Gienka sudah beberapa hari mengabaikan pesan dan telepon Nendra. Rasa kecewa sudah menguasai hatinya. Berulang kali Nendra mengingkari janjinya dan Gienka selalu memaafkannya. Namun kali ini dia tak bisa memaafkannya dengan mudah. Bukan soal uang yang Nendra pinjam, tapi ada hal lain yang membuat Gienka murka.
Dua hari yang lalu disaat Gienka sedang menemani Feli guna membeli Brem untuk adiknya, Gienka tak sengaja melihat Nendra bersama teman-temannya. Dia sedang merokok di pinggir jalan. Padahal malam sebelumnya Nendra pamit pergi ke Surabaya lagi untuk mengikuti tes kerja kembali.
Gienka merasa menjadi gadis paling bodoh selama ini karena terlalu mempercayai Nendra yang ternyata tukang kibul seperti yang mamanya katakan.
Gienka tertunduk lesu di parkiran. Kampus masih sepi. Gienka sengaja datang pagi-pagi karena Nendra memaksa untuk bertemu.
Nendra menghampiri Gienka dengan senyum terukir di wajah tampannya. Dulu senyum itu mampu membuat Gienka terpikat tapi entah kenapa sekarang Gienka tak merasakan apa-apa.
"Caramia, udah lama ya nunggunya?" tanya Nendra.
"Enggak, kok. Baru aja. Udah sarapan?" tanya Gienka balik.
"Udah tadi sama gorengan dan kopi," jawab Nendra.
Gienka tak menanggapi. Biasanya Gienka akan memarahinya jika Nendra tak sarapan dengan benar, tapi kali ini dia diam saja.
Kening Nendra mengerut.
"Kamu kenapa sih? Ada yang salah?"
Gienka menguatkan hatinya dan menjawab,
"Nggak ada yang salah. Tapi mama dan papaku semakin nggak suka sama kamu. Mereka memintaku untuk berhenti menemui kamu."
"Memang salahku apa? Kenapa mereka melarang kita pacaran? Kenapa, Gie?" tanya Nendra terkejut.
Karena kamu pembohong, jerit Gienka dalam hati.
"Katakan padaku, Gie! Apa salahku sampai mereka tidak menyukaiku? Aku sopan kok sama mereka. Aku selalu ijin juga tiap ngajak kamu keluar."
Nendra menggeram marah.
"Aku juga jaga kamu. Aku nggak menyentuh kamu. Bahkan aku menahan diriku untuk nggak mencium kamu karena kamu bilang berciuman hanya untuk orang yang sudah menikah. Aku hormati itu karena aku cinta kamu," teriak Nendra.
Gienka tercekat. Nendra benar, dia tak pernah melampaui batas.
Gienka memejamkan matanya.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Kenapa sekarang aku yang terlihat jahat? Batin Gienka.
"Ayo, ikut aku sekarang!"
"Kemana?" tanya Gienka pelan. Tangannya ditarik kekasihnya yang sekarang wajahnya merah padam karena amarah sedang menguasainya.
"Hotel. Kamu harus hamil. Aku nggak mau kehilangan kamu," ucap Nendra.
Gienka memucat.
"Kamu nggak serius kan, Ra?"
"Aku serius. Kamu harus mengandung anak aku."
"Tapi, Ra.. Aku nggak mau." Keringat dingin mulai bercucuran.
Gienka mencoba melepaskan tangannya tapi sayangnya Nendra terlalu kuat untuknya. Air matanya mulai terjatuh.
"Hentikan. Ra, aku mohon," Gienka masih berusaha mencoba untuk kabur.
Dia ingin berteriak tapi tempat parkir di kampusnya sedang sepi.
Nendra tak menggubris isakan kekasih yang sangat dicintainya itu.
"Janendra Ardian, aku mau kita putus," ucap gadisnya dengan wajah terluka.
Nendra seketika membeku.
"Cukup, Ra. Aku udah nggak bisa lagi. Mungkin memang lebih baik kita sendiri-sendiri dulu," putus Gienka
Wajah Nendra terlihat sendu, amarahnya tadi sudah menguap tergantikan oleh rasa takut yang kini menyelimutinya. Dia kemudian berlutut di depan Gienka.
