Ratih mengusap peluh yang menetes di dahi hingga mengalir ke wajahnya. Terik matahari siang ini memang terasa sangat menyengat, namun hal itu tak menyurutkan langkah Ratih untuk mencari uang.
“Tinggal sedikit lagi, aku harus semangat!” gumam Ratih dalam hati, bibirnya terukir senyum tipis.
“Kue… Kue…!” Teriak Ratih menawarkan dagangannya, diikuti doa didalam hati berharap ada pembeli yang datang menghampiri dirinya.
Beberapa orang yang berpapasan dengannya menatap dengan iba, bahkan ada juga yang melihatnya dengan tatapan jijik.
“Bunt*ng! Bunt*ng!”
Terdengar ejekan dari beberapa anak kecil yang berlarian disekitar Ratih berjalan. Dia hanya tersenyum mendengarnya.
Ratih memang terlahir tidak sempurna. Sejak dari lahir tangan kirinya memang tidak tumbuh sebagaimana mesti. Namun dia tak pernah mengeluh, tak pernah sedikit pun menyalahkan takdir yang sudah digariskan Tuhan.
“Buang saja anak kamu itu! Anak cacat seperti dia hanya akan buat susah keluarga!” murka Pak Basuki – ayah Ratih, begitu mengetahui jika putrinya yang baru saja lahir ternyata tak sempurna.
“Ayah, jangan bicara seperti itu. Biar bagaimana pun juga dia adalah anak kita. Semua yang terlahir ke dunia tak ada yang sempurna. Tuhan pasti punya rencana yang indah,” ucap Bu Wahyuni, sang istri, berusaha menenangkan amarah Pak Basuki.
“Terserah kamu saja, tapi yang jelas aku tak mau direpotkan oleh anak cacat itu! Kamu urus saja dia!” geramnya lalu pergi meninggalkan Bu Wahyuni yang masih menyusui putri kecilnya itu.
Dengan sabar dan penuh kasih sayang Bu Wahyuni merawat Ratih, padahal dua kakak Ratih serta sang suami enggan menerima putrinya itu sebagai keluarga dari mereka.
Hanya dari sang ibunda Ratih menerima cinta. Namun sayangnya Ratih hanya bisa merasakan belaian lembut Bu Wahyuni sampai dia berusia 5tahun. Bu Wahyuni menghembuskan nafas terakhir akibat penyakit maag kronis yang dideritanya.
“Nak, kamu harus jadi wanita kuat ya. Ibu yakin kelak kamu akan menjadi wanita tangguh, yang bisa membanggakan keluarga kita,” tutur Bu Wahyuni disaat-saat terakhirnya. Dibelainya rambut sang putri tercintanya diiringi oleh air mata yang mengalir diwajah.
Ratih hanya menatap sang Ibu dengan wajah sendu. Kala itu dia tak tahu apa yang akan terjadi pada Bu Wahyuni.
“Ibu cepat sembuh ya, biar bisa main sama Ratih lagi. Biar bisa antar Ratih ke sekolah lagi,” doa terucap dari bibir mungil Ratih.
Bu Wahyuni tersenyum mendengarnya, lalu perlahan kedua bola mata Bu Wahyuni tertutup rapat. Dia telah berpulang kepada Sang Maha Pencipta.
Sejak kepergian Bu Wahyuni, Ratih harus berjuang sendiri. Pak Basuki enggan mengurus Ratih, apalagi Bagas dan Firman, kakak Ratih. Mereka tak mau menganggap Ratih adalah saudara kandung, mereka malu karena adiknya terlahir cacat.
“Mas Bagas, kata Bunda Sukma besok ada acara perpisahan disekolah. Besok temani Ratih ke sekolah ya,” pinta Ratih sore itu.
“Ga mau! Manja banget sih pake minta ditemani, biasanya juga bisa sendirian!” Tolak Bagas dengan wajah garangnya.
“Tapi teman-teman Ratih datang dengan orang tuanya. Aku juga udah bilang sama Ayah, tapi katanya juga lagi sibuk,” lirih Ratih dengan bibir bergetar menahan air mata, berharap saudaranya mau mewakilkan sang ayah.
“Mereka beda sama kamu! Udah sana jangan ganggu! Ga usah drama!” ketus Bagas lalu berlalu meninggalkan Ratih yang sedih.
