"Izinkan aku menikah lagi, Dik!"
Mendengar berita suaminya akan menikah lagi dari Tanti sudah membuatnya terluka, tetapi mendengar langsung dari ucapan ayah dari anak-anaknya ternyata lebih menyakitkan, bagai teriris sembilu kemudian diberikan cuka di atasnya. Sakit dan perih."Apa salahku, Mas?""Kamu ga ada salah!""Lalu, kenapa begini?""Maafkan, Mas, Dik. Semua terjadi begitu saja!""Apa aku ada kekurangan? Coba dibicarakan, Mas. Pasti aku akan mengubahnya. Membuatmu lebih nyaman dan bahagia. Aku janji, Mas, akan menuruti kemauanmu. Tapi ...."Hilma menjeda ucapannya. Matanya menatap penuh harap pada manik hitam sang suami."Bukan untuk menikah lagi.""Maafkan, Mas, Dik. Perasaan ini hadir tanpa diminta!""Mas mencintai gadis itu?"Wiguna menangguk. "Iya.""Kenapa, Mas?"Airmata sudah meluruh di pipi mulus perempuan berkulit putih tersebut. Selama menjalani biduk rumah tangga, suaminya selalu bersikap baik, jarang mengeluhkan sesuatu, sehingga ia berpikir jika keluarganya baik-baik saja.Namun, kenyataan pahit yang diterima dengan mendadak membuatnya kembali memutar kenangan. Mengingat ungkapan yang dinyatakan Tanti jika suaminya muak dengan penampilannya.Wiguna menggeleng."Maafkan aku, Dik!"Sudah berkali-kali ia meminta maaf untuk pengkhianatan yang dilakukannya. Namun, ia tak bisa menjawab hal yang menjadi penyebab mencintai gadis yang baru dikenalnya enam bulan lalu. "Apa yang membuatmu jatuh cinta padanya, Mas?"Meski sesak tetapi Hilma merasa harus tahu alasan sang suami berpaling ke lain hati."Entahlah, Dik, perasaan itu tumbuh begitu saja.""Ga mungkin, Mas. Pasti ada sesuatu yang menarik darinya," sangkal Hilma. "A-apa karena penampilannya? Dia cantik?" Lelaki berambut ikal itu menatap istrinya sendu, ia pun sulit menjelaskan. Bertahun-tahun menghadapi begitu banyak perempuan cantik tak ada yang membuatnya berpaling. Namun, kali ini sangat berbeda. Ia mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan dari sang istri. Menurutnya Hilma adalah perempuan baik, bahkan sangat cantik. Hanya saja kepribadian yang selalu manis dan penurut membuatnya terasa monoton.Berbeda dengan Nela yang berani mengungkapkan pendapat, memberikan masukan dan berani untuk menentang. Ia seperti mendapat tantangan baru."Apakah karena penampilanku yang sangat lusuh, Mas? Tak enak dipandang?"Hilma kembali bertanya ketika sang suami hanya diam saja. Ia melangkah maju, lebih mendekat kepada lelaki yang menjadi imamnya."Aku akan lebih memerhatikan diriku, Mas. Akan kubuang semua daster itu, aku akan selalu terlihat cantik di hadapanmu? Percaya padaku, Mas!"Senyumnya berkembang diiringi airmata yang mengalir semakin deras. Ia mengharap lelaki yang dikasihinya berubah pikiran, jika ia memperbaki diri. Melihat Wiguna yang masih terdiam, hatinya semakin sesak.Rupanya lelaki yang selama ini dilayani dengan sepenuh hati, diberikan cinta dan kasih sayang dengan tulus terlihat bimbang hanya karena perempuan yang baru hadir.Tadinya, ia berharap sang suami mempertimbangkan dirinya yang sudah membersamai selama delapan tahun pernikahan. Tetapi, Wiguna tetap memilih diam yang artinya telah bulat pada keputusannya.Tulang-tulang di raga terasa lemas, tubuhnya meluruh ke lantai, terduduk dengan isakan tangis yang semakin memilukan, meratapi nasib yang tidak berpihak padanya.Ia tahu sang suami pun tak mengharapkan perceraian, ia tetap bisa membersamai, hanya saja ada hati lain yang turut bertahta di hati suaminya. Dan Hilma tak sanggup membayangkam hidup dengan membagi cinta."Dik, jangan seperti ini!" pinta Wiguna yang sudah mensejajari posisi istrinya.Mereka saling berhadapan dengan tangan Wiguna memegang lembut kedua bahu yang masih berguncang."Kita akan membicarakan hal ini jika kondisimu sudah lebih baik," ucapnya sambil memeluk tubuh sang istri.Hilma tidak bereaksi apa-apa, membiarkan suaminya merengkuh raga tanpa mendapat balasan darinya.Ia terus menikmati luka yang terus menganga yang mungkin akan sulit disembuhkan. Memikirkan kehidupan selanjutnya yang harus ia putuskan.