"Aku nggak bisa yang itu. Terlalu tinggi, Gie. Yang itu saja ya?" tanya Daniel.
Daniel menunjuk buah kersen yang warnanya merah.
"Ya udah yang itu aja deh. Ada banyak yang udah matang itu," jawab Gienka.
Gienka menengadah melihat betapa ranumnya buah itu.
"Oke. Bentar!" ucap Daniel.
Daniel memanjat pohon kersen itu.
Pohon yang terletak di depan gedung fakultas teknik itu bisa dibilang cukup tinggi. Pohon itu memiliki daun yang lumayan lebat dan seakan-akan tak pernah berhenti berbuah.
Di bawah pohon itu terdapat bangku-bangku yang bisa digunakan oleh mahasiswa untuk bersantai maupun mengerjakan tugas. Tempat itu adalah salah satu tempat favorit Gienka karena berdekatan dengan gedung fakultasnya.
Fakultas sastra kebetulan terletak di samping fakultas teknik. Makannya tidak heran jika banyak diantara mereka yang bisa berteman atau bahkan berpacaran.
"Ayo, buruan deh, Niel! Bu Raisa keburu datang," ujar Feli yang berkali-kali melirik jam tangannya.
"Bawel ah, bentar dong! Masih usaha nih."
Daniel berusaha meraih buah Kersen yang berada di ranting pohon sebelah kanan menggunakan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya berpegangan pada batang pohon.
"Gotcha!" seru Daniel.
Dia berhasil memetik buah itu."Yeah, that's my man!" pekik Angela sambil bertepuk tangan.
Gienka dan Feli tersenyum. Mereka sudah tak sabar ingin makan buah itu.
"Dapat berapa, Niel?" tanya Gienka.
"Sabar! Aku turun dulu," sahut Daniel.
Begitu turun, Daniel dikerubungi ketiga sahabatnya itu. Dia membagikan buah manis itu secara merata.
"Ah, ini tuh enak banget!" seru Feli.
"Iya, nggak ada duanya emang kersen ini tuh," timpal Angela sambil menggigit buah itu.
"Heh, itu Bu Raisa udah datang," teriak Daniel sambil menunjuk ke arah dosen cantik berambut pirang yang sedang berjalan sambil mengangguk kepada mahasiswa yang menyapanya.
Mereka berempat pun berlarian menuju ruang 72 yang terletak di ujung koridor.
"Welcome to Speaking II!" ucap Bu Raisa pertama kali.
***
Gienka memandang ke arah kakak-kakak tingkatnya yang sudah semester enam. Sebagian dari mereka memberi tatapan heran pada Gienka dan sebagian terlihat tak suka. Gienka makin gugup karena itu.
Hanya dia yang berasal dari semester dua. Mahasiswa semester empat pun tak ada karena mata kuliah yang akan Gienka ikuti ini jadwalnya berbarengan dengan History of England, mata kuliah semester empat. Otomatis tak ada yang bisa ambil mata kuliah ini.
Kemudian Gienka melihat ada beberapa kakak tingkat perempuannya yang mulai berbisik dan tersenyum mengejek sambil melirik Gienka.
Tenang, Gienka! batin Gienka.
Gienka hanya meremas bukunya sambil bersandar di dinding.
"Hello, Gienka!" sapa Pak Endik yang sekarang berdiri di depan Gienka.
Pak Endik tersenyum juga ke arah mahasiswanya yang lain."Hello, Sir!" balas Gienka. Dia tersenyum pada dosen Grammar II itu.
"Lagi nungguin Bu Natasha ya? Tourism, benar?" tanya Pak Endik ramah.
"Benar, pak," jawab Gienka sopan.
"Kamu tau ini pertama kalinya Pak Maruli membiarkan mahasiswa semester dua mengambil mata kuliah ini. Biasanya beliau selalu menolak mahasiswa tingkat satu yang ingin mengambil mata kuliah tingkat tiga," ujar Pak Endik.
"Tapi Pak, bukan saya yang mau mengambil Tourism ini. Pak Maruli lah yang justru menyarankannya," jelas Gienka.
