Satu bulan sudah Ratih ikut mengajar di sanggar lukis Raihan. Dia pun juga masih tetap berjualan kue seperti biasa, namun dia hanya berkeliling di area terdekat saja. Jika sudah waktunya mengajar, Ratih akan membawa dagangannya ke sanggar.
Di area kosong yang ada di depan sanggar, Ratih mendirikan tenda kecil khusus berjualan. Untuk saat ini dia hanya mampu membuatnya dengan terpal dan bambu. Dia harus mengambil lagi tabungannya untuk modal membuat tenda tersebut.
Meskipun sebenarnya Raihan sudah menawarkan akan membuatkan kios kecil, namun dengan halus Ratih menolaknya karena tidak ingin merepotkan kawan barunya tersebut.
Ratih tidak ingin terlalu banyak berhutang budi pada siapa pun, terlebih meminta belas kasih dari orang lain, itu bukan prinsipnya meskipun dia cacat pantang baginya meminta.
“Mas, apa tidak terlalu banyak gaji yang diberikan kepada saya?” tanya Ratih setelah membuka amplop yang dia terima dari Raihan.
Raihan tersenyum mendengar pertanyaan dari rekan kerjanya tersebut, “tidak Ratih, karena seni itu mahal.”
“Tapi Mas,,,”
“Ratih, jika kamu menjadi guru melukis di sanggar yang lebih besar dari ini, kamu akan lebih kaget lagi, karena mereka pasti akan membayar kamu berkali-kali lipat dari yang kamu dapat sekarang. Tapi sayangnya sanggar ku belum bisa memberi lebih dari itu, jadi terima ya. Kamu pantas mendapatkannya,” terang Raihan memotong kalimat Ratih yang belum terlontar semuanya.
Ratih tidak menyangka dia mendapat gaji tiga juta rupiah dari Raihan. Bagi Ratih uang ini sangatlah banyak. Bahkan jika uang hasil berjualan kue dia berikan kepada sang ayah semua sekalipun dia masih bisa menabung untuk biaya kuliahnya.
Ratih sangat bahagia sampai sampai dia terharu dan menitikkan air mata. Raihan yang melihat embun bening disudut mata Ratih pun merasa heran.
“Kamu kenapa menangis Ratih? Apakah gaji yang ku berikan kurang?” tanya Raihan sedikit panik.
“Tidak Mas. Aku sangat bahagia sampai terharu,” ucap Ratih terbata bata sambil mengusap jejak air mata diwajahnya.
“Haduh, aku kira kenapa kok sampai nangis. Ya sudah, kamu buruan pulang keburu gelap nanti. Aku tidak bisa mengantar kamu hari ini karena ada kepentingan ditempat lain. Nggak apa-apa kan kamu pulang sendiri?” tanya Raihan memastikan.
“Iya Mas nggak apa-apa. Ya sudah Mas, aku pulang duluan ya,” pamit Ratih pada Raihan.
“Iya, hati-hati ya.”
Raihan menatap punggung Ratih yang perlahan meninggalkan sanggar lukisnya. Terselip perasaan yang entahlah dia sendiri tidak bisa mengartikannya. Seperti kagum atau sayang atau mungkin kasihan. Yang jelas setiap berada didekat gadis itu, Raihan merasa nyaman dan rasanya ingin selalu berada didekat Ratih dan melindunginya.
===
Begitu tiba dirumah, Ratih melihat sang ayah duduk di ruang tamu menatapnya dengan tajam. Nampaknya Pak Basuki sudah menanti kedatangan putrinya itu.
“Sudah puas pacarannya?” tanya Pak Basuki dengan tatapan yang seperti ingin menelan hidup hidup Ratih.
Jangan ditanya bagaimana perasaan Ratih saat ini melihat sang ayah dengan wajah garangnya.
“A-aku ti-tidak pacaran Ayah,” jawab Ratih dengan suara terbata-bata.
Entah mengapa begitu sulit Ratih mengeluarkan kata-kata, seolah tenggorokannya tercekat, bahkan hanya sekedar menelan saliva pun begitu sulit.
“Lalu ngapain kamu disanggar itu ha?!” teriak sang ayah karena merasa jawaban dari Ratih tak seperti yang diharapkannya.
