Dastan memandang ke luar jendela. Pikiran pria itu melayang. Ia kembali terpikir tentang wanita misterius yang ia temui di tepi sungai pagi ini.
Wanita itu terlihat sangat aneh. Ia mengenakan pakaian yang tidak pernah Dastan lihat di tempat manapun. Penampilannya juga sangat berbeda dengan wanita-wanita yang pernah ia temui sebelumnya. Seperti wanita itu datang dari dunia yang berbeda dengannya. Namun, anehnya ia dapat mengerti apapun yang diucapkan wanita itu. Tidak ada yang salah baik dari bahasa maupun logatnya.
Cansu? Bukankah itu adalah namanya? Ia mengucapkan sesuatu yang membuat Dastan terkejut. Ia mengucapkan sesuatu yang berkaitan dengan Gandhi. Seorang pria yang sudah menghilang sejak 2 bulan lamanya dan Cansu mengatakan baru bertemu dengan Gandhi kemarin? Itu adalah yang mustahil. Bahkan Dastan telah mengerahkan seluruh mata-mata terbaiknya untuk mencari keberadaan pria itu.
Dastan menghela napasnya pelan. Ia mendudukkan dirinya di atas sebuah sofa tunggal yang berada di kamarnya. Pria itu menatap langit-langit kamar yang bewarna coklat tua.
"Apa dia berkata yang sebenarnya tentang Gandhi? Atau itu hanyalah sebuah tipuan belaka agar aku tidak menghukumnya? Lalu, jika itu hanya tipuan, bagaimana bisa kalung itu berada padanya?"tanya Dastan frustasi.
Pria tampan itu terus saja memikirkan tentang teka-teki yang berkaitan dengan Cansu, Gandhi dan kalung misterius itu. Ia merasa ada sebuah benang merah yang menghubungkan antara ketiganya. Namun, apapun itu pria itu masih tidak mengetahuinya.
Dastan bangkit dari duduknya. Ia lalu berjalan mendekati meja yang di atasnya tersusun berbagai macam alat tulis. Ia lalu mengambil sehelai kertas lalu mulai menulis sesuatu di atasnya. Setelah selesai, pria itu memberikan stempel kerajaan pada bagian akhir surat lalu memanggil salah satu prajurit kepercayaannya.
"Antarkan ini pada alamat yang telah tertera. Aku ingin surat ini sampai di tempatnya sesegera mungkin. Dan ingat, jangan sampai ada yang melihatmu kecuali sang penerima surat. Jika kau menemukan sesuatu yang menurutmu janggal di sana, segera kabari aku."perintah Dastan.
"Baik, sultan. Perintah anda akan saya laksanakan."ucap prajurit itu lalu pergi menghilang di balik pintu.
Dastan menatap kepergian prajurit kepercayaannya bahkan hingga pintu kamarnya tertutup sempurna. Pria itu terus saja mematung di tempat dengan segala pemikirannya.
"Cansu, siapa kau sebenarnya?"
***
Cansu tengah mondar-mandir di kamar yang telah di siapkan oleh Dastan untuknya. Wajah wanita itu terlihat sangat shock. Beribu pertanyaan membanjiri pikirannya.
"Dastan? Sultan? Sultan Dastan? Dia sultan Dastan? Itu tidak mungkin! Itu tidak mungkin!"ucap Cansu berulang kali.
Wanita itu mencoba untuk mengerti situasi janggal yang tengah ia alami saat ini. Situasi di mana semuanya terlihat aneh sekaligus mustahil. Semuanya tidak dapat diterima begitu saja di kepala Cansu. Membuat wanita itu pusing setengah mati.
"Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa pria itu berbohong kepadaku dengan mengatakan bahwa dirinya adalah sultan Dastan? Sultan yang telah meninggal ribuan tahun yang lalu? Itu benar-benar mustahil. Pria itu pasti menipuku, pasti."ucap Cansu.