"Maaf, aku tau aku keterlaluan. Please, jangan tinggalin aku! Aku akan lakukan apapun asalkan kita masih bisa sama-sama," pinta Nendra.
Gienka memantapkan hatinya.
"Maaf, Ra. Aku udah nggak bisa. Aku udah terlalu kecewa sama kamu."
Nendra bangkit dan emosinya muncul kembali.
"Kecewa kamu bilang? Kapan aku pernah bikin kamu kecewa? Aku selalu ada buat kamu. Bisa-bisanya kamu bilang kaya gitu," kesal Nendra
"Kamu udah bohong. Kamu sering bohong sama aku." Gienka menjerit frustasi.
"Udahlah, Ra. Please, let me go!" tambah Gienka.
"Nggak, aku nggak mau putus dari kamu, ayo ikut aku!" Nendra menarik kembali tangan Gienka lagi. Gienka memberontak.
"Kamu mau setuju apa nggak, kita putus," ucap Gienka tegas.
"Lepasin, Ra! Aku teriak kalau kamu nggak lepasin," ancam Gienka
"Nggak ada orang disini, percuma kamu teriak. Kurang baik apa aku sama kamu, hah? Sekarang kamu harus nurut aku," ucap Nendra tenang.
Nendra menarik Gienka lebih kencang.
Bugh!
Nendra melepaskan Gienka dan memegang kepalanya. Dia baru saja dilempar dengan sebuah buku oleh seseorang di belakangnya.
Gienka menoleh ke arah orang tersebut. Nendra langsung menatap cowok itu dengan tatapan membunuh.
"Heh, apa maksud kamu? Sengaja lempar saya buku?" kesal Nendra.
"Iya, sengaja. Kenapa?" tantang Ares.
"Kami nantang aku?" tanya Nendra sambil menunjuk ke arah muka Ares.
"Iya, sini kalau berani. Jangan sama cewek aja kamu berani. Laki kan?" Ares dengan tenangnya meletakkan tas ranselnya di lantai dan meninju Nendra tepat di dekat bibirnya.
Nendra yang tak siap dengan serangan tiba-tiba Ares, langsung jatuh tersungkur. Bibirnya berdarah.
"Bangun!" perintah Ares.
Gienka hanya diam menonton. Dia terlalu terkejut.
"Segini aja? Banci!" ejek Ares.
Nendra menyeka bibirnya dan memandang Gienka kesal. Ada tatapan kebencian disana.
Gienka mundur.
Ares yang melihat ketakutan di wajah Gienka langsug menarik kerah baju Nendra dan mengangkatnya.
"Pergi dari sini! Tindakan kamu tadi itu udah termasuk pelecehan. Kalau sampai kamu terlihat di kampus ini lagi, aku laporin kamu ke polisi. Ngerti kamu!" Ares mendorong Nendra.
"Nanti kita bicara lagi, Gienka," ucap Nendra sebelum pergi.
Sepeninggal Nendra, Gienka duduk di bebatuan dekat dengan parkiran.
Ares mengulurkan sebotol air mineral kepada Gienka,
"Drink it!" titah Ares.
Gienka menoleh dan menerimanya. Gienka langsung tau Ares pastilah satu jurusan dengannya. Namun wajahnya terlihat asing.
"Thanks," ucapnya. Gienka meminumnya. Tutup botol itu rupanya sudah dibuka oleh Ares.
"Anytime," balas Ares sambil bersandar di tembok dengan memegang tutup botol dari air mineral yang diberikannya pada Gienka.
Hening.
Ares tak menanyakan kejadian tadi. Dia tau betul itu masalah pribadi Gienka.
"Sekali lagi makasih sudah nolong saya tadi. Saya Gienka," ucap Gienka. Tangan kanannya terulur di depan Ares. Ares menyambutnya.
"Ares. Never mind!" ucap Ares.
Gienka tersenyum.
"God of War? Dewa Perang?" tanya Gienka yang teringat bahwa Ares adalah nama Dewa Yunani yang dijuluki Dewa Perang.
Ares tersenyum.