“Aku jualan Ayah,” jawab Ratih lirih dan tertunduk. Dia mengeluarkan hasil jualan hari ini lalu menyerahkannya kepada Pak Basuki.
Namun sayangnya amplop pemberian dari Raihan serta sisa uang hasil jualan yang memang sengaja dia pisahkan terjatuh dari sakunya secara tidak sengaja.
Sontak saja kedua bola mata Pak Basuki mengarah ke arah benda tersebut. Tangannya langsung bergerak mengambil amplop sebelum tangan Ratih mengambilnya.
“Apa ini Ratih?” geram Pak Basuki setelah membuka isi amplop tersebut yang berisi uang yang cukup banyak.
“I-itu,,,”
“Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak ini?! Dari pria di sanggar itu? Dia kekasihmu?” cecar Pak Basuki dengan tatapan penuh selidik.
“Bu-bukan Ayah. Bukan seperti itu ceritanya,” jawab Ratih .
Brak!
Ratih terperanjat saat tangan Pak Basuki menggebrak meja yang berada dihadapannya. Kemurkaan nampak jelas di wajah tegas sang ayah. Ratih tertunduk dalam, dia tak berani menatap ke arah Pak Basuki.
Tangannya sibuk memilin ujung bajunya berharap bisa meredam kegundahan hati saat ini. Dia takut akan menerima kekerasan lagi dari Pak Basuki.
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Ratih hingga membuat sudut bibirnya mengeluarkan darah segar.
“Dasar anak tak tahu diuntung! Kau berani membohongiku ha!” teriak Pak Basuki.
Bugh! Bugh! Bugh!
Ratih mendapat pukulan dan tendangan berkali-kali dari Pak Basuki.
“Ampun Ayah. Ampun…” Ratih merintih kesakitan.
Bukannya berhenti justru Pak Basuki terlihat semakin kalap mendengar suara dari Ratih yang memohon belas kasihan. Ratih hanya bisa pasrah, bahkan jika seandainya nyawa ratih melayang saat ini juga dia sudah siap.
Pak Basuki masih menyiksa tubuh Ratih secara membabi buta, padahal dia sudah terlihat tak berdaya.
“Hentikan Ayah!” tiba-tiba Bagas berteriak membuat Pak Basuki yang sedang memukuli Ratih menghentikan gerakannya. Tak biasanya putranya itu membela Ratih membuat Pak Basuki keheranan.
“Kenapa kau berpihak padanya sekarang, Bagas?” tanya Pak Basuki dengan nada tak suka akan tindakan Bagas.
“Jika pria yang dikatakan Ayah tadi adalah kekasih Ratih, bukankah itu akan menguntungkan bagimu, Ayah? Ratih akan selalu memberimu uang yang banyak, seperti saat ini,” terang Bagas sambil tersenyum.
Kedua bola mata Ratih membulat sempurna setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut sang kakak, sedangkan sang ayah mengangguk setuju dan ikut tersenyum.
Jika memang benar begini aku akan memanfaatkan kekasih Ratih tersebut untuk mendapatkan pundi-pundi uang, ucap Pak Basuki dalam hati.
“Tapi Ayah, dia bukan kekasihku. Dia hanya temanku. A-aku,,,” gamang, Ratih belum bisa melanjutkan ucapannya. Hatinya risau untuk mengatakan yang sebenarnya kepada ayah dan kakaknya.
“Aku tak peduli Ratih. Mau dia kekasih atau teman kamu, yang jelas kamu harus bisa mendapatkan uang darinya, seperti sekarang ini. Ingat, jangan kau sia-siakan kesempatan ini Ratih. Hidup di dunia ini yang diperlukan hanya duit Ratih, duit!” tekan Pak Basuki lalu tertawa angkuh, begitu pun dengan Bagas.
Sungguh jahat, mereka memanfaatkan Ratih hanya untuk kepentingan sendiri tanpa mempedulikan posisi gadis malang itu.
Ratih hanya bisa menatap nanar ke arah ayah dan saudaranya, mau menjelaskan pun percuma, Ratih tetap hanya akan menjadi babu yang patut di peras untuk membahagiakan keluarganya tanpa peduli dengan keadaan Ratih.
Dengan sedikit tertatih, Ratih bangkit dari lantai, lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Kali ini tubuhnya mendapatkan banyak lebam, bahkan mata kanannya terlihat bengkak akibat dari pukulan Pak Basuki.
