Cansu menatap hampa pantulan dirinya pada cermin yang berada di hadapannya. Penampilan wanita itu saat ini telah benar-benar berubah. Ia tidak lagi mengenakan kemeja bewarna biru dan rok spannya yang kotor. Semuanya telah terganti dengan sebuah gaun mewah berbahan sutra yang membuat wanita itu kesulitan untuk bergerak.
Cansu memperhatikan setiap detail gaun yang ia kenakan. Gaun bewarna maroon itu benar-benar terlihat seperti pakaian seorang bangsawan. Membuat wanita itu kembali mempertanyakan keberadaannya saat ini.
Ia kembali mengingat tentang pertengkarannya dengan Dastan beberapa jam yang lalu. Di mana mereka sama-sama dibuat kebingungan dengan kebenaran yang ada.
"Apa maksudmu? Kau mencoba untuk membodohiku? Nona Cansu, sekarang ini masih tahun 1389. Bagaimana bisa kau mengatakan hal tersebut?"
Cansu kembali teringat pada apa yang dikatakan oleh Dastan tadi. Pria itu dengan ngototnya mengatakan bahwa mereka berdua tengah berada di tahun 1389. Padahal Cansu benar-benar yakin bahwa ia tengah berada di tahun 2025.
Namun, melihat dari bagaimana cara pria itu berbicara dengan begitu serius, membuat keyakinan Cansu sedikit goyah. Bahkan sebelumnya, wanita itu sudah bertanya kepada kepala pelayan yang sedang menyisir rambutnya itu.
"Apa benar ini tahun 1389?"gumam Cansu.
Emine, selaku kepala pelayan yang tengah menyisir rambut hitam Cansu melirik wanita itu sebelum akhirnya, ia kembali melanjutkan kegiatannya. Wanita paruh baya itu mendengar apa yang dikatakan oleh Cansu walaupun wanita itu menggumamkannya dengan pelan.
Emine menatap iba pada wanita muda di depannya itu. Walaupun, sebelumnya ia sedikit merasa tidak suka dengan sikap Cansu yang cenderung terlihat aneh. Namun, melihat bagaimana Dastan memarahi wanita muda itu tak urung membuatnya merasa kasihan. Terlebih lagi saat ia melihat Cansu meringkuk ketakutan.
Rasa iba itu semakin membesar tatkala ia mengetahui bahwa Cansu hanya seorang diri berada di kastil itu. Emine dapat melihat begitu jelas ketakutan sekaligus rasa bingung yang berada di kedua mata wanita itu. Ia sedang begitu ketakutan di dunia asing yang membuatnya bingung. Tidak ada yang bisa menjelaskan apapun kepadanya. Walaupun, sebelumnya Dastan telah berusaha membuatnya mengerti. Namun, sama seperti Cansu sultan muda itu juga tampak bingung dengan apa yang tengah mereka hadapi.
Emine memang tidak begitu mengerti permasalahan yang dihadapi oleh Cansu dan Dastan. Namun, dari perbincangan Dastan dan Cansu beberapa waktu lalu, membuat wanita paruh baya itu bisa mengambil beberapa kesimpulan.
Cansu adalah seorang wanita asing yang tidak diketahui identitasnya. Ia terus saja mengucapkan kata-kata yang membuat Dastan merasa kebingungan. Semua hal yang diucapkan oleh Cansu terkesan misterius dan begitu aneh. Membuat siapapun yang mendengar wanita itu berbicara merasa kebingungan dengan apa yang ia katakan.
Emine ingat, Canus terus saja menggumamkan tahun 1389. Bahkan wanita paruh baya itu sudah mendengar kata-kata itu lebih dari 10 kali hari ini sehingga membuatnya merasa sedikit muak.
Namun, ada satu hal lagi yang membuat suasana semakin rumit. Saat pertengkaran Cansu dengan Dastan, wanita muda itu mengatakan bahwa tahun di mana mereka berada saat ini adalah tahun 2025. Membuat Emine pusing setengah mati. Ia bertanya-tanya apa maksud dari wanita muda tersebut. Sehingga mengatakan hal yang benar-benar aneh itu.
Tiba-tiba, suatu pemikiran muncul di dalam benak Emine. Pemikiran itu muncul begitu saja seolah-olah itu adalah jawaban atas kebingungannya. Mata Emine kemudian membulat. Ia menggumamkan sebuah kalimat yang benar-benar membuatnya merasa terkejut.