Ratih hanya bisa menangis sendirian didalam kamar. Ya begitulah perlakuan keluarga Ratih kepadanya. Jika saja dia bisa memilih, pasti dia juga ingin terlahir dengan anggota tubuh yang sempurna.
Apakah berdosa jika memang Ratih tercipta seperti itu? Bukankah segala sesuatu di dunia memang tidak ada yang sempurna?
Sejak kejadian itu, Ratih pun tak pernah meminta kepada ayah atau pun kakak-kakaknya untuk menghadiri acara disekolah, bahkan meskipun itu untuk pengambilan hasil ujian ataupun raport.
“Alhamdulillah, peringkat satu lagi,” gumam Ratih setelah melihat hasil ujian yang diberikan oleh sang guru.
Setelah menerima raport, Ratih bergegas menuju tempat pemakaman umum. Dengan penuh semangat dan senyum mengembang dia menyambangi pusara Bu Wahyuni.
“Ibu, lihatlah, aku peringkat satu lagi di kelas. Ibu bangga kan kepada Ratih?” ucapnya dengan nafas tersengal-sengal diatas pusara sang Ibunda.
Dia berkata seolah-olah Bu Wahyuni sedang berada dihadapannya. Lembaran-lembaran hasil ujiannya pun diperlihatan diatas pusara. Dia tak peduli teriknya sinar matahari begitu terasa menyengat. Tak peduli juga jika dia dianggap tidak waras oleh beberapa orang yang lewat didepan pemakaman karena dia berbicara dan tersenyum sendirian.
“Bu, Ratih kangen. Sampai saat ini Ayah, Mas Bagas dan Mas Firman tak peduli sama aku. Sehina inikah Ratih?” Tak terasa air mata menggenangi pipi Ratih yang terpapar terik sang surya.
Ditumpahkannya segala rasa yang Ratih alami sampai saat ini ketika sang cintanya pergi meninggalkan dia untuk selamanya. Pernah terbersit dibenaknya untuk mengakhiri hidup karena tak sanggup dengan sikap keluarganya. Namun dia selalu terngiang akan ucapan guru ngajinya, bahwa bunuh diri adalah dosa besar.
“Ayah, Ratih ingin melanjutkan ke sekolah favorit boleh? Kata Bu Siska…”
“Tak boleh! Cukup kamu menamatkan sekolah dasar saja! Tak perlu buang-buang uang buat anak cacat seperti kamu!” sergah sang ayah memotong ucapan Ratih.
“Tapi kata Bu Siska Ratih bisa masuk kesana dengan jalur prestasi,” ucap Ratih meyakinkan Pak Basuki.
Pak Basuki menatap Ratih sambil tersenyum miring mendengar penjelasan dari dirinya, “kamu bilang jalur prestasi? Hahaha. Dasar anak bodoh! Orang kayak kamu itu emang punya prestasi apa? Bisa baca aja harusnya kamu udah bersyukur.”
Kata-kata yang keluar dari sang ayah hanyalah cemoohan. Pak Basuki memang tak pernah mau tahu tentang nilai-nilai yang didapat oleh Ratih selama sekolah, lebih tepatnya tak mau peduli.
Untuk meyakinkannya, Ratih bergegas mengambil hasil ujian. Ratih yakin ayahnya pasti akan bangga akan prestasi yang diraih.
“Ini Ayah hasil ujian aku.” Dengan wajah berbinar Ratih menyodorkan beberapa lembar kertas ke arah Pak Basuki.
Namun bukannya dilihat, kertas-kertas itu justru dihamburkan begitu saja olehnya. Wajah Pak Basuki terlihat memerah, nampak amarah yang memuncak terlihat jelas.
“Apa selain bunt*ng kau juga tuli, ha?!” bentaknya sambil menampar wajah Ratih.
Terdengar rintihan dari bibir sang putri. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Ratih memegangi pipinya yang terasa kebas. Perlahan air matanya pun menganak sungai. Wajahya tertunduk dalam. Kedua tangannya meremas ujung baju yang dipakainya untuk menahan sakit dan perih yang dirasa.