"Nah, itu langka sekali! Pak Maruli itu yah kau mungkin juga tau, beliau terlalu strict. Jadi saat beliau kasih kamu suggestion untuk ambil mata kuliah level atas, berarti Pak Maruli percaya sama kemampuan kamu," ucap Pak Endik dan tersenyum pada Gienka.
Gienka tertegun mendengar penjelasan Pak Endik.
"Then, trust Yourself!" ucap Pak Endik berlalu meninggalkan Gienka.
"Eh, Dik. Jadi kamu ya yang dapat IP 3,95 itu?" tanya salah satu kakak tingkatnya.
"Iya, Mbak," jawab Gienka.
"Keren! Belum ada yang bisa dapat IP segitu. Setahu aku tertinggi itu Mbak Gina, semester 8. Dia dapat 3,8, lagi skripsi sekarang. Eh salah, udah mau sidang kayaknya."
Gienka tersenyum.
"Melisa," ucapnya memperkenalkan diri.
"Gienka, Mbak."
"Nggak usah pedulikan mereka. Mereka envy aja sama kamu. Cuekin aja." Melisa berbisik pelan.
***
"Hello, everyone. It's an honour for me to have you in this class. Well, welcome to English for Tourism and Guiding!"
Bu Natasha berjalan ke depan. Dia menyapukan matanya ke arah mahasiswanya dan berhenti sepersekian detik pada Gienka.
"Ah, we have a student from semester two. Gienka, aren't you?" tanya Bu Natasha pada Gienka.
Semua kontan menoleh ke arah Gienka.
"Yes, Ma'am," jawab Gienka dengan gugup.
"One thing that you have to know is that I don't care whether you are from semester two. You have to follow the course like the other students. I don't give you any exceptions. I won't give you any special treatments. Do you get it?"
Bu Natasha masih menatap Gienka dengan tatapan ingin tau.
Seberapa cerdas anak ini sampai banyak dosen membicarakannya di ruang dosen? pikir Bu Natasha.
"Yes, Ma'am."
Gienka mengingat apa yang telah dikatakan Bu Natasha tadi. Dia tidak akan diberikan kelonggaran hanya karena dia masih semester dua. Dia harus mengikuti mata kuliah ini seperti mahasiswa lainnya.
Gienka terlalu terlena dengan accent Bu Natasha yang excellent itu. Dia seperti seolah-olah mendengar seorang Native Speaker berbicara. Padahal Bu Natasha asli Jawa, bukan keturunan luar atau seorang blasteran.
"Your last task from this course is to present one of tourism objects in Java. Do observations and many others!" ucap Bu Natasha di akhir kelas itu.
***
Gienka duduk di bawah pohon jambu air yang terdapat beberapa kursi dan meja. Dia hanya menatap bakso yang sudah dari 10 menit yang lalu diantar oleh Pak Jo, penjual bakso keliling yang selalu mangkal di depan kampusnya dari jam 9 hingga 1 siang.
"Mbak Gienka, kenapa nggak dimakan? Mau ditambahin mie atau kecapnya?" tanya Pak Jo yang sudah hafal selera Gienka.
"Udah, Pak Jo biarin aja. Lagi mumet dia," ucap Angela yang sekarang sedang menuangkan saos ke mangkuknya.
"Mumet kenapa mbak? Baru semester dua kok udah mumet saja?" tanya Pak Jo.
"I-tu pak. Tourism. Hah. Dia nye-sel ambil," sahut Feli yang kepedasan.
Gienka memberi tatapan sebal ke arah kedua sahabatnya itu.
"Wah, Mbak udah ambil itu? Hebat sekali! Itu yang bikin penelitian ke tempat wisata kan Mbak?" tanya Pak Jo yang pernah juga berkuliah di kampus itu namun harus keluar karena keterbatasan biaya. Saat itu beasiswa yang ditawarkan tak sebanyak sekarang.
Gienka mengangguk lesu.
