Pandangan Ratih menerawang jauh ke depan, dari dalam lubuk hati Ratih sebenarnya dia ingin sekali menyalurkan bakat melukisnya. Namun apalah daya, waktunya sudah habis untuk belajar dan mencari biaya untuk pendidikan.
Jika Ratih menjadi guru melukis, lalu bagaimana dengan rutinitas jualannya, dan belum tentu juga pemilik sanggar itu menerima dia sebagai salah satu guru melukis.
Ratih memandang punggung Renata yang perlahan melangkah pergi meninggalkan dirinya. Renata harus segera menuju ke sanggar, sedangkan Ratih kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat dia mengambil dagangan. Semoga saja dagangan hari ini habis, sehingga dia bisa berbagi hasilnya untuk sang ayah.
===
Menjelang petang Ratih baru tiba dirumah karena dia tadi mengambil dagangan yang cukup banyak, dan mau tidak mau dia harus menghabiskan dagangan tersebut jika dia tak ingin semua hasil penjualan hari ini diminta oleh Pak Basuki.
Ratih hanya akan memberikan tiga puluh ribu untuk Pak Basuki dari hasil berjualan, sedangkan sisanya akan dia tabung.
“Mana uangnya?” sergah Pak Basuki begitu melihat Ratih yang hendak masuk ke dalam kamar setelah membersihkan diri di kamar mandi.
“Ini Ayah. Satu juta lima ratus dari uang tabunganku, sedangkan ini hasil dari jualanku hari ini,” ucap Ratih sembari menyerahkan uang yang sudah disiapkan didalam amplop.
“Benar hanya ini?” tanya Pak Basuki dengan tatapan penuh selidik ke arah Ratih.
“Iya Ayah, benar,” jawab Ratih mantap meski jantungnya berdegup kencang karena takut jika Ratih ketahuan berbohong.
“Ya sudah. Awas kalau kamu bohong padaku!” ancamnya lalu pergi setelah mengambil uang pemberian sang putri.
Ratih bernafas lega, setidaknya untuk kali ini ayahnya tidak tahu jika hari ini penghasilannya lebih dari tiga puluh ribu. Ratih bergidik ngeri membayangkan jika saja Pak Basuki tahu dia berbohong pasti akan sangat murka. Bisa jadi dia akan diusir dari sini dan tentu saja sebelumnya akan menyiksa dirinya.
“Ibu, aku rindu. Seandainya masih ada Ibu, aku pasti tidak akan sendiri seperti ini,” gumam Ratih sambil meneteskan air mata.
Disaat semua penghuni rumah sudah terlelap dialam mimpi, tidak dengan Ratih. Dia masih berkutat dengan buku-buku pelajarannya. Hingga kantuk benar-benar menyerang kedua bola mata Ratih akhirnya terpejam saat masih berada didepan meja belajar.
===
Pagi ini disambut dengan gerimis yang membasahi bumi, Ratih harus menggunakan kantong plastik besar sebagai pengganti jas hujan pelindung dirinya dari tetesan air langit saat dia berangkat ke sekolah.
Makanan untuk ayah dan saudaranya sudah dihidangkan seperti biasa oleh Ratih. Dia memang yang mengerjakan semua pekerjaan rumah termasuk memasak, namun sayangnya, Ratih hanya dijatah nasi satu piring serta lauk sederhana seperti tempe atau tahu itupun juga hanya dua potong.
Awalnya tentu saja Ratih mengeluh, namun sekarang tak ada lagi rengekan dari bibir Ratih soal makanan dirumah. Ratih sudah terbiasa makan satu piring dibagi dua kali, pagi dan sore hari. Jika nasi untuknya sudah habis di pagi hari, Ratih memilih memakan kue yang dijualnya sepotong atau dua potong sudah cukup baginya.
Kali ini Ratih akan menjual kue seperti kemarin, jumlahnya lebih banyak supaya hasil yang didapat pun lebih dari tiga puluh ribu. Meskipun dia harus berjualan sampai petang, itu tak masalah baginya, yang penting dia tetap bisa menggapai impiannya.