“Jika aku bilang tidak perlu melanjutkan itu artinya kamu tidak boleh sekolah lebih tinggi! Cukup kakak-kakak kamu saja yang sekolah. Mereka tidak cacat seperti kamu!” tegas Pak Basuki dengan suara lantang.
“Jika kamu nekad mau melanjutkan, silahkan! Tapi aku tak mau memberimu sepeserpun uang untuk biaya sekolahmu itu!” ujar Pak Basuki penuh dengan penekanan lalu pergi meninggalkannya.
Ratih berdiri mematung melihat kertas-kertas yang berserakan dilantai diinjak-injak oleh ayahnya. Sedangkan saudara-saudaranya pun hanya berlalu melihat sang adik mendapat perlakuan seperti itu.
Dipungutnya satu persatu kertas-kertas tersebut. Perihnya bekas tamparan sudah tak dirasakannya lagi. Kini yang dirasakan adalah perihnya luka dihati.
Ratih sudah berjuang demi untuk mendapat pengakuan dari Pak Basuki, namun justru hinaan lah yang didapat olehnya.
Kini Ratih pun harus berjuang sendiri demi bisa melanjutkan pendidikannya. Dia rela berjualan kue keliling untuk membeli perlengkapan sekolah serta menabung. Sedangkan untuk biaya bulanan Ratih mendapat beasiswa dari prestasinya sehingga dia tak perlu membayar.
Kue yang dijualnya pun milik orang lain, setiap hari Ratih akan menerima upah tiga puluh ribu jika dagangan yang dibawanya habis. Paling buruknya jika tidak habis, dia bisa mendapat sepuluh ribu.
“Alhamdulillah, akhirnya habis juga.” Senyum merekah tercipta dibibir Ratih begitu dagangan yang dibawanya habis.
Dia pun bergegas melangkahkan kedua kakinya untuk pulang. Sebelum sampai dirumah, dia mampir ke warung bakso yang berada di perempatan jalan. Beberapa hari ini dagangan yang dibawa Ratih selalu habis, jadi dia ingin sesekali membahagiakan dirinya sendiri walau hanya sekedar membeli bakso dipinggir jalan.
“Dari mana saja kamu jam segini baru sampai pulang?” tanya Pak Basuki didepan pintu begitu melihat Ratih tiba dirumah.
“Dagangan Ratih baru saja habis Ayah,” jawab Ratih.
“Mulai hari ini berikan semua hasil jualanmu kepadaku!” pinta Pak Basuki dengan wajah garang.
“Tapi Ayah, uang hasil dari penjualan aku gunakan untuk keperluan sekolah,” ucap Ratih.
“Kau hanya butuh buku kan? Biar aku yang belikan,” desak Pak Basuki lagi sambil menadahkan tangannya. Ratih menatap ragu sang Ayah.
“Cepat berikan!” Kini suara Pak Basuki semakin lantang. Ratih menghela nafas dalam, dan dengan ragu dia mengeluarkan tiga lembar uang pecahan sepuluh ribu dari sakunya, lalu diberikan kepada Pak Basuki.
Dengan mata memicing dia menghitung uang yang diberikan oleh Ratih.
“Hanya segini?” tanya Pak Basuki tak percaya jika Ratih hanya menerima uang tiga puluh ribu.
“Iya Ayah,” lirih Ratih sambil menatap ke arah Pak Basuki.
“Jangan bohong kamu!” hardik Pak Basuki. Dia yakin uang yang dimiliki Ratih tidak hanya segini.
“Tadi dia habis jajan bakso Yah diperempatan sana.” Tiba-tiba terdengar suara Bagas dari arah belakang Ratih.
Sontak saja wajah Ratih terlihat pias. Dia takut Pak Basuki akan murka padanya.
Kedua tangan Pak Basuki terlihat mengepal, wajahnya nampak memerah menahan geram dan amarah.
“Dasar anak tak tahu terima kasih! Kau enak-enakan makan diluar tanpa mempedulikan orang tuamu dan saudaramu, hah!” Ratih menerima pukulan diwajah, tangan serta punggung dari Pak Basuki.
“Ampun Ayah, ampun,,, “ rintih Ratih sambil menahan nyeri. Sedangkan Bagas terlihat puas melihat Ratih tersiksa seperti itu.
