"Hallo, Miss!" sapa laki-laki dengan suara bariton dalam. Bibirnya tersenyum hingga memperlihatkan barisan giginya yang rapi. Dia duduk di hadapan Amber tanpa dipersilahkan.
Pintu ruang kerja Amber diketuk perlahan. Amber yang sedang memperhatikan layar komputernya, mengalihkan pandangan ke arah seorang laki-laki dari balik pintu kaca. "Masuk!" kata Amber sambil menganggukkan kepala.
Amber sangat terkejut saat menyadari laki-laki jangkung di hadapannya ini bukanlah seorang remaja seperti yang ia pikirkan, laki-laki itu sudah dewasa dan hampir seumuran dengan Amber.
Amber ragu-ragu mengambil keputusannya dengan memberikan pekerjaan kepada laki-laki ini.
"Saya senang bisa bertemu secara langsung dengan anda, Miss Amber Jenn."
Amber hanya menatap datar.
"Ini beberapa berkas yang sudah saya siapkan. Saya sangat berpengalaman dalam bidang komunikasi. Saya pernah mengisi acara di radio nasional, meskipun cuma seminggu. Saya juga membuat channel youtube saya sendiri tentang jurnal hidup saya."
"Kenapa?" tanya Amber dengan nada datar.
"Maaf?" laki-laki itu mengerling heran.
"Kenapa kau cuma mengisi acara di radio dalam waktu seminggu. Apa tidak ada yang mendengar acaramu dan akhirnya kau dipecat?"
"Tidak, sebenarnya ... eh, itu ada sedikit masalah pribadi, makanya aku tidak melanjutkan pekerjaan di sana."
Amber mengalihkan pandangan ke layar laptop. Berusaha mengabaikan laki-laki itu agar dia tau kalau dia tidak diterima di perusahaan ini karena caranya bicara pada Amber yang kurang sopan.
"Miss ... Anda tidak memeriksa dokumen saya," kata laki-laki itu membuat Amber menoleh.
"Pertama perkenalkan dulu siapa namamu!" tegas Amber.
"Oh ya, aku lupa. Namaku Adam. Adam McLarren kau bisa cari channel youtube-ku dengan nama yang sama."
"Maaf, aku tidak punya waktu untuk menonton channel-mu."
"Tidak masalah, asalkan kau memberiku pekerjaan karena aku sangat mebutuhkannya."
"Semua orang berlomba-lomba untuk bisa bekerja di sini, Tuan McLarren dan melihat caramu bicara, aku tidak yakin kau cocok di bagian komunikasi."
"Kenapa?" Adam menatap terheran. "Bukankah kami yang berada di bagian komunikasi harus pandai bicara?"
"Pandai bicara, bukan pandai menyela ucapan orang lain. Kau mengerti?! Silahkan keluar dari ruangan ini. terima kasih atas keantusiasan Anda."
Senyum di wajah Adam menghilang. Dia bangkit dengan ekspresi kecewa. "Anda yakin menolak saya, Miss?"
"Tidak ada alasan yang membuat saya ragu."
Adam mengambil berkasnya lagi. "Saya harus membiayai putri saya yang semakin besar."
"Kau tidak datang ke sini untuk mendapatkan belas kasihan, 'kan?" tanya Amber. Sebenarnya dia agak merasa kasihan. Dia tau bagaimana rasanya mendapatkan penolakan, tapi ini demi kebaikan perusahaannya.
"Tidak. Tentu saja tidak," sahut Adam. Senyum terpaksa kembali tebit di bibirnya. "Saya sempat berharap, tapi tidak masalah. Setidaknya saya sudah masuk ke perusahaan brand terkenal ini dan bercerita kepada putri saya. Dia mengoleksi banyak sekali barang-barang Anda."
Amber memperlihatkan senyum datar. Menandakan dia sudah tak ingin mendengar penjelasan Adam lebih banyak lagi. Adam keluar dari ruangan dan menutup pintu dengan perasaan kecewa.
***
Amber pulang sebelum petang. Rumahnya adalah sebuah mansion mewah dengan dua lantai dan dua kolam renang di setiap sisinya. Dia sampai di rumah dan menemukan dua pelayan sedang menyapu lantai dimana sebelumnya ada sebuah vas di sana. Amber mengerling keheranan. "Apa yang terjadi?"