Ratih meringkuk diatas kasur, ingin rasanya dia pergi ke klinik agar mendapatkan perawatan dari dokter, namun sayang kali ini uangnya sudah diambil oleh Pak Basuki semua, tak sedikitpun tersisa. Ratih hanya bisa menahan perih dan sakit.
===
Sudah tiga hari Ratih tergolek lemah didalam kamarnya. Dia hanya mengerjakan rumah semampunya saja, sampai sampai Pak Basuki selalu merutuk Ratih yang menurutnya kini menjadi pemalas.
Ratih tak peduli, dia mengunci kamarnya dari dalam. Dia hanya keluar jika perutnya terasa lapar atau ingin ke kamar mandi. Untuk makan saja dia harus memasak bubur sendiri, kali ini Ratih tak memikirkan bagaimana sang ayah dan saudaranya mendapatkan makanan, Ratih merasa mereka bisa membeli diluar untuk sementara waktu ini sampai dia bisa beraktivitas seperti semula.
“Dasar bocah sialan! Kau hanya masak untuk diri kamu sendiri?!” sergah Pak Basuki saat melihat Ratih di dapur sedang memasak bubur.
“Maaf Ayah, aku sedang sakit,” lirih Ratih.
Gluntang!
Pak Basuki yang tak suka dengan jawaban Ratih langsung membanting panci yang berisi bubur ke lantai. Sontak saja semua isinya berhamburan.
“Aku tidak suka orang pemalas! Jika kamu mau makan dirumah ini, kamu harus kerja! Enak-enakan kamu makan sedangkan aku dan putraku saja harus beli diluar sana. Kamu bereskan semua pekerjaan rumah dulu, dan buatkan kami makan!” sembur Pak Basuki.
Ratih hanya bisa mengangguk pasrah mendengar perintah dari sang ayah. Padahal tubuhnya sudah gemetar menahan lapar, sedari kemarin dia hanya mengisi perutnya dengan air minum. Tubuhnya benar-benar terasa sakit akibat dan Ratih hanya bisa meringkuk di kasur.
Perlahan Ratih membersihkan tumpahan bubur, lalu membuatkan makanan untuk ayah dan saudaranya. Di dapur hanya ada mie dan telur, Ratih memasakkan itu untuk mereka. Ratih tak sanggup jika harus pergi ke warung terlebih dahulu untuk membeli sayuran dan lauk, apalagi Pak Basuki juga tidak memberinya uang belanja.
Setelah semua siap, Ratih memanggil Pak Basuki untuk makan terlebih dahulu. Begitu juga dengan saudaranya.
“Hanya mie? Kau ini dasar anak sialan! Apa kau tak punya otak?! Kenapa kamu hanya masak mie?!” teriak Pak Basuki begitu melihat makanan yang terhidang di meja makan.
“Maaf Ayah, hanya ada itu. Ratih belum sanggup untuk berjalan ke warung, lagi pula Ayah tidak memberiku uang belanja,” ucap Ratih.
Plak!
Lagi-lagi Ratih mendapat tamparan dari Pak Basuki. Sudut bibirnya kembali mengeluarkan darah segar. Ratih tak kuat menahan sakit yang dirasa. Dia pun jatuh pingsan dihadapan Pak Basuki.
Bukannya Pak Basuki merasa iba kepada putrinya, dia justru makin menyiksa Ratih.
“Bangun kamu anak manja! Tak usah pura-pura!”
Berkali-kali Pak Basuki membangunkan Ratih dengan cara menendang-nendang tubuhnya. Karena Ratih tetap tak bergeming, Pak Basuki mengambil air dari dalam kamar mandi lalu disiramkannya ke tubuh Ratih.
Lagi-lagi Ratih masih tergolek tak berdaya di lantai. Merasa belum puas, Pak Basuki kembali lagi ke kamar mandi untuk mengambil air. Dia merasa Ratih hanya berpura-pura pingsan supaya mendapat belas kasihan.
“Astaga, Ratih!” teriak seorang pria yang melihat tubuh Ratih tergolek tak berdaya di lantai.
“Ratih! Bangun Ratih!” pemuda tersebut sudah berada didekat Ratih, perlahan menepuk-nepuk pipinya berharap Ratih bisa sadar.