"Benar," jawab Ares
"Mas Sasing juga kan? Tapi kok saya nggak pernah lihat mas ya?" tanya Gienka heran.
Ares mendengus. Pertanyaan yang membuatnya tidak nyaman.
"Karena saya jarang ke kampus," jawab Ares.
"Kok jarang?" Gienka mulai heran.
"Mas kerja?" tanyanya lagi.
Ares menggeleng.
"Saya semester 12. Masih skripsi. Ke kampus kalau lagi bimbingan aja."
Gienka melongo.
"Kenapa kaget begitu? Kamu pasti belum ngerti ya? Lulus dari kampus ini tuh nggak mudah."
Gienka memang pernah mendengar orang-orang berkata seperti itu ketika dia memutuskan untuk berkuliah di kampus ini.
"Mas ambil apa sih emangnya? Sesulit itu ya?" Gienka masih penasaran.
Ares tersenyum tipis.
"Literature. Hamlet. William Shakespeare," jawab Ares.
Gienka makin heran. Sepengetahuan dia, mahasiswa yang mengambil Literature untuk skripsinya lebih mudah lulus dibanding yang mengambil Linguistics atau Translation. Tapi bisa saja dia salah, dia baru semester dua. Dia mungkin belum menggali informasi lain.
"I have to go. Bimbingan sama Pak Endik mumpung masih pagi. See you!" pamit Ares.
Sebelum melenggang pergi, Ares memberikan tutup botol air mineral yang tadi Gienka minum.
*****
- Literature: Cabang ilmu yang mempelajari kesusasteraan.
- Linguistics: Cabang ilmu yang mempelajari tata bahasa.- Translation: Cabang ilmu yang mempelajari penerjemahan.**********
Gienka masih tak habis pikir dengan Nendra. Bagaimana mungkin laki-laki itu tak menyadari kesalahannya. Dia meminta Gienka untuk memikirkan kembali hubungan mereka.Gienka sudah lelah. Namun dia menuruti Nendra. Tapi untuk saat ini dia tak ingin bertatap muka dengan Nendra karena bertatap muka dengan Nendra yang maniputif membuat Gienka takut jika dia kembali luluh oleh bujuk rayunya.Gienka memilih untuk fokus terhadap kuliahnya. Tugas-tugasnya cukup berat di semester dua ini. Dia sudah memutuskan akan pergi ke Surakarta pada hari ini. Dia sudah menghubungi teman SMA-nya yang kebetulan berkuliah di kota tersebut. Dia memaksa temannya itu untuk menemaninya melihat-lihat objek wisata di sana.Gienka melihat arloji di tangan kanannya. Jarum pendek menunjukkan angka lima. Ya, sekarang masih jam lima pagi. Tapi Gienka sudah berada di terminal ditemani Papa tercintanya. Dia akan berangkat menuju Surakarta. Setelah bus besar tujuan Solo-Jogja itu berhenti di terminal,
Gienka masih bersungut-sungut sekarang. Bagaimana mungkin Rega Setega itu kepadanya? Saking kesalnya dia sampai tak sadar bahwa sekarang ada seorang laki-laki muda seusia dirinya sedang duduk di atas motornya sambil mengamati dirinya.Namun akhirnya dia tersadar dan menoleh ke arah lelaki yang memakai Jas Almamater biru muda. Tatapan mereka bertemu."Sudah selesai kesalnya?" tanya laki-laki itu dan tersenyum."Eh-""Saya Arham, Rega nggak bisa jemput kamu karena tadi pacarnya datang ke kosnya dia," jelas Arham."Oh, terus?" tanya Gienka.Gienka masih bingung. Dia tak menyangka teman Rega itu sudah berada di depannya."Saya yang akan menemani kamu berkeliling ke tempat wisata di sini," ucap Arham."Hah? Beneran Mas?" tanya Gienka lagi.Arham tersenyum lagi. Kali ini Gienka terperangah. Senyum Arham sungguh meneduhkan hati."Jangan panggil Mas! Kita itu seumuran. Panggil saya Arham saja. Nama kamu?" tanya Arham.
