"Silahkan masuk, Nyonya Amber!" Nancy membukakan pintu. Memberi jalan untuk Amber agar bisa masuk ke dalam ruangannya.
Amber keluar mobil dan berjalan di koridor sekolah dengan langkah tegap. Pandangannya lurus ke depan meskipun banyak sekali murid yang menatap penasaran ke arahnya.
Begitu sampai di depan ruangan Miss Nancy, orang yang memanggil Amber kemarin, dia mengetuk pintu dengan anggun.
Ruangan yang elegan, pikir Amber setelah mendudukkan diri di sebuah kursi tempat Nancy mempersilahkannya.
"Tunggu sebentar, Nyonya. Putra Anda sedang dipanggil dari kelasnya."
"Baik, terima kasih."
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka lagi. Amber mengira itu adalah putranya, tetapi sosok yang muncul dari balik pintu adalah laki-laki jangkung yang Amber lihat di ruangan kerjanya kemarin.
Amber nyaris tak berkedip karena keheranan.
"Siang, Miss!" Adam mengangguk ke arah Nancy. "Dan ... kita berjumpa lagi, Miss Amber!"
Amber buru-buru mengalihkan pandangan dan menatap lurus untuk memperlihatkan keanggunannya. "Jadi benar, dia adalah ayah dari gadis yang sudah mem-bully putraku," pikirnya. Berusaha bersikap normal.
"Silahkan duduk, Pak Adam!" Nancy mempersilahkan Adam duduk di samping Amber.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka lagi. Daniel muncul bersama dengan seorang gadis berwajah bulat dengan mata besar di bawah dahi indahnya. Amber menatap Adam dan gadis itu bergantian, tidak ada satu pun kemiripan antara keduanya.
"Dad!" seru Ovi sambil berlarian ke arah Adam dan memeluk lehernya. Sedangkan Daniel berjalan pelan ke samping Amber.
"Maaf sebelumnya karena sudah menganggu waktu Anda." Nancy duduk di kursinya dengan ekspresi serius. "Saya ingin menyampaikan kabar singkat tentang anak-anak Anda."
"Oh tidak!" pekik Ovi ketika sadar siapa sosok yang duduk di samping ayahnya. Seketika semua pandangan tertuju kepadanya. "Kau Miss Amber Jenn!" matanya yang berwarna keabu-abuan membelalak takjub.
"Ya, itu saya," sahut Amber dengan nada profesional.
Ovi menjulurkan tangan. Tersenyum antusias. Amber ragu-ragu menjabat tangan mungilnya. "Senang bertemu dengan Anda, Miss. Saya mengoleksi barang-barang Anda. Ketika saya besar nanti, saya ingin sekali mengoleksi pakaian-pakaian Anda yang sangat cocok dengan kepribadian saya---"
"Maaf, Ovi!" sela Nancy membuat mata lebar Ovi teralihkan padanya. "Kurasa kau bisa bicara dengan Miss Amber nanti."
Ovi mengulum senyum. "Baiklah, Miss Nancy. Silahkan lanjutkan!"
"Baik, terima kasih." Nancy kembali menatap lurus ke arah Adam dan Amber. "Apa yang terjadi kemarin, sangat diluar dugaan. Putra dan putri kalian bertengkar di tengah lapangan. Kami sangat sedih saat mengetahui bahwa Ovi dan Daniel sama sekali tidak menyesal karena sudah melanggar aturan."
Adam dan Amber menatap terkejut.
"Daniel?" Sikap profesional Amber melunak begitu melihat Daniel menunduk ketakutan.
Sementara Ovi hanya menaikkan alis ke arah ayahnya. "Dia sudah bercerita tentang ini kepada saya semalam. Saya janji akan mengontrol Ovi lebih ketat lagi, Miss Nancy," jelas Adam.
"Saya juga berharap seperti itu, Pak."
Adam berbisik di telinga Ovi. "Ovi, ayah ingin kita bicara setelah kita keluar dari sini."
Ovi tersenyum meremehkan. "Kenapa tidak."
Nancy menatap lurus ke arah Amber. "Saya juga sangat mengharapkan perubahan Daniel, Miss Amber."
Amber mengangguk kaku. "Dia jarang bercerita, karena itulah saya tidak tau. Tapi saya akan pastikan dia tidak akan mengulangi kesalahannya."
