'tuk tuk tuk'
Tidur Cansu terusik oleh suara seperti tapak sepatu kuda yang tengah berjalan. Wanita itu mengerjapkan mata sembari mengumpulkan kesadarannya.
Seketika matanya terbuka lebar saat ia teringat bahwa sebelumnya, wanita itu mendengar suara tapak sepatu kuda. Cansu buru-buru bangkit dari duduknya lalu melihat ke sekelilingnya.
Tidak jauh dari tempat ia berdiri, Cansu dapat melihat seekor kuda besar bewarna hitam tengah menikmati air sungai. Wanita itu memberanikan dirinya untuk mendekati hewan berkaki empat tersebut.
Langkah Cansu tiba-tiba terhenti. Karena, kuda hitam itu bergeser dari tempatnya berdiri. Sebenarnya, bukan hal itu yang membuat Cansu menghentikan langkahnya. Melainkan, sesosok pria yang tengah membasuh wajahnya di tepi sungai. Ternyata tubuh pria itu tertutupi oleh tubuh kuda hitam tadi sehingga Cansu tidak melihatnya. Ia tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana rupa pria itu karena posisinya yang sedikit membelakangi Cansu.
Wanita itu hendak melangkah mendekatinya. Namun, rasa ragu mendatangi Cansu. Bagaimanapun juga, Cansu belum mengenal pria itu. Bagaimana jika ia adalah seseorang dengan niat jahat. Atau seseorang seperti Gandhi yang membuatnya terjebak dalam masalah.
Namun, yang harus Cansu ketahui bahwa pria itu adalah manusia pertama yang ia temui di hutan antah berantah ini. Jadi, tidak ada salahnya mencoba. Walaupun, Cansu belum yakin bahwa pria itu bisa membantunya atau tidak.
Setelah meyakinkan dirinya, Cansu mulai melangkahkan kakinya dengan waspada mendekati pria itu. Akan tetapi, baru beberapa langkah ia berjalan, wanita itu kembali menghentikan langkahnya.
Cansu seketika membeku di tempat. Saat pria itu membalikkan badannya. Kini, tatapan keduanya bertemu. Napas Cansu tercekat saat melihat bagaimana rupa pria yang berdiri tidak jauh darinya itu.
Sungguh, pria itu adalah pria tertampan yang pernah Cansu lihat. Ia memiliki wajah yang begitu indah. Bagaikan patung dewa yang dipahat dengan penuh ketelitian.
Rahangnya yang tajam serta bibir merah yang memabukkan. Hidung tinggi yang menyempurnakan struktur wajahnya. Dan mata itu! Sepasang mata yang tengah menatapnya saat ini. Mata yang membuat Cansu seketika lupa cara untuk bersuara. Mata yang tajam dengan bulu mata selentik kelopak bunga. Jangan lupakan alis tebalnya yang menambah kesan mengintimidasi di kedua mata pria itu.
Cansu masih saja mematung di tempatnya, bahkan ketika tubuh gagah pria itu berjalan mendekatinya. Ia baru bergerak saat menyadari pria itu mendekat ke arahnya dengan sebuah belati yang ia genggam erat.
Cansu membulatkan matanya. Ia melangkah mundur. Namun, pria itu dengan gesit menangkap tubuhnya. Kini tubuh Cansu berada di dalam dekapan pria itu dengan sebuah belati yang tepat berada di lehernya.
"Siapa kau?"tanya pria itu.
Cansu dibuat merinding dengan suaranya yang begitu dalam menyentuh telinganya. Ditambah lagi dengan posisi mereka berdua yang begitu dekat.
Wanita itu bisa merasakan deru napas pria misterius itu menyapu permukaan wajahnya. Lutut Cansu seketika lemas saat lagi-lagi ia dihadapkan dengan sepasang mata indah itu.
"Apa mereka mengirimkanmu kali ini untuk memata-mataiku?"tanya pria itu sekali lagi namun, Cansu sama sekali tidak menjawabnya.
Pria itu semakin menajamkan tatapannya. "Jawab aku, atau kubunuh kau sekarang juga."ancamnya.
Cansu seketika tersentak kaget saat mendengar pria itu yang akan membunuhnya. Dengan terbata-bata, wanita itu menjawab, "Na--n-namaku, Cansu."
Pria itu masih menatapnya tajam. "Siapa yang mengirimmu?"
Cansu mengerutkan dahinya. Tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh pria itu. "A--a-apa maksutmu?"
