona Sancaka Marvelo yang kelewat tampan itu. Dia tahu dia tak boleh memikirkan Sancaka sementara dirinya telah memberikan hatinya pada Arham.Gienka berusaha keras menepis semua bayangan Sancaka yang lewat di kepalanya di malam harinya."Tidak. Tidak. Aku tak boleh begini." Gienka menggelengkan kepalanya dan mengacak-acak rambutnya sendiri.Dia lalu melirik ponsel hitamnya dan melihat galeri ponselnya. Dilihatnya potret dirinya bersama Arham yang mereka ambil terakhir kali. Photo itu memperlihatkan ekspresi lucu Arham yang sedang menjahili dirinya dengan menggunakan rambutnya.Gienka tersenyum memandangnya. Gadis itu merindukannya.Gienka yang jarang menelepon Arham terlebih dulu itu memutuskan untuk meneleponnya duluan.Dering pertama tak diangkat. Dering kedua masih tak diangkat. Dering ketiga belum juga terdengar suara Arham yang dia rindukan. Sampai entah deringan ke berapa,
"Hai, Gienka. Apa kabar?" tanya Sancaka dengan senyum manisnya. Gienka masih mematung berdiri di depan pintu karena terlalu kaget. "Gienka!" panggil Sancaka dengan suara lembutnya. Gienka langsung tersadar dari lamunannya. Dia pun berjalan pelan masuk ke dalam rumah. "Baru pulang ya?" tanya Sancaka lagi. "I-iya," jawab Gienka tergagap. Aduh, aku ini kenapa sih pakai gugup segala? batin Gienka. "Ya udah kamu lebih baik ganti baju dulu dan jangan lupa makan siang ya," ucap Sancaka. Gienka seperti kerbau dicucuk hidungnya, dia menurut saja. "Ya udah saya masuk ke kamar dulu," pamit Gienka. Sancaka mengangguk. Gienka langsung melesat ke dalam kamarnya. Dia menutup pintunya rapat-rapat. Dia melemparkan tasnya ke atas kasur dan mulai mondar-mandir sendirian di dalam kamar.
Matthew Barnaby memasuki Ruang 70 yang langsung disambut senyuman para mahasiswinya. Sedangkan mahasiswanya datar-datar saja.Angela, Feli dan Gienka memilih duduk di bangku deret kedua. Daniel yang tak dapat bangku di samping teman-temannya, akhirnya mendapat bangku paling belakangan."Hi, class. I'm glad to see you again. Welcome to English Conversation Club," sapa Matthew memulai perkuliahan.Matthew adalah dosen muda yang baru berusia dua puluh dua tahun yang berasal dari Kansas, Kanada. Dia mengajar empat kelas di kampus itu, yakni English Conversation Club untuk empat tingkat. Kelas ini tak masuk dalam daftar SKS. Ini adalah sebuah kelas bebas untuk para mahasiswa, yang mana boleh absen jika memang tak ingin hadir."Where have you been, Sir?" tanya Calista yang duduk paling depan."I have been in Canada for a month. Alright, let's start our class today!"Matthew tersenyum pada mahasiswanya.***"Hai, bagaimana kabar
Matahari sudah sangat terik. Gienka dan Arham memutuskan untuk segera naik ke atas. Perut Gienka sudah minta diisi dan Arham pun mulai terlihat lelah. Gienka kemudian mengajak Arham makan siang di sebuah warung di dekat Wisata Grape, sebuah wisata alam di area Dungus. Warung itu terbilang cukup ramai dikunjungi. Gienka segera memesan satu ayam panggang untuk mereka berdua. "Kamu pintar milih tempat," puji Arham sambil melihat ke arah sungai yang tak jauh dari tempat mereka makan itu. Gienka hanya tersipu malu mendengarnya. "Kamu suka ke sini?" tanya Arham. "Suka. Aku pernah beberapa kali ke sini bersama ...," ucap Gienka bingung bagaimana melanjutkannya. Kan nggak mungkin sekali dia bilang kalau Gienka pernah ke sini sama Nendra. Gienka yakin nggak ada cowok yang suka kalau seorang cewek berbicara tentang mantannya. "Oh, aku paham. Lain kali, sama aku aja kalau mau ke sini. Jangan sama yang lain!" ucap Arham. "Iya
"..."Gienka tak tahu harus bereaksi bagaimana setiap Arham melontarkan kata-kata yang Astagfirullahhaladzim bikin dia nyebut terus dalam hati."Kita mau ke mana?" tanya Gienka."Terserah kamu aja.""Kok terserah aku?""Iya kan aku nggak ngerti apa-apa tentang kota kamu ini, Gienka," ucap Arham lembut.Arham tersenyum lagi.Duh, bisa nggak sih dia nggak senyum terus, batin Gienka.Gienka berusaha dengan keras untuk menetralkan detak jantungnya yang sudah tidak karuan.Gienka akhirnya menyerahkan sebuah helm pada Arham yang diterima langsung dan dipakainya cepat."Kamu suka main air nggak, Ham?" tanya Gienka.Gienka suka ke tempat yang banyak airnya semacam air terjun atau pantai begitu. Dia sudah lama ingin mengunjungi sebuah air terjun yang tak jauh dari pusat kota. Air terjun itu bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih tiga puluh menit dengan motor berkecepatan sedang.Gienka ingin menga
