“We're all the sinner, we're all make the mistakes . But, we just human being who can choose to not do the same stupid again.”
__________
Netra coklat dengan bulu mata lentik itu menatap infus yang menetes. Mata wanita itu masih terlihat sayu. Arthemis mengalihkan atensinya pada keadaan sekitar kamar yang luas.
Sudah beberapa hari sejak dirinya terbangun. Arthemis masih merasa lemas. Ia hanya bisa bangun dan bersandar di tempat tidur untuk makan. Lama Arthemis menatap pintu kamarnya, ia sedang menunggu seseorang. Berharap, orang yang Arthemis pikirkan itu datang menemuinya setelah ia terbangun.
Merasa lama menunggu, Arthemis akhirnya hanya bisa mengehela napas panjang. Di ruangan itu hanya ada dirinya sendirian. Adiknya —Aphrodite—yang masih menjadi mahasiswi tahun ketiga di FIT akan menemaninya setelah pulang. Orang tuanya bekerja, sahabatnya—Jeremy—pun bekerja. Hanya ada maid yang tadi ia suruh pergi dan dua penjaga di depan pintu. Arthemis masih berharap Steven datang.
Pandangannya terlihat kosong ketika bayangan Steven dengan matanya yang sebiru laut terlintas. Arthemis merindukanya. Sangat.
Karena lama menunggu, ia sampai sempat tertidur. Arthemis masih memejamkan matanya saat tiba-tiba saja pintu ruangan terbuka. Arthemis membuka kedua matanya perlahan dan menoleh ke arah pintu.
Arthemis mematung ketika orang yang dinantikannya datang. Di sana, pria itu berdiri tegak dengan topinya, kacamata hitam pria itu bertengger di tengah kausnya yang ia kenakan. Steven masih terlihat sama. Pria itu menatapnya dengan pandangan tak percaya. Pria itu juga merindukan Arthemis. Tapi seketika, jantung pria itu serasa diremas ketika ia mengingat tujuan kedatangannya.
Perlahan, pria itu melangkahkan kakinya mendekati ranjang. Semakin mendekat, Arthemis semakin sesak. Setetes air matanya jatuh di atas tangannya saat Steven sampai tepat di hadapannya.
Steven melambai, "Hai…," sapanya lirih dengan suaranya yang serak.
Pria itu kembali membuka mulutnya, "I'm so—"
Pria itu terbungkam sebelum menyelesaikan kalimatnya. Arthemis menempelkan telunjuknya di atas bibir Steven. Wanita itu menggeleng, "Jangan mengatakan jika kau akan meminta maaf, Steve. Cukup," gelengnya. Wanita itu bergerak menghapus satu titik air matanya.
"Aku merindukanmu," lanjut Arthemis. Wanita itu segera menghambur memeluk pinggang Steven. Pria itu hendak menghindar, namun urung ketika Arthemis memeluknya erat.
Steven tak menyangka dengan respons Arthemis. Tangan pria itu masih tergantung di udara—Ragu untuk membalas pelukan wanita itu. Namun, pada akhirnya Steven balas memeluk Arthemis tak kalah erat, pria itu menyalurkan segala perasaan rindunya pada Arthemis yang membumbung. Segala perasaan sesal dan risaunya bercampur dalam satu momen.
Steven melepaskan pelukan itu. Seketika, Arthemis merasa kosong. "Kenapa?" tanya Arthemis.
"Are you okay?" tanyanya kembali.
Mendengarnya, Steven hanya menghela napasnya panjang. Pria itu gelisah dengan tujuannya kemari.
"I'm okay. I just… I just wanna tell you something."
"Uh hum, aku mendengarkan. Kenapa kau baru kemari? Aku menunggumu omong-omong," ucap Arthemis. Steven mengalihkan pandangannya pada tirai jendela kamar rumah sakit Arthemis. Pria itu bingung bagaimana caranya ia harus mengatakannya pada Arthemis.
