“We will never be the same again until someone you trust breaks the glass and make it to the pieces.”
_______
Ruangan Arthemis kali ini terlihat ramai. Selain para maid, Jeremy dan Aphrodite, Mom dan daddy-nya datang untuk menjemputnya sekaligus memberikan kabar berita untuk Arthemis. Hari ini Arthemis diperbolehkan untuk pulang.
"Sidang selanjutnya akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Kau yakin untuk datang, honey?" tanya Christine. Raut wajahnya terlihat khawatir.
"It's okay, Mom. Aku sudah pulih. Kesaksianku penting di persidangan," ucap Arthemis.
"Di sidang sebelumnya, alibi dari pihak tersangka cukup kuat untuk membantah tuduhanmu. Bukti CCTV di mana Candice berada di hari dan di tempat kejadian kecelakaanmu tidak ada. Wanita itu berada di penthouse-nya saat itu. Polisi sudah mengecek kebenarannya. Dan benar, wanita itu berkata jujur," papar Dareen.
"Aku yakin sekali, Dad. Wanita itu meneleponku sebelum kecelakaan itu terjadi. Aku tahu suaranya, dan begitu kulihat dari kaca tengah mobil, wanita itu ada di mobil belakangku. Aku tidak mungkin berhalusinasi," sanggah Arthemis.
"It's okay, riwayat panggilanmu yang terhapus sudah dipulihkan. Kita bisa membuktikannya dari sana," jawab Dareen.
"Ya benar, kau tidak perlu khawatir. Lagi pula jika nomor yang digunakan itu memang mengarah pada orang lain, dan orang itu yang mencoba membunuhmu, kita bisa membuatnya berbicara siapa yang memerintahkannya," ujar Jeremy.
"Yeah, lagi pula Dad sudah membuat konsekuensi pada mereka. Berita mengenai Candice yang memiliki skandal dengan kekasihmu serta berita tentangnya yang mencoba untuk membunuhmu diberitakan di mana-mana. Reputasinya yang sekarang sebagai model menurun, kredibilitasnya diragukan oleh banyak pihak yang mempunyai kerja sama dengannya. Hal itu tentu berpengaruh bagi perusahaan keluarga Brown yang mengalami collaps," timpal Aphrodite.
"Benar, dengan nilai saham mereka yang sekarang, mereka terancam bangkrut jika berita skandal itu tak juga berhenti diberitakan. Mereka sudah terdesak, kita juga bisa memenangkan persidangan dengan keadaan yang mendukung kita," sahut Dareen.
Arthemis menghela napasnya. "But, kita tidak ada yang tahu saat di persidangan nanti akan berakhir seperti apa. Kita tidak tahu apa yang direncanakan Candice. Dia dan keluarganya sangat licik, mereka bisa menggunakan segala cara untuk memenangkannya. Jangan lupakan apa yang telah ia lakukan tiga tahun lalu."
"Tapi jika memang keadaan dapat berbalik, aku juga sudah memikirkan untuk menyerahkannya. Lagi pula bukankah Dad telah membuat nilai saham mereka jatuh, bukan? Terlebih, karir Candice pun diambang kehancuran. Tentu itu sangat berpengaruh bagi mereka, 'kan?" lanjutnya.
"Arthemis, apa maksudmu kau ingin menyerah begitu saja? Wanita ular itu tidak bisa dibiarkan lolos," sergah Aphrodite. Gadis itu tidak setuju jika Arthemis lebih cepat mengalah pada Candice.
"Okay-okay, kita bisa bicarakan ini nanti. Lihat, pakaianku dan lainnya sudah dirapikan. Sekarang lebih baik kita keluar dari rumah sakit ini sekarang juga. Berlama-lama di sini membuatku semakin merasa sakit saja," keluh Arthemis.
Aphrodite melihat ke arah sekelilingnya. Arthemis benar, para maid sudah merapikan semuanya. Mereka bisa pergi sekarang juga.
"Baiklah, mari kita pulang. Aku sudah tidak sabar menjahilimu lagi," kelakar Aphrodite disertai seringainnya.