“Kak Ratih!” Terdengar teriakan seseorang dari belakang memanggil namanya.
“Renata?” lirih Ratih begitu melihat siapa orang yang memanggil namanya.
Renata dengan sedikit berlari menghampiri Ratih, dibelakangnya nampak seorang lelaki cukup tampan, berusia sekitar dua puluh tahunan mungkin.
“Kak Ratih cepet banget sih jalannya. Sampe engap aku ngejar Kakak,” ujarnya dengan nafas yang sedikit tersengal-sengal. Ratih tersenyum mendengar ucapan Renata.
“Kakak mau ambil barang dagangan di warung sana. Kamu ada perlu sama Kakak?” tanya Ratih setelah melihat Renata sudah bisa mengatur nafas.
“Ini lho aku mau ngenalin Kak Rai, guru lukis aku sama Kak Ratih. Ini orangnya,” terang Renata sambil salah satu tangannya menarik lengan kanan Ratih.
“Halo. Kenalin aku Raihan, biasa dipanggil Rai,” sapa Raihan sambil tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya ke arah Ratih.
“Saya Ratih,” balas Ratih dengan sedikit gugup dan menerima uluran tangan dari Raihan.
“Renata sudah bercerita banyak tentang kamu, bahkan dia sempat aku kenakan hukuman,” ujar Raihan sambil melirik ke arah Renata.
Gadis yang diliriknya tampak memasang wajah masam, dan mulutnya komat kamit menggurutu tidak jelas. Raihan tersenyum melihat mimik wajah bocah lugu ini.
“Kenapa dihukum?” tanya Ratih tak mengerti.
“Karena tugas yang dikumpulkan bukanlah hasil dari Renata sendiri,” beber Raihan membuat Ratih paham mengapa kini Renata terlihat manyun.
“Ya habisnya kan waktunya udah mepet Kak Rai, dari pada aku dihukum gara-gara ga ngumpulin tugas,” tukas Ratih sambil menjulurkan lidahnya, membuat Ratih dan Raihan tertawa.
Akhirnya mereka bertiga pun duduk dikursi taman. Raihan menawarkan Ratih untuk ikut mengajar disanggar lukis miliknya. Karena peminatnya semakin banyak, Raihan kewalahan jika harus mengajar seorang diri.
Berkat cerita dari Renata, Raihan tertarik untuk berkenalan dengan Ratih. Dan dia setuju jika Ratih ikut mengajar disana.
“Tapi Mas,,,”
Ratih menghentikan ucapannya, dia gamang apakah harus menjelaskan keadaan dia sebenarnya atau tidak kepada Raihan dan Renata.
“Kamu tidak perlu khawatir, aku akan memberimu gaji yang pantas kok, atau kamu mau menyebutkan nominalnya?” tawar Raihan.
“Bukan, bukan itu maksudku. Sebenarnya sepulang dari sekolah aku berjualan kue keliling. Jika aku ikut mengajar disana, bagaimana dengan rutinitasku sebelumnya? Aku tak enak dengan pemilik warung yang sudah berbaik hati padaku selama ini,” terang Ratih.
Mau tidak mau dia harus menjelaskan semuanya kepada Raihan dan Renata. Sebenarnya ini kesempatan yang bagus buat Ratih, namun dia tidak boleh mengabaikan kebaikan dari pemilik warung yang sudah banyak membantu dia selama ini.
“Bagaimana kalau barang dagangan kamu dijual disanggar? Didepan sanggar masih ada sedikit lahan kosong, nanti bisa aku buatkan kios kecil disana. Lagi pula didekat sanggar belum ada toko snack.”
Lagi-lagi tawaran Raihan membuat Ratih terdiam. Dia baru saja berkenalan dengan Raihan, bagaimana mungkin dia menerima tawaran ini.
Ratih merasa ini terlalu berlebihan meskipun sebenarnya ada rasa bahagia jika benar apa yang dikatakan Raihan tadi bisa terwujud.
“Ayo Kak, jadi guru aku aja. Mau ya Kak?” Terdengar Renata merengek, berharap Ratih menerima tawaran dari Raihan.
Ratih masih bungkam, kedua bola matanya menatap ke arah Renata, lalu ke arah Raihan secara bergantian.
Jika dia menerima tawaran dari Raihan, tentunya dia akan banyak mendapatkan uang, tapi dia tidak mau berhutang budi pada siapapun, terlebih dari orang yang baru saja dikenalnya.
Satu bulan sudah Ratih ikut mengajar di sanggar lukis Raihan. Dia pun juga masih tetap berjualan kue seperti biasa, namun dia hanya berkeliling di area terdekat saja. Jika sudah waktunya mengajar, Ratih akan membawa dagangannya ke sanggar. Di area kosong yang ada di depan sanggar, Ratih mendirikan tenda kecil khusus berjualan. Untuk saat ini dia hanya mampu membuatnya dengan terpal dan bambu. Dia harus mengambil lagi tabungannya untuk modal membuat tenda tersebut. Meskipun sebenarnya Raihan sudah menawarkan akan membuatkan kios kecil, namun dengan halus Ratih menolaknya karena tidak ingin merepotkan kawan barunya tersebut. Ratih tidak ingin terlalu banyak berhutang budi pada siapa pun, terlebih meminta belas kasih dari orang lain, itu bukan prinsipnya meskipun dia cacat pantang baginya meminta. “Mas, apa tidak terlalu banyak gaji yang diberikan kepada saya?” tanya Ratih setelah membuka amplop yang dia terima dari Raihan. Raihan tersenyum mendengar pertanyaan dari rekan kerjanya te
Ratih mengusap peluh yang menetes di dahi hingga mengalir ke wajahnya. Terik matahari siang ini memang terasa sangat menyengat, namun hal itu tak menyurutkan langkah Ratih untuk mencari uang.“Tinggal sedikit lagi, aku harus semangat!” gumam Ratih dalam hati, bibirnya terukir senyum tipis.“Kue… Kue…!” Teriak Ratih menawarkan dagangannya, diikuti doa didalam hati berharap ada pembeli yang datang menghampiri dirinya.Beberapa orang yang berpapasan dengannya menatap dengan iba, bahkan ada juga yang melihatnya dengan tatapan jijik.“Bunt*ng! Bunt*ng!”Terdengar ejekan dari beberapa anak kecil yang berlarian disekitar Ratih berjalan. Dia hanya tersenyum mendengarnya.Ratih memang terlahir tidak sempurna. Sejak dari lahir tangan kirinya memang tidak tumbuh sebagaimana mesti. Namun dia tak pernah mengeluh, tak pernah sedikit pun menyalahkan takdir yang sudah digariskan Tuhan.“Buang saja anak kamu itu! Anak cacat seperti dia hanya akan buat susah keluarga!” murka Pak Basuki – ayah Ratih, be
Ratih menangis sambil memegangi bagian tubuhnya yang sakit akibat perlakuan orang tuanya. Belum lagi dia harus memberikan uang tabungan yang selama ini dimilikinya. Jika dia memberikan uang tersebut kepada ayahnya, bagaimana nanti dengan keperluan sekolah, padahal Ratih juga berniat untuk mengenyam pendidikan hingga ke bangku kuliah.Dengan langkah tertatih dia masuk ke dalam kamar. Rasa lelah setelah berjualan sampai dirumah bukan sambutan hangat yang diterima olehnya, namun perlakuan kejam dari sang ayah yang harus dia rasakan.Sambil merebahkan tubuhnya dikasur tipis, Ratih masih memikirkan bagaimana caranya dia tak menyerahkan semua uangnya pada sang ayah.Brak! Brak! Brak!“Buka pintunya!” Lagi-lagi Ratih dibuat senam jantung oleh teriakan Pak Basuki. Dengan perasaan was-was dia bangkit dari pembaringannya.“Mana uang yang kamu punya?” sergah Pak Basuki begitu pintu kamar dibuka oleh Ratih.Belum juga Ratih menjawab, Pak Basuki sudah menerobos masuk ke dalam kamar. Dibukanya lema