"Tuan muda memecahkannya, Nyonya."
Amber buru-buru naik ke lantai dua untuk menemui putranya. Anak laki-laki itu sedang bermain bola di dalam kamar. Dia seorang anak kurus berusia sebelas tahun. Rambutnya kecoklatan mirip ibunya, kedua matanya lebih mirip mata Charles membuat Amber mengingat laki-laki itu setiap Amber menatap anaknya.
"Hai, Daniel!" sapa Amber dengan nada halus dan penuh kasih sayang. Hanya Daniel yang bisa mendengar nada itu, karena Amber tidak pernah menunjukkan ekspresi seperti itu di depan orang lain.
"Mom!" sahut Daniel menghentikan kakinya yang baru saja ingin menendang bola.
"Apa yang terjadi? Vas pecah dan tadi aku mendapat panggilan dari sekolah. Apa kau melakukan sesuatu?"
Daniel menunduk sedih. Dia duduk di ujung tempat tidurnya tanpa berani menatap ibunya.
Amber meletakkan tasnya di lantai. Mendekati putranya. Memeluk dan menciumnya penuh kasih sayang. "Apa yang terjadi? Oh tidak," pekik Amber saat menemukan luka di dahi Daniel. "Apa ini karena vas itu? Atau kau memang melakukan sesuatu di sekolah? Ceritakan padaku."
Daniel ragu-ragu menatap ibunya. Luka di dahinya semakin terlihat. "Ada orang yang menyerangku saat aku latihan sepak bola di lapangan. Gadis itu menendang sepatunya sampai mengenai kepalaku."
"Gadis?"
Daniel mengangguk.
"Kau dilukai oleh seorang gadis?" tanya Amber tak menyangka. Kemudian dia tertawa. Tawanya membuat Daniel terheran. "Kau seorang laki-laki, seharusnya bisa melawannya."
"Tapi aku tidak seperti itu, Ibu," sahut Daniel kesal. "Aku tidak mau menyakiti mereka."
"Mereka?" Amber mengerling penuh selidik. Sejak masuk ke sekolah, Amber memang beberapa kali menemukan Daniel dalam keadaan terluka seperti ini. Awalnya dia hanya mengira Daniel terlalu aktif sampai tak menyadari dirinya sendiri terluka, tapi semua itu semakin mencurigakan.
Biasanya Daniel tak pernah mau cerita tentang apa yang dia lakukan di sekolah. Selama ini Amber hanya mendengar cerita-cerita menyenangkan setiap kali mengobrol singkat tentang sekolah dengan Daniel. Jadi, ini alasan Daniel sering mengalihkan pembicaraan ketika Amber bertanya tentang sekolah.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan padaku."
Daniel memperlihatkan senyum. "Ibu tidak perlu khawatir. Aku akan tetap mendapatkan nilai A untuk selamanya."
Amber tertawa. Memeluk putranya sangat erat. Dia mengambil tas Daniel dan mencari buku-buku pelajaran Daniel. Seluruh nilai di sana A, seperti yang sering Amber ajarkan, "Jadilah nomor satu, karena hanya nomor satu yang selalu diingat". Daniel selalu mengingat kata-kata itu sejak ibunya pertama kali mengatakan padanya.
Amber berhenti di lembaran terakhir dan mengerling heran. "Kau dapat B? Apa kau perlu les Bahasa juga?"
Daniel menggeleng. "Dia mengganti jawabanku saat ulangan."
"Dia siapa?"
"Ovi."
"Ovi? Ovi siapa?"
Daniel mengingat nama belakang gadis itu. "Teman-temannya memanggilnya Ovi. Mungkin namanya Ovi McLarren."
"Mclarren?" Amber mengingat nama belakang milik laki-laki yang melamar pekerjaan di kantornya tadi siang. Adam McLarren. Apa mungkin mereka berdua ada hubungan? Adam juga mengatakan tentang putrinya yang semakin tumbuh dewasa. Mungkin Ovi adalah putri laki-laki itu.
Drrttt...
Amber melihat panggilan dari guru sekolah Daniel di layar ponselnya. Dia buru-buru mengangkat panggilan itu. "Halo, Miss Nancy!"