"Tapi, apa yang ia dapatkan dengan menipuku? Orang-orang di sekitarnya juga memanggilnya sultan. Ah aku benar-benar bisa menjadi gila. Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Aku harus cepat-cepat bertemu dengan Gandhi agar bisa mendapatkan penjelasannya mengenai semua hal yang membingungkan ini."
Pintu kamar Cansu tiba-tiba di ketuk dari luar sehingga membuat wanita itu sedikit terkejut. Ia menerka-nerka siapa yang berada di balik pintu tersebut. Apa mungkin Sultan telah berubah pikiran dan menyuruh prajuritnya untuk menghukum mati Cansu? Atau itu adalah Gandhi yang tiba-tiba muncul setelah ia susah payah mencari keberadaan pria itu.
Cansu meneguk salivanya. Ia mulai melangkahkan kakinya pelan mendekati pintu. Perlahan namun pasti, wanita itu membaranikan diri untuk membuka pintu bewarna coklat gelap tersebut.
"Siapa kalian?"tanya Cansu bingung. Karena, orang yang muncul di balik pintu bukanlah orang yang seperti tebakan wanita itu sebelumnya.
Di hadapan Cansu saat ini, berdiri tiga orang wanita. Dua orang wanita terlihat sebaya dengannya. Sementara satu orang wanita lainnya, terlihat sudah memasuki usia 50 tahun atau lebih.
"Selamat siang, Nona. Kami datang atas perintah Sultan. Beliau memerintahkan kami untuk membantu anda membersihkan diri anda dan mengganti pakaian yang Nona kenakan."jelas wanita paruh baya itu seperti mengerti kebingungan di wajah Cansu.
Cansu memandang ketiga wanita itu dengan seksama. Seorang wanita dengan rambutnya yang bewarna kuning tampak memegang sebuah kotak kayu berukuran lumayan besar yang tidak Cansu ketahui apa isinya. Seorang wanita lain dengan rambutnya yang bewarna kecoklatan, tampak membawa beberapa helai gaun mewah beraneka warna yang Cansu yakini akan sangat berat ketika dipakai. Dan si wanita paruh baya sendiri, tidak membawa apapun. Ia hanya datang membawa tubuh dan senyumannya yang kalau bisa jujur, tidak terlalu Cansu perlukan.
"Apa itu?"tanya Cansu penasaran pada si wanita berambut kuning.
"Ini adalah kotak yang berisi riasan, parfum dan aksesoris yang diberikan sultan untuk Nona. Di dalamnya juga ada sabun dan peralatan mandi lainnya yang tentunya juga untuk Nona."jawab Wanita itu. Ia membuka tutup kotak kayu bewarna merah itu lalu menunjukkannya pada Cansu.
Cansu memandang ketiga wanita itu tidak mengerti. "untukku? Semua itu untukku? Kenapa pria itu memberikannya padaku?"tanya wanita itu bingung.
"Kami tidak tahu alasan kenapa sultan memberikan semuanya kepada anda. Kami hanya diperintahkan untuk membantu anda membersihkan diri dan bertukar pakaian. Kami harap, Nona mengizinkan kami melakukannya."jawab si wanita paruh baya.
Cansu menganggukkan kepalanya . Entah mengapa, wanita itu lagi-lagi merasa ada sesuatu yang janggal. Apakah ini sebuah tipuan baru yang diberikan sang sultan untuk dirinya? Cansu harap hal itu tidak benar adanya.
Tiba-tiba Cansu teringat kepada Dastan dan segala kejadian anehnya. Ia lalu memanggil si wanita paruh baya dan bertanya kepadanya selagi kedua wanita lain menyiapkan air mandi untuk Cansu.
"Aku ingin menanyakan satu hal."ucap Cansu. Si wanita paruh baya menganggukkan kepalanya sebagai tanda ia setuju untuk menjawab pertanyaan Cansu.
"Tahun berapa sekarang?"tanya Cansu.