“Siapa kamu? Masuk tanpa permisi ke rumah orang, dasar tidak sopan!” desis Pak Basuki begitu melihat pria tersebut.
Ratih mengusap peluh yang menetes di dahi hingga mengalir ke wajahnya. Terik matahari siang ini memang terasa sangat menyengat, namun hal itu tak menyurutkan langkah Ratih untuk mencari uang.“Tinggal sedikit lagi, aku harus semangat!” gumam Ratih dalam hati, bibirnya terukir senyum tipis.“Kue… Kue…!” Teriak Ratih menawarkan dagangannya, diikuti doa didalam hati berharap ada pembeli yang datang menghampiri dirinya.Beberapa orang yang berpapasan dengannya menatap dengan iba, bahkan ada juga yang melihatnya dengan tatapan jijik.“Bunt*ng! Bunt*ng!”Terdengar ejekan dari beberapa anak kecil yang berlarian disekitar Ratih berjalan. Dia hanya tersenyum mendengarnya.Ratih memang terlahir tidak sempurna. Sejak dari lahir tangan kirinya memang tidak tumbuh sebagaimana mesti. Namun dia tak pernah mengeluh, tak pernah sedikit pun menyalahkan takdir yang sudah digariskan Tuhan.“Buang saja anak kamu itu! Anak cacat seperti dia hanya akan buat susah keluarga!” murka Pak Basuki – ayah Ratih, be
Ratih menangis sambil memegangi bagian tubuhnya yang sakit akibat perlakuan orang tuanya. Belum lagi dia harus memberikan uang tabungan yang selama ini dimilikinya. Jika dia memberikan uang tersebut kepada ayahnya, bagaimana nanti dengan keperluan sekolah, padahal Ratih juga berniat untuk mengenyam pendidikan hingga ke bangku kuliah.Dengan langkah tertatih dia masuk ke dalam kamar. Rasa lelah setelah berjualan sampai dirumah bukan sambutan hangat yang diterima olehnya, namun perlakuan kejam dari sang ayah yang harus dia rasakan.Sambil merebahkan tubuhnya dikasur tipis, Ratih masih memikirkan bagaimana caranya dia tak menyerahkan semua uangnya pada sang ayah.Brak! Brak! Brak!“Buka pintunya!” Lagi-lagi Ratih dibuat senam jantung oleh teriakan Pak Basuki. Dengan perasaan was-was dia bangkit dari pembaringannya.“Mana uang yang kamu punya?” sergah Pak Basuki begitu pintu kamar dibuka oleh Ratih.Belum juga Ratih menjawab, Pak Basuki sudah menerobos masuk ke dalam kamar. Dibukanya lema
Pandangan Ratih menerawang jauh ke depan, dari dalam lubuk hati Ratih sebenarnya dia ingin sekali menyalurkan bakat melukisnya. Namun apalah daya, waktunya sudah habis untuk belajar dan mencari biaya untuk pendidikan.Jika Ratih menjadi guru melukis, lalu bagaimana dengan rutinitas jualannya, dan belum tentu juga pemilik sanggar itu menerima dia sebagai salah satu guru melukis.Ratih memandang punggung Renata yang perlahan melangkah pergi meninggalkan dirinya. Renata harus segera menuju ke sanggar, sedangkan Ratih kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat dia mengambil dagangan. Semoga saja dagangan hari ini habis, sehingga dia bisa berbagi hasilnya untuk sang ayah.===Menjelang petang Ratih baru tiba dirumah karena dia tadi mengambil dagangan yang cukup banyak, dan mau tidak mau dia harus menghabiskan dagangan tersebut jika dia tak ingin semua hasil penjualan hari ini diminta oleh Pak Basuki.Ratih hanya akan memberikan tiga puluh ribu untuk Pak Basuki dari hasil berjualan, sedan