"Hallo, Miss Jenn. Maaf menganggu waktu sibuk Anda. Saya hanya ingin Anda meluangkan sedikit waktu besok untuk datang ke sekolah."
"Apa terjadi sesuatu?"
"Tidak banyak, hanya sebuah teguran untuk putra Anda."
Amber menatap Daniel yang masih menunduk di atas tempat tidur. Teguran apa yang Miss Nancy maksud, batin Amber.
"Baiklah, saya akan datang besok."
"Silahkan masuk, Nyonya Amber!" Nancy membukakan pintu.Memberi jalan untuk Amber agar bisa masuk ke dalam ruangannya.Amber keluar mobil dan berjalan di koridor sekolah dengan langkah tegap.Pandangannya lurus ke depan meskipun banyak sekali murid yang menatap penasaranke arahnya.Begitu sampai di depan ruangan Miss Nancy, orang yang memanggil Amberkemarin, dia mengetuk pintu dengan anggun.Ruangan yang elegan, pikir Amber setelah mendudukkan diri di sebuahkursi tempat Nancy mempersilahkannya."Tunggu sebentar, Nyonya. Putra Anda sedang dipanggil darikelasnya.""Baik, terima kasih." Beberapa saat kemudian, pintu terbuka lagi. Amber mengira itu adalahputranya, tetapi sosok yang muncul dari balik pintu adalah laki-laki jangkungyang Amber lihat di ruangan kerjanya kemarin.Amber nyaris tak berkedip karena keheranan."Siang, Miss!" Adam mengangguk ke arah Nancy. "Dan ...kita berjumpa lagi, Miss Amber!"Amber buru-buru mengalihkan pandangan dan menatap lurus untuk memperlihatkank
Laki-laki berambut kecoklatan itu duduk berhadapan dengan Amber. Matanya berkedip aneh. Salah satu tangannya berada di atas meja, nyaris menempel dengan tangan Amber padahal semua orang tau perlakuan seperti itu sama sekali tidak sopan. Amber tidak memperhatikan apapun kecuali mendengarkan lawan bicaranya di telepon. Saat itu pintu terbuka dari luar. Wanita berusia 26 tahun masuk dengan ekspresi marah. "Amber, aku muak dengan laki-laki itu." Amber menoleh dengan ekspresi kesal. "Aku sedang menjawab telefon, Kaylin Hayes!" "Ya, tapi kau harus dengarkan aku. Laki-laki bernama Adam itu berani mengancamku untuk bisa masuk ke sini. Dia datang untuk ketiga kalinya sejak pagi. Kedatangannya sungguh meresahkan." Kaylin baru sadar ada laki-laki duduk berhadapan dengan Amber sedang menatap datar ke arahnya. "James, apa yang kau lakukan di sini?" "Cuma melaporkan masalah," sahut lelaki berambut coklat itu dengan ekspresi salah tingkah. "Kau sudah selesai? Kalau begitu, silahkan keluar!" Kay
"Hey, penakut!" ejek Ovi ke arah Daniel yang sedang memakan sandwich di kantin sendirian. "Dasar penakut!" Ovi menjulurkan lidahnya. "Daniel tidak berani bicara di depan ibunya," jelas Ovi kepada teman-temannya."Mungkin karena dia tidak bisa bicara," sahut salah satu dari mereka lalu tertawa terbahak.Ovi mengajak teman-temannya mendekat ke meja Daniel. "Dasar penakut!"Daniel menggebrak meja. Gejolak emosi membakar dadanya. Matanya menatap marah ke wajah Ovi. Alih-alih takut, Ovi dan teman-temannya terbahak hingga menjadi satu-satunya suara terkeras di kantin."Kau pasti mau menangis, 'kan? Menangis saja sekarang. Aku mau menonton!" Ovi tertawa lagi.Daniel menarik kotak bekalnya dari atas meja dan berjalan keluar kantin diiringi suara tawa Ovi dan teman-temannya.Dia terus berjalan ketika seisi kantin menatap penasaran ke arahnya."Aduh!" Daniel sadar dia tidak memperhatikan jalan hingga tak sengaja menabrak seseorang di koridor. Makanannya berhamburan di lantai. Daniel menoleh ke