Akhirnya pria itu menarik kursi dan duduk di depannya. Tangan pria itu tertaut dengan satu tangannya yang berada di atas tempat tidur. Arthemis masih menatapnya, menunggu untuk Steven memulai.
"Aku beberapa kali menjengukmu. Namun, Aphrodite menghalangiku. Aku jadi sulit untuk menemuimu. I'm sorry," ucap Steven. Kalimat itu hanyalah pembuka sebelum Steven mengatakan tujuan utamanya.
"Oh, that's okay. Yang terpenting kau datang. We are still good, right?" tanya Arthemis. Seketika tenggerokan Steven tercekat.
Pria itu meraih tangan Arthemis dan menggenggamnya. "Dengar, Arthemis. I'm sorry to say this, tapi kurasa... Sepertinya kita tidak dapat melanjutkannya lagi. It never really works, Arthemis. I'm sorry," ucap pria itu yang membuat Arthemis mengerutkan alisnya.
"Sorry? Steven apa maksudmu? Bicara yang jelas." Entah mengapa ia merasa tidak tenang, Arthemis tidak ingin Steven mengatakan maksudnya.
"Kau tahu apa yang kumaksud Arthemis, kau jelas tahu. Jangan membuat aku mengulangi dan memperjelas semuanya," ucap pria itu menatap Arthemis putus asa.
Arthemis semakin mengerutkan alisnya. Air mukanya terlihat tidak enak. Wanita itu melepaskan tangannya dari tangan Steven.
"Maksudmu, kau ingin mengakhirinya?" terka Arthemis. "We break up? Again? " Nada suaranya meninggi di akhir kalimatnya, terdengar tidak percaya. Wanita itu menggelengkan kepalanya.
"Yes, we break up. We're over, Arthemis!" Steven menarik napasnya. Pria itu menekan ujung pangkal hidungnya.
Bibir Arthemis terbuka, "K-kenapa? " Arthemis terbata, "Bukankah kita berjanji akan saling berusaha membangunnya? Okay, i know hubungan kita tidaklah sempurna. But we're worth it. Bukan kah kau juga berjanji akan memperbaikinya?" tanya Arthemis retoris. Wanita itu tak menyangka jika kedatangan Steven hanya untuk mengatakan ini.
"Kita pasti bisa melakukannya lagi, Steve. Hubungan kita layak untuk diperjuangkan. Kau tak bisa mengakhirinya," ucap Arthemis. Wanita itu tidak ingin melepaskan Steven begitu saja. Arthemis tak ingin menyerah dengan mudah agar hubungannya bisa kembali membaik, mereka berdua telah berjuang hingga sejauh ini.
"No, we can't, Arthemis," tampik Steven.
"Yes, we can, Steve! Kita sedang berusaha!" tegas Arthemis. Wanita itu tak percaya jika Steven bersikeras untuk mengakhirinya.
"You still don't understand, Arthemis! We're not good anymore!" Suara Steven yang meninggi membuat Arthemis seketika bungkam, Arthemis mengedip dan wanita itu sedikit menjauhkan dirinya. Steven membuang pandangannya dan menyugar rambutnya frustasi. Pria itu tidak berniat untuk bertengkar. Pria itu berniat mengatakannya baik-baik, namun Steven hilang kendali karena Arthemis tidak juga mengerti.
"Katakan padaku apa yang tidak aku ketahui. Apa yang tidak aku mengerti? Katakan apa salahku?!" pekiknya. Arthemis menggeleng, ia tidak tahu apa yang ia lewatkan selama ia koma. Apakah ia tertidur terlalu lama?
"It's not about me, not about your fault. It's all about us, Arthemis!" Steven menelan ludahnya. Pria itu memandang Arthemis dengan memohon.
"Please, jangan membuat semuanya terasa lebih rumit lagi," mohonnya.
Arthemis tidak mempercayainya. Seketika ia tersadar, wanita itu tiba-tiba menganggukan kepalanya. "Okay, i know. I know it's not about us. It's all about her, isn't it? You're liar! How dare you!" Wanita itu mendesis. Dirinya semakin tidak percaya melihat Steven yang semakin bungkam dan menundukkan kepalanya.
"Look at me, Steven! Look at me! Tell me if you're not back to her again!
"Yes! We're back together! I'm sorry about it! I'm sorry Arthemis," ucap Steven pada akhirnya.
Seketika dada Arthemis sesak, napas wanita itu memburu dengan pandangannya yang semakin memburam. Arthemis memegang dadanya dengan tangan terkepal, setetes air mata jatuh menuruni pipinya. Wanita itu mencoba mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengisi dadanya yang sesak.
Lagi. Sekali lagi Steven menyakitinya, pria itu dengan tega kembali pada wanita itu di belakangnya. Pria itu menghempaskan perasaan Arthemis hingga ke dasar.
Pria itu sekali lagi kembali mengulang kesalahannya. Tak peduli seberapa besar Arthemis mencintainya, pria itu tetaplah dirinya yang brengsek.
"God! I believe you, Steven! Why?! Bahkan setelah apa yang kau lakukan, kau tetap menyakitiku?! Dan apa? Dengan dia? Aku tidak mempercayaimu! Aku ada di sini karena dia!" hardiknya.
"I should do. Aku perlu di sampingnya karena kau menuduh dia melakukannya!" sergahnya. Arthemis muak melihatnya. Sangat muak!
"Bagaimana denganku? Aku juga membutuhkanmu di sampingku, Steven! Aku lebih membutuhkanmu! Bukan dia!" Arthemis tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Wanita itu sangat marah dengan keputusan Steven.
"Aku harus! Karena dia mengandung anakku, Arthemis!" Pada Akhirnya, Steven mengeluarkan amunisi terakhirnya.
Bagai tersambar petir, Arthemis mencelos. Dada wanita itu bagai tertimpa bongkahan batu besar.
"what?"
Kapan mereka melakakukannya?
Seketika Arthemis tersadar, sudah pasti saat ia koma Steven melakukannya dengan Candice. Wanita itu menatap nanar Steven, "Dan kau memaafkannya? Setelah apa yang ia lakukan kepadaku? Aku di sini karenanya! Karena dia yang mencelakaiku, Steven! Tidakkah kau lupa akan itu, hah?!" jeritnya.
"You don't have any proves, Arthemis. Tolong, jangan membuatku melakukan hal yang semakin menyakiti dirimu. Cukup sudah, aku tidak bisa menahannya lagi. Aku sudah cukup berusaha untuk mempertahankannya. Mengertilah, it never really works again," tandasnya. Perkataan Steven mematahkan harapan Arthemis.
Sekali lagi Arthemis menatap Steven tak percaya. Air mata masih membanjiri pipinya. "You betrayed me, Steven! Twice! Again!"
Steven menunduk, pria itu mengangguk. "Yes, i know it. I really sorry." Pria itu menunduk.
"No matter how much i love you, you still hurt me! You're still a traitor, Steven!" makinya.
"Sorry," ucap Steven sekali lagi yang justru membuat Arthemis bertambah muak. Pria itu hanya bisa mengucapkan maaf seolah itu adalah hal yang bisa diselesaikan dengan kata maaf. Seolah kata maaf itu sendiri hanya bermakna kosong.
"Kau terlalu banyak meminta maaf, Steven. Just get the hell out of here! 'Cause i'm really sick of all this!" Arthemis mengetatkan rahangnya.
"Keluar!" usirnya ketika Steven masih bergeming. Pria itu menarik napasnya dan beranjak.
Masih dengan air matanya, gadis itu menatap Steven yang mulai berjalan menjauhinya. Ketika Steven berada di depan pintu, pria itu berbalik. Arthemis menatapnya dengan kebencian.
"You know what? You're such a dick! Fuck you!" umpat Arthemis sebelum Steven memutuskan untuk membuka pintu dan pergi. Arthemis menatap nanar kepergian Steven dengan punggungnya yang bergetar.
Saat Steven menutup pintu, pria itu berpapasan dengan dokter berkacamata yang merawat. Arthemis, pria itu tidak memedulikannya meskipun dokter itu mendengarnya. Karena ia dan Arthemis benar-benar telah usai.
Sementara di dalam sana, tangis Arthemis yang pecah selepas kepergian Steven terdengar hingga keluar ruangan. Wanita itu memeluk lututnya dan menangis kencang.
Brengsek! Brengsek! Brengsek!
Arthemis bodoh bisa jatuh ke dalam lubang yang sama. Jika memang Steven berniat untuk menyakitinya sedari awal, maka Arthemis akan mengakuinya; pria itu berhasil menyakitinya. Ia berhasil melakukannya dengan sangat baik.
“People come and go in our life. In the end, life is basically about the meeting and one step closer to farewell.” ________ Arthemis menatap kosong hamparan rumput taman rumah sakit. Berita tentang mengenai dirinya yang sudah terbangun dari koma telah tersebar. Semua penggemar Arthemis menantikan dirinya kembali ke dunia hiburan. Tetapi, Arthemis tidak bersemangat akan hal itu. Seharusnya ia senang seperti biasanya. Namun, kejadian beberapa waktu yang lalu memang tidak bisa diabaikan dan dilupakan begitu saja. Kejadian yang menimpanya belakangan ini membuat Arthemis begitu terguncang. Arthemis ingin rehat sejenak meskipun ia sangat ingin bermain peran kembali. Netra coklat wanita itu menatap kedua kakinya yang tergantung di atas ayunan taman rumah sakit. Dada Arthemis kembali terasa terhimpit ketika mengingat kakinya pernah mengalami cidera serius karena kecalakaan di olimpiade pole dance. Kec
“Every day, life is just a scene from the past that keeps repeating itself like a tape. ” ________ "Di luar dugaan, keadaanmu lebih cepat pulih dari perkiraan sebelumnya. Mungkin lusa atau lebih cepat besok kau sudah boleh pulang, Arthemis," ucap Dimitri usai memeriksa wanita itu. Di ruangan itu hanya ada Arthemis sendirian dengan dua orang penjaga yang senantiasa berdiri di depan pintu—dan jangan lupakan beberapa orang yang juga berjaga di beberapa titik rumah sakit. Arthemis tidak mungkin membebani orang tua, Aphrodite atau Jeremy dengan menghambat aktivitas keseharian mereka demi menemaninya, ditambah mereka juga harus mengurus kelanjutan kasus tabrak-larinya. Arthemis hanya mengukir senyum. Wanita itu sudah sangat bosan di rumah sakit. Luka-lukanya juga sudah sembuh total. Arthemis bisa segera beraktivitas normal. Namun, wanita itu hanya bisa mengehela napas panjang. Semua ini belum usai. Melihat p
“We will never be the same again until someone you trust breaks the glass and make it to the pieces.” _______ Ruangan Arthemis kali ini terlihat ramai. Selain para maid, Jeremy dan Aphrodite, Mom dan daddy-nya datang untuk menjemputnya sekaligus memberikan kabar berita untuk Arthemis. Hari ini Arthemis diperbolehkan untuk pulang. "Sidang selanjutnya akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Kau yakin untuk datang, honey?" tanya Christine. Raut wajahnya terlihat khawatir. "It's okay, Mom. Aku sudah pulih. Kesaksianku penting di persidangan," ucap Arthemis. "Di sidang sebelumnya, alibi dari pihak tersangka cukup kuat untuk membantah tuduhanmu. Bukti CCTV di mana Candice berada di hari dan di tempat kejadian kecelakaanmu tidak ada. Wanita itu berada di penthouse-nya saat itu. Polisi sudah mengecek kebenarannya. Dan benar, wanita itu berkata jujur," papar Dareen.
“Actually, this beautiful world is full of shit. _________ Sepanjang perjalanan, pandangan Arthemis menatap ke arah luar jendela mobil. Netranya mengarah pada lautan manusia yang berada di pinggir trotoar Kota New York, dan kendaraan yang melintas di sekitar jalanan yang padat—Mereka semua menuju kediaman Dareen dam Christine yang berada di Philadelphia. Kepalanya ia topangkan pada siku kirinya di pinggir pintu mobil. Di sampingnya ada Aphrodite, dan di bangku depannya ada seorang supir, lalu Jeremy di bangku penumpang. Pikirannya saat ini tertuju pada Dimitri. Dokter yang ia lihat pertama kali saat membuka matanya ketika terbangun dari koma. Yang ia lihat saat itu hanya kedua manik hijau emerald milik Dimitri dan kacamatanya. Arthemis memikirkan bagaimana pria itu memeriksanya, dan bagaimana saat pria itu memeluknya untuk pertama kali di bawah langit sore yang diguyur hujan. Arthemis hanya bertanya-tanya; apaka
“I know, maybe I'm just a sinner. But i hope God heard me just this once.” _________ Suara elektrokardiograf berbunyi dengan konstan di tengah ruangan putih yang hening. Alat-alat penunjang kehidupan terpasang di sekitar tubuh seseorang yang terbaring dengan tenang di atas brankar rumah sakit yang lengang. Sudah hampir setengah tahun lamanya orang itu terbaring. Wajah dengan pipi tirus itu terlihat pucat dengan matanya yang cekung. Beberapa bekas luka terlihat di beberapa bagian tubuhnya. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah dua belas malam lewat tiga puluh menit. Kenop pintu ruangan itu berputar dan terbuka. Seorang dokter masuk ke dalam ruangan, mengecek keadaan orang itu sebelum menatapnya lama. Tidak ada yang dapat terbaca dari ekspresi wajahnya yang datar. Dokter itu hanya menghela napas pelan dan beranjak keluar dari ruangan. Belum ada tanda-tan
“Actually, this beautiful world is full of shit. _________ Sepanjang perjalanan, pandangan Arthemis menatap ke arah luar jendela mobil. Netranya mengarah pada lautan manusia yang berada di pinggir trotoar Kota New York, dan kendaraan yang melintas di sekitar jalanan yang padat—Mereka semua menuju kediaman Dareen dam Christine yang berada di Philadelphia. Kepalanya ia topangkan pada siku kirinya di pinggir pintu mobil. Di sampingnya ada Aphrodite, dan di bangku depannya ada seorang supir, lalu Jeremy di bangku penumpang. Pikirannya saat ini tertuju pada Dimitri. Dokter yang ia lihat pertama kali saat membuka matanya ketika terbangun dari koma. Yang ia lihat saat itu hanya kedua manik hijau emerald milik Dimitri dan kacamatanya. Arthemis memikirkan bagaimana pria itu memeriksanya, dan bagaimana saat pria itu memeluknya untuk pertama kali di bawah langit sore yang diguyur hujan. Arthemis hanya bertanya-tanya; apaka
“We will never be the same again until someone you trust breaks the glass and make it to the pieces.” _______ Ruangan Arthemis kali ini terlihat ramai. Selain para maid, Jeremy dan Aphrodite, Mom dan daddy-nya datang untuk menjemputnya sekaligus memberikan kabar berita untuk Arthemis. Hari ini Arthemis diperbolehkan untuk pulang. "Sidang selanjutnya akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Kau yakin untuk datang, honey?" tanya Christine. Raut wajahnya terlihat khawatir. "It's okay, Mom. Aku sudah pulih. Kesaksianku penting di persidangan," ucap Arthemis. "Di sidang sebelumnya, alibi dari pihak tersangka cukup kuat untuk membantah tuduhanmu. Bukti CCTV di mana Candice berada di hari dan di tempat kejadian kecelakaanmu tidak ada. Wanita itu berada di penthouse-nya saat itu. Polisi sudah mengecek kebenarannya. Dan benar, wanita itu berkata jujur," papar Dareen.
“Every day, life is just a scene from the past that keeps repeating itself like a tape. ” ________ "Di luar dugaan, keadaanmu lebih cepat pulih dari perkiraan sebelumnya. Mungkin lusa atau lebih cepat besok kau sudah boleh pulang, Arthemis," ucap Dimitri usai memeriksa wanita itu. Di ruangan itu hanya ada Arthemis sendirian dengan dua orang penjaga yang senantiasa berdiri di depan pintu—dan jangan lupakan beberapa orang yang juga berjaga di beberapa titik rumah sakit. Arthemis tidak mungkin membebani orang tua, Aphrodite atau Jeremy dengan menghambat aktivitas keseharian mereka demi menemaninya, ditambah mereka juga harus mengurus kelanjutan kasus tabrak-larinya. Arthemis hanya mengukir senyum. Wanita itu sudah sangat bosan di rumah sakit. Luka-lukanya juga sudah sembuh total. Arthemis bisa segera beraktivitas normal. Namun, wanita itu hanya bisa mengehela napas panjang. Semua ini belum usai. Melihat p
“People come and go in our life. In the end, life is basically about the meeting and one step closer to farewell.” ________ Arthemis menatap kosong hamparan rumput taman rumah sakit. Berita tentang mengenai dirinya yang sudah terbangun dari koma telah tersebar. Semua penggemar Arthemis menantikan dirinya kembali ke dunia hiburan. Tetapi, Arthemis tidak bersemangat akan hal itu. Seharusnya ia senang seperti biasanya. Namun, kejadian beberapa waktu yang lalu memang tidak bisa diabaikan dan dilupakan begitu saja. Kejadian yang menimpanya belakangan ini membuat Arthemis begitu terguncang. Arthemis ingin rehat sejenak meskipun ia sangat ingin bermain peran kembali. Netra coklat wanita itu menatap kedua kakinya yang tergantung di atas ayunan taman rumah sakit. Dada Arthemis kembali terasa terhimpit ketika mengingat kakinya pernah mengalami cidera serius karena kecalakaan di olimpiade pole dance. Kec
“We're all the sinner, we're all make the mistakes . But, we just human being who can choose to not do the same stupid again.” __________ Netra coklat dengan bulu mata lentik itu menatap infus yang menetes. Mata wanita itu masih terlihat sayu. Arthemis mengalihkan atensinya pada keadaan sekitar kamar yang luas. Sudah beberapa hari sejak dirinya terbangun. Arthemis masih merasa lemas. Ia hanya bisa bangun dan bersandar di tempat tidur untuk makan. Lama Arthemis menatap pintu kamarnya, ia sedang menunggu seseorang. Berharap, orang yang Arthemis pikirkan itu datang menemuinya setelah ia terbangun. Merasa lama menunggu, Arthemis akhirnya hanya bisa mengehela napas panjang. Di ruangan itu hanya ada dirinya sendirian. Adiknya —Aphrodite—yang masih menjadi mahasiswi tahun ketiga di FIT akan menemaninya setelah pulang. Orang tuanya bekerja, sahabatnya—Jeremy—pun bekerja. Hanya ada maid yang tadi ia suruh pergi dan
“I know, maybe I'm just a sinner. But i hope God heard me just this once.” _________ Suara elektrokardiograf berbunyi dengan konstan di tengah ruangan putih yang hening. Alat-alat penunjang kehidupan terpasang di sekitar tubuh seseorang yang terbaring dengan tenang di atas brankar rumah sakit yang lengang. Sudah hampir setengah tahun lamanya orang itu terbaring. Wajah dengan pipi tirus itu terlihat pucat dengan matanya yang cekung. Beberapa bekas luka terlihat di beberapa bagian tubuhnya. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah dua belas malam lewat tiga puluh menit. Kenop pintu ruangan itu berputar dan terbuka. Seorang dokter masuk ke dalam ruangan, mengecek keadaan orang itu sebelum menatapnya lama. Tidak ada yang dapat terbaca dari ekspresi wajahnya yang datar. Dokter itu hanya menghela napas pelan dan beranjak keluar dari ruangan. Belum ada tanda-tan