"Ovi dan juga Daniel!" seru Nancy dengan nada lebih bersahabat. "Kenapa kalian tidak berjabat dan saling memaafkan satu sama lain?"
Ovi menatap marah ke arah Daniel yang sedang menengadah ke arahnya. "Kenapa aku harus berjabat tangan dengannya? Maaf Miss Amber, tapi putramu tidak sopan kepadaku."
Amber menautkan alis kebingungan. Daniel sama sekali tidak melakukan perlawanan di sampingnya.
"Ovi, dengarkan Miss Nancy!" tegur Adam. Menarik lengan kecil putrinya untuk diarahkan ke hadapan Daniel.
Daniel langsung menjabat tangan Ovi.
"Itu bukan berarti kita sudah berdamai!" bisik Ovi dengan ekspresi mengancam. Adam langsung menariknya ke samping kursinya lagi.
"Saya tidak ingin mendengar tentang keributan kalian berdua di kelas maupun di koridor lagi, kalian mengerti?! Jika kalian masih berani bertengkar, saya tidak segan-segan untuk mengambil tindakan lebih jauh daripada memanggil orang tua kalian."
"Yes, Miss. Aku sangat setuju!" seru Ovi berbarengan dengan anggukan hormat Daniel.
Nancy menghela napas lega. Senyumnya pun terlihat tak seberat tadi. "Terima kasih, Nyonya Amber dan Pak Adam."
Amber bangkit disusul dengan Adam.
"Kami juga berterima kasih banyak untuk semua bantuan Anda, Miss Nancy!" sahut Adam sambil menjabat Nancy.
"Saya akan berusaha melakukan yang terbaik untuk memperhatikan putra saya." Amber menjabat Nancy.
Mereka keluar satu persatu. Adam dan Amber saling menatap nanar begitu mereka sampai di luar ruangan. Tidak ada yang bicara di tengah suasana canggung itu.
Amber merasa malu karena putranya tidak seberani Ovi, sedangkan Adam malu putrinya bersikap tak sopan.
Amber membawa Daniel pulang setelah Daniel mengambil tasnya di ruangan loker. Perasaannya campur aduk antara senang dan benci, terutama karena melihat putranya seolah direndahkan oleh sikap gadis hiperaktif itu.
Adam tidak segera pulang seperti Amber dan Daniel. Dia membawa Ovi ke taman untuk bicara baik-baik dengan anak itu. Terutama setelah Adam mendengar sendiri ketidaksopanan dan ancaman yang Ovi katakan kepada orang lain.
"Lihat, Papa! Kemarin aku menendang Daniel di sana." Ovi menunjuk koridor berisi empat tempat sampah berjejeran. "Dia ditertawakan anak-anak saat tubuhnya jatuh di rerumputan."
"Ovi, dengarkan Papa!" Adam menarik kedua bahu Ovi ke hadapannya. "Mem-bully orang lain itu salah besar. Apalagi kau seorang gadis."
"Seharusnya dia bisa melawan kan, Papa? Si culun Daniel itu. Kenapa dia cuma diam saja ketika aku mem-bully-nya? Apa dia bukan laki-laki?" Ovi tertawa.
"Dia masih kecil."
"Papa pikir aku sudah besar?"
"Iya, tapi ... Nak, setiap anak berbeda. Tidak semua dari mereka pemberani dan tidak semua dari mereka mengakui kehebatannya padahal sebenarnya dirinya salah."
Ovi mengerling bingung. "Apa maksud Papa?"
"Kau bertindak keterlaluan. Kau tidak tau Papa sedang berusaha melamar pekerjaan di perusahaan Miss Amber? Kalau kau menyakiti putranya, bagaimana Papa akan mendapatkan pekerjaan di sana?"
"Kenapa dia tidak seberani Miss Amber? Salah Daniel, dia penakut dan pengecut?"
"Aku sedang meminta persetujuan darimu untuk tidak menyakiti Daniel lagi kalau kau mau Papa bisa bekerja di perusahaan itu dan bertemu Miss Amber setiap hari. Papa bisa memberimu kabar tentang produk baru yang mereka keluarkan."
Ovi menarik napas dalam. Menatap ayahnya dengan ekspresi curiga.