Wanita itu memandang Cansu bingung. Namun, ia tetap menjawab apa yang ditanyakan oleh wanita itu. "Sekarang adalah tahun 1389."
Mata Cansu seketika terbelalak. Lututnya terasa lemas hingga membuat wanita itu nyaris jatuh jika saja si wanita paruh baya tidak menangkapnya. Ia kemudian di baqa duduk di tepi ranjangnya.
"Kau berkata yang sejujurnya?"tanya Cansu yang terlihat masih sangat shock. Si wanita paruh baya itu mengangguk. Cansu terus mengamati ekspresi wajahnya untuk memastikan apakah wanita itu sedang berbohong atau tidak. Namun, ternyata yang Cansu lihat hanyalah tatapan polos dari wanita paruh baya itu.
"Lalu, Dastan. Maksutku, Sultan Dastan, apa nama lengkapnya itu adalah Sultan Dastan Kazeem? Raja ke-4 dari kerajaan Farabi? Putra tunggal raja Fahreezan III?"tanya Cansu bertubu-tubi.
Meski tampak begitu kebingungan, wanita paruh baya itu tetap menjawab pertanyaan yang diajukan Cansu. "Benar, Nona. Semua yang Nona tanyakan itu adalah kebenarannya."
"Kau tidak berbohong, bukan?"tanya Cansu sekali lagi.
Wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Nona. Saya mengatakan kebenarannya."
Cansu benar-benar shock. Mata wanita itu membulat dengan sempurna. Ia menatap tak percaya pada wanita paruh baya yang sejak tadi menjawab semua pertanyaannya.
"Itu mustahil. Dia tidak mungkin Dastan. Itu adalah hal yang mustahil."ucap Cansu yang masih tampak tidak percaya.
"Kenapa mustahil? Kenapa mustahil jika aku adalah sultan Dastan Kazeem?"
"Kenapa mustahil? Kenapa mustahil jika aku adalah Sultan Dastan Kazeem?" Cansu tersentak kaget. Wanita itu sontak membeku di tempatnya berdiri. Ia kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Dastan. Hal ini, semakin membuat pria itu penasaran. Ia kemudian berjalan mendekati Cansu. "Katakan, nona. Mengapa hal itu terdengar mustahil bagimu? Jelaskan padaku."ucap Dastan seraya menatap Cansu tajam. Cansu menatap Dastan dengan matanya yang membulat sempurna. Ia benar-benar terkejut sehingga lupa bagaimana caranya untuk berbicara. Ekspresi wanita itu saat ini, terlihat seperti seseorang yang tengah melihat hantu. "Kau bungkam? Apa artinya itu? Kenapa kau diam setelah aku menanyakan hal ini padamu?"tanya Dastan sekali lagi. "Seharusnya kau sudah mati. Seharusnya kau sudah mati, atau aku yang seharusnya tidak berada di sini?"ucap Cansu yang membuat Dastan kebingungan. Pria itu tidak
Cansu menatap hampa pantulan dirinya pada cermin yang berada di hadapannya. Penampilan wanita itu saat ini telah benar-benar berubah. Ia tidak lagi mengenakan kemeja bewarna biru dan rok spannya yang kotor. Semuanya telah terganti dengan sebuah gaun mewah berbahan sutra yang membuat wanita itu kesulitan untuk bergerak. Cansu memperhatikan setiap detail gaun yang ia kenakan. Gaun bewarna maroon itu benar-benar terlihat seperti pakaian seorang bangsawan. Membuat wanita itu kembali mempertanyakan keberadaannya saat ini. Ia kembali mengingat tentang pertengkarannya dengan Dastan beberapa jam yang lalu. Di mana mereka sama-sama dibuat kebingungan dengan kebenaran yang ada. "Apa maksudmu? Kau mencoba untuk membodohiku? Nona Cansu, sekarang ini masih tahun 1389. Bagaimana bisa kau mengatakan hal tersebut?" Cansu kembali teringat pada apa yang dikatakan oleh Dastan tadi. Pria itu dengan ngototnya me