Taman Satwa Taru Jurug, itu nama tempat pertama yang dikunjungi Gienka dan Arham. Gienka sedang asik mengambil foto dengan menggunakan Digital Camera yang dia pinjam dari Papanya.Gienka berkeliling dengan Arham yang setia mengikuti di belakangnya. Gienka sesekali mengajak bermain hewan-hewan di sana. Arham pun tak henti memerhatikan gadis cantik itu. Senyumnya menggoyahkan hatinya."Ham, penjaganya dimana ya?" tanya Gienka.Arham celingukan mencoba mencari ruang penjaga."Itu di sebelah sana sepertinya," tunjuk Arham menggunakan jari telunjuknya."Mau ngapain?" tanya Arham."Aku harus interview orangnya. Buat data aku. Soalnya nanti itu buat bukti kalau aku sudah datang ke tempat ini," jelas Gienka."Oh iya paham. Kalau begitu kita langsung temui aja penjaganya."Arham melepas Jas Almamaternya dan menyampirkan Jas itu di bahu kirinya."Permisi, Pak. Boleh minta waktunya sebentar?" tanya Arham sopan begitu sampai d
Arham sedang tersenyum sambil melihat-lihat ponselnya."Woi, senyam-senyum sendirian di luar. Nggak sakit kan, Ham?" tanya Lidya mengagetkan Arham.Lidya, Tante Arham yang hanya berbeda sepuluh tahun dengan Arham itu heran melihat keponakannya yang terus menerus memandangi ponselnya itu dengan wajah berbinar.Arham tak menjawab, dia malah tersenyum memandang langit."Aduh, Ham! Jangan bikin Tante takut deh! Kamu nggak kerasukan setan kan, Ham?" Lidya memegang pipi Arham."Ah, Tante apaan sih." Arham geli dipegang-pegang pipinya begitu. Dia menghindari Tantenya."Lha kamu aneh, Ham. Beneran, dari tadi sore bengong, senyam-senyum. Dikit-dikit lirik ponsel, serem tau nggak,"Arham menghela napasnya."Yah, keponakan Tante ini hanya lagi senang aja. Tadi pagi, Arham baru aja ketemu cewek.""Cewek baru? Lha si Varisa gimana?""Kenapa bawa-bawa Varisa sih?""Lha emang kamu udah putus sama Varisa?
Hari kedua dan terakhir bagi Gienka di kota Surakarta menjadi hari yang tidak akan dia lupakan. Gienka memilih Candi Cetho yang terletak di Kabupaten Karanganyar. Jaraknya berpuluh-puluh kilometer dari kota Solo. Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih sekitar satu jam jika ditempuh menggunakan motor.Mereka tiba di sana saat masih pukul delapan pagi. Kabutnya masih lumayan tebal karena memang terletak di dataran tinggi. Udaranya masih terasa dingin bagi Gienka. Maka dari itu dia merapatkan jaketnya, memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. Arham kali ini memakai sweater berwarna merah bata yang membuat kulitnya nampak bersih. Dia terlihat sangat menawan dengan jeans hitamnya. Gienka sempat terkagum begitu Arham turun dari motornya kala menjemputnya di kos tadi."Kamu tunggu di sini. Saya beli tiketnya dulu," ujar Arham.Gienka mengangguk sembari melihat pemandangan di Candi Cetho yang ternyata indah sekali. Dia bisa melihat sawah-sawah di sekitar Candi it
"Alright, next. Gienka Neyza Jace," panggil Bu Natasha.Gienka pun maju ke depan dan mulai memasang flashdisk pada laptop khusus jurusan. Setelah menemukan file yang dia cari, dia menge-klik file itu dan mulai mempresentasikan objek wisata pilihannya, Candi Cetho."Good morning, today I'd like to present one of beautiful tourism objects in Surakarta, that is, Candi Cetho," ucap Gienka.Gienka menjelaskan secara detail mengenai Candi itu. Dia juga tak lupa memperlihatkan foto-foto yang diambilnya. Dia membuat presentasi itu terlihat sangat menarik. Bahkan, semua mahasiswa di kelas itu terpukau oleh cara Gienka mempresentasikan tugasnya. Saat Bu Natasha memberikan beberapa pertanyaan mengenai kelebihan dan kekurangan dari Candi itu, Gienka bisa menjawabnya dengan baik.That's wonderful! Sekarang aku paham kenapa dosen-dosen mengatakan anak ini cerdas, Bu Natasha membatin."Well, I think that's all for my presentation, thanks for your kind atten