Adam sangat antuasias di hari pertamanya bekerja di perusahaan Amber J. Dia menyiapkan sarapan sambil berdendang riang bersama Ovi yang kini sedang menikmati roti bakar dan selai dari atas meja."When ... you want me!" dendang mereka sama-sama. Ovi tertawa-tawa karena sang ayah membuat nada seperti kakek-kakek tersedak."Papa, stop!" kata Ovi saat Adam ingin melanjutkan lirik lagunya. "Kau membuatku tertawa sampai sakit perut.""Oh ya?" Adam duduk di kursinya dan menggelitik perut Ovi sampai tawa gadis itu tak bersuara.Kring ...Keduanya menatap ke arah pintu utama saat seseorang membunyikan bel di depan rumah."Oh tidak, kau hampir telat!" pekik Adam, langsung menyiapkan tas Ovi yang sudah tergeletak di ujung ruangan. "Jangan sampai papa dipanggil ke sekolah lagi, oke? Jangan buat ulah!""Ya," sahut Ovi sambil mengedikkan bahunya. Dia merebut tasnya di tangan Adam. "Semoga hari pertamamu di sana menyenangkan.""Semoga."Itulah yang Adam bayangkan. Berangkat ke kantor dan memperken
Adam mengendarai mobilnya sampai ke rumah sakit. Tanpa mengunci mobilnya, dia langsung berlarian menuju ke ruangan Ovi. Kebetulan saat itu dokter sedang keluar dari sana."Dokter!" seru Adam dengan dasi longgar dan rambut berantakan. "Saya ... saya ayahnya. Apakah Ovi baik-baik saja?""Dia mengalami cidera cukup dalam di kepala yang hampir melukai otaknya.""Oh tidak." Adam menelan saliva sebisanya."Jangan khawatir!" Dokter menepuk bahu Adam yang masih berguncang. "Putri Anda sangat kuat. Dia sedang dalam masa kritis saat ini, tapi sebentar lagi dia akan membaik."Adam langsung menghambur ke dalam ruangan. Lampu temaram di tengah ruangan memperlihatkan putrinya terbujur lemas di atas brangkar berwarna hijau. Hidungnya terpasang nasal kanul, sedangkan kepalanya terbalut perban."Ovi ...." Adam merasakan tubuhnya tertusuk ribuan pisau tepat di dadanya, dan itu tidak seberapa daripada rasa sakit yang sedang dia alami ketika melihat putrinya yang ceria dalam keadaan seperti ini."Dia cum
Hari berikutnya, Amber mendengar kabar bahwa Adam tidak berangkat ke kantor padahal hari ini adalah hari keduanya bekerja. Amber semakin dibuat marah. Memang bukan tugasnya mengurus karyawan, tetapi dia yang membuat kesepakatan untuk memberi waktu percobaan selama seminggu dan lelaki itu sama sekali tidak menganggap perintahnya serius.Keesokan harinya masih sama, Adam masih tak berangkat. Itu membuat keputusan Amber semakin bulat, dia akan memecat Adam sebelum menerimanya. Entah kenapa mengambil keputusan itu membuat Amber marah pada dirinya sendiri. Dia pernah terlena dengan cara Adam bicara, jujur saja, tetapi dia tidak ingin mengakuinya.Lagipula, Adam adalah tipe laki-laki yang suka main-main, buktinya dia tidak mengindahkan perintah Amber. Bahkan satu-satunya pekerjaan yang Amber berikan pun sama sekali tidak dikerjakan.Telepon berdering membuat lamunan Amber buyar. Dia menarik gagang telefon dan menjawab panggilan yang ternyata berasal dari resepsionisnya di luar."Ya, Kayli
Adam mengemas seluruh barang miliknya di sudut-sudut meja ruangan Ovi. Ovi sudah diperbolehkan pulang. Infus dan alat-alat medis di tubuhnya sudah dilepaskan. Dia sudah bisa bergerak bebas, bahkan meloncat-loncat gaya balet seperti kebiasaan anehnya di rumah."Papa, apa setelah ini kau akan mengajakku ke AJ lagi?" tanya Ovi setelah dia kelelahan menjijitkan kedua kakinya dan melayang sampai nyaris menjatuhkan gelas dari meja."Ke AJ, untuk apa?""Untuk ikut kau bekerja."Adam menghentikan tangannya yang sedang memasukkan makanan sisa ke tempat sampah. "Sebenarnya sayang ... papa sangat sibuk hari ini. Papa akan menitipkanmu ke Bibi Anderson, lalu papa akan pergi. Setuju?""Tidak. Rumah Bibi Anderson bau makanan busuk. Aku tidak mau ke sana. Lebih baik aku menunggu di rumah daripada berada di rumah itu."Adam menghela napas. "Baiklah. Papa tidak akan protes.""Hay!" sapa suara bernada tinggi tetapi pelan. Daniel muncul dari balik pintu. Masih mengenakan seragam sekolah.Ovi langsung me