"Bagaimana keadaan istana?"tanya Dastan pada pria yang berjalan bersamanya. Ia adalah Gurmet. Tangan kanan Dastan. Mereka berdua tengah berjalan di sepanjang koridor Kastil persinggahan sembari membicarakan beberapa hal terkait dengan kerajaan Farabi. Kerajaan yang dipimpin oleh Dastan. Kastil persinggahan sendiri adalah tempat peristirahatan Dastan. Tempat di mana ia menghabiskan waku luangnya atau ketika ia hendak pergi berburu, ia akan menginap di kastil persinggahan. Tempat tersebut merupakan hadiah dari Sultan Fahreezan III untuk Dastan saat pertama kali dirinya menjabat sebagai sultan Kerajaan Farabi. Kastil persinggahan kerap menjadi tempat berkumpulnya seluruh rahasia Dastan. Kastil tersebut bahkan memiliki banyak hal tersembunyi dibandingkan Istana Galall. Karena itulah, Dastan selalu memperketat penjagaan di sekitar kastil. Tempat itu juga sengaja dibuat di pinggir huta
Malam hari yang gelap. Ketika suasana sekitar telah tampak begitu sunyi. Ketika semua orang telah sibuk terlarut dalam mimpi, tampak seekor kuda melaju dengan kencang melintasi permukiman. Di atas kuda coklat tersebut terdapat seorang prajurit yang merupakan mata-mata kepercayaan Sultan Dastan. Ia tampak tenang melintasi kesunyian malam. Perlahan, langkah kaki kuda milai melambat hingga akhirnya benar-benar berhenti di sebuah toko yang tampak tutup. Pria itu turun dari kuda yang ia tunggangu, lalu melangkah pelan memasuki toko tersebut. Pria itu tampak tenang membobol pintu toko yang telah terkunci rapat lalu memasukinya. Berbekal pencahaayan dari sinar bulan, pria itu nekat menyisir seluruh isi dalam toko. Mencoba mencari petunjuk apapun itu. Keadaan toko masih tampak begitu rapi. Seperti biasanya terlihat. Hanya beberapa debu menutupi bagian-bagian toko. Terlihat sekali, toko ini sudah cukup lama ditinggal pe
Di malam yang sunyi, tampak seorang pria tengah bergelut dengan pedangnya. Ia tampak bergerak dengan indah seolah menari menggunakan pedang tajamnya di bawah cahaya bulan. Tidak ada yang menemaninya kecuali keheningan malam. Dia adalah Dastan Kazeem. Seorang sultan muda yang namanya tersohor di penjuru negeri. Entah apa yang merasuki pikiran pria tampan itu, sehingga di tengah malam seperti ini, alih-alih beristirahat ia malah berlatih dengan pedang kesayangannya. Gerakannya tampak begitu tenang, namun berbahaya. Begitu indah hingga membuat siapapun yang menatapnya menjadi terlena hingga tidak sadar jika pedang tersebut mungkin saja sudah menghunus ke dalam dadanya. Begitulah ciri khas seorang Dastan Kazeem. Walaupun tampak tenang di luar, namun sebenarnya pikiran Dastan sedang tidak baik-baik saja. Segala hal memenuhi pikiran pria itu. Hal tersebutlah yang menjadi penyebab kenapa ia lebih memilih melatih ilmu ped
Cansu memperhatikan Emine yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Wanita paruh baya itu kemudian memberikan secangkir teh itu padanya. "Silahkan, Nona. Secangkir teh melati akan membuat anda merasa tenang."ucap Emine seraya menyodorkan cangkir itu pada Cansu. Cansu diam saja. Ia menatap secangkir teh yang berada di hadapannya itu tanpa memberikan respon apapun. Hal itu, sontak membuat Emine kebingungan. "Apakah nona tidak menyukai teh melati? Maafkan saya, jika begitu saya akan membawakan nona minuman yang lain."ucap Emine sedikit panik. Melihat respon Emine yang demikian, sontak membuat Cansu menggelengkan kepalanya cepat. Ia menghentikan Emine yang ingin pergi mengambil minuman yang baru. "Tidak, bukan seperti itu. Aku--- hanya tengah memikirkan sesuatu."cegah Cansu. Wanita itu mengambil secangkir teh ditangan Emine lalu meminumnya sedikit. &