"Apa mungkin Nona Cansu berasal dari masa depan?"tanya Emine tidak percaya.
Ternyata, gumamannya itu bukan hanya sekedar gumaman. Apa yang ia katakan tadi, juga di dengar oleh Cansu. Karena itu, saat Emine menatap cermin di depannya, ia kembali dibuat terkejut dengan Cansu yang menatap ke arahnya lewat cermin.
"Aku? Aku berasal dari masa depan?"tanya Cansu yang terlihat semakin kebingungan. Wanita itu menatap Emine dengan kedua matanya yang sembab.
Emine gelagapan. Wanita itu memegang sisir dengan tangannya yang gemetaran. Ia menatap Cansu takut-takut. Sesekali, wanita paruh baya itu merutuki mulutnya yang sembarangan berbicara tanpa bisa melihat sedang di mana ia berdiri.
"T--tidak ada apa-apa, Nona. Saya tadi hanya salah bicara saja. Baiklah, rambut anda sudah siap. Saya akan meminta Defne membawakan makanan anda segera."ucap Emine gugup.
Cansu membalikkan tubuhnya. Ia menatap Emine serius. "Apa menurutmu aku ini datang dari masa depan?"
Emine menundukkan kepalanya. Wanita paruh baya itu semakin gugup terlebih lagi dengan Cansu yang menatapnya penuh tanya.
"Maafkan saya, Nona. Saya harus segera pergi. Ada banyak hal yang harus saya kerjakan. Baiklah, saya permisi."pamit Emine yang langsung pergi begitu saja bahkan sebelum Cansu sempat membalas ucapannya.
Cansu menatap nanar pintu kamarnya yang sudah kembali tertutup. Lagi dan lagi, ucapan orang-orang di tempat itu membuatnya penasaran. Kini ada satu hal lagi yang menambah pikirannya.
"Apa mungkin Nona Cansu berasal dari masa depan?"
Kalimat itu terus terngiang di pikiran Cansu. Membuat banyak pertanyaan muncul di benaknya. Wanita itu menatap pantulan dirinya di cermin.
Entah mengapa, ucapan Emine tadi membuat Cansu merasa ada hubungannya dengan permasalahan yang tengah wanita itu hadapi. Walaupun terdengar sedikit tidak masuk akal. Namun, jika semua permasalahan yang ia alami digabungkan menjadi satu, mulai dari pertemuannya dengan Gandhi, hingga berakhirnya ia di kastil, membuat wanita itu menemukan sebuah kesimpulan yang mengarah ke ucapan Emine.
"Apa maksudmu? Kau mencoba untuk membodohiku? Nona Cansu, sekarang ini masih tahun 1389. Bagaimana bisa kau mengatakan hal tersebut?"
Ia kembali teringat kepada ucaoan Dastan yang semakin menguatkan dugaannya terhadap ucapan kepala pelayan itu. Semua hal aneh yang ia alami adalah karena dirinya yang tersesat di masa lalu. Mungkin, karena itu pulalah semua hal yang ia katakan kepada Dastan tidak dapat pria itu terima begitu saja.
Lantas, apa yang membuat Cansu bisa berada di tahun yang bahkan ia belum lahir pada saat itu? Apa yang membuat ia bisa terjebak di era kesultanan Sultan Dastan yang terkenal itu? Siapa dan apa penyebabnya hingga ia bisa berakhir di sini sekarang?
Tiba-tiba, Cansu teringat pada sosok Gandhi. Ia teringat setelah dirinya bertemu dengan pria itu, hal-hal aneh kemudian mendatanginya secara beruntun.
"Ya, pasti dia adalah penyebabnya. Dialah yang membuatku terjebak di masa lalu seperti ink. Dialah yang membuatku terlihat seperti orang bodoh yang tidak mengerti apapun di tempat ini. Aku harus segera menemuinya. Aku harus segera menemui Gandhi."