"Oke, anak-anak. Kalian akan membentuk kelompok yang beranggotakan dua anak untuk mengerjakan essai dariku. Tugas essai itu harus diselesaikan dalam waktu satu minggu. Kalian bisa meminta dampingan orang tua atau pengasuh kalian untuk mengerjakan tugas itu bersama-sama!" jelas Miss Travizo di depan kelas."Miss!" tangan milik seorang gadis yang duduk di bangku paling belakang terangkat ke atas, dia adalah Ovi. "Apakah kita bisa memilih partner kita sendiri?""Ya, tentu saja. Kalian bisa pilih partner yang kalian inginkan.""Ovi!" seru gadis berambut kepang yang duduk di samping Ovi. "Kau mau bersamaku, 'kan?""Tidak," sahut Ovi dengan nada mengejek. "Aku tidak mau sekelompok dengan anak yang tidak mau berkontribusi ketika menyelesaikan pr."Gadis berambut kepang itu menatap malas. "Lalu, kau mau dengan siapa?""Daniel," sahut Ovi dengan nada antusias."Daniel? Kau serius? Pasti kau hanya akan menghabiksan waktumu dengan memukulinya.""Tidak. Aku tidak akan memukulinya lagi." Daniel m
Amber sudah mengemasi seluruh perlengkapan kerjanya ke dalam tas. Kedua asistennya membawa barang-barangnya ke dalam mobil sementara dia masih harus mengecek beberapa ruangan. Amber dan James sempat bertemu di koridor. Sialnya mereka harus satu lift. James tidak berhenti mencuri perhatian Amber, tetapi Amber berusaha untuk tidak peduli."Kau sudah baca undangan yang kuberikan padamu, 'kan?" James menatap tubuh Amber yang berdiri sangat jauh darinya. Terkadang dia agak tersinggung dengan cara Amber memandangnya. Dia bukan satu-satunya laki-laki yang Amber tatap dengan cara seperti itu.James sering mendengar dari Kaylin bahwa Amber punya masa lalu yang kelam. Itu sangat masuk akal. Banyak yang bertanya-tanya bagaimana Amber bisa menumbuhkan perusahaannya hingga sebesar ini padahal dia hanya seorang ibu tunggal sekaligus anak yatim piatu. James bersyukur dia tau sedikit tentang hal itu. James tau Amber belum pernah menikah seumur hidupnya. Mungkin Amber pernah terjebak dengan hubungan
"Hewan herbivor adalah hewan yang suka makan ..." Ovi berdiri di samping Daniel tepat di depan papan tulis. Anak-anak menatap ke arah mereka dengan ekspresi penasaran apakah kerja sama Ovi dan Daniel yang merupakan musuh itu akhirnya berhasil, tetapi Ovi beberapa kali lupa dengan essai-nya dan harus dibisiki Daniel agar presentasi mereka berjalan lancar."Hewan herbivor adalah hewan yang suka makan tumbuhan. Contohnya adalah kadal ... ups." Ovi menutup mulutnya karena salah ucap. Sontak satu kelas tertawa ke arahnya. "Apakah kadal makan tumbuhan? Memang benar, kan, Dan?" Ovi mengerling ke arah Daniel yang sedang menjaga sikap profesionalnya untuk tidak menjawab pertanyaan satu tim karena itu akan membuatnya terlihat kurang persiapan, padahal dia dan Ovi berlatih tiap hari."Tidak, Ovi!" jawab Miss Travizo dari kursi guru."Ya, aku baru ingat sekarang." Ovi berdehem dan kembali menatap ke hadapan kelas untuk melanjutkan presentasinya.Daniel mendapat giliran beberapa saat kemudian. Di