Bukannya pacar aku itu kamu ya. Kata-kata Arham terus terngiang di telinga Gienka. Demi apapun, jiwanya meronta-ronta karena rasa bahagia yang meluap-luap. Gienka tak bisa tidur setelah ucapan Arham yang menurutnya kontroversial itu. Dia tak menduga Arham akan mengatakan hal itu. Kini dia tahu, Arham Al Shawqi menyukainya. Arham memiliki rasa yang sama dengannya. Tak ada yang bisa mengalahkan rasa leganya ini. Gienka tak paham jika menyukai seseorang bisa sesederhana ini. Mereka baru bertemu dua kali, dua hari di Surakarta. Mereka pun melanjutkan komunikasi mereka. Penjajakan mereka hanya via SMS dan telepon. Namun, memang cinta itu unik. Perasaan itu tumbuh begitu saja tanpa mengenal waktu, tempat, ataupun jarak. Dia tak perlu alasan yang masuk akal untuk hinggap di hati manusia. Harapan di hatinya kian terbumbung ketika laki-laki yang sedang dipikirkannya ini memberi sebuah janji bahwa dia akan segera menemuinya. Gienka tentu saja sangat menan
"..."Gienka tak tahu harus bereaksi bagaimana setiap Arham melontarkan kata-kata yang Astagfirullahhaladzim bikin dia nyebut terus dalam hati."Kita mau ke mana?" tanya Gienka."Terserah kamu aja.""Kok terserah aku?""Iya kan aku nggak ngerti apa-apa tentang kota kamu ini, Gienka," ucap Arham lembut.Arham tersenyum lagi.Duh, bisa nggak sih dia nggak senyum terus, batin Gienka.Gienka berusaha dengan keras untuk menetralkan detak jantungnya yang sudah tidak karuan.Gienka akhirnya menyerahkan sebuah helm pada Arham yang diterima langsung dan dipakainya cepat."Kamu suka main air nggak, Ham?" tanya Gienka.Gienka suka ke tempat yang banyak airnya semacam air terjun atau pantai begitu. Dia sudah lama ingin mengunjungi sebuah air terjun yang tak jauh dari pusat kota. Air terjun itu bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih tiga puluh menit dengan motor berkecepatan sedang.Gienka ingin menga
Gienka menguatkan hatinya agar tak terpengaruh dengan pesona Sancaka Marvelo yang kelewat tampan itu. Dia tahu dia tak boleh memikirkan Sancaka sementara dirinya telah memberikan hatinya pada Arham.Gienka berusaha keras menepis semua bayangan Sancaka yang lewat di kepalanya di malam harinya."Tidak. Tidak. Aku tak boleh begini." Gienka menggelengkan kepalanya dan mengacak-acak rambutnya sendiri.Dia lalu melirik ponsel hitamnya dan melihat galeri ponselnya. Dilihatnya potret dirinya bersama Arham yang mereka ambil terakhir kali. Photo itu memperlihatkan ekspresi lucu Arham yang sedang menjahili dirinya dengan menggunakan rambutnya.Gienka tersenyum memandangnya. Gadis itu merindukannya.Gienka yang jarang menelepon Arham terlebih dulu itu memutuskan untuk meneleponnya duluan.Dering pertama tak diangkat. Dering kedua masih tak diangkat. Dering ketiga belum juga terdengar suara Arham yang dia rindukan. Sampai entah deringan ke berapa,
"Hai, Gienka. Apa kabar?" tanya Sancaka dengan senyum manisnya. Gienka masih mematung berdiri di depan pintu karena terlalu kaget. "Gienka!" panggil Sancaka dengan suara lembutnya. Gienka langsung tersadar dari lamunannya. Dia pun berjalan pelan masuk ke dalam rumah. "Baru pulang ya?" tanya Sancaka lagi. "I-iya," jawab Gienka tergagap. Aduh, aku ini kenapa sih pakai gugup segala? batin Gienka. "Ya udah kamu lebih baik ganti baju dulu dan jangan lupa makan siang ya," ucap Sancaka. Gienka seperti kerbau dicucuk hidungnya, dia menurut saja. "Ya udah saya masuk ke kamar dulu," pamit Gienka. Sancaka mengangguk. Gienka langsung melesat ke dalam kamarnya. Dia menutup pintunya rapat-rapat. Dia melemparkan tasnya ke atas kasur dan mulai mondar-mandir sendirian di dalam kamar.