"Bagaimana keadaan istana?"tanya Dastan pada pria yang berjalan bersamanya. Ia adalah Gurmet. Tangan kanan Dastan. Mereka berdua tengah berjalan di sepanjang koridor Kastil persinggahan sembari membicarakan beberapa hal terkait dengan kerajaan Farabi. Kerajaan yang dipimpin oleh Dastan. Kastil persinggahan sendiri adalah tempat peristirahatan Dastan. Tempat di mana ia menghabiskan waku luangnya atau ketika ia hendak pergi berburu, ia akan menginap di kastil persinggahan. Tempat tersebut merupakan hadiah dari Sultan Fahreezan III untuk Dastan saat pertama kali dirinya menjabat sebagai sultan Kerajaan Farabi. Kastil persinggahan kerap menjadi tempat berkumpulnya seluruh rahasia Dastan. Kastil tersebut bahkan memiliki banyak hal tersembunyi dibandingkan Istana Galall. Karena itulah, Dastan selalu memperketat penjagaan di sekitar kastil. Tempat itu juga sengaja dibuat di pinggir huta
Malam hari yang gelap. Ketika suasana sekitar telah tampak begitu sunyi. Ketika semua orang telah sibuk terlarut dalam mimpi, tampak seekor kuda melaju dengan kencang melintasi permukiman. Di atas kuda coklat tersebut terdapat seorang prajurit yang merupakan mata-mata kepercayaan Sultan Dastan. Ia tampak tenang melintasi kesunyian malam. Perlahan, langkah kaki kuda milai melambat hingga akhirnya benar-benar berhenti di sebuah toko yang tampak tutup. Pria itu turun dari kuda yang ia tunggangu, lalu melangkah pelan memasuki toko tersebut. Pria itu tampak tenang membobol pintu toko yang telah terkunci rapat lalu memasukinya. Berbekal pencahaayan dari sinar bulan, pria itu nekat menyisir seluruh isi dalam toko. Mencoba mencari petunjuk apapun itu. Keadaan toko masih tampak begitu rapi. Seperti biasanya terlihat. Hanya beberapa debu menutupi bagian-bagian toko. Terlihat sekali, toko ini sudah cukup lama ditinggal pe
Di malam yang sunyi, tampak seorang pria tengah bergelut dengan pedangnya. Ia tampak bergerak dengan indah seolah menari menggunakan pedang tajamnya di bawah cahaya bulan. Tidak ada yang menemaninya kecuali keheningan malam. Dia adalah Dastan Kazeem. Seorang sultan muda yang namanya tersohor di penjuru negeri. Entah apa yang merasuki pikiran pria tampan itu, sehingga di tengah malam seperti ini, alih-alih beristirahat ia malah berlatih dengan pedang kesayangannya. Gerakannya tampak begitu tenang, namun berbahaya. Begitu indah hingga membuat siapapun yang menatapnya menjadi terlena hingga tidak sadar jika pedang tersebut mungkin saja sudah menghunus ke dalam dadanya. Begitulah ciri khas seorang Dastan Kazeem. Walaupun tampak tenang di luar, namun sebenarnya pikiran Dastan sedang tidak baik-baik saja. Segala hal memenuhi pikiran pria itu. Hal tersebutlah yang menjadi penyebab kenapa ia lebih memilih melatih ilmu ped
Cansu memperhatikan Emine yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Wanita paruh baya itu kemudian memberikan secangkir teh itu padanya. "Silahkan, Nona. Secangkir teh melati akan membuat anda merasa tenang."ucap Emine seraya menyodorkan cangkir itu pada Cansu. Cansu diam saja. Ia menatap secangkir teh yang berada di hadapannya itu tanpa memberikan respon apapun. Hal itu, sontak membuat Emine kebingungan. "Apakah nona tidak menyukai teh melati? Maafkan saya, jika begitu saya akan membawakan nona minuman yang lain."ucap Emine sedikit panik. Melihat respon Emine yang demikian, sontak membuat Cansu menggelengkan kepalanya cepat. Ia menghentikan Emine yang ingin pergi mengambil minuman yang baru. "Tidak, bukan seperti itu. Aku--- hanya tengah memikirkan sesuatu."cegah Cansu. Wanita itu mengambil secangkir teh ditangan Emine lalu meminumnya sedikit. &