"Tidak usah berpura-pura! Katakan saja siapa yang menyuruhmu untuk memata-mataiku."
Cansu menggelengkan kepalanya kuat sehingga belati yang berada di lehernya menggores kulit leher wanita itu. Ia kemudian meringis menahan perih yang disebabkan oleh goresan tersebut.
"A--aku bukan seorang mata-mata. Namaku, Cansu. Aku terjebak di hutan ini dan tidak sengaja bertemu denganmu. Aku hanya ingin meminta bantuanmu. Jika kau tidak ingin membantuku, itu bukanlah masalah. Tapi, kumohon jangan bunuh aku."jelas Cansu dengan wajah memelas.
Namun, pria itu sama sekali tidak menunjukkan rasa ibanya. Ia masih saja menaruh rasa curiga terhadap Cansu.
"Kau pikir aku akan mempercayaimu?"
Pria itu melepaskan Cansu dalam dekapannya sehinnga membuat wanita itu tersungkur ke atas tanah. Ia meringis menahan perih pada luka yang ada di lehernya.
"Percayalah, aku tidak ingin menyakitimu. Aku hanyalah seorang wanita biasa yang tersesat di hutan ini. Kumohon, percayalah."ucap Cansu diiringi isak tangisnya.
"Sultan!"
Sebuah suara mengejutkan mereka berdua. Dari belakang pria itu muncul 5 orang pria lain yang berpakaian seperti prajurit. Mereka kemudian memberikan hormat kepada pria itu.
Cansu mengernyitkan dahinya bingung. Salah seorang dari kelima pria tersebut baru saja memanggil sultan. Lalu, siapa sultannya? Apa pria tampan yang tengah berdiri di hadapannya saat ini?
"Anda baik-baik saja, sultan?"tanya slaah satu dari rombongan yang baru datang tersebut.
Sekarang Cansu paham. Pria yang ada di hadapannya itu, adalah seorang sultan. Karena itulah, kelima kawanan tadi terlihat begitu menghormatinya. Apakah ini berarti bagus buat diri Cansu atau sebaliknya?
"Ya, aku baik-baik saja. Lebih dari baik-baik saja."jawab pria itu seraya menatap ke arah Cansu penuh arti. Hal itu sontak membuat kelima kawanan tadi juga menoleh kearah wanita itu.
"Siapa wanita ini, sultan?"tanya mereka.
"Aku tidak tahu dia siapa. Mungkin saja dia seseorang yang dikirim dari kerajaan lawan untuk memata-matai kita. Sekarang kalian bawa wanita ini ke kastil persinggahan."perintah pria itu yang seketika membuat Cansu terkejut. Wanita itu sudah berniat melarikan dirinya dari sana. Namun, lagi dan lagi ia kalah cepat. Kelima kawanan itu sudah menangkapnya.
"Aku bukan seorang mata-mata! Aku hanyalah seorang wanita biasa. K-kumohon jangan sakiti aku!"pinta Cansu.
Pria yang disebut sultan itu tersenyum. Ia mendekat ke arah Cansu. Memegang dagu wanita itu lembut. "Kita akan mengetahui hal itu nanti, Nona."
***
Cansu memeluk kedua kakinya di sudut ruangan. Menatap takut-takut ke arah beberapa orang di sekitarnya. Saat ini, wanita itu tengah berada di dalam sebuah ruangan yang mirip seperti sebuah penjara bersama beberapa orang asing. Mereka semua mengenakan pakaian aneh yang kelihatan lusuh. Beberapa dari mereka juga ada yang terluka. Cansu tidak menemukan satu orangpun yang menatapnya ramah.
Wanita itu bingung sekaligus ketakutan. Semuanya menjadi kacau. Niat awalnya ingin meminta pertolongan kepada seorang pria yang ia temui di tepi sungai, malah membuatnya berakhir di penjara bersama orang-orang asing ini. Ya, walaupun setidaknya satu dari keinginannya telah terkabul yaitu, bertemu dengan seseorang bahkan ia dapat bertemu dengan banyak orang sekarang. Walau tidak ada yang bisa membantunya.
"Apa kau juga seorang mata-mata? Siapa yang mengirimmu ke sini?"
Cansu mendengus. Ia sudah muak mendengar kata mata-mata berulang kali. Wanita itu kemudian mendongak dengan kesal kepada seorang wanita yang bertanya kepadanya.