"Aku harus gimana dong, guys. Itu tugas akhir tapi harus selesai bulan depan. Nanti per meeting bakal ada dua sampai empat orang yang presentasi. Aduh, I'm dead." Gienka sudah mau menangis.
Feli menyeruput es jeruknya.
"Ngapain bilang mati segala cuman karena satu mata kuliah. Pak Maruli dan Pak Endik aja yakin kamu bisa kok. Kenapa kamu malah meragukan dirimu sendiri? Lagian kemampuan speaking kamu juga jauh di atas kita," jelas Feli yang masih terlihat kepedasan.
"Nah, that's right! Terus nggak usah pedulikan senior kita itu juga. Mereka belum dengar aja saat kamu ngomong. Aku yakin saat mereka dengar kamu ngomong, pasti mingkem deh," imbuh Daniel yang lagi main game dari tadi.
Gienka berkaca-kaca.
"Ah, you're the best," ucap Gienka memeluk Angela dan Feli.
Angela dan Feli mengusap punggung Gienka. Daniel tersenyum tipis.
"Jangan lupa bayarin bakso kita ya!" ujar Feli sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Kan udah dihibur," tambah Angela.
"Eh-"
**********
Gienka sudah beberapa hari mengabaikan pesan dan telepon Nendra. Rasa kecewa sudah menguasai hatinya. Berulang kali Nendra mengingkari janjinya dan Gienka selalu memaafkannya. Namun kali ini dia tak bisa memaafkannya dengan mudah. Bukan soal uang yang Nendra pinjam, tapi ada hal lain yang membuat Gienka murka.Dua hari yang lalu disaat Gienka sedang menemani Feli guna membeli Brem untuk adiknya, Gienka tak sengaja melihat Nendra bersama teman-temannya. Dia sedang merokok di pinggir jalan. Padahal malam sebelumnya Nendra pamit pergi ke Surabaya lagi untuk mengikuti tes kerja kembali.Gienka merasa menjadi gadis paling bodoh selama ini karena terlalu mempercayai Nendra yang ternyata tukang kibul seperti yang mamanya katakan.Gienka tertunduk lesu di parkiran. Kampus masih sepi. Gienka sengaja datang pagi-pagi karena Nendra memaksa untuk bertemu.Nendra menghampiri Gienka dengan senyum terukir di wajah tampan
Gienka masih tak habis pikir dengan Nendra. Bagaimana mungkin laki-laki itu tak menyadari kesalahannya. Dia meminta Gienka untuk memikirkan kembali hubungan mereka.Gienka sudah lelah. Namun dia menuruti Nendra. Tapi untuk saat ini dia tak ingin bertatap muka dengan Nendra karena bertatap muka dengan Nendra yang maniputif membuat Gienka takut jika dia kembali luluh oleh bujuk rayunya.Gienka memilih untuk fokus terhadap kuliahnya. Tugas-tugasnya cukup berat di semester dua ini. Dia sudah memutuskan akan pergi ke Surakarta pada hari ini. Dia sudah menghubungi teman SMA-nya yang kebetulan berkuliah di kota tersebut. Dia memaksa temannya itu untuk menemaninya melihat-lihat objek wisata di sana.Gienka melihat arloji di tangan kanannya. Jarum pendek menunjukkan angka lima. Ya, sekarang masih jam lima pagi. Tapi Gienka sudah berada di terminal ditemani Papa tercintanya. Dia akan berangkat menuju Surakarta. Setelah bus besar tujuan Solo-Jogja itu berhenti di terminal,
Gienka masih bersungut-sungut sekarang. Bagaimana mungkin Rega Setega itu kepadanya? Saking kesalnya dia sampai tak sadar bahwa sekarang ada seorang laki-laki muda seusia dirinya sedang duduk di atas motornya sambil mengamati dirinya.Namun akhirnya dia tersadar dan menoleh ke arah lelaki yang memakai Jas Almamater biru muda. Tatapan mereka bertemu."Sudah selesai kesalnya?" tanya laki-laki itu dan tersenyum."Eh-""Saya Arham, Rega nggak bisa jemput kamu karena tadi pacarnya datang ke kosnya dia," jelas Arham."Oh, terus?" tanya Gienka.Gienka masih bingung. Dia tak menyangka teman Rega itu sudah berada di depannya."Saya yang akan menemani kamu berkeliling ke tempat wisata di sini," ucap Arham."Hah? Beneran Mas?" tanya Gienka lagi.Arham tersenyum lagi. Kali ini Gienka terperangah. Senyum Arham sungguh meneduhkan hati."Jangan panggil Mas! Kita itu seumuran. Panggil saya Arham saja. Nama kamu?" tanya Arham.