Arthemis hanya memutar bola matanya. Lalu dengan gemas, wanita itu mencubit lengan Aphrodite kencang.
"Aw! Kau menyakitiku, Arthemis. Aku tidak yakin kau adalah pasien rumah sakit yang baru pulih," gerutu Aphrodite seraya mengelus lengannya.
"Okay, girls. Sekarang waktunya kita pulang. Chop, chop, kalian bisa melanjutkannya setelah sampai rumah," tandas Jeremy menengahi sebelum Kakak-Adik itu membuat kegaduhan di rumah sakit.
_______
"Terima kasih telah merawat putriku dengan baik. Maafkan aku sebelumnya, namun aku terpaksa menahanmu berhenti dari pekerjaanmu karena kau yang terbaik," ucap Dareen ketika mereka sampai di depan mobil yang terparkir di lobi gedung rumah sakit.
"Oh ya, benar. Seharusnya aku sudah berhenti beberapa bulan yang lalu, tapi itu bukan masalah besar, Sir, " sahutnya seraya terkekeh.
"Tidak salah jika aku mengandalkanmu. Semoga, hubungan dan kerja sama kita terus terjalin. Orang tuamu pasti sangat bangga," ujar Dareen seraya menjabat tangan pria itu dan menepuknya beberapa kali.
Pria penerus Antonovich Group itu tertawa kecil dan tersenyum hangat. "Aku sangat senang bisa membantu anda dan keluarga. Arthemis adalah wanita yang kuat," puji Dimitri. Netranya mengarah pada Arthemis yang berada di kursi roda, sorot matanya terlihat bersinar saat menatap wanita itu.
"Yeah, itu benar. Mungkin sebentar lagi ia akan melakukan adegan salto di filmnya," kelakar pria paruh baya itu seraya tertawa lebar.
"Dad, bisakah kau meninggalkanku? Ada hal yang ingin kubicarakan dengan Dimitri," sela Arthemis di tengah percakapan mereka.
"Tentu saja, Darling. Baiklah, kalau begitu aku duluan. Banyak hal yang menanti kami. Arthemis bersama Jeremy dan Aphrodite," tuturnya seraya menarik pinggang Christine yang berada di sampingnya. Pria itu kembali menjabat tangan Dimitri dengan tegas sebelum masuk ke dalam mobil yang ada di depan.
Dimitri membungkukkan tubuhnya saat mobil yang ditumpangi Dareen dan istrinya melaju pergi. Jeremy dan Aphrodite masuk ke dalam mobil terlebih dahulu untuk memberikan ruang bagi Arthemis berbicara.
"Dimitri, sebelumnya aku sangat berterima kasih kepadamu. Bukan hanya tentang dirimu yang telah merawatku dengan baik, namun atas segala perhatianmu kepadaku." Arthemis memulai perkataannya setelah bunyi pintu mobil yang tertutup terdengar.
Mata hijau emerald Dimitri menatap Arthemis, pria itu tersenyum tulus. "Dengan senang hati. It's not a big deal," ucapnya.
Arthemis menarik napasnya. "Seharusnya, kau tidak perlu melakukan itu. Tapi, bolehkah aku meminta satu hal kepadamu?"
Kedua alis Dimitri tertarik ke atas, "Ya, apa itu?" jawabnya.
"Aku mohon, bisakah kau melupakannya saja? Lupakan kejadian sore itu dan semuanya. Anggaplah semua itu tidak terjadi," pintanya. Sorot mata dan suaranya terdengar serius.
Untuk beberapa saat, ada hening yang lama di antara mereka. Mata hijau Dimitri menjelajahi wajah Arthemis. Seolah mencari-cari kebenaran dari mata wanita itu. Namun, pria itu tahu jika perkataan Arthemis tidaklah main-main. Wanita itu serius.
Dimitri menghela napasnya dan pada akhirnya pria itu mengangguk. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam sneli putih yang membalutnya. "Yeah, baiklah jika itu permintaanmu. Aku tidak bisa memaksamu jika itu keputusanmu, your choice. Semoga kau bisa menemukan titik terang dan kebahagiaanmu," ucapnya.