Dastan tengah berjalan menuju halaman belakang kastil bersama Gurmet. Sultan muda itu berniat untuk melihat kuda kesayangannya hari ini, sekaligus menungganginya. "Bagaimana Zaganos? Dia sudah diberi makan pagi ini?"tanya Dastan pada Gurmet. Gurmet menganggukkan kepalanya. "Sudah, Sultan. Ia sudah diberi makan seperti biasanya pagi ini,"jawabnya. Zaganos sendiri adalah nama kuda hitam kesayangan Dastan. Kuda itu adalah kuda yang selalu ia bawa ketika berperang maupun berburu. Zaganos memiliki tempat khusus di hati Dastan karena ia adalah hadiah terakhir dari Mahmud Pasha, guru Dastan sejak masih kecil yang telah wafat beberapa tahun yang lalu. Dastan menganggukkan kepalanya setelah mendengar jawaban dari Gurmet. Ia kemudian melanjutkan kembali langkahnya sembari membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kerajaan. Namun, langkah pria tampan itu terhenti saat melihat
"Karena aku berasal dari masa depan. Aku kemudian mengalami perjalanan lintas waktu dan berakhir di waktu yang sama denganmu." Dastan menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap ke arah Cansu penuh tanya. Hal yang baru saja dikatakan oleh wanita itu benar-benar di luar dugaan Dastan. "Aku sedang tidak ingin bercanda, Nona Cansu," ujar Dastan yang masih mengira Cansu mengatakan sebuah lelucon pada dirinya. Cansu mengerutkan dahinya. "Aku juga tidak sedang bercanda, Yang Mulia," ucapnya. "Jadi, maksudmu kau serius mengatakannya? Mengatakan semua itu?" Cansu menganggukkan kepalanya. "Hmm, semua yang kukatakan telah kupikirkan matang-matang sebelum memberitahumu." Dastan tercengang. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa wanita di depannya itu akan berkata demikian. Semua hal yang dikatakan oleh Cansu benar-benar tidak dapat diterima oleh akal sehat pr
"Sudah selesai?"tanya Cansu saat melihat Dastan yang berjalan mendekat ke arahnya. Pria itu tampak mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Cansu. Dastan mengerutkan dahinya menatap ke arah Cansu yang tengah duduk di atas hamparan rumput tanpa menggunakan alas apapun. Wanita itu tampak menikmati posisinya di atas hamparan rumput yang tentu saja dapat mengotori gaunnya yang bewarna biru muda. "Apa yang sedang kau lakukan?"tanya Dastan. Cansu menengadahkan kepalanya agar bisa menatap langsung wajah Dastan yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Wanita itu mengerutkan dahinya bingung. Ia tidak paham dengan apa yang ditanyakan oleh sultan muda itu. "Aku tidak melakukan apapun," jawab Cansu seadanya. "Kau duduk begitu saja di sini tanpa menggunakan apapun sebagai alasmu. Kau tidak takut sesuatu akan mengotori gaun yang tengah kau kenakan?"tanya Dastan panjang lebar.
Cansu melangkahkan kakinya lebar-lebar di sepanjang koridor Kastil. Wanita cantik itu tengah dalam perjalanan menuju ke kamar pribadinya yang terletak di bagian sayap kanan kastil. Orang-orang yang tidak sengaja berpapasan dengannya menatap Cansu aneh. Wajah wanita itu merah bak kepiting rebus. Ditambah lagi dengan jalannya yang cepat seperti tengah dikejar oleh sesuatu. Namun, untungnya Cansu tetap membalas sapaan orang-orang yang bertemu dengannya meski hanya dengan anggukan kepala. Langkah wanita itu melambat saat ia mencapai pintu kamarnya. Dengan segera wanita itu membuka pintu tersebut lalu menutupnya dengan keras. Ia lalu menyandarkan punggungnya pada pintu seraya menarik napas dengan panjang. Cansu mendudukkan dirinya yang masih bersandar pada pintu. Wanita itu memegang dadanya. Ia berusaha merasakan detak jantungnya yang berdetak tidak karuan. Sangat kencang seakan ingin melompat dari tempatnya.