Taman Satwa Taru Jurug, itu nama tempat pertama yang dikunjungi Gienka dan Arham. Gienka sedang asik mengambil foto dengan menggunakan Digital Camera yang dia pinjam dari Papanya.Gienka berkeliling dengan Arham yang setia mengikuti di belakangnya. Gienka sesekali mengajak bermain hewan-hewan di sana. Arham pun tak henti memerhatikan gadis cantik itu. Senyumnya menggoyahkan hatinya."Ham, penjaganya dimana ya?" tanya Gienka.Arham celingukan mencoba mencari ruang penjaga."Itu di sebelah sana sepertinya," tunjuk Arham menggunakan jari telunjuknya."Mau ngapain?" tanya Arham."Aku harus interview orangnya. Buat data aku. Soalnya nanti itu buat bukti kalau aku sudah datang ke tempat ini," jelas Gienka."Oh iya paham. Kalau begitu kita langsung temui aja penjaganya."Arham melepas Jas Almamaternya dan menyampirkan Jas itu di bahu kirinya."Permisi, Pak. Boleh minta waktunya sebentar?" tanya Arham sopan begitu sampai d
Arham sedang tersenyum sambil melihat-lihat ponselnya."Woi, senyam-senyum sendirian di luar. Nggak sakit kan, Ham?" tanya Lidya mengagetkan Arham.Lidya, Tante Arham yang hanya berbeda sepuluh tahun dengan Arham itu heran melihat keponakannya yang terus menerus memandangi ponselnya itu dengan wajah berbinar.Arham tak menjawab, dia malah tersenyum memandang langit."Aduh, Ham! Jangan bikin Tante takut deh! Kamu nggak kerasukan setan kan, Ham?" Lidya memegang pipi Arham."Ah, Tante apaan sih." Arham geli dipegang-pegang pipinya begitu. Dia menghindari Tantenya."Lha kamu aneh, Ham. Beneran, dari tadi sore bengong, senyam-senyum. Dikit-dikit lirik ponsel, serem tau nggak,"Arham menghela napasnya."Yah, keponakan Tante ini hanya lagi senang aja. Tadi pagi, Arham baru aja ketemu cewek.""Cewek baru? Lha si Varisa gimana?""Kenapa bawa-bawa Varisa sih?""Lha emang kamu udah putus sama Varisa?