"Aku bukan mata-mata. Kenapa kalian selalu menanyakan hal itu kepadaku?"ucapnya jengkel.
Wanita yang bertanya kepada Cansu itu tampak sedikit terkejut. Ia tidak menyangka Cansu akan memberikan respon demikian terhadap pertanyaannya itu.
"Hey, kau tidak perlu marah. Itu adalah hal yang wajar untuk ditanyakan. Coba sekarang kau lihat kesekelilingmu! Mereka semua adalah mata-mata yang dikirim dari kerajaan yang berbeda-beda. Bahkan aku juga adalah seorang mata-mata. Aku sedikit bingung dengan dirimu. Jika kau bukan seorang mata-mata, mengapa kau bisa ada di dalam sini?"tanya wanita itu sembari menatap Cansu bingung.
"Itulah hal yang sejak tadi selalu kutanyakan. Jika aku tidak berbuat kesalahan apapun, kenapa aku bisa berakhur di sini. Aku hanya seorang wanita biasa. Tidak lebih."jelas Cansu frustasi.
Wanita asing itu mengerutkan dahinya. "Mereka menangkapmu? Bagaimana bisa?"
Cansu mengedikkan bahunya. Ia kemudian menyandarkan punggungnya pada tembok ruangan yang dingin. "Aku tersesat di hutan ini. Saat hendak mencari jalan keluar, aku tidak sengaja bertemu dengan sang sultan. Aku ingin meminta bantuannya agar aku bisa keluar dari hutan ini. Namun, ia malah menuduhku seorang mata-mata dan menjebloskanku ke dalam sini."
"Kau sendirian saja?"tanya wanita asing itu. Cansu menganggukkan kepalanya.
"Darimana asalmu? Pakaianmu terlihat agak aneh."tanya wanita asing itu seraya menatap bingung ke arah pakaian yang dikenakan oleh Cansu.
Memang benar, di antara semua orang yang berada di dalam ruangan itu, hanya dirinya sendirilah yang memakai pakaian seperti yang ia kenakan. Sementara yang lain, termasuk wanita asing itu memakai pakaian yang aneh dan terkesan sedikit kuno. Hal ini semakin membuat Cansu penasaran dengan keberadaannya saat ini.
Cansu hendak menjawab pertanyaan wanita asing itu namun, dua orang pria tiba-tiba masuk ke dalam ruangan tersebut dan menghampiri Cansu. Tanpa mengatakan apapun, mereka menarik kasar tangan Cansu lalu memaksa wanita itu berdiri.
"Hey apa yang kalian lakukan?"protes Cansu yang tidak terima diperlakukan seperti itu.
"Lepaskan aku! Kalian menyakitiku!"teriaknya sembari berusaha melepaskan cengkeraman tangan dua orang prajurit tersebut.
Namun, kedua pria tersebut tidak mendnegarkannya. Mereka malah mempererat cengkeraman tangan merak di pergelangan tangan Cansu hingga membuat pergelangan tangan wanita itu memerah. Mereka kemudian menyeret paksa Cansu yang berusaha memberontak itu.
"Lepaskan! Kemana kalian akan membawaku? Lepaskan aku!"teriak Cansu.
"Sultan ingin bertemu denganmu."ucap salah satu pria yang mencengkeram tangan Cansu. Ucapannya sontak mengundang perhatian seisi penjara. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, langsung menoleh ke arah Cansu dan kedua prajurit tadi. Menatap mereka dengan tatapan yang beragam. Mulai dari tatapan penasaran, penuh amarah, hingga tatapan takut. Hal ini membuat rasa takut Cansu semakin menjadi.
Namun, sekuat apapun ia mencoba untuk melawan, ia tidak akan sanggup menandingi kekuatan kedua prajurit yang membawanya. Perlahan, wanita itu mulai pasrah dan mengikuti arahan dari kedua prajurit tersebut. Ia sudah pasrah dengan kejadian yang telah menunggu dirinya.