Adam memeluk Ovi. Bukan salah Ovi punya sikap seperti ini. Dia memang tidak begitu memperhatikan Ovi sejak istrinya meninggal dan mereka tinggal berdua. Adam hanya fokus mencari uang agar Ovi bisa membeli apapun yang dia inginkan.
"Aku harus berhenti mem-bully Daniel? Lihat saja nanti." Salah satu alisnya terangkat.
Laki-laki berambut kecoklatan itu duduk berhadapan dengan Amber. Matanya berkedip aneh. Salah satu tangannya berada di atas meja, nyaris menempel dengan tangan Amber padahal semua orang tau perlakuan seperti itu sama sekali tidak sopan. Amber tidak memperhatikan apapun kecuali mendengarkan lawan bicaranya di telepon. Saat itu pintu terbuka dari luar. Wanita berusia 26 tahun masuk dengan ekspresi marah. "Amber, aku muak dengan laki-laki itu." Amber menoleh dengan ekspresi kesal. "Aku sedang menjawab telefon, Kaylin Hayes!" "Ya, tapi kau harus dengarkan aku. Laki-laki bernama Adam itu berani mengancamku untuk bisa masuk ke sini. Dia datang untuk ketiga kalinya sejak pagi. Kedatangannya sungguh meresahkan." Kaylin baru sadar ada laki-laki duduk berhadapan dengan Amber sedang menatap datar ke arahnya. "James, apa yang kau lakukan di sini?" "Cuma melaporkan masalah," sahut lelaki berambut coklat itu dengan ekspresi salah tingkah. "Kau sudah selesai? Kalau begitu, silahkan keluar!" Kay
"Hey, penakut!" ejek Ovi ke arah Daniel yang sedang memakan sandwich di kantin sendirian. "Dasar penakut!" Ovi menjulurkan lidahnya. "Daniel tidak berani bicara di depan ibunya," jelas Ovi kepada teman-temannya."Mungkin karena dia tidak bisa bicara," sahut salah satu dari mereka lalu tertawa terbahak.Ovi mengajak teman-temannya mendekat ke meja Daniel. "Dasar penakut!"Daniel menggebrak meja. Gejolak emosi membakar dadanya. Matanya menatap marah ke wajah Ovi. Alih-alih takut, Ovi dan teman-temannya terbahak hingga menjadi satu-satunya suara terkeras di kantin."Kau pasti mau menangis, 'kan? Menangis saja sekarang. Aku mau menonton!" Ovi tertawa lagi.Daniel menarik kotak bekalnya dari atas meja dan berjalan keluar kantin diiringi suara tawa Ovi dan teman-temannya.Dia terus berjalan ketika seisi kantin menatap penasaran ke arahnya."Aduh!" Daniel sadar dia tidak memperhatikan jalan hingga tak sengaja menabrak seseorang di koridor. Makanannya berhamburan di lantai. Daniel menoleh ke
Adam sangat antuasias di hari pertamanya bekerja di perusahaan Amber J. Dia menyiapkan sarapan sambil berdendang riang bersama Ovi yang kini sedang menikmati roti bakar dan selai dari atas meja."When ... you want me!" dendang mereka sama-sama. Ovi tertawa-tawa karena sang ayah membuat nada seperti kakek-kakek tersedak."Papa, stop!" kata Ovi saat Adam ingin melanjutkan lirik lagunya. "Kau membuatku tertawa sampai sakit perut.""Oh ya?" Adam duduk di kursinya dan menggelitik perut Ovi sampai tawa gadis itu tak bersuara.Kring ...Keduanya menatap ke arah pintu utama saat seseorang membunyikan bel di depan rumah."Oh tidak, kau hampir telat!" pekik Adam, langsung menyiapkan tas Ovi yang sudah tergeletak di ujung ruangan. "Jangan sampai papa dipanggil ke sekolah lagi, oke? Jangan buat ulah!""Ya," sahut Ovi sambil mengedikkan bahunya. Dia merebut tasnya di tangan Adam. "Semoga hari pertamamu di sana menyenangkan.""Semoga."Itulah yang Adam bayangkan. Berangkat ke kantor dan memperken