Matthew Barnaby memasuki Ruang 70 yang langsung disambut senyuman para mahasiswinya. Sedangkan mahasiswanya datar-datar saja.Angela, Feli dan Gienka memilih duduk di bangku deret kedua. Daniel yang tak dapat bangku di samping teman-temannya, akhirnya mendapat bangku paling belakangan."Hi, class. I'm glad to see you again. Welcome to English Conversation Club," sapa Matthew memulai perkuliahan.Matthew adalah dosen muda yang baru berusia dua puluh dua tahun yang berasal dari Kansas, Kanada. Dia mengajar empat kelas di kampus itu, yakni English Conversation Club untuk empat tingkat. Kelas ini tak masuk dalam daftar SKS. Ini adalah sebuah kelas bebas untuk para mahasiswa, yang mana boleh absen jika memang tak ingin hadir."Where have you been, Sir?" tanya Calista yang duduk paling depan."I have been in Canada for a month. Alright, let's start our class today!"Matthew tersenyum pada mahasiswanya.***"Hai, bagaimana kabar
Matahari sudah sangat terik. Gienka dan Arham memutuskan untuk segera naik ke atas. Perut Gienka sudah minta diisi dan Arham pun mulai terlihat lelah. Gienka kemudian mengajak Arham makan siang di sebuah warung di dekat Wisata Grape, sebuah wisata alam di area Dungus. Warung itu terbilang cukup ramai dikunjungi. Gienka segera memesan satu ayam panggang untuk mereka berdua. "Kamu pintar milih tempat," puji Arham sambil melihat ke arah sungai yang tak jauh dari tempat mereka makan itu. Gienka hanya tersipu malu mendengarnya. "Kamu suka ke sini?" tanya Arham. "Suka. Aku pernah beberapa kali ke sini bersama ...," ucap Gienka bingung bagaimana melanjutkannya. Kan nggak mungkin sekali dia bilang kalau Gienka pernah ke sini sama Nendra. Gienka yakin nggak ada cowok yang suka kalau seorang cewek berbicara tentang mantannya. "Oh, aku paham. Lain kali, sama aku aja kalau mau ke sini. Jangan sama yang lain!" ucap Arham. "Iya
"..."Gienka tak tahu harus bereaksi bagaimana setiap Arham melontarkan kata-kata yang Astagfirullahhaladzim bikin dia nyebut terus dalam hati."Kita mau ke mana?" tanya Gienka."Terserah kamu aja.""Kok terserah aku?""Iya kan aku nggak ngerti apa-apa tentang kota kamu ini, Gienka," ucap Arham lembut.Arham tersenyum lagi.Duh, bisa nggak sih dia nggak senyum terus, batin Gienka.Gienka berusaha dengan keras untuk menetralkan detak jantungnya yang sudah tidak karuan.Gienka akhirnya menyerahkan sebuah helm pada Arham yang diterima langsung dan dipakainya cepat."Kamu suka main air nggak, Ham?" tanya Gienka.Gienka suka ke tempat yang banyak airnya semacam air terjun atau pantai begitu. Dia sudah lama ingin mengunjungi sebuah air terjun yang tak jauh dari pusat kota. Air terjun itu bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih tiga puluh menit dengan motor berkecepatan sedang.Gienka ingin menga
Bukannya pacar aku itu kamu ya. Kata-kata Arham terus terngiang di telinga Gienka. Demi apapun, jiwanya meronta-ronta karena rasa bahagia yang meluap-luap. Gienka tak bisa tidur setelah ucapan Arham yang menurutnya kontroversial itu. Dia tak menduga Arham akan mengatakan hal itu. Kini dia tahu, Arham Al Shawqi menyukainya. Arham memiliki rasa yang sama dengannya. Tak ada yang bisa mengalahkan rasa leganya ini. Gienka tak paham jika menyukai seseorang bisa sesederhana ini. Mereka baru bertemu dua kali, dua hari di Surakarta. Mereka pun melanjutkan komunikasi mereka. Penjajakan mereka hanya via SMS dan telepon. Namun, memang cinta itu unik. Perasaan itu tumbuh begitu saja tanpa mengenal waktu, tempat, ataupun jarak. Dia tak perlu alasan yang masuk akal untuk hinggap di hati manusia. Harapan di hatinya kian terbumbung ketika laki-laki yang sedang dipikirkannya ini memberi sebuah janji bahwa dia akan segera menemuinya. Gienka tentu saja sangat menan