"Sebenarnya kalian ingin membawaku kemana?" Sudah lebih dari lima kali Cansu menanyakan hal yang sama kepada kedua prajurit yang membawanya. Akan tetapi, wanita itu tetap tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya itu. Mereka berdua terus saja memaksa Cansu berjalan melewati lorong panjang yang gelap. Hanya ada beberapa obor yang terpasang di sisi tembok yang membuat mereka dapat berjalan tanpa menabrak kesana kemari. Pergelangan tangan Cansu masih belum dilepas oleh kedua pria itu. Mereka terus saja memegangnya dengan erat tanpa memperdulikan Cansu yang berulang kali meringis karena ulah mereka. Yang terpenting bagi kedua prajurit itu adalah membawa wanita itu kehadapan sultan mereka. Cansu mengerjapkan matanya saat mereka keluar dari lorong gelap itu. Matanya kini menangkap sinar matahari saat mereka bertiga menginjakkan kaki di luar penjara yang berada di bawah tanah kastil. Kedua prajur
Dastan memandang ke luar jendela. Pikiran pria itu melayang. Ia kembali terpikir tentang wanita misterius yang ia temui di tepi sungai pagi ini. Wanita itu terlihat sangat aneh. Ia mengenakan pakaian yang tidak pernah Dastan lihat di tempat manapun. Penampilannya juga sangat berbeda dengan wanita-wanita yang pernah ia temui sebelumnya. Seperti wanita itu datang dari dunia yang berbeda dengannya. Namun, anehnya ia dapat mengerti apapun yang diucapkan wanita itu. Tidak ada yang salah baik dari bahasa maupun logatnya. Cansu? Bukankah itu adalah namanya? Ia mengucapkan sesuatu yang membuat Dastan terkejut. Ia mengucapkan sesuatu yang berkaitan dengan Gandhi. Seorang pria yang sudah menghilang sejak 2 bulan lamanya dan Cansu mengatakan baru bertemu dengan Gandhi kemarin? Itu adalah yang mustahil. Bahkan Dastan telah mengerahkan seluruh mata-mata terbaiknya untuk mencari keberadaan pria itu. Dastan menghela napasnya
"Kenapa mustahil? Kenapa mustahil jika aku adalah Sultan Dastan Kazeem?" Cansu tersentak kaget. Wanita itu sontak membeku di tempatnya berdiri. Ia kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Dastan. Hal ini, semakin membuat pria itu penasaran. Ia kemudian berjalan mendekati Cansu. "Katakan, nona. Mengapa hal itu terdengar mustahil bagimu? Jelaskan padaku."ucap Dastan seraya menatap Cansu tajam. Cansu menatap Dastan dengan matanya yang membulat sempurna. Ia benar-benar terkejut sehingga lupa bagaimana caranya untuk berbicara. Ekspresi wanita itu saat ini, terlihat seperti seseorang yang tengah melihat hantu. "Kau bungkam? Apa artinya itu? Kenapa kau diam setelah aku menanyakan hal ini padamu?"tanya Dastan sekali lagi. "Seharusnya kau sudah mati. Seharusnya kau sudah mati, atau aku yang seharusnya tidak berada di sini?"ucap Cansu yang membuat Dastan kebingungan. Pria itu tidak
Cansu menatap hampa pantulan dirinya pada cermin yang berada di hadapannya. Penampilan wanita itu saat ini telah benar-benar berubah. Ia tidak lagi mengenakan kemeja bewarna biru dan rok spannya yang kotor. Semuanya telah terganti dengan sebuah gaun mewah berbahan sutra yang membuat wanita itu kesulitan untuk bergerak. Cansu memperhatikan setiap detail gaun yang ia kenakan. Gaun bewarna maroon itu benar-benar terlihat seperti pakaian seorang bangsawan. Membuat wanita itu kembali mempertanyakan keberadaannya saat ini. Ia kembali mengingat tentang pertengkarannya dengan Dastan beberapa jam yang lalu. Di mana mereka sama-sama dibuat kebingungan dengan kebenaran yang ada. "Apa maksudmu? Kau mencoba untuk membodohiku? Nona Cansu, sekarang ini masih tahun 1389. Bagaimana bisa kau mengatakan hal tersebut?" Cansu kembali teringat pada apa yang dikatakan oleh Dastan tadi. Pria itu dengan ngototnya me