Adam mengendarai mobilnya sampai ke rumah sakit. Tanpa mengunci mobilnya, dia langsung berlarian menuju ke ruangan Ovi. Kebetulan saat itu dokter sedang keluar dari sana."Dokter!" seru Adam dengan dasi longgar dan rambut berantakan. "Saya ... saya ayahnya. Apakah Ovi baik-baik saja?""Dia mengalami cidera cukup dalam di kepala yang hampir melukai otaknya.""Oh tidak." Adam menelan saliva sebisanya."Jangan khawatir!" Dokter menepuk bahu Adam yang masih berguncang. "Putri Anda sangat kuat. Dia sedang dalam masa kritis saat ini, tapi sebentar lagi dia akan membaik."Adam langsung menghambur ke dalam ruangan. Lampu temaram di tengah ruangan memperlihatkan putrinya terbujur lemas di atas brangkar berwarna hijau. Hidungnya terpasang nasal kanul, sedangkan kepalanya terbalut perban."Ovi ...." Adam merasakan tubuhnya tertusuk ribuan pisau tepat di dadanya, dan itu tidak seberapa daripada rasa sakit yang sedang dia alami ketika melihat putrinya yang ceria dalam keadaan seperti ini."Dia cum
Hari berikutnya, Amber mendengar kabar bahwa Adam tidak berangkat ke kantor padahal hari ini adalah hari keduanya bekerja. Amber semakin dibuat marah. Memang bukan tugasnya mengurus karyawan, tetapi dia yang membuat kesepakatan untuk memberi waktu percobaan selama seminggu dan lelaki itu sama sekali tidak menganggap perintahnya serius.Keesokan harinya masih sama, Adam masih tak berangkat. Itu membuat keputusan Amber semakin bulat, dia akan memecat Adam sebelum menerimanya. Entah kenapa mengambil keputusan itu membuat Amber marah pada dirinya sendiri. Dia pernah terlena dengan cara Adam bicara, jujur saja, tetapi dia tidak ingin mengakuinya.Lagipula, Adam adalah tipe laki-laki yang suka main-main, buktinya dia tidak mengindahkan perintah Amber. Bahkan satu-satunya pekerjaan yang Amber berikan pun sama sekali tidak dikerjakan.Telepon berdering membuat lamunan Amber buyar. Dia menarik gagang telefon dan menjawab panggilan yang ternyata berasal dari resepsionisnya di luar."Ya, Kayli
Adam mengemas seluruh barang miliknya di sudut-sudut meja ruangan Ovi. Ovi sudah diperbolehkan pulang. Infus dan alat-alat medis di tubuhnya sudah dilepaskan. Dia sudah bisa bergerak bebas, bahkan meloncat-loncat gaya balet seperti kebiasaan anehnya di rumah."Papa, apa setelah ini kau akan mengajakku ke AJ lagi?" tanya Ovi setelah dia kelelahan menjijitkan kedua kakinya dan melayang sampai nyaris menjatuhkan gelas dari meja."Ke AJ, untuk apa?""Untuk ikut kau bekerja."Adam menghentikan tangannya yang sedang memasukkan makanan sisa ke tempat sampah. "Sebenarnya sayang ... papa sangat sibuk hari ini. Papa akan menitipkanmu ke Bibi Anderson, lalu papa akan pergi. Setuju?""Tidak. Rumah Bibi Anderson bau makanan busuk. Aku tidak mau ke sana. Lebih baik aku menunggu di rumah daripada berada di rumah itu."Adam menghela napas. "Baiklah. Papa tidak akan protes.""Hay!" sapa suara bernada tinggi tetapi pelan. Daniel muncul dari balik pintu. Masih mengenakan seragam sekolah.Ovi langsung me
"Oke, anak-anak. Kalian akan membentuk kelompok yang beranggotakan dua anak untuk mengerjakan essai dariku. Tugas essai itu harus diselesaikan dalam waktu satu minggu. Kalian bisa meminta dampingan orang tua atau pengasuh kalian untuk mengerjakan tugas itu bersama-sama!" jelas Miss Travizo di depan kelas."Miss!" tangan milik seorang gadis yang duduk di bangku paling belakang terangkat ke atas, dia adalah Ovi. "Apakah kita bisa memilih partner kita sendiri?""Ya, tentu saja. Kalian bisa pilih partner yang kalian inginkan.""Ovi!" seru gadis berambut kepang yang duduk di samping Ovi. "Kau mau bersamaku, 'kan?""Tidak," sahut Ovi dengan nada mengejek. "Aku tidak mau sekelompok dengan anak yang tidak mau berkontribusi ketika menyelesaikan pr."Gadis berambut kepang itu menatap malas. "Lalu, kau mau dengan siapa?""Daniel," sahut Ovi dengan nada antusias."Daniel? Kau serius? Pasti kau hanya akan menghabiksan waktumu dengan memukulinya.""Tidak. Aku tidak akan memukulinya lagi." Daniel m