Hari kedua dan terakhir bagi Gienka di kota Surakarta menjadi hari yang tidak akan dia lupakan. Gienka memilih Candi Cetho yang terletak di Kabupaten Karanganyar. Jaraknya berpuluh-puluh kilometer dari kota Solo. Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih sekitar satu jam jika ditempuh menggunakan motor.Mereka tiba di sana saat masih pukul delapan pagi. Kabutnya masih lumayan tebal karena memang terletak di dataran tinggi. Udaranya masih terasa dingin bagi Gienka. Maka dari itu dia merapatkan jaketnya, memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. Arham kali ini memakai sweater berwarna merah bata yang membuat kulitnya nampak bersih. Dia terlihat sangat menawan dengan jeans hitamnya. Gienka sempat terkagum begitu Arham turun dari motornya kala menjemputnya di kos tadi."Kamu tunggu di sini. Saya beli tiketnya dulu," ujar Arham.Gienka mengangguk sembari melihat pemandangan di Candi Cetho yang ternyata indah sekali. Dia bisa melihat sawah-sawah di sekitar Candi it
"Alright, next. Gienka Neyza Jace," panggil Bu Natasha.Gienka pun maju ke depan dan mulai memasang flashdisk pada laptop khusus jurusan. Setelah menemukan file yang dia cari, dia menge-klik file itu dan mulai mempresentasikan objek wisata pilihannya, Candi Cetho."Good morning, today I'd like to present one of beautiful tourism objects in Surakarta, that is, Candi Cetho," ucap Gienka.Gienka menjelaskan secara detail mengenai Candi itu. Dia juga tak lupa memperlihatkan foto-foto yang diambilnya. Dia membuat presentasi itu terlihat sangat menarik. Bahkan, semua mahasiswa di kelas itu terpukau oleh cara Gienka mempresentasikan tugasnya. Saat Bu Natasha memberikan beberapa pertanyaan mengenai kelebihan dan kekurangan dari Candi itu, Gienka bisa menjawabnya dengan baik.That's wonderful! Sekarang aku paham kenapa dosen-dosen mengatakan anak ini cerdas, Bu Natasha membatin."Well, I think that's all for my presentation, thanks for your kind atten
Bukannya pacar aku itu kamu ya. Kata-kata Arham terus terngiang di telinga Gienka. Demi apapun, jiwanya meronta-ronta karena rasa bahagia yang meluap-luap. Gienka tak bisa tidur setelah ucapan Arham yang menurutnya kontroversial itu. Dia tak menduga Arham akan mengatakan hal itu. Kini dia tahu, Arham Al Shawqi menyukainya. Arham memiliki rasa yang sama dengannya. Tak ada yang bisa mengalahkan rasa leganya ini. Gienka tak paham jika menyukai seseorang bisa sesederhana ini. Mereka baru bertemu dua kali, dua hari di Surakarta. Mereka pun melanjutkan komunikasi mereka. Penjajakan mereka hanya via SMS dan telepon. Namun, memang cinta itu unik. Perasaan itu tumbuh begitu saja tanpa mengenal waktu, tempat, ataupun jarak. Dia tak perlu alasan yang masuk akal untuk hinggap di hati manusia. Harapan di hatinya kian terbumbung ketika laki-laki yang sedang dipikirkannya ini memberi sebuah janji bahwa dia akan segera menemuinya. Gienka tentu saja sangat menan
Gienka menguatkan hatinya agar tak terpengaruh dengan pesona Sancaka Marvelo yang kelewat tampan itu. Dia tahu dia tak boleh memikirkan Sancaka sementara dirinya telah memberikan hatinya pada Arham.Gienka berusaha keras menepis semua bayangan Sancaka yang lewat di kepalanya di malam harinya."Tidak. Tidak. Aku tak boleh begini." Gienka menggelengkan kepalanya dan mengacak-acak rambutnya sendiri.Dia lalu melirik ponsel hitamnya dan melihat galeri ponselnya. Dilihatnya potret dirinya bersama Arham yang mereka ambil terakhir kali. Photo itu memperlihatkan ekspresi lucu Arham yang sedang menjahili dirinya dengan menggunakan rambutnya.Gienka tersenyum memandangnya. Gadis itu merindukannya.Gienka yang jarang menelepon Arham terlebih dulu itu memutuskan untuk meneleponnya duluan.Dering pertama tak diangkat. Dering kedua masih tak diangkat. Dering ketiga belum juga terdengar suara Arham yang dia rindukan. Sampai entah deringan ke berapa,
"Hai, Gienka. Apa kabar?" tanya Sancaka dengan senyum manisnya. Gienka masih mematung berdiri di depan pintu karena terlalu kaget. "Gienka!" panggil Sancaka dengan suara lembutnya. Gienka langsung tersadar dari lamunannya. Dia pun berjalan pelan masuk ke dalam rumah. "Baru pulang ya?" tanya Sancaka lagi. "I-iya," jawab Gienka tergagap. Aduh, aku ini kenapa sih pakai gugup segala? batin Gienka. "Ya udah kamu lebih baik ganti baju dulu dan jangan lupa makan siang ya," ucap Sancaka. Gienka seperti kerbau dicucuk hidungnya, dia menurut saja. "Ya udah saya masuk ke kamar dulu," pamit Gienka. Sancaka mengangguk. Gienka langsung melesat ke dalam kamarnya. Dia menutup pintunya rapat-rapat. Dia melemparkan tasnya ke atas kasur dan mulai mondar-mandir sendirian di dalam kamar.