“Serahkan semua uang yang kamu bawa sekarang juga! Jangan sampai ada yang tersisa! Awas saja jika sampai ketahuan kamu masih menyimpan uang, aku tak akan mengampunimu!” tegas Pak Basuki setelah merasa puas memberi hukuman pada Ratih.
Ratih menangis sambil memegangi bagian tubuhnya yang sakit akibat perlakuan orang tuanya. Belum lagi dia harus memberikan uang tabungan yang selama ini dimilikinya. Jika dia memberikan uang tersebut kepada ayahnya, bagaimana nanti dengan keperluan sekolah, padahal Ratih juga berniat untuk mengenyam pendidikan hingga ke bangku kuliah.
Ratih menangis sambil memegangi bagian tubuhnya yang sakit akibat perlakuan orang tuanya. Belum lagi dia harus memberikan uang tabungan yang selama ini dimilikinya. Jika dia memberikan uang tersebut kepada ayahnya, bagaimana nanti dengan keperluan sekolah, padahal Ratih juga berniat untuk mengenyam pendidikan hingga ke bangku kuliah.Dengan langkah tertatih dia masuk ke dalam kamar. Rasa lelah setelah berjualan sampai dirumah bukan sambutan hangat yang diterima olehnya, namun perlakuan kejam dari sang ayah yang harus dia rasakan.Sambil merebahkan tubuhnya dikasur tipis, Ratih masih memikirkan bagaimana caranya dia tak menyerahkan semua uangnya pada sang ayah.Brak! Brak! Brak!“Buka pintunya!” Lagi-lagi Ratih dibuat senam jantung oleh teriakan Pak Basuki. Dengan perasaan was-was dia bangkit dari pembaringannya.“Mana uang yang kamu punya?” sergah Pak Basuki begitu pintu kamar dibuka oleh Ratih.Belum juga Ratih menjawab, Pak Basuki sudah menerobos masuk ke dalam kamar. Dibukanya lema
Pandangan Ratih menerawang jauh ke depan, dari dalam lubuk hati Ratih sebenarnya dia ingin sekali menyalurkan bakat melukisnya. Namun apalah daya, waktunya sudah habis untuk belajar dan mencari biaya untuk pendidikan.Jika Ratih menjadi guru melukis, lalu bagaimana dengan rutinitas jualannya, dan belum tentu juga pemilik sanggar itu menerima dia sebagai salah satu guru melukis.Ratih memandang punggung Renata yang perlahan melangkah pergi meninggalkan dirinya. Renata harus segera menuju ke sanggar, sedangkan Ratih kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat dia mengambil dagangan. Semoga saja dagangan hari ini habis, sehingga dia bisa berbagi hasilnya untuk sang ayah.===Menjelang petang Ratih baru tiba dirumah karena dia tadi mengambil dagangan yang cukup banyak, dan mau tidak mau dia harus menghabiskan dagangan tersebut jika dia tak ingin semua hasil penjualan hari ini diminta oleh Pak Basuki.Ratih hanya akan memberikan tiga puluh ribu untuk Pak Basuki dari hasil berjualan, sedan
Satu bulan sudah Ratih ikut mengajar di sanggar lukis Raihan. Dia pun juga masih tetap berjualan kue seperti biasa, namun dia hanya berkeliling di area terdekat saja. Jika sudah waktunya mengajar, Ratih akan membawa dagangannya ke sanggar. Di area kosong yang ada di depan sanggar, Ratih mendirikan tenda kecil khusus berjualan. Untuk saat ini dia hanya mampu membuatnya dengan terpal dan bambu. Dia harus mengambil lagi tabungannya untuk modal membuat tenda tersebut. Meskipun sebenarnya Raihan sudah menawarkan akan membuatkan kios kecil, namun dengan halus Ratih menolaknya karena tidak ingin merepotkan kawan barunya tersebut. Ratih tidak ingin terlalu banyak berhutang budi pada siapa pun, terlebih meminta belas kasih dari orang lain, itu bukan prinsipnya meskipun dia cacat pantang baginya meminta. “Mas, apa tidak terlalu banyak gaji yang diberikan kepada saya?” tanya Ratih setelah membuka amplop yang dia terima dari Raihan. Raihan tersenyum mendengar pertanyaan dari rekan kerjanya te