"Bagaimana keadaan istana?"tanya Dastan pada pria yang berjalan bersamanya. Ia adalah Gurmet. Tangan kanan Dastan. Mereka berdua tengah berjalan di sepanjang koridor Kastil persinggahan sembari membicarakan beberapa hal terkait dengan kerajaan Farabi. Kerajaan yang dipimpin oleh Dastan. Kastil persinggahan sendiri adalah tempat peristirahatan Dastan. Tempat di mana ia menghabiskan waku luangnya atau ketika ia hendak pergi berburu, ia akan menginap di kastil persinggahan. Tempat tersebut merupakan hadiah dari Sultan Fahreezan III untuk Dastan saat pertama kali dirinya menjabat sebagai sultan Kerajaan Farabi. Kastil persinggahan kerap menjadi tempat berkumpulnya seluruh rahasia Dastan. Kastil tersebut bahkan memiliki banyak hal tersembunyi dibandingkan Istana Galall. Karena itulah, Dastan selalu memperketat penjagaan di sekitar kastil. Tempat itu juga sengaja dibuat di pinggir huta
Malam hari yang gelap. Ketika suasana sekitar telah tampak begitu sunyi. Ketika semua orang telah sibuk terlarut dalam mimpi, tampak seekor kuda melaju dengan kencang melintasi permukiman. Di atas kuda coklat tersebut terdapat seorang prajurit yang merupakan mata-mata kepercayaan Sultan Dastan. Ia tampak tenang melintasi kesunyian malam. Perlahan, langkah kaki kuda milai melambat hingga akhirnya benar-benar berhenti di sebuah toko yang tampak tutup. Pria itu turun dari kuda yang ia tunggangu, lalu melangkah pelan memasuki toko tersebut. Pria itu tampak tenang membobol pintu toko yang telah terkunci rapat lalu memasukinya. Berbekal pencahaayan dari sinar bulan, pria itu nekat menyisir seluruh isi dalam toko. Mencoba mencari petunjuk apapun itu. Keadaan toko masih tampak begitu rapi. Seperti biasanya terlihat. Hanya beberapa debu menutupi bagian-bagian toko. Terlihat sekali, toko ini sudah cukup lama ditinggal pe
Di malam yang sunyi, tampak seorang pria tengah bergelut dengan pedangnya. Ia tampak bergerak dengan indah seolah menari menggunakan pedang tajamnya di bawah cahaya bulan. Tidak ada yang menemaninya kecuali keheningan malam. Dia adalah Dastan Kazeem. Seorang sultan muda yang namanya tersohor di penjuru negeri. Entah apa yang merasuki pikiran pria tampan itu, sehingga di tengah malam seperti ini, alih-alih beristirahat ia malah berlatih dengan pedang kesayangannya. Gerakannya tampak begitu tenang, namun berbahaya. Begitu indah hingga membuat siapapun yang menatapnya menjadi terlena hingga tidak sadar jika pedang tersebut mungkin saja sudah menghunus ke dalam dadanya. Begitulah ciri khas seorang Dastan Kazeem. Walaupun tampak tenang di luar, namun sebenarnya pikiran Dastan sedang tidak baik-baik saja. Segala hal memenuhi pikiran pria itu. Hal tersebutlah yang menjadi penyebab kenapa ia lebih memilih melatih ilmu ped
Cansu memperhatikan Emine yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Wanita paruh baya itu kemudian memberikan secangkir teh itu padanya. "Silahkan, Nona. Secangkir teh melati akan membuat anda merasa tenang."ucap Emine seraya menyodorkan cangkir itu pada Cansu. Cansu diam saja. Ia menatap secangkir teh yang berada di hadapannya itu tanpa memberikan respon apapun. Hal itu, sontak membuat Emine kebingungan. "Apakah nona tidak menyukai teh melati? Maafkan saya, jika begitu saya akan membawakan nona minuman yang lain."ucap Emine sedikit panik. Melihat respon Emine yang demikian, sontak membuat Cansu menggelengkan kepalanya cepat. Ia menghentikan Emine yang ingin pergi mengambil minuman yang baru. "Tidak, bukan seperti itu. Aku--- hanya tengah memikirkan sesuatu."cegah Cansu. Wanita itu mengambil secangkir teh ditangan Emine lalu meminumnya sedikit. &