Matthew Barnaby memasuki Ruang 70 yang langsung disambut senyuman para mahasiswinya. Sedangkan mahasiswanya datar-datar saja.Angela, Feli dan Gienka memilih duduk di bangku deret kedua. Daniel yang tak dapat bangku di samping teman-temannya, akhirnya mendapat bangku paling belakangan."Hi, class. I'm glad to see you again. Welcome to English Conversation Club," sapa Matthew memulai perkuliahan.Matthew adalah dosen muda yang baru berusia dua puluh dua tahun yang berasal dari Kansas, Kanada. Dia mengajar empat kelas di kampus itu, yakni English Conversation Club untuk empat tingkat. Kelas ini tak masuk dalam daftar SKS. Ini adalah sebuah kelas bebas untuk para mahasiswa, yang mana boleh absen jika memang tak ingin hadir."Where have you been, Sir?" tanya Calista yang duduk paling depan."I have been in Canada for a month. Alright, let's start our class today!"Matthew tersenyum pada mahasiswanya.***"Hai, bagaimana kabar
Matahari sudah sangat terik. Gienka dan Arham memutuskan untuk segera naik ke atas. Perut Gienka sudah minta diisi dan Arham pun mulai terlihat lelah. Gienka kemudian mengajak Arham makan siang di sebuah warung di dekat Wisata Grape, sebuah wisata alam di area Dungus. Warung itu terbilang cukup ramai dikunjungi. Gienka segera memesan satu ayam panggang untuk mereka berdua. "Kamu pintar milih tempat," puji Arham sambil melihat ke arah sungai yang tak jauh dari tempat mereka makan itu. Gienka hanya tersipu malu mendengarnya. "Kamu suka ke sini?" tanya Arham. "Suka. Aku pernah beberapa kali ke sini bersama ...," ucap Gienka bingung bagaimana melanjutkannya. Kan nggak mungkin sekali dia bilang kalau Gienka pernah ke sini sama Nendra. Gienka yakin nggak ada cowok yang suka kalau seorang cewek berbicara tentang mantannya. "Oh, aku paham. Lain kali, sama aku aja kalau mau ke sini. Jangan sama yang lain!" ucap Arham. "Iya
"..."Gienka tak tahu harus bereaksi bagaimana setiap Arham melontarkan kata-kata yang Astagfirullahhaladzim bikin dia nyebut terus dalam hati."Kita mau ke mana?" tanya Gienka."Terserah kamu aja.""Kok terserah aku?""Iya kan aku nggak ngerti apa-apa tentang kota kamu ini, Gienka," ucap Arham lembut.Arham tersenyum lagi.Duh, bisa nggak sih dia nggak senyum terus, batin Gienka.Gienka berusaha dengan keras untuk menetralkan detak jantungnya yang sudah tidak karuan.Gienka akhirnya menyerahkan sebuah helm pada Arham yang diterima langsung dan dipakainya cepat."Kamu suka main air nggak, Ham?" tanya Gienka.Gienka suka ke tempat yang banyak airnya semacam air terjun atau pantai begitu. Dia sudah lama ingin mengunjungi sebuah air terjun yang tak jauh dari pusat kota. Air terjun itu bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih tiga puluh menit dengan motor berkecepatan sedang.Gienka ingin menga
Bukannya pacar aku itu kamu ya. Kata-kata Arham terus terngiang di telinga Gienka. Demi apapun, jiwanya meronta-ronta karena rasa bahagia yang meluap-luap. Gienka tak bisa tidur setelah ucapan Arham yang menurutnya kontroversial itu. Dia tak menduga Arham akan mengatakan hal itu. Kini dia tahu, Arham Al Shawqi menyukainya. Arham memiliki rasa yang sama dengannya. Tak ada yang bisa mengalahkan rasa leganya ini. Gienka tak paham jika menyukai seseorang bisa sesederhana ini. Mereka baru bertemu dua kali, dua hari di Surakarta. Mereka pun melanjutkan komunikasi mereka. Penjajakan mereka hanya via SMS dan telepon. Namun, memang cinta itu unik. Perasaan itu tumbuh begitu saja tanpa mengenal waktu, tempat, ataupun jarak. Dia tak perlu alasan yang masuk akal untuk hinggap di hati manusia. Harapan di hatinya kian terbumbung ketika laki-laki yang sedang dipikirkannya ini memberi sebuah janji bahwa dia akan segera menemuinya. Gienka tentu saja sangat menan