Pria itu mengakui jika ia tertarik dengan Arthemis, namun Dimitri cukup paham apa yang dikatakan wanita itu adalah batasan baginya untuk sampai di sini saja.
Senyum simpul tersungging di bibir Arthemis. Wanita itu bersyukur Dimitri tidak menanyakan hal yang lebih. Ia rasa, Dimitri mengerti akan perkataannya.
"Baiklah, thanks kalau begitu. Aku juga berharap yang sama denganmu.Good bye, Dimitri," pamitnya.
"Good bye, Arthemis," ucap Dimitri untuk yang terakhir kalinya sebelum seorang bodyguard membantu wanita itu masuk ke dalam mobil. Matanya tak lepas dari Arthemis, hingga mobil yang ada di depannya itu melaju keluar dari area rumah sakit menyisakan dirinya sendiri di lobi gedung Antonovich Medical Center.
“Actually, this beautiful world is full of shit. _________ Sepanjang perjalanan, pandangan Arthemis menatap ke arah luar jendela mobil. Netranya mengarah pada lautan manusia yang berada di pinggir trotoar Kota New York, dan kendaraan yang melintas di sekitar jalanan yang padat—Mereka semua menuju kediaman Dareen dam Christine yang berada di Philadelphia. Kepalanya ia topangkan pada siku kirinya di pinggir pintu mobil. Di sampingnya ada Aphrodite, dan di bangku depannya ada seorang supir, lalu Jeremy di bangku penumpang. Pikirannya saat ini tertuju pada Dimitri. Dokter yang ia lihat pertama kali saat membuka matanya ketika terbangun dari koma. Yang ia lihat saat itu hanya kedua manik hijau emerald milik Dimitri dan kacamatanya. Arthemis memikirkan bagaimana pria itu memeriksanya, dan bagaimana saat pria itu memeluknya untuk pertama kali di bawah langit sore yang diguyur hujan. Arthemis hanya bertanya-tanya; apaka
“I know, maybe I'm just a sinner. But i hope God heard me just this once.” _________ Suara elektrokardiograf berbunyi dengan konstan di tengah ruangan putih yang hening. Alat-alat penunjang kehidupan terpasang di sekitar tubuh seseorang yang terbaring dengan tenang di atas brankar rumah sakit yang lengang. Sudah hampir setengah tahun lamanya orang itu terbaring. Wajah dengan pipi tirus itu terlihat pucat dengan matanya yang cekung. Beberapa bekas luka terlihat di beberapa bagian tubuhnya. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah dua belas malam lewat tiga puluh menit. Kenop pintu ruangan itu berputar dan terbuka. Seorang dokter masuk ke dalam ruangan, mengecek keadaan orang itu sebelum menatapnya lama. Tidak ada yang dapat terbaca dari ekspresi wajahnya yang datar. Dokter itu hanya menghela napas pelan dan beranjak keluar dari ruangan. Belum ada tanda-tan
“We're all the sinner, we're all make the mistakes . But, we just human being who can choose to not do the same stupid again.” __________ Netra coklat dengan bulu mata lentik itu menatap infus yang menetes. Mata wanita itu masih terlihat sayu. Arthemis mengalihkan atensinya pada keadaan sekitar kamar yang luas. Sudah beberapa hari sejak dirinya terbangun. Arthemis masih merasa lemas. Ia hanya bisa bangun dan bersandar di tempat tidur untuk makan. Lama Arthemis menatap pintu kamarnya, ia sedang menunggu seseorang. Berharap, orang yang Arthemis pikirkan itu datang menemuinya setelah ia terbangun. Merasa lama menunggu, Arthemis akhirnya hanya bisa mengehela napas panjang. Di ruangan itu hanya ada dirinya sendirian. Adiknya —Aphrodite—yang masih menjadi mahasiswi tahun ketiga di FIT akan menemaninya setelah pulang. Orang tuanya bekerja, sahabatnya—Jeremy—pun bekerja. Hanya ada maid yang tadi ia suruh pergi dan