Emine tersenyum lebar seraya memandang ke arah pantulan bayangan Cansu yang berada di cermin di depan mereka. Wanita paruh baya itu merasa bangga sekaligus puas atas kerja kerasnya yang membuahkan hasil maksimal. Kini, ia dapat melihat sosok Cansu yang begitu cantik tengah duduk di depannya. Pertama kali, saat ia mendengar bahwa Cansu akan diajak makan malam bersama sultan Dastan, entah mengapa dirinya langsung bersemangat ingin mendandani wanita itu. Mungkin, karena menurutnya apa yang dilakukan Dastan pada Cansu tidaklah biasa. Tidak pernah ia lihat Sultan melakukan hal yang sama kepada wanita yang belum ia kenali sepenuhnya. Bahkan makan malam bersama dengan sang permaisuri kerajaan sangat jarang sekali pria itu lakukan. Emine merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diri Cansu yang mampu menarik perhatian dari seorang Dastan. Sultan berhati dingin dan juga kejam. Pria itu biasanya akan menghukum seseorang yang ia angga
Dastan tengah berdiam diri di atas sebuah kursi bertahtakan emas kesayangannya yang berada di dalam kamar pria itu. Matanya menatap tajam pada udara kosong di hadapan pria itu. Sultan muda itu mengisi kepalanya dengan beragam pikiran yang membuatnya merasa pusing. Banyak sekali pertanyaan yang menggema di dalam sana namun, tidak ada satupun yang ia ketahui apa jawabannya. Hal itu semakin membuat dirinya frustasi sekaligus penasaran dengan semua misteri yang tengah ia hadapi. "Karena aku berasal dari masa depan. Aku kemudian mengalami perjalanan lintas waktu dan berakhir di waktu yang sama denganmu." Dastan teringat dengan pernyataan mengejutkan yang keluar dari mulut Cansu saat dirinya bertemu dengannya di taman pagi tadi. Ia berusaha untuk menyangkal dan menganggap semua yang dikatakan wanita itu hanyalah candaan semata. Namun, saat Dastan menatap ke dalam mata Cansu, mencoba un
Cansu melangkahkan kakinya lebar-lebar di sepanjang koridor Kastil. Wanita cantik itu tengah dalam perjalanan menuju ke kamar pribadinya yang terletak di bagian sayap kanan kastil. Orang-orang yang tidak sengaja berpapasan dengannya menatap Cansu aneh. Wajah wanita itu merah bak kepiting rebus. Ditambah lagi dengan jalannya yang cepat seperti tengah dikejar oleh sesuatu. Namun, untungnya Cansu tetap membalas sapaan orang-orang yang bertemu dengannya meski hanya dengan anggukan kepala. Langkah wanita itu melambat saat ia mencapai pintu kamarnya. Dengan segera wanita itu membuka pintu tersebut lalu menutupnya dengan keras. Ia lalu menyandarkan punggungnya pada pintu seraya menarik napas dengan panjang. Cansu mendudukkan dirinya yang masih bersandar pada pintu. Wanita itu memegang dadanya. Ia berusaha merasakan detak jantungnya yang berdetak tidak karuan. Sangat kencang seakan ingin melompat dari tempatnya.
"Sudah selesai?"tanya Cansu saat melihat Dastan yang berjalan mendekat ke arahnya. Pria itu tampak mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Cansu. Dastan mengerutkan dahinya menatap ke arah Cansu yang tengah duduk di atas hamparan rumput tanpa menggunakan alas apapun. Wanita itu tampak menikmati posisinya di atas hamparan rumput yang tentu saja dapat mengotori gaunnya yang bewarna biru muda. "Apa yang sedang kau lakukan?"tanya Dastan. Cansu menengadahkan kepalanya agar bisa menatap langsung wajah Dastan yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Wanita itu mengerutkan dahinya bingung. Ia tidak paham dengan apa yang ditanyakan oleh sultan muda itu. "Aku tidak melakukan apapun," jawab Cansu seadanya. "Kau duduk begitu saja di sini tanpa menggunakan apapun sebagai alasmu. Kau tidak takut sesuatu akan mengotori gaun yang tengah kau kenakan?"tanya Dastan panjang lebar.