Tok tok ..."Boleh aku masuk?" James berdiri di ambang pintu ruangan Amber."Ya," sahut Amber dengan nada lelah."Aku ingin membicarakan sesuatu. Mumpung ini masih jam istirahat." James duduk di hadapan Amber. Ekspresinya berubah lebih santai. Bibirnya agak membengkok ke atas agar tidak terlihat seram."Aku baru saja ... menjemput Daniel dari sekolah.""Oh ya? Kau baik sekali." Amber menoleh sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangan keluar jendela untuk berpikir."Apa yang sedang kau pikirkan?"James menegakkan duduknya untuk memperhatikan lamunan Amber. "Aku perhatikan sejak meeting kau terlihat sedang memikirkan sesuatu.""Jika iya pun kau tidak berhak untuk tau."James mengulum senyum. "Aku bisa jadi teman curhat yang baik. Percayalah!""Oh ya? Kaylin punya lebih banyak masalah dalam hidupnya. Dia baru saja gagal menikah, kurasa dia punya banyak cerita yang harus diungkapkan kepada seseorang. Kau mungkin orang yang tepat."James terdiam beberapa detik. "Kaylin punya banyak teman c
Amber sudah mengemasi seluruh perlengkapan kerjanya ke dalam tas. Kedua asistennya membawa barang-barangnya ke dalam mobil sementara dia masih harus mengecek beberapa ruangan. Amber dan James sempat bertemu di koridor. Sialnya mereka harus satu lift. James tidak berhenti mencuri perhatian Amber, tetapi Amber berusaha untuk tidak peduli."Kau sudah baca undangan yang kuberikan padamu, 'kan?" James menatap tubuh Amber yang berdiri sangat jauh darinya. Terkadang dia agak tersinggung dengan cara Amber memandangnya. Dia bukan satu-satunya laki-laki yang Amber tatap dengan cara seperti itu.James sering mendengar dari Kaylin bahwa Amber punya masa lalu yang kelam. Itu sangat masuk akal. Banyak yang bertanya-tanya bagaimana Amber bisa menumbuhkan perusahaannya hingga sebesar ini padahal dia hanya seorang ibu tunggal sekaligus anak yatim piatu. James bersyukur dia tau sedikit tentang hal itu. James tau Amber belum pernah menikah seumur hidupnya. Mungkin Amber pernah terjebak dengan hubungan
"Hewan herbivor adalah hewan yang suka makan ..." Ovi berdiri di samping Daniel tepat di depan papan tulis. Anak-anak menatap ke arah mereka dengan ekspresi penasaran apakah kerja sama Ovi dan Daniel yang merupakan musuh itu akhirnya berhasil, tetapi Ovi beberapa kali lupa dengan essai-nya dan harus dibisiki Daniel agar presentasi mereka berjalan lancar."Hewan herbivor adalah hewan yang suka makan tumbuhan. Contohnya adalah kadal ... ups." Ovi menutup mulutnya karena salah ucap. Sontak satu kelas tertawa ke arahnya. "Apakah kadal makan tumbuhan? Memang benar, kan, Dan?" Ovi mengerling ke arah Daniel yang sedang menjaga sikap profesionalnya untuk tidak menjawab pertanyaan satu tim karena itu akan membuatnya terlihat kurang persiapan, padahal dia dan Ovi berlatih tiap hari."Tidak, Ovi!" jawab Miss Travizo dari kursi guru."Ya, aku baru ingat sekarang." Ovi berdehem dan kembali menatap ke hadapan kelas untuk melanjutkan presentasinya.Daniel mendapat giliran beberapa saat kemudian. Di