“People come and go in our life. In the end, life is basically about the meeting and one step closer to farewell.” ________ Arthemis menatap kosong hamparan rumput taman rumah sakit. Berita tentang mengenai dirinya yang sudah terbangun dari koma telah tersebar. Semua penggemar Arthemis menantikan dirinya kembali ke dunia hiburan. Tetapi, Arthemis tidak bersemangat akan hal itu. Seharusnya ia senang seperti biasanya. Namun, kejadian beberapa waktu yang lalu memang tidak bisa diabaikan dan dilupakan begitu saja. Kejadian yang menimpanya belakangan ini membuat Arthemis begitu terguncang. Arthemis ingin rehat sejenak meskipun ia sangat ingin bermain peran kembali. Netra coklat wanita itu menatap kedua kakinya yang tergantung di atas ayunan taman rumah sakit. Dada Arthemis kembali terasa terhimpit ketika mengingat kakinya pernah mengalami cidera serius karena kecalakaan di olimpiade pole dance. Kec
“Every day, life is just a scene from the past that keeps repeating itself like a tape. ” ________ "Di luar dugaan, keadaanmu lebih cepat pulih dari perkiraan sebelumnya. Mungkin lusa atau lebih cepat besok kau sudah boleh pulang, Arthemis," ucap Dimitri usai memeriksa wanita itu. Di ruangan itu hanya ada Arthemis sendirian dengan dua orang penjaga yang senantiasa berdiri di depan pintu—dan jangan lupakan beberapa orang yang juga berjaga di beberapa titik rumah sakit. Arthemis tidak mungkin membebani orang tua, Aphrodite atau Jeremy dengan menghambat aktivitas keseharian mereka demi menemaninya, ditambah mereka juga harus mengurus kelanjutan kasus tabrak-larinya. Arthemis hanya mengukir senyum. Wanita itu sudah sangat bosan di rumah sakit. Luka-lukanya juga sudah sembuh total. Arthemis bisa segera beraktivitas normal. Namun, wanita itu hanya bisa mengehela napas panjang. Semua ini belum usai. Melihat p
“Actually, this beautiful world is full of shit. _________ Sepanjang perjalanan, pandangan Arthemis menatap ke arah luar jendela mobil. Netranya mengarah pada lautan manusia yang berada di pinggir trotoar Kota New York, dan kendaraan yang melintas di sekitar jalanan yang padat—Mereka semua menuju kediaman Dareen dam Christine yang berada di Philadelphia. Kepalanya ia topangkan pada siku kirinya di pinggir pintu mobil. Di sampingnya ada Aphrodite, dan di bangku depannya ada seorang supir, lalu Jeremy di bangku penumpang. Pikirannya saat ini tertuju pada Dimitri. Dokter yang ia lihat pertama kali saat membuka matanya ketika terbangun dari koma. Yang ia lihat saat itu hanya kedua manik hijau emerald milik Dimitri dan kacamatanya. Arthemis memikirkan bagaimana pria itu memeriksanya, dan bagaimana saat pria itu memeluknya untuk pertama kali di bawah langit sore yang diguyur hujan. Arthemis hanya bertanya-tanya; apaka
“We will never be the same again until someone you trust breaks the glass and make it to the pieces.” _______ Ruangan Arthemis kali ini terlihat ramai. Selain para maid, Jeremy dan Aphrodite, Mom dan daddy-nya datang untuk menjemputnya sekaligus memberikan kabar berita untuk Arthemis. Hari ini Arthemis diperbolehkan untuk pulang. "Sidang selanjutnya akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Kau yakin untuk datang, honey?" tanya Christine. Raut wajahnya terlihat khawatir. "It's okay, Mom. Aku sudah pulih. Kesaksianku penting di persidangan," ucap Arthemis. "Di sidang sebelumnya, alibi dari pihak tersangka cukup kuat untuk membantah tuduhanmu. Bukti CCTV di mana Candice berada di hari dan di tempat kejadian kecelakaanmu tidak ada. Wanita itu berada di penthouse-nya saat itu. Polisi sudah mengecek kebenarannya. Dan benar, wanita itu berkata jujur," papar Dareen.