Satu bulan sudah Ratih ikut mengajar di sanggar lukis Raihan. Dia pun juga masih tetap berjualan kue seperti biasa, namun dia hanya berkeliling di area terdekat saja. Jika sudah waktunya mengajar, Ratih akan membawa dagangannya ke sanggar. Di area kosong yang ada di depan sanggar, Ratih mendirikan tenda kecil khusus berjualan. Untuk saat ini dia hanya mampu membuatnya dengan terpal dan bambu. Dia harus mengambil lagi tabungannya untuk modal membuat tenda tersebut. Meskipun sebenarnya Raihan sudah menawarkan akan membuatkan kios kecil, namun dengan halus Ratih menolaknya karena tidak ingin merepotkan kawan barunya tersebut. Ratih tidak ingin terlalu banyak berhutang budi pada siapa pun, terlebih meminta belas kasih dari orang lain, itu bukan prinsipnya meskipun dia cacat pantang baginya meminta. “Mas, apa tidak terlalu banyak gaji yang diberikan kepada saya?” tanya Ratih setelah membuka amplop yang dia terima dari Raihan. Raihan tersenyum mendengar pertanyaan dari rekan kerjanya te
Pandangan Ratih menerawang jauh ke depan, dari dalam lubuk hati Ratih sebenarnya dia ingin sekali menyalurkan bakat melukisnya. Namun apalah daya, waktunya sudah habis untuk belajar dan mencari biaya untuk pendidikan.Jika Ratih menjadi guru melukis, lalu bagaimana dengan rutinitas jualannya, dan belum tentu juga pemilik sanggar itu menerima dia sebagai salah satu guru melukis.Ratih memandang punggung Renata yang perlahan melangkah pergi meninggalkan dirinya. Renata harus segera menuju ke sanggar, sedangkan Ratih kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat dia mengambil dagangan. Semoga saja dagangan hari ini habis, sehingga dia bisa berbagi hasilnya untuk sang ayah.===Menjelang petang Ratih baru tiba dirumah karena dia tadi mengambil dagangan yang cukup banyak, dan mau tidak mau dia harus menghabiskan dagangan tersebut jika dia tak ingin semua hasil penjualan hari ini diminta oleh Pak Basuki.Ratih hanya akan memberikan tiga puluh ribu untuk Pak Basuki dari hasil berjualan, sedan
Ratih menangis sambil memegangi bagian tubuhnya yang sakit akibat perlakuan orang tuanya. Belum lagi dia harus memberikan uang tabungan yang selama ini dimilikinya. Jika dia memberikan uang tersebut kepada ayahnya, bagaimana nanti dengan keperluan sekolah, padahal Ratih juga berniat untuk mengenyam pendidikan hingga ke bangku kuliah.Dengan langkah tertatih dia masuk ke dalam kamar. Rasa lelah setelah berjualan sampai dirumah bukan sambutan hangat yang diterima olehnya, namun perlakuan kejam dari sang ayah yang harus dia rasakan.Sambil merebahkan tubuhnya dikasur tipis, Ratih masih memikirkan bagaimana caranya dia tak menyerahkan semua uangnya pada sang ayah.Brak! Brak! Brak!“Buka pintunya!” Lagi-lagi Ratih dibuat senam jantung oleh teriakan Pak Basuki. Dengan perasaan was-was dia bangkit dari pembaringannya.“Mana uang yang kamu punya?” sergah Pak Basuki begitu pintu kamar dibuka oleh Ratih.Belum juga Ratih menjawab, Pak Basuki sudah menerobos masuk ke dalam kamar. Dibukanya lema
Ratih mengusap peluh yang menetes di dahi hingga mengalir ke wajahnya. Terik matahari siang ini memang terasa sangat menyengat, namun hal itu tak menyurutkan langkah Ratih untuk mencari uang.“Tinggal sedikit lagi, aku harus semangat!” gumam Ratih dalam hati, bibirnya terukir senyum tipis.“Kue… Kue…!” Teriak Ratih menawarkan dagangannya, diikuti doa didalam hati berharap ada pembeli yang datang menghampiri dirinya.Beberapa orang yang berpapasan dengannya menatap dengan iba, bahkan ada juga yang melihatnya dengan tatapan jijik.“Bunt*ng! Bunt*ng!”Terdengar ejekan dari beberapa anak kecil yang berlarian disekitar Ratih berjalan. Dia hanya tersenyum mendengarnya.Ratih memang terlahir tidak sempurna. Sejak dari lahir tangan kirinya memang tidak tumbuh sebagaimana mesti. Namun dia tak pernah mengeluh, tak pernah sedikit pun menyalahkan takdir yang sudah digariskan Tuhan.“Buang saja anak kamu itu! Anak cacat seperti dia hanya akan buat susah keluarga!” murka Pak Basuki – ayah Ratih, be