Amber terpaksa duduk di sofa untuk menghargai kedatangan James yang sama sekali tidak dia harapkan. Seharusnya James bisa menyadari raut wajah Amber yang terlihat tak mendukungnya dan memilih memutuskan untuk pergi, tetapi ternyata James tidak putus asa."Apa semuanya baik-baik saja? Kau sudah tidak memikirkan hal yang membuatmu kepikiran di kantor tadi?" tanya James dengan nada halus penuh perhatian.Amber menghela napas bosan. Dia harus mengingat kekhawatiran itu lagi karena James. "Ya, aku baik-baik saja.""Aku sempat cemas. Mungkin kau sedang memikirkan tentang Daniel. Maksudku ... dia bergaul dengan anak yang salah. Anaknya McLarren itu membuatku ikut cemas padanya. Aku sering lihat gadis itu mengejek Daniel setiap kali aku menjemputnya di sekolah." James menampilkan ekspresi resahnya yang sengaja dibuat-buat."Syukurlah mereka sudah baikan dan aku baru saja mengantar gadis itu pulang ke rumahnya.""Apa?" James terlihat sangat terkejut. "Ovi dan Daniel baru saja dari sini untuk
Tok tok ..."Boleh aku masuk?" James berdiri di ambang pintu ruangan Amber."Ya," sahut Amber dengan nada lelah."Aku ingin membicarakan sesuatu. Mumpung ini masih jam istirahat." James duduk di hadapan Amber. Ekspresinya berubah lebih santai. Bibirnya agak membengkok ke atas agar tidak terlihat seram."Aku baru saja ... menjemput Daniel dari sekolah.""Oh ya? Kau baik sekali." Amber menoleh sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangan keluar jendela untuk berpikir."Apa yang sedang kau pikirkan?"James menegakkan duduknya untuk memperhatikan lamunan Amber. "Aku perhatikan sejak meeting kau terlihat sedang memikirkan sesuatu.""Jika iya pun kau tidak berhak untuk tau."James mengulum senyum. "Aku bisa jadi teman curhat yang baik. Percayalah!""Oh ya? Kaylin punya lebih banyak masalah dalam hidupnya. Dia baru saja gagal menikah, kurasa dia punya banyak cerita yang harus diungkapkan kepada seseorang. Kau mungkin orang yang tepat."James terdiam beberapa detik. "Kaylin punya banyak teman c
"Oke, anak-anak. Kalian akan membentuk kelompok yang beranggotakan dua anak untuk mengerjakan essai dariku. Tugas essai itu harus diselesaikan dalam waktu satu minggu. Kalian bisa meminta dampingan orang tua atau pengasuh kalian untuk mengerjakan tugas itu bersama-sama!" jelas Miss Travizo di depan kelas."Miss!" tangan milik seorang gadis yang duduk di bangku paling belakang terangkat ke atas, dia adalah Ovi. "Apakah kita bisa memilih partner kita sendiri?""Ya, tentu saja. Kalian bisa pilih partner yang kalian inginkan.""Ovi!" seru gadis berambut kepang yang duduk di samping Ovi. "Kau mau bersamaku, 'kan?""Tidak," sahut Ovi dengan nada mengejek. "Aku tidak mau sekelompok dengan anak yang tidak mau berkontribusi ketika menyelesaikan pr."Gadis berambut kepang itu menatap malas. "Lalu, kau mau dengan siapa?""Daniel," sahut Ovi dengan nada antusias."Daniel? Kau serius? Pasti kau hanya akan menghabiksan waktumu dengan memukulinya.""Tidak. Aku tidak akan memukulinya lagi." Daniel m
Adam mengemas seluruh barang miliknya di sudut-sudut meja ruangan Ovi. Ovi sudah diperbolehkan pulang. Infus dan alat-alat medis di tubuhnya sudah dilepaskan. Dia sudah bisa bergerak bebas, bahkan meloncat-loncat gaya balet seperti kebiasaan anehnya di rumah."Papa, apa setelah ini kau akan mengajakku ke AJ lagi?" tanya Ovi setelah dia kelelahan menjijitkan kedua kakinya dan melayang sampai nyaris menjatuhkan gelas dari meja."Ke AJ, untuk apa?""Untuk ikut kau bekerja."Adam menghentikan tangannya yang sedang memasukkan makanan sisa ke tempat sampah. "Sebenarnya sayang ... papa sangat sibuk hari ini. Papa akan menitipkanmu ke Bibi Anderson, lalu papa akan pergi. Setuju?""Tidak. Rumah Bibi Anderson bau makanan busuk. Aku tidak mau ke sana. Lebih baik aku menunggu di rumah daripada berada di rumah itu."Adam menghela napas. "Baiklah. Papa tidak akan protes.""Hay!" sapa suara bernada tinggi tetapi pelan. Daniel muncul dari balik pintu. Masih mengenakan seragam sekolah.Ovi langsung me