***Dalam kehidupan, untuk merengkuh sesuatu yang diinginkan terkadang harus mengorbankan banyak hati. Mengurangi rasa peduli juga belas kasih.Jika menuruti jalan lurus, akan sulit mendapatkan kesuksesan, perlu cara-cara instan untuk mendapatkan kebahagiaan, meski harus mengorbankan perasaan orang lain.Ungkapan itulah yang menjadi pedoman Nela dalam menghadapi kehidupan. Lelah akan segala penderitaan yang dirasakan sejak kecil membuatnya terobsesi untuk mendapatkan kemapamanan hidup meskipun melalui jalan yang salah, walaupun hanya dijadikan simpanan atau istri kedua.Ia tak peduli, yang terpenting bisa hidup nyaman dan terjamin. Segala kepedihan tak ingin dirasakan lagi."Nel, kemarin Guna lu anterin sampe rumahnya?" tanya Mira sambil merapikan riasannya di depan cermin.Melalui pantulan kaca tersebut ia dapat melihat teman satu kontrakanya yang sedang duduk menyender di atas ranjang sambil membaca sebuah buku."Hu um. Mau gimana lagi, dia mabok gitu!""Lu sendiri?""Engga, sama Dito dan Reni. Ga kuat gue, Guna beneran mabok akut, padahal baru minum sedikit.""Lagian ga biasa minum, lu ajak minum.""Enak, aja, dia yang mau sendiri." Nela memonyongkan mulut, tak suka dituduh sembarangan. Melihat sahabatnya cemberut membuat Mira tertawa. Ia membalikkan tubuh dan menghampiri teman yang sudah lima tahun dikenalnya."Gimana respon istrinya?""Diam aja.""Ga banyak tanya?""Engga. Dia kaya tipikal perempuan pasrah. Kalau gue di posisi dia, udah habis gue berondong pertanyaan."Mira tertawa melihat temannya."Beneran, Mir. Zaman sekarang laki itu kudu dijaga ketat, kalau engga ya bakal kecolongan." Nela memberi pendapat."Untung aja ya semua perempuan ga kaya lu. Bisa berabe ntar," sahut Mira."Maksud lu?""Ya, kalau semua istri pikirannya sama seperti lu gitu, ga ada peluang dong buat orang mirip kek lu deketin suami orang ""Sialan lu. Gue kirain muji ga tahunya nyindir." Nela memberengutkan wajah, merasa kesal."Nel, mau sampai kapan seperti ini. Udah banyak rumah tangga orang yang lu rusak. Kasihan mereka, Nel. Apalagi anak-anaknya.""Ya, jangan salahin gue juga, Mir. Itu para lelaki aja yang kegatelan. Ya gue cuma ambil kesempatan aja. Masa ada peluang disia-siain.""Lu ga takut karma?""Lu tahu hidup gue, kan, Mir. Gimana perlakuan bapak gue yang tega jual anaknya? Juga ibu gue yang kawin lari demi meraih kebahagiaannya sendiri tanpa peduli gimana menderitanya hidup gue. Nyatanya, kedua orang itu sampe sekarang hidupnya enak-enak aja. Ga ada balasan untuk mereka. Jadi, kalau lu tanya soal karma. Gue ga percaya, Mir. Itu hanya ucapan orang buat nakuti-nakutin aja."Membayangkan kembali masa lalu keluarganya membuat wajah putihnya memerah."Oke, Nel. Sebagai sahabat gue cuma ngingetin aja. Bagi gue kebahagiaan lu lebih utama. Gue akan dukung apapun keputusan lu." "Makasih, Mir. Lu emang temen terbaik dan lu ga usah khawatir, sepertinya Guna lelaki yang bisa menghentikan petualangan gue. Dia laki-laki penyayang dan ga mesum. Sampai sekarang pun dia ga mau menyentuh gue lebih dalam, Ren.""Bagus, dong! Berarti dia menghargai lu, Nel." Nela mengangguk membenarkan. "Jadi, Lu manteb mau nikah sama Guna walau jadi istri kedua."Nela kembali mengangguk."Haris gimana?""Ya ga gimana-gimana! Selama ini gue cuma nganggep dia temen." Nela terlihat tak acuh."Di suka sama lu, Nel.""Itu haknya dia. Dan hak gue juga buat nolak dia.""Tapi, kan, dia udah banyak berkorban. Inget, Nel, karena