Dastan tengah berjalan menuju halaman belakang kastil bersama Gurmet. Sultan muda itu berniat untuk melihat kuda kesayangannya hari ini, sekaligus menungganginya. "Bagaimana Zaganos? Dia sudah diberi makan pagi ini?"tanya Dastan pada Gurmet. Gurmet menganggukkan kepalanya. "Sudah, Sultan. Ia sudah diberi makan seperti biasanya pagi ini,"jawabnya. Zaganos sendiri adalah nama kuda hitam kesayangan Dastan. Kuda itu adalah kuda yang selalu ia bawa ketika berperang maupun berburu. Zaganos memiliki tempat khusus di hati Dastan karena ia adalah hadiah terakhir dari Mahmud Pasha, guru Dastan sejak masih kecil yang telah wafat beberapa tahun yang lalu. Dastan menganggukkan kepalanya setelah mendengar jawaban dari Gurmet. Ia kemudian melanjutkan kembali langkahnya sembari membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kerajaan. Namun, langkah pria tampan itu terhenti saat melihat
"Karena aku berasal dari masa depan. Aku kemudian mengalami perjalanan lintas waktu dan berakhir di waktu yang sama denganmu." Dastan menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap ke arah Cansu penuh tanya. Hal yang baru saja dikatakan oleh wanita itu benar-benar di luar dugaan Dastan. "Aku sedang tidak ingin bercanda, Nona Cansu," ujar Dastan yang masih mengira Cansu mengatakan sebuah lelucon pada dirinya. Cansu mengerutkan dahinya. "Aku juga tidak sedang bercanda, Yang Mulia," ucapnya. "Jadi, maksudmu kau serius mengatakannya? Mengatakan semua itu?" Cansu menganggukkan kepalanya. "Hmm, semua yang kukatakan telah kupikirkan matang-matang sebelum memberitahumu." Dastan tercengang. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa wanita di depannya itu akan berkata demikian. Semua hal yang dikatakan oleh Cansu benar-benar tidak dapat diterima oleh akal sehat pr
Emine tersenyum lebar seraya memandang ke arah pantulan bayangan Cansu yang berada di cermin di depan mereka. Wanita paruh baya itu merasa bangga sekaligus puas atas kerja kerasnya yang membuahkan hasil maksimal. Kini, ia dapat melihat sosok Cansu yang begitu cantik tengah duduk di depannya. Pertama kali, saat ia mendengar bahwa Cansu akan diajak makan malam bersama sultan Dastan, entah mengapa dirinya langsung bersemangat ingin mendandani wanita itu. Mungkin, karena menurutnya apa yang dilakukan Dastan pada Cansu tidaklah biasa. Tidak pernah ia lihat Sultan melakukan hal yang sama kepada wanita yang belum ia kenali sepenuhnya. Bahkan makan malam bersama dengan sang permaisuri kerajaan sangat jarang sekali pria itu lakukan. Emine merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diri Cansu yang mampu menarik perhatian dari seorang Dastan. Sultan berhati dingin dan juga kejam. Pria itu biasanya akan menghukum seseorang yang ia angga
Dastan tengah berdiam diri di atas sebuah kursi bertahtakan emas kesayangannya yang berada di dalam kamar pria itu. Matanya menatap tajam pada udara kosong di hadapan pria itu. Sultan muda itu mengisi kepalanya dengan beragam pikiran yang membuatnya merasa pusing. Banyak sekali pertanyaan yang menggema di dalam sana namun, tidak ada satupun yang ia ketahui apa jawabannya. Hal itu semakin membuat dirinya frustasi sekaligus penasaran dengan semua misteri yang tengah ia hadapi. "Karena aku berasal dari masa depan. Aku kemudian mengalami perjalanan lintas waktu dan berakhir di waktu yang sama denganmu." Dastan teringat dengan pernyataan mengejutkan yang keluar dari mulut Cansu saat dirinya bertemu dengannya di taman pagi tadi. Ia berusaha untuk menyangkal dan menganggap semua yang dikatakan wanita itu hanyalah candaan semata. Namun, saat Dastan menatap ke dalam mata Cansu, mencoba un