"Alright, next. Gienka Neyza Jace," panggil Bu Natasha.Gienka pun maju ke depan dan mulai memasang flashdisk pada laptop khusus jurusan. Setelah menemukan file yang dia cari, dia menge-klik file itu dan mulai mempresentasikan objek wisata pilihannya, Candi Cetho."Good morning, today I'd like to present one of beautiful tourism objects in Surakarta, that is, Candi Cetho," ucap Gienka.Gienka menjelaskan secara detail mengenai Candi itu. Dia juga tak lupa memperlihatkan foto-foto yang diambilnya. Dia membuat presentasi itu terlihat sangat menarik. Bahkan, semua mahasiswa di kelas itu terpukau oleh cara Gienka mempresentasikan tugasnya. Saat Bu Natasha memberikan beberapa pertanyaan mengenai kelebihan dan kekurangan dari Candi itu, Gienka bisa menjawabnya dengan baik.That's wonderful! Sekarang aku paham kenapa dosen-dosen mengatakan anak ini cerdas, Bu Natasha membatin."Well, I think that's all for my presentation, thanks for your kind atten
Hari kedua dan terakhir bagi Gienka di kota Surakarta menjadi hari yang tidak akan dia lupakan. Gienka memilih Candi Cetho yang terletak di Kabupaten Karanganyar. Jaraknya berpuluh-puluh kilometer dari kota Solo. Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih sekitar satu jam jika ditempuh menggunakan motor.Mereka tiba di sana saat masih pukul delapan pagi. Kabutnya masih lumayan tebal karena memang terletak di dataran tinggi. Udaranya masih terasa dingin bagi Gienka. Maka dari itu dia merapatkan jaketnya, memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. Arham kali ini memakai sweater berwarna merah bata yang membuat kulitnya nampak bersih. Dia terlihat sangat menawan dengan jeans hitamnya. Gienka sempat terkagum begitu Arham turun dari motornya kala menjemputnya di kos tadi."Kamu tunggu di sini. Saya beli tiketnya dulu," ujar Arham.Gienka mengangguk sembari melihat pemandangan di Candi Cetho yang ternyata indah sekali. Dia bisa melihat sawah-sawah di sekitar Candi it
Arham sedang tersenyum sambil melihat-lihat ponselnya."Woi, senyam-senyum sendirian di luar. Nggak sakit kan, Ham?" tanya Lidya mengagetkan Arham.Lidya, Tante Arham yang hanya berbeda sepuluh tahun dengan Arham itu heran melihat keponakannya yang terus menerus memandangi ponselnya itu dengan wajah berbinar.Arham tak menjawab, dia malah tersenyum memandang langit."Aduh, Ham! Jangan bikin Tante takut deh! Kamu nggak kerasukan setan kan, Ham?" Lidya memegang pipi Arham."Ah, Tante apaan sih." Arham geli dipegang-pegang pipinya begitu. Dia menghindari Tantenya."Lha kamu aneh, Ham. Beneran, dari tadi sore bengong, senyam-senyum. Dikit-dikit lirik ponsel, serem tau nggak,"Arham menghela napasnya."Yah, keponakan Tante ini hanya lagi senang aja. Tadi pagi, Arham baru aja ketemu cewek.""Cewek baru? Lha si Varisa gimana?""Kenapa bawa-bawa Varisa sih?""Lha emang kamu udah putus sama Varisa?