“Every day, life is just a scene from the past that keeps repeating itself like a tape. ” ________ "Di luar dugaan, keadaanmu lebih cepat pulih dari perkiraan sebelumnya. Mungkin lusa atau lebih cepat besok kau sudah boleh pulang, Arthemis," ucap Dimitri usai memeriksa wanita itu. Di ruangan itu hanya ada Arthemis sendirian dengan dua orang penjaga yang senantiasa berdiri di depan pintu—dan jangan lupakan beberapa orang yang juga berjaga di beberapa titik rumah sakit. Arthemis tidak mungkin membebani orang tua, Aphrodite atau Jeremy dengan menghambat aktivitas keseharian mereka demi menemaninya, ditambah mereka juga harus mengurus kelanjutan kasus tabrak-larinya. Arthemis hanya mengukir senyum. Wanita itu sudah sangat bosan di rumah sakit. Luka-lukanya juga sudah sembuh total. Arthemis bisa segera beraktivitas normal. Namun, wanita itu hanya bisa mengehela napas panjang. Semua ini belum usai. Melihat p
“People come and go in our life. In the end, life is basically about the meeting and one step closer to farewell.” ________ Arthemis menatap kosong hamparan rumput taman rumah sakit. Berita tentang mengenai dirinya yang sudah terbangun dari koma telah tersebar. Semua penggemar Arthemis menantikan dirinya kembali ke dunia hiburan. Tetapi, Arthemis tidak bersemangat akan hal itu. Seharusnya ia senang seperti biasanya. Namun, kejadian beberapa waktu yang lalu memang tidak bisa diabaikan dan dilupakan begitu saja. Kejadian yang menimpanya belakangan ini membuat Arthemis begitu terguncang. Arthemis ingin rehat sejenak meskipun ia sangat ingin bermain peran kembali. Netra coklat wanita itu menatap kedua kakinya yang tergantung di atas ayunan taman rumah sakit. Dada Arthemis kembali terasa terhimpit ketika mengingat kakinya pernah mengalami cidera serius karena kecalakaan di olimpiade pole dance. Kec
“We're all the sinner, we're all make the mistakes . But, we just human being who can choose to not do the same stupid again.” __________ Netra coklat dengan bulu mata lentik itu menatap infus yang menetes. Mata wanita itu masih terlihat sayu. Arthemis mengalihkan atensinya pada keadaan sekitar kamar yang luas. Sudah beberapa hari sejak dirinya terbangun. Arthemis masih merasa lemas. Ia hanya bisa bangun dan bersandar di tempat tidur untuk makan. Lama Arthemis menatap pintu kamarnya, ia sedang menunggu seseorang. Berharap, orang yang Arthemis pikirkan itu datang menemuinya setelah ia terbangun. Merasa lama menunggu, Arthemis akhirnya hanya bisa mengehela napas panjang. Di ruangan itu hanya ada dirinya sendirian. Adiknya —Aphrodite—yang masih menjadi mahasiswi tahun ketiga di FIT akan menemaninya setelah pulang. Orang tuanya bekerja, sahabatnya—Jeremy—pun bekerja. Hanya ada maid yang tadi ia suruh pergi dan
“I know, maybe I'm just a sinner. But i hope God heard me just this once.” _________ Suara elektrokardiograf berbunyi dengan konstan di tengah ruangan putih yang hening. Alat-alat penunjang kehidupan terpasang di sekitar tubuh seseorang yang terbaring dengan tenang di atas brankar rumah sakit yang lengang. Sudah hampir setengah tahun lamanya orang itu terbaring. Wajah dengan pipi tirus itu terlihat pucat dengan matanya yang cekung. Beberapa bekas luka terlihat di beberapa bagian tubuhnya. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah dua belas malam lewat tiga puluh menit. Kenop pintu ruangan itu berputar dan terbuka. Seorang dokter masuk ke dalam ruangan, mengecek keadaan orang itu sebelum menatapnya lama. Tidak ada yang dapat terbaca dari ekspresi wajahnya yang datar. Dokter itu hanya menghela napas pelan dan beranjak keluar dari ruangan. Belum ada tanda-tan