Cansu melangkahkan kakinya lebar-lebar di sepanjang koridor Kastil. Wanita cantik itu tengah dalam perjalanan menuju ke kamar pribadinya yang terletak di bagian sayap kanan kastil. Orang-orang yang tidak sengaja berpapasan dengannya menatap Cansu aneh. Wajah wanita itu merah bak kepiting rebus. Ditambah lagi dengan jalannya yang cepat seperti tengah dikejar oleh sesuatu. Namun, untungnya Cansu tetap membalas sapaan orang-orang yang bertemu dengannya meski hanya dengan anggukan kepala. Langkah wanita itu melambat saat ia mencapai pintu kamarnya. Dengan segera wanita itu membuka pintu tersebut lalu menutupnya dengan keras. Ia lalu menyandarkan punggungnya pada pintu seraya menarik napas dengan panjang. Cansu mendudukkan dirinya yang masih bersandar pada pintu. Wanita itu memegang dadanya. Ia berusaha merasakan detak jantungnya yang berdetak tidak karuan. Sangat kencang seakan ingin melompat dari tempatnya.
"Sudah selesai?"tanya Cansu saat melihat Dastan yang berjalan mendekat ke arahnya. Pria itu tampak mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Cansu. Dastan mengerutkan dahinya menatap ke arah Cansu yang tengah duduk di atas hamparan rumput tanpa menggunakan alas apapun. Wanita itu tampak menikmati posisinya di atas hamparan rumput yang tentu saja dapat mengotori gaunnya yang bewarna biru muda. "Apa yang sedang kau lakukan?"tanya Dastan. Cansu menengadahkan kepalanya agar bisa menatap langsung wajah Dastan yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Wanita itu mengerutkan dahinya bingung. Ia tidak paham dengan apa yang ditanyakan oleh sultan muda itu. "Aku tidak melakukan apapun," jawab Cansu seadanya. "Kau duduk begitu saja di sini tanpa menggunakan apapun sebagai alasmu. Kau tidak takut sesuatu akan mengotori gaun yang tengah kau kenakan?"tanya Dastan panjang lebar.
"Karena aku berasal dari masa depan. Aku kemudian mengalami perjalanan lintas waktu dan berakhir di waktu yang sama denganmu." Dastan menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap ke arah Cansu penuh tanya. Hal yang baru saja dikatakan oleh wanita itu benar-benar di luar dugaan Dastan. "Aku sedang tidak ingin bercanda, Nona Cansu," ujar Dastan yang masih mengira Cansu mengatakan sebuah lelucon pada dirinya. Cansu mengerutkan dahinya. "Aku juga tidak sedang bercanda, Yang Mulia," ucapnya. "Jadi, maksudmu kau serius mengatakannya? Mengatakan semua itu?" Cansu menganggukkan kepalanya. "Hmm, semua yang kukatakan telah kupikirkan matang-matang sebelum memberitahumu." Dastan tercengang. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa wanita di depannya itu akan berkata demikian. Semua hal yang dikatakan oleh Cansu benar-benar tidak dapat diterima oleh akal sehat pr