Bukannya pacar aku itu kamu ya. Kata-kata Arham terus terngiang di telinga Gienka. Demi apapun, jiwanya meronta-ronta karena rasa bahagia yang meluap-luap. Gienka tak bisa tidur setelah ucapan Arham yang menurutnya kontroversial itu. Dia tak menduga Arham akan mengatakan hal itu. Kini dia tahu, Arham Al Shawqi menyukainya. Arham memiliki rasa yang sama dengannya. Tak ada yang bisa mengalahkan rasa leganya ini. Gienka tak paham jika menyukai seseorang bisa sesederhana ini. Mereka baru bertemu dua kali, dua hari di Surakarta. Mereka pun melanjutkan komunikasi mereka. Penjajakan mereka hanya via SMS dan telepon. Namun, memang cinta itu unik. Perasaan itu tumbuh begitu saja tanpa mengenal waktu, tempat, ataupun jarak. Dia tak perlu alasan yang masuk akal untuk hinggap di hati manusia. Harapan di hatinya kian terbumbung ketika laki-laki yang sedang dipikirkannya ini memberi sebuah janji bahwa dia akan segera menemuinya. Gienka tentu saja sangat menan
"Alright, next. Gienka Neyza Jace," panggil Bu Natasha.Gienka pun maju ke depan dan mulai memasang flashdisk pada laptop khusus jurusan. Setelah menemukan file yang dia cari, dia menge-klik file itu dan mulai mempresentasikan objek wisata pilihannya, Candi Cetho."Good morning, today I'd like to present one of beautiful tourism objects in Surakarta, that is, Candi Cetho," ucap Gienka.Gienka menjelaskan secara detail mengenai Candi itu. Dia juga tak lupa memperlihatkan foto-foto yang diambilnya. Dia membuat presentasi itu terlihat sangat menarik. Bahkan, semua mahasiswa di kelas itu terpukau oleh cara Gienka mempresentasikan tugasnya. Saat Bu Natasha memberikan beberapa pertanyaan mengenai kelebihan dan kekurangan dari Candi itu, Gienka bisa menjawabnya dengan baik.That's wonderful! Sekarang aku paham kenapa dosen-dosen mengatakan anak ini cerdas, Bu Natasha membatin."Well, I think that's all for my presentation, thanks for your kind atten
Hari kedua dan terakhir bagi Gienka di kota Surakarta menjadi hari yang tidak akan dia lupakan. Gienka memilih Candi Cetho yang terletak di Kabupaten Karanganyar. Jaraknya berpuluh-puluh kilometer dari kota Solo. Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih sekitar satu jam jika ditempuh menggunakan motor.Mereka tiba di sana saat masih pukul delapan pagi. Kabutnya masih lumayan tebal karena memang terletak di dataran tinggi. Udaranya masih terasa dingin bagi Gienka. Maka dari itu dia merapatkan jaketnya, memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. Arham kali ini memakai sweater berwarna merah bata yang membuat kulitnya nampak bersih. Dia terlihat sangat menawan dengan jeans hitamnya. Gienka sempat terkagum begitu Arham turun dari motornya kala menjemputnya di kos tadi."Kamu tunggu di sini. Saya beli tiketnya dulu," ujar Arham.Gienka mengangguk sembari melihat pemandangan di Candi Cetho yang ternyata indah sekali. Dia bisa melihat sawah-sawah di sekitar Candi it
Arham sedang tersenyum sambil melihat-lihat ponselnya."Woi, senyam-senyum sendirian di luar. Nggak sakit kan, Ham?" tanya Lidya mengagetkan Arham.Lidya, Tante Arham yang hanya berbeda sepuluh tahun dengan Arham itu heran melihat keponakannya yang terus menerus memandangi ponselnya itu dengan wajah berbinar.Arham tak menjawab, dia malah tersenyum memandang langit."Aduh, Ham! Jangan bikin Tante takut deh! Kamu nggak kerasukan setan kan, Ham?" Lidya memegang pipi Arham."Ah, Tante apaan sih." Arham geli dipegang-pegang pipinya begitu. Dia menghindari Tantenya."Lha kamu aneh, Ham. Beneran, dari tadi sore bengong, senyam-senyum. Dikit-dikit lirik ponsel, serem tau nggak,"Arham menghela napasnya."Yah, keponakan Tante ini hanya lagi senang aja. Tadi pagi, Arham baru aja ketemu cewek.""Cewek baru? Lha si Varisa gimana?""Kenapa bawa-bawa Varisa sih?""Lha emang kamu udah putus sama Varisa?