"Alright, next. Gienka Neyza Jace," panggil Bu Natasha.Gienka pun maju ke depan dan mulai memasang flashdisk pada laptop khusus jurusan. Setelah menemukan file yang dia cari, dia menge-klik file itu dan mulai mempresentasikan objek wisata pilihannya, Candi Cetho."Good morning, today I'd like to present one of beautiful tourism objects in Surakarta, that is, Candi Cetho," ucap Gienka.Gienka menjelaskan secara detail mengenai Candi itu. Dia juga tak lupa memperlihatkan foto-foto yang diambilnya. Dia membuat presentasi itu terlihat sangat menarik. Bahkan, semua mahasiswa di kelas itu terpukau oleh cara Gienka mempresentasikan tugasnya. Saat Bu Natasha memberikan beberapa pertanyaan mengenai kelebihan dan kekurangan dari Candi itu, Gienka bisa menjawabnya dengan baik.That's wonderful! Sekarang aku paham kenapa dosen-dosen mengatakan anak ini cerdas, Bu Natasha membatin."Well, I think that's all for my presentation, thanks for your kind atten
Hari kedua dan terakhir bagi Gienka di kota Surakarta menjadi hari yang tidak akan dia lupakan. Gienka memilih Candi Cetho yang terletak di Kabupaten Karanganyar. Jaraknya berpuluh-puluh kilometer dari kota Solo. Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih sekitar satu jam jika ditempuh menggunakan motor.Mereka tiba di sana saat masih pukul delapan pagi. Kabutnya masih lumayan tebal karena memang terletak di dataran tinggi. Udaranya masih terasa dingin bagi Gienka. Maka dari itu dia merapatkan jaketnya, memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. Arham kali ini memakai sweater berwarna merah bata yang membuat kulitnya nampak bersih. Dia terlihat sangat menawan dengan jeans hitamnya. Gienka sempat terkagum begitu Arham turun dari motornya kala menjemputnya di kos tadi."Kamu tunggu di sini. Saya beli tiketnya dulu," ujar Arham.Gienka mengangguk sembari melihat pemandangan di Candi Cetho yang ternyata indah sekali. Dia bisa melihat sawah-sawah di sekitar Candi it
Arham sedang tersenyum sambil melihat-lihat ponselnya."Woi, senyam-senyum sendirian di luar. Nggak sakit kan, Ham?" tanya Lidya mengagetkan Arham.Lidya, Tante Arham yang hanya berbeda sepuluh tahun dengan Arham itu heran melihat keponakannya yang terus menerus memandangi ponselnya itu dengan wajah berbinar.Arham tak menjawab, dia malah tersenyum memandang langit."Aduh, Ham! Jangan bikin Tante takut deh! Kamu nggak kerasukan setan kan, Ham?" Lidya memegang pipi Arham."Ah, Tante apaan sih." Arham geli dipegang-pegang pipinya begitu. Dia menghindari Tantenya."Lha kamu aneh, Ham. Beneran, dari tadi sore bengong, senyam-senyum. Dikit-dikit lirik ponsel, serem tau nggak,"Arham menghela napasnya."Yah, keponakan Tante ini hanya lagi senang aja. Tadi pagi, Arham baru aja ketemu cewek.""Cewek baru? Lha si Varisa gimana?""Kenapa bawa-bawa Varisa sih?""Lha emang kamu udah putus sama Varisa?