Dastan tengah berjalan menuju halaman belakang kastil bersama Gurmet. Sultan muda itu berniat untuk melihat kuda kesayangannya hari ini, sekaligus menungganginya. "Bagaimana Zaganos? Dia sudah diberi makan pagi ini?"tanya Dastan pada Gurmet. Gurmet menganggukkan kepalanya. "Sudah, Sultan. Ia sudah diberi makan seperti biasanya pagi ini,"jawabnya. Zaganos sendiri adalah nama kuda hitam kesayangan Dastan. Kuda itu adalah kuda yang selalu ia bawa ketika berperang maupun berburu. Zaganos memiliki tempat khusus di hati Dastan karena ia adalah hadiah terakhir dari Mahmud Pasha, guru Dastan sejak masih kecil yang telah wafat beberapa tahun yang lalu. Dastan menganggukkan kepalanya setelah mendengar jawaban dari Gurmet. Ia kemudian melanjutkan kembali langkahnya sembari membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kerajaan. Namun, langkah pria tampan itu terhenti saat melihat
Cansu memperhatikan Emine yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Wanita paruh baya itu kemudian memberikan secangkir teh itu padanya. "Silahkan, Nona. Secangkir teh melati akan membuat anda merasa tenang."ucap Emine seraya menyodorkan cangkir itu pada Cansu. Cansu diam saja. Ia menatap secangkir teh yang berada di hadapannya itu tanpa memberikan respon apapun. Hal itu, sontak membuat Emine kebingungan. "Apakah nona tidak menyukai teh melati? Maafkan saya, jika begitu saya akan membawakan nona minuman yang lain."ucap Emine sedikit panik. Melihat respon Emine yang demikian, sontak membuat Cansu menggelengkan kepalanya cepat. Ia menghentikan Emine yang ingin pergi mengambil minuman yang baru. "Tidak, bukan seperti itu. Aku--- hanya tengah memikirkan sesuatu."cegah Cansu. Wanita itu mengambil secangkir teh ditangan Emine lalu meminumnya sedikit. &
Di malam yang sunyi, tampak seorang pria tengah bergelut dengan pedangnya. Ia tampak bergerak dengan indah seolah menari menggunakan pedang tajamnya di bawah cahaya bulan. Tidak ada yang menemaninya kecuali keheningan malam. Dia adalah Dastan Kazeem. Seorang sultan muda yang namanya tersohor di penjuru negeri. Entah apa yang merasuki pikiran pria tampan itu, sehingga di tengah malam seperti ini, alih-alih beristirahat ia malah berlatih dengan pedang kesayangannya. Gerakannya tampak begitu tenang, namun berbahaya. Begitu indah hingga membuat siapapun yang menatapnya menjadi terlena hingga tidak sadar jika pedang tersebut mungkin saja sudah menghunus ke dalam dadanya. Begitulah ciri khas seorang Dastan Kazeem. Walaupun tampak tenang di luar, namun sebenarnya pikiran Dastan sedang tidak baik-baik saja. Segala hal memenuhi pikiran pria itu. Hal tersebutlah yang menjadi penyebab kenapa ia lebih memilih melatih ilmu ped
Malam hari yang gelap. Ketika suasana sekitar telah tampak begitu sunyi. Ketika semua orang telah sibuk terlarut dalam mimpi, tampak seekor kuda melaju dengan kencang melintasi permukiman. Di atas kuda coklat tersebut terdapat seorang prajurit yang merupakan mata-mata kepercayaan Sultan Dastan. Ia tampak tenang melintasi kesunyian malam. Perlahan, langkah kaki kuda milai melambat hingga akhirnya benar-benar berhenti di sebuah toko yang tampak tutup. Pria itu turun dari kuda yang ia tunggangu, lalu melangkah pelan memasuki toko tersebut. Pria itu tampak tenang membobol pintu toko yang telah terkunci rapat lalu memasukinya. Berbekal pencahaayan dari sinar bulan, pria itu nekat menyisir seluruh isi dalam toko. Mencoba mencari petunjuk apapun itu. Keadaan toko masih tampak begitu rapi. Seperti biasanya terlihat. Hanya beberapa debu menutupi bagian-bagian toko. Terlihat sekali, toko ini sudah cukup lama ditinggal pe