Hari berikutnya, Amber mendengar kabar bahwa Adam tidak berangkat ke kantor padahal hari ini adalah hari keduanya bekerja. Amber semakin dibuat marah. Memang bukan tugasnya mengurus karyawan, tetapi dia yang membuat kesepakatan untuk memberi waktu percobaan selama seminggu dan lelaki itu sama sekali tidak menganggap perintahnya serius.Keesokan harinya masih sama, Adam masih tak berangkat. Itu membuat keputusan Amber semakin bulat, dia akan memecat Adam sebelum menerimanya. Entah kenapa mengambil keputusan itu membuat Amber marah pada dirinya sendiri. Dia pernah terlena dengan cara Adam bicara, jujur saja, tetapi dia tidak ingin mengakuinya.Lagipula, Adam adalah tipe laki-laki yang suka main-main, buktinya dia tidak mengindahkan perintah Amber. Bahkan satu-satunya pekerjaan yang Amber berikan pun sama sekali tidak dikerjakan.Telepon berdering membuat lamunan Amber buyar. Dia menarik gagang telefon dan menjawab panggilan yang ternyata berasal dari resepsionisnya di luar."Ya, Kayli
Adam mengendarai mobilnya sampai ke rumah sakit. Tanpa mengunci mobilnya, dia langsung berlarian menuju ke ruangan Ovi. Kebetulan saat itu dokter sedang keluar dari sana."Dokter!" seru Adam dengan dasi longgar dan rambut berantakan. "Saya ... saya ayahnya. Apakah Ovi baik-baik saja?""Dia mengalami cidera cukup dalam di kepala yang hampir melukai otaknya.""Oh tidak." Adam menelan saliva sebisanya."Jangan khawatir!" Dokter menepuk bahu Adam yang masih berguncang. "Putri Anda sangat kuat. Dia sedang dalam masa kritis saat ini, tapi sebentar lagi dia akan membaik."Adam langsung menghambur ke dalam ruangan. Lampu temaram di tengah ruangan memperlihatkan putrinya terbujur lemas di atas brangkar berwarna hijau. Hidungnya terpasang nasal kanul, sedangkan kepalanya terbalut perban."Ovi ...." Adam merasakan tubuhnya tertusuk ribuan pisau tepat di dadanya, dan itu tidak seberapa daripada rasa sakit yang sedang dia alami ketika melihat putrinya yang ceria dalam keadaan seperti ini."Dia cum
Adam sangat antuasias di hari pertamanya bekerja di perusahaan Amber J. Dia menyiapkan sarapan sambil berdendang riang bersama Ovi yang kini sedang menikmati roti bakar dan selai dari atas meja."When ... you want me!" dendang mereka sama-sama. Ovi tertawa-tawa karena sang ayah membuat nada seperti kakek-kakek tersedak."Papa, stop!" kata Ovi saat Adam ingin melanjutkan lirik lagunya. "Kau membuatku tertawa sampai sakit perut.""Oh ya?" Adam duduk di kursinya dan menggelitik perut Ovi sampai tawa gadis itu tak bersuara.Kring ...Keduanya menatap ke arah pintu utama saat seseorang membunyikan bel di depan rumah."Oh tidak, kau hampir telat!" pekik Adam, langsung menyiapkan tas Ovi yang sudah tergeletak di ujung ruangan. "Jangan sampai papa dipanggil ke sekolah lagi, oke? Jangan buat ulah!""Ya," sahut Ovi sambil mengedikkan bahunya. Dia merebut tasnya di tangan Adam. "Semoga hari pertamamu di sana menyenangkan.""Semoga."Itulah yang Adam bayangkan. Berangkat ke kantor dan memperken