Amber terpaksa duduk di sofa untuk menghargai kedatangan James yang sama sekali tidak dia harapkan. Seharusnya James bisa menyadari raut wajah Amber yang terlihat tak mendukungnya dan memilih memutuskan untuk pergi, tetapi ternyata James tidak putus asa."Apa semuanya baik-baik saja? Kau sudah tidak memikirkan hal yang membuatmu kepikiran di kantor tadi?" tanya James dengan nada halus penuh perhatian.Amber menghela napas bosan. Dia harus mengingat kekhawatiran itu lagi karena James. "Ya, aku baik-baik saja.""Aku sempat cemas. Mungkin kau sedang memikirkan tentang Daniel. Maksudku ... dia bergaul dengan anak yang salah. Anaknya McLarren itu membuatku ikut cemas padanya. Aku sering lihat gadis itu mengejek Daniel setiap kali aku menjemputnya di sekolah." James menampilkan ekspresi resahnya yang sengaja dibuat-buat."Syukurlah mereka sudah baikan dan aku baru saja mengantar gadis itu pulang ke rumahnya.""Apa?" James terlihat sangat terkejut. "Ovi dan Daniel baru saja dari sini untuk
Tok tok ..."Boleh aku masuk?" James berdiri di ambang pintu ruangan Amber."Ya," sahut Amber dengan nada lelah."Aku ingin membicarakan sesuatu. Mumpung ini masih jam istirahat." James duduk di hadapan Amber. Ekspresinya berubah lebih santai. Bibirnya agak membengkok ke atas agar tidak terlihat seram."Aku baru saja ... menjemput Daniel dari sekolah.""Oh ya? Kau baik sekali." Amber menoleh sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangan keluar jendela untuk berpikir."Apa yang sedang kau pikirkan?"James menegakkan duduknya untuk memperhatikan lamunan Amber. "Aku perhatikan sejak meeting kau terlihat sedang memikirkan sesuatu.""Jika iya pun kau tidak berhak untuk tau."James mengulum senyum. "Aku bisa jadi teman curhat yang baik. Percayalah!""Oh ya? Kaylin punya lebih banyak masalah dalam hidupnya. Dia baru saja gagal menikah, kurasa dia punya banyak cerita yang harus diungkapkan kepada seseorang. Kau mungkin orang yang tepat."James terdiam beberapa detik. "Kaylin punya banyak teman c
"Oke, anak-anak. Kalian akan membentuk kelompok yang beranggotakan dua anak untuk mengerjakan essai dariku. Tugas essai itu harus diselesaikan dalam waktu satu minggu. Kalian bisa meminta dampingan orang tua atau pengasuh kalian untuk mengerjakan tugas itu bersama-sama!" jelas Miss Travizo di depan kelas."Miss!" tangan milik seorang gadis yang duduk di bangku paling belakang terangkat ke atas, dia adalah Ovi. "Apakah kita bisa memilih partner kita sendiri?""Ya, tentu saja. Kalian bisa pilih partner yang kalian inginkan.""Ovi!" seru gadis berambut kepang yang duduk di samping Ovi. "Kau mau bersamaku, 'kan?""Tidak," sahut Ovi dengan nada mengejek. "Aku tidak mau sekelompok dengan anak yang tidak mau berkontribusi ketika menyelesaikan pr."Gadis berambut kepang itu menatap malas. "Lalu, kau mau dengan siapa?""Daniel," sahut Ovi dengan nada antusias."Daniel? Kau serius? Pasti kau hanya akan menghabiksan waktumu dengan memukulinya.""Tidak. Aku tidak akan memukulinya lagi." Daniel m
Adam mengemas seluruh barang miliknya di sudut-sudut meja ruangan Ovi. Ovi sudah diperbolehkan pulang. Infus dan alat-alat medis di tubuhnya sudah dilepaskan. Dia sudah bisa bergerak bebas, bahkan meloncat-loncat gaya balet seperti kebiasaan anehnya di rumah."Papa, apa setelah ini kau akan mengajakku ke AJ lagi?" tanya Ovi setelah dia kelelahan menjijitkan kedua kakinya dan melayang sampai nyaris menjatuhkan gelas dari meja."Ke AJ, untuk apa?""Untuk ikut kau bekerja."Adam menghentikan tangannya yang sedang memasukkan makanan sisa ke tempat sampah. "Sebenarnya sayang ... papa sangat sibuk hari ini. Papa akan menitipkanmu ke Bibi Anderson, lalu papa akan pergi. Setuju?""Tidak. Rumah Bibi Anderson bau makanan busuk. Aku tidak mau ke sana. Lebih baik aku menunggu di rumah daripada berada di rumah itu."Adam menghela napas. "Baiklah. Papa tidak akan protes.""Hay!" sapa suara bernada tinggi tetapi pelan. Daniel muncul dari balik pintu. Masih mengenakan seragam sekolah.Ovi langsung me