dia lu bisa bebas dari tempat terkutuk itu!" Mira mencoba mengingatkan."Gue ga akan lupa, Mir, tapi bukan berarti gue harus nerima cintanya, kan? Gue ingin hidup lebih baik, Mir. Haris bukan lelaki yang tepat buat tujuan hidup gue!""Nela!"Panggilan seseorang mengangetkan keduanya. Mereka langsung menoleh ke asal suara dan mendapati seorang lelaki berdiri di depan pintu dengan tatapan tajam dan wajah yang memerah."Haris gimana?""Ya ga gimana-gimana! Selama ini gue cuma nganggep dia temen." Nela terlihat tak acuh."Di suka sama lu, Nel.""Itu haknya dia. Dan hak gue juga buat nolak dia.""Tapi, kan, dia udah banyak berkorban. Inget, Nel, karena dia lu bisa bebas dari tempat terkutuk itu!" Mira mencoba mengingatkan."Gue ga akan lupa, Mir, tapi bukan berarti gue harus nerima cintanya, kan? Gue ingin hidup lebih baik, Mir. Haris bukan lelaki yang tepat buat tujuan hidup gue!""Nela!"Panggilan seseorang mengangetkan keduanya. Mereka langsung menoleh ke asal suara dan mendapati seorang lelaki berdiri di depan pintu dengan tatapan tajam dan wajah yang memerah."Ha-Haris," ucap Mira terbata dengan perasaan tak enak.Tentu lelaki tersebut telah mendengar percakapan mereka. Terlihat dari sorot mata yang memancarkan kekecewaan.Tatapan itu mengarah pada sahabatnya yang terlihat acuh tak acuh. Tak memedulikan kemarahan orang yang telah disakiti."Ternyata kamu hanya mempermainkanku, Nela!" tuduh Haris.
Wiguna memasuki rumah dengan wajah lelah. Ia melihat jam di pergelangan tangan. Pukul satu malam. Keasikan mengobrol dengan Nela membuatnya lupa waktu.Gadis itu benar-benar memberi kenyamanan, sehingga ia betah berlama-lama di samping kekasihnya. Lupa dengan perasaan istri di rumah.Handle pintu kamar dibuka dengan sangat perlahan, khawatir membangunkan sang istri yang telah terlelap. Ia tak ingin terlalu banyak ditanya, berharap segera berbaring di ranjang dan menikmati alam mimpi.Namun, ketika ia hendak menutup pintu, tiba-tiba cahaya di kamar menyala terang. Ia refleks menoleh ke arah saklar. Di sana, Wiguna melihat istrinya berdiri dengan tatapan menyelidik."Baru pulang, Mas?""I-iya, Dik!' Wiguna terlihat gugup."Bagaimana meetingnya?""Berjalan lancar.""Barus selesai jam segini!""Iya, Dik. Tadi pertemuannya juga telat. Jam sepuluh baru datang klien-nya." "Oh, ya?" Melihat Hilma dengan wajah dingin dan datar membuat Wiguna waspada. Terlebih ketika istrinya menghampiri deng
Terkadang dalam sebuah pernikahan memerlukan tarik ulur dalam menjaga sebuah keharmonisaan. Untuk mempertahankan kedamaian dalam bangunan rumah tangga, biasanya salah satu pasangan harus mengalah, menurunkan ego demi tercipta keseimbangan dalam menghadapi permasalahan yang ada.Semalaman, Hilma merenungkan kelanjutan bahatera hidup yang sedang diterjang badai. Nahkoda yang melajukan kapal tak sesuai arah, memerlukan bantuan untuk kembali pada tujuan semula.Ia memutuskan untuk mengenyampingkan rasa sakit hati yang didera karena penghianatan, demi tumbuh kembang kedua anaknya yang memerlukan keutuhan orangtua, Hilma akan kembali melanjutkan rencana untuk menarik perhatian sang suami.Pagi ini dengan melapangkan hati dan memaafkan yang telah terjadi, Hilma mengawali pagi dengan harapan baru. Berikhtiar memperbaiki biduk rumah tangganya yang tengah goyah.Setelah memoles wajah dan memakai pakaian yang lebih rapi, ia menuruni tangga dan melangkah menu