Emine tersenyum lebar seraya memandang ke arah pantulan bayangan Cansu yang berada di cermin di depan mereka. Wanita paruh baya itu merasa bangga sekaligus puas atas kerja kerasnya yang membuahkan hasil maksimal. Kini, ia dapat melihat sosok Cansu yang begitu cantik tengah duduk di depannya. Pertama kali, saat ia mendengar bahwa Cansu akan diajak makan malam bersama sultan Dastan, entah mengapa dirinya langsung bersemangat ingin mendandani wanita itu. Mungkin, karena menurutnya apa yang dilakukan Dastan pada Cansu tidaklah biasa. Tidak pernah ia lihat Sultan melakukan hal yang sama kepada wanita yang belum ia kenali sepenuhnya. Bahkan makan malam bersama dengan sang permaisuri kerajaan sangat jarang sekali pria itu lakukan. Emine merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diri Cansu yang mampu menarik perhatian dari seorang Dastan. Sultan berhati dingin dan juga kejam. Pria itu biasanya akan menghukum seseorang yang ia angga
Dastan tengah berdiam diri di atas sebuah kursi bertahtakan emas kesayangannya yang berada di dalam kamar pria itu. Matanya menatap tajam pada udara kosong di hadapan pria itu. Sultan muda itu mengisi kepalanya dengan beragam pikiran yang membuatnya merasa pusing. Banyak sekali pertanyaan yang menggema di dalam sana namun, tidak ada satupun yang ia ketahui apa jawabannya. Hal itu semakin membuat dirinya frustasi sekaligus penasaran dengan semua misteri yang tengah ia hadapi. "Karena aku berasal dari masa depan. Aku kemudian mengalami perjalanan lintas waktu dan berakhir di waktu yang sama denganmu." Dastan teringat dengan pernyataan mengejutkan yang keluar dari mulut Cansu saat dirinya bertemu dengannya di taman pagi tadi. Ia berusaha untuk menyangkal dan menganggap semua yang dikatakan wanita itu hanyalah candaan semata. Namun, saat Dastan menatap ke dalam mata Cansu, mencoba un
Cansu melangkahkan kakinya lebar-lebar di sepanjang koridor Kastil. Wanita cantik itu tengah dalam perjalanan menuju ke kamar pribadinya yang terletak di bagian sayap kanan kastil. Orang-orang yang tidak sengaja berpapasan dengannya menatap Cansu aneh. Wajah wanita itu merah bak kepiting rebus. Ditambah lagi dengan jalannya yang cepat seperti tengah dikejar oleh sesuatu. Namun, untungnya Cansu tetap membalas sapaan orang-orang yang bertemu dengannya meski hanya dengan anggukan kepala. Langkah wanita itu melambat saat ia mencapai pintu kamarnya. Dengan segera wanita itu membuka pintu tersebut lalu menutupnya dengan keras. Ia lalu menyandarkan punggungnya pada pintu seraya menarik napas dengan panjang. Cansu mendudukkan dirinya yang masih bersandar pada pintu. Wanita itu memegang dadanya. Ia berusaha merasakan detak jantungnya yang berdetak tidak karuan. Sangat kencang seakan ingin melompat dari tempatnya.
"Sudah selesai?"tanya Cansu saat melihat Dastan yang berjalan mendekat ke arahnya. Pria itu tampak mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Cansu. Dastan mengerutkan dahinya menatap ke arah Cansu yang tengah duduk di atas hamparan rumput tanpa menggunakan alas apapun. Wanita itu tampak menikmati posisinya di atas hamparan rumput yang tentu saja dapat mengotori gaunnya yang bewarna biru muda. "Apa yang sedang kau lakukan?"tanya Dastan. Cansu menengadahkan kepalanya agar bisa menatap langsung wajah Dastan yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Wanita itu mengerutkan dahinya bingung. Ia tidak paham dengan apa yang ditanyakan oleh sultan muda itu. "Aku tidak melakukan apapun," jawab Cansu seadanya. "Kau duduk begitu saja di sini tanpa menggunakan apapun sebagai alasmu. Kau tidak takut sesuatu akan mengotori gaun yang tengah kau kenakan?"tanya Dastan panjang lebar.
"Karena aku berasal dari masa depan. Aku kemudian mengalami perjalanan lintas waktu dan berakhir di waktu yang sama denganmu." Dastan menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap ke arah Cansu penuh tanya. Hal yang baru saja dikatakan oleh wanita itu benar-benar di luar dugaan Dastan. "Aku sedang tidak ingin bercanda, Nona Cansu," ujar Dastan yang masih mengira Cansu mengatakan sebuah lelucon pada dirinya. Cansu mengerutkan dahinya. "Aku juga tidak sedang bercanda, Yang Mulia," ucapnya. "Jadi, maksudmu kau serius mengatakannya? Mengatakan semua itu?" Cansu menganggukkan kepalanya. "Hmm, semua yang kukatakan telah kupikirkan matang-matang sebelum memberitahumu." Dastan tercengang. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa wanita di depannya itu akan berkata demikian. Semua hal yang dikatakan oleh Cansu benar-benar tidak dapat diterima oleh akal sehat pr
Dastan tengah berjalan menuju halaman belakang kastil bersama Gurmet. Sultan muda itu berniat untuk melihat kuda kesayangannya hari ini, sekaligus menungganginya. "Bagaimana Zaganos? Dia sudah diberi makan pagi ini?"tanya Dastan pada Gurmet. Gurmet menganggukkan kepalanya. "Sudah, Sultan. Ia sudah diberi makan seperti biasanya pagi ini,"jawabnya. Zaganos sendiri adalah nama kuda hitam kesayangan Dastan. Kuda itu adalah kuda yang selalu ia bawa ketika berperang maupun berburu. Zaganos memiliki tempat khusus di hati Dastan karena ia adalah hadiah terakhir dari Mahmud Pasha, guru Dastan sejak masih kecil yang telah wafat beberapa tahun yang lalu. Dastan menganggukkan kepalanya setelah mendengar jawaban dari Gurmet. Ia kemudian melanjutkan kembali langkahnya sembari membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kerajaan. Namun, langkah pria tampan itu terhenti saat melihat
Cansu memperhatikan Emine yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Wanita paruh baya itu kemudian memberikan secangkir teh itu padanya. "Silahkan, Nona. Secangkir teh melati akan membuat anda merasa tenang."ucap Emine seraya menyodorkan cangkir itu pada Cansu. Cansu diam saja. Ia menatap secangkir teh yang berada di hadapannya itu tanpa memberikan respon apapun. Hal itu, sontak membuat Emine kebingungan. "Apakah nona tidak menyukai teh melati? Maafkan saya, jika begitu saya akan membawakan nona minuman yang lain."ucap Emine sedikit panik. Melihat respon Emine yang demikian, sontak membuat Cansu menggelengkan kepalanya cepat. Ia menghentikan Emine yang ingin pergi mengambil minuman yang baru. "Tidak, bukan seperti itu. Aku--- hanya tengah memikirkan sesuatu."cegah Cansu. Wanita itu mengambil secangkir teh ditangan Emine lalu meminumnya sedikit. &
Di malam yang sunyi, tampak seorang pria tengah bergelut dengan pedangnya. Ia tampak bergerak dengan indah seolah menari menggunakan pedang tajamnya di bawah cahaya bulan. Tidak ada yang menemaninya kecuali keheningan malam. Dia adalah Dastan Kazeem. Seorang sultan muda yang namanya tersohor di penjuru negeri. Entah apa yang merasuki pikiran pria tampan itu, sehingga di tengah malam seperti ini, alih-alih beristirahat ia malah berlatih dengan pedang kesayangannya. Gerakannya tampak begitu tenang, namun berbahaya. Begitu indah hingga membuat siapapun yang menatapnya menjadi terlena hingga tidak sadar jika pedang tersebut mungkin saja sudah menghunus ke dalam dadanya. Begitulah ciri khas seorang Dastan Kazeem. Walaupun tampak tenang di luar, namun sebenarnya pikiran Dastan sedang tidak baik-baik saja. Segala hal memenuhi pikiran pria itu. Hal tersebutlah yang menjadi penyebab kenapa ia lebih memilih melatih ilmu ped
Malam hari yang gelap. Ketika suasana sekitar telah tampak begitu sunyi. Ketika semua orang telah sibuk terlarut dalam mimpi, tampak seekor kuda melaju dengan kencang melintasi permukiman. Di atas kuda coklat tersebut terdapat seorang prajurit yang merupakan mata-mata kepercayaan Sultan Dastan. Ia tampak tenang melintasi kesunyian malam. Perlahan, langkah kaki kuda milai melambat hingga akhirnya benar-benar berhenti di sebuah toko yang tampak tutup. Pria itu turun dari kuda yang ia tunggangu, lalu melangkah pelan memasuki toko tersebut. Pria itu tampak tenang membobol pintu toko yang telah terkunci rapat lalu memasukinya. Berbekal pencahaayan dari sinar bulan, pria itu nekat menyisir seluruh isi dalam toko. Mencoba mencari petunjuk apapun itu. Keadaan toko masih tampak begitu rapi. Seperti biasanya terlihat. Hanya beberapa debu menutupi bagian-bagian toko. Terlihat sekali, toko ini sudah cukup lama ditinggal pe