Hari berikutnya, Amber mendengar kabar bahwa Adam tidak berangkat ke kantor padahal hari ini adalah hari keduanya bekerja. Amber semakin dibuat marah. Memang bukan tugasnya mengurus karyawan, tetapi dia yang membuat kesepakatan untuk memberi waktu percobaan selama seminggu dan lelaki itu sama sekali tidak menganggap perintahnya serius.Keesokan harinya masih sama, Adam masih tak berangkat. Itu membuat keputusan Amber semakin bulat, dia akan memecat Adam sebelum menerimanya. Entah kenapa mengambil keputusan itu membuat Amber marah pada dirinya sendiri. Dia pernah terlena dengan cara Adam bicara, jujur saja, tetapi dia tidak ingin mengakuinya.Lagipula, Adam adalah tipe laki-laki yang suka main-main, buktinya dia tidak mengindahkan perintah Amber. Bahkan satu-satunya pekerjaan yang Amber berikan pun sama sekali tidak dikerjakan.Telepon berdering membuat lamunan Amber buyar. Dia menarik gagang telefon dan menjawab panggilan yang ternyata berasal dari resepsionisnya di luar."Ya, Kayli
Adam mengendarai mobilnya sampai ke rumah sakit. Tanpa mengunci mobilnya, dia langsung berlarian menuju ke ruangan Ovi. Kebetulan saat itu dokter sedang keluar dari sana."Dokter!" seru Adam dengan dasi longgar dan rambut berantakan. "Saya ... saya ayahnya. Apakah Ovi baik-baik saja?""Dia mengalami cidera cukup dalam di kepala yang hampir melukai otaknya.""Oh tidak." Adam menelan saliva sebisanya."Jangan khawatir!" Dokter menepuk bahu Adam yang masih berguncang. "Putri Anda sangat kuat. Dia sedang dalam masa kritis saat ini, tapi sebentar lagi dia akan membaik."Adam langsung menghambur ke dalam ruangan. Lampu temaram di tengah ruangan memperlihatkan putrinya terbujur lemas di atas brangkar berwarna hijau. Hidungnya terpasang nasal kanul, sedangkan kepalanya terbalut perban."Ovi ...." Adam merasakan tubuhnya tertusuk ribuan pisau tepat di dadanya, dan itu tidak seberapa daripada rasa sakit yang sedang dia alami ketika melihat putrinya yang ceria dalam keadaan seperti ini."Dia cum
Adam sangat antuasias di hari pertamanya bekerja di perusahaan Amber J. Dia menyiapkan sarapan sambil berdendang riang bersama Ovi yang kini sedang menikmati roti bakar dan selai dari atas meja."When ... you want me!" dendang mereka sama-sama. Ovi tertawa-tawa karena sang ayah membuat nada seperti kakek-kakek tersedak."Papa, stop!" kata Ovi saat Adam ingin melanjutkan lirik lagunya. "Kau membuatku tertawa sampai sakit perut.""Oh ya?" Adam duduk di kursinya dan menggelitik perut Ovi sampai tawa gadis itu tak bersuara.Kring ...Keduanya menatap ke arah pintu utama saat seseorang membunyikan bel di depan rumah."Oh tidak, kau hampir telat!" pekik Adam, langsung menyiapkan tas Ovi yang sudah tergeletak di ujung ruangan. "Jangan sampai papa dipanggil ke sekolah lagi, oke? Jangan buat ulah!""Ya," sahut Ovi sambil mengedikkan bahunya. Dia merebut tasnya di tangan Adam. "Semoga hari pertamamu di sana menyenangkan.""Semoga."Itulah yang Adam bayangkan. Berangkat ke kantor dan memperken