"Karena aku berasal dari masa depan. Aku kemudian mengalami perjalanan lintas waktu dan berakhir di waktu yang sama denganmu." Dastan menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap ke arah Cansu penuh tanya. Hal yang baru saja dikatakan oleh wanita itu benar-benar di luar dugaan Dastan. "Aku sedang tidak ingin bercanda, Nona Cansu," ujar Dastan yang masih mengira Cansu mengatakan sebuah lelucon pada dirinya. Cansu mengerutkan dahinya. "Aku juga tidak sedang bercanda, Yang Mulia," ucapnya. "Jadi, maksudmu kau serius mengatakannya? Mengatakan semua itu?" Cansu menganggukkan kepalanya. "Hmm, semua yang kukatakan telah kupikirkan matang-matang sebelum memberitahumu." Dastan tercengang. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa wanita di depannya itu akan berkata demikian. Semua hal yang dikatakan oleh Cansu benar-benar tidak dapat diterima oleh akal sehat pr
Dastan tengah berjalan menuju halaman belakang kastil bersama Gurmet. Sultan muda itu berniat untuk melihat kuda kesayangannya hari ini, sekaligus menungganginya. "Bagaimana Zaganos? Dia sudah diberi makan pagi ini?"tanya Dastan pada Gurmet. Gurmet menganggukkan kepalanya. "Sudah, Sultan. Ia sudah diberi makan seperti biasanya pagi ini,"jawabnya. Zaganos sendiri adalah nama kuda hitam kesayangan Dastan. Kuda itu adalah kuda yang selalu ia bawa ketika berperang maupun berburu. Zaganos memiliki tempat khusus di hati Dastan karena ia adalah hadiah terakhir dari Mahmud Pasha, guru Dastan sejak masih kecil yang telah wafat beberapa tahun yang lalu. Dastan menganggukkan kepalanya setelah mendengar jawaban dari Gurmet. Ia kemudian melanjutkan kembali langkahnya sembari membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kerajaan. Namun, langkah pria tampan itu terhenti saat melihat
Cansu memperhatikan Emine yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Wanita paruh baya itu kemudian memberikan secangkir teh itu padanya. "Silahkan, Nona. Secangkir teh melati akan membuat anda merasa tenang."ucap Emine seraya menyodorkan cangkir itu pada Cansu. Cansu diam saja. Ia menatap secangkir teh yang berada di hadapannya itu tanpa memberikan respon apapun. Hal itu, sontak membuat Emine kebingungan. "Apakah nona tidak menyukai teh melati? Maafkan saya, jika begitu saya akan membawakan nona minuman yang lain."ucap Emine sedikit panik. Melihat respon Emine yang demikian, sontak membuat Cansu menggelengkan kepalanya cepat. Ia menghentikan Emine yang ingin pergi mengambil minuman yang baru. "Tidak, bukan seperti itu. Aku--- hanya tengah memikirkan sesuatu."cegah Cansu. Wanita itu mengambil secangkir teh ditangan Emine lalu meminumnya sedikit. &
Di malam yang sunyi, tampak seorang pria tengah bergelut dengan pedangnya. Ia tampak bergerak dengan indah seolah menari menggunakan pedang tajamnya di bawah cahaya bulan. Tidak ada yang menemaninya kecuali keheningan malam. Dia adalah Dastan Kazeem. Seorang sultan muda yang namanya tersohor di penjuru negeri. Entah apa yang merasuki pikiran pria tampan itu, sehingga di tengah malam seperti ini, alih-alih beristirahat ia malah berlatih dengan pedang kesayangannya. Gerakannya tampak begitu tenang, namun berbahaya. Begitu indah hingga membuat siapapun yang menatapnya menjadi terlena hingga tidak sadar jika pedang tersebut mungkin saja sudah menghunus ke dalam dadanya. Begitulah ciri khas seorang Dastan Kazeem. Walaupun tampak tenang di luar, namun sebenarnya pikiran Dastan sedang tidak baik-baik saja. Segala hal memenuhi pikiran pria itu. Hal tersebutlah yang menjadi penyebab kenapa ia lebih memilih melatih ilmu ped
Malam hari yang gelap. Ketika suasana sekitar telah tampak begitu sunyi. Ketika semua orang telah sibuk terlarut dalam mimpi, tampak seekor kuda melaju dengan kencang melintasi permukiman. Di atas kuda coklat tersebut terdapat seorang prajurit yang merupakan mata-mata kepercayaan Sultan Dastan. Ia tampak tenang melintasi kesunyian malam. Perlahan, langkah kaki kuda milai melambat hingga akhirnya benar-benar berhenti di sebuah toko yang tampak tutup. Pria itu turun dari kuda yang ia tunggangu, lalu melangkah pelan memasuki toko tersebut. Pria itu tampak tenang membobol pintu toko yang telah terkunci rapat lalu memasukinya. Berbekal pencahaayan dari sinar bulan, pria itu nekat menyisir seluruh isi dalam toko. Mencoba mencari petunjuk apapun itu. Keadaan toko masih tampak begitu rapi. Seperti biasanya terlihat. Hanya beberapa debu menutupi bagian-bagian toko. Terlihat sekali, toko ini sudah cukup lama ditinggal pe