Hilma membalas lambaian tangan suami dan kedua anaknya ketika mobil mulai melaju. Melihat kendaraan roda empat berwarna hitam itu menghilang di tikungan, ia menutup pagar lalu dengan tergesa menuju ke dalam rumah, mencari keberadaan adik iparnya.Kemarahan yang sempat meluap karena mendengar niat buruk Tanti, terhenti karena panggilan Ghani dan Ghava yang sudah berdiri di sampingnya.Hilma berusaha meredam kemarahan dan menampilkan wajah semanis mungkin untuk menyambut sang anak dan mengesampikan menegur adik iparnya.Ia terlebih dulu menjalankan peran sebagai ibu dan istri. Melayani seluruh penghuni rumah di meja makan termasuk ibu mertua dan adik iparnya. Sesekali Hilma melirik wajah Tanti yang tampak acuh tak acuh.Menahan kemarahan bukanlah sesuatu yang mudah, tapi ia juga tak boleh memperlihatkan pertengkaran pada kedua anaknya. Kini, setelah semuanya telah meninggalkan rumah, ia akan meminta penjelasan mengenai rencana bu
"Dik, ini uang untuk keperluan bulan ini!"Wiguna menyerahkan amplop putih kepada istrinya.Hilma yang sedang membersihkan wajah di meja rias, menoleh ke samping dan melihat benda putih yang disodorkan. Kedua alisnya tertaut, kemudian mendongak melihat sang suami."Kok, tumben cash, Mas?"Ia bertanya sambil menerima jatah bulanan yang ketika ia pegang terasa ringan. "Iya, Dik, mulai saat ini Mas kasih uangnya cash, dan jumlahnya juga berkurang. Di amplop ada tiga juta, buat bayar biaya sekolah juga untuk memasak, dan keperluanmu," jelas Wiguna."Selebihnya, nanti Mas yang bayar." "Kenapa berubah begini, Mas? Dan kenapa ga dibicarakan dulu? Bukannya sebelumnya kita sudah sepakat, seluruh keuangan aku yang mengaturnya?"Hilma bangkit berdiri, menatap lebih lekat meminta penjelasan. Tentu saja uang yang diberikan tidak cukup. Untuk keperluan sekolah dua anak 1,5 juta perbulan. Sisa setengahnya pun tak cukup untuk
Wiguna merasakan kepalanya sedikit pusing, matanya tampak berat. Berkali-kali ia menggeleng, membuang rasa kantuk yang mendera, tetapi tetap saja kelopak itu ingin menutup.Beberapa menit kemudian, kesadarannya menurun dan ia tak sanggup lagi untuk membuka mata. Terlelap dengan bersandar pada sofa."Yes!"Dari balik gorden Nela meneriakan keberhasilannnya telah membuat Wiguna tak sadarkan diri. Setelah itu ia akan melanjutkan rencana berikutnya. Sebelumnya, Nela mengirim pesan pada seseorang.[Tan, kamu masuk, deh! Mas Guna dah pingsan.][Oke.]Sejak awal, Tanti menunggu di warung bakso yang ada di seberang rumah Nela, menunggu instruksi. Setelah mendapat perintah, ia segera bergegas ke rumah Nela."Duh, Mas Guna berat juga, ya!" seru Tanti ketika ia menopang tubuh saudaranya itu di sebelah kiri.Sedangkan Nela menopang sebelah kanan dan tak sempat menyahut, konsentrasi melihat jalan, mereka membawanya ke k
Tanti terkikik geli melihat kakak iparnya yang syok melihat gambar yang telah dikirimnya."Rasakan itu!" Gumam gadis berkulit sawo matang itu menyungging senyum sinis.Ia memasang kamera tersembunyi, dan dapat melihat kegiatan di luar melalui laptop. Ia mengamati layar persegi itu, terlihat jelas Hilma sedang terduduk sambil menangis dengan suara tertahan karena khawatir didengar Ghani dan Ghava. Ia semakin melebarkan tawa ketika bahu itu semakin berguncang.Namun, senyumnya memudar ketika sosok yang sedang ia jauhi datang menghampiri, lalu ikut mensejajarkan diri dan menanyakan sebab Hilma menangis. Tanti bisa mendengar percakapan mereka dari CCTV."Kamu kenapa, Hilma?"Perempuan yang menunduk itu belum bisa berkata-kata. Masih terus menikmati tangisnya. Lalu, Yana mengambil ponsel yang masih berada di genggaman sang menantu."Wiguna?!" teriak Yana dengan wajah memerah dan mata yang membulat.Dadanya ikutan sesak, panta
Pukul dua belas siang, dua orang turun dari mobil yang diparkir di garasi rumah, lalu berjalan beriringan menuju pintu utama dan menekan bel."Mas, aku deg-degan, nih!"Nela meremas kedua jemarinya.Lelaki berkulit sawo matang yang masih dipenuhi kekhawatiran itu hanya tersenyum, ia pun sedang mengontrol debaran jantungnya yang berpacu cepat. Memikirkan bagaimana respon Hilma, membuatnya sedikit tegang.Walau sebelum berangkat ia sudah meneguhkan hati, jika istrinya tidak mengizinkan, ia akan tetap menikah. Tentu Hilma tak akan membantah dan memilih mengalah."Eh, Mbak Nela," sapa Tanti ketika membuka pintu.Mereka seolah-olah tak berjumpa lama, cipika cipiki dengan pekik kegirangan lalu berjalan ke ruang tamu sambil mengobrol.Bahkan, ia menambahkan kata 'Mbak' pada perempuan yang memakai dress selutut dengan rambut dibiarkan terurai, untuk memberi kesan menghormati walau usia mereka s
"Gery! Kamu tidak apa-apa?" Patra berusaha membangunkan Gery yang telungkup di lantai, lalu membalikkan tubuh yang penuh luka itu dalam pangkuannya.Gery hanya menggeleng. Ia terlihat ingin bicara, tetapi terlalu lemah.Sementara para pengikut Patra langsung menghadapi orang-orang Jayadi yang langsung menyerang ketika melihat keberadaan mereka, termasuk dua petarung yang kini beralih salam menghadapi lawan. Tubuh besar itu mengincar orang-orang berseragam hitam yang diketahui berseberangan dengan Jayadi. Bagi mereka, orang yang membayar mahal adalah tuannya. Dan yang bertentangan adalah musuh.Terjadi pertempuran menggunakan senjata api, sebagian mereka mencari benda terdekat sebagai pelindung dan bersembunyi di beberapa tempat di ruangan itu. Lima orang pengawal Patra melindungi tuannya yang masih mengkhawatirkan keadaan putra semata wayang. Sementara Jayadi yang dilindungi beberapa orang berhasil mendekati tubuh Hilma. Denga
"Bagaimana, apa kita masuk sekarang?" tanya Wiguna sambil terus mengawasi keadaan di depan yang sedang terjadi pertarungan."Jangan, Wiguna! Kita tidak bisa masuk ke dalam! Sangat berbahaya!" Melihat sekelompok orang berbaju hitam yang terus merangsek maju membuat Noto berpikir dua kali untuk menyerang. Namun, ia tak tahu, apa motif orang yang datang menyerang tersebut. Jika dilihat dari segerombolan orang yang terus berdatangan, tentu ia kalah jumlah. Noto memutuskan untuk terus mengawasi sampai memdapat kesempatan."Tapi bagaimana dengan Hilma? Orang-orang itu akan membahayakannya dan juga anak-anakku," ucap Wiguna resah. "Kita akan menunggu!" Melihat orang yang tadi berjalan gagah ia meyakini jika itu adalah ajudan dari sosok yang sangat dikenalnya. Ia harus memastikan dulu siapa oramg yang tengah menyerang markas di hadapannya itu. "Sembunyikan kepalamu, Guna!" Noto menekan kepala anaknya agar tidak menyembul. Di jalan
"Well. Dua orang ayah dan anak telah bertemu. Sesuatu yang sangat mengharukan!" ucap seorang lelaki paruh baya yang melangkah masuk ruangan sambil bertepuk tangan.Mendengar hal itu Gery dan Hilma melepaskan pelukan lalu menoleh pada asal suara."Uncle Jay!" Gery menyebut nama adik sepupu ayahnya."Yeah. Bagaimana Gery? Kamu bahagia?" tanya Jayadi sambil tersenyum dan melangkah mendekati. Orang-orang berbaju hitam di belakangnya pun turut mengikuti begitu juga Joni."Kau tahu Gery! Perpisahan itu sangat menyedihkan," ucap Jay menepuk pelan pundak keponakannya. "Aku pun sangat mengerti hal itu!" lanjutnya dengan nada suara pelan, terdengar sedih.Gery menghela napas. Ia tahu akan hal itu, mendapati anak satu-satunya memilih mengakhiri hidup karena seorang perempuan membuat pamannya sangat terpuruk. "Namun, aku berharap kau pun mau mengerti." Tubuh kurus yang telah menua itu berdiri tepat di hadapan G
"Joni! Apa yang terjadi?" tanya Gery pada anak buahnya.Anto yang mengikuti langkah Gery langsung terbelalak melihat teman yang dikenalnya di penjara terlihat babak belur. "Itu Bos, saya kasih pelajaran sama anak baru ini. Dia terlalu banyak membantah!" ujar Joni menjelaskan.Gery tak terlalu menanggapi penjelasan yang diberikan, kedua netranya fokus pada perempuan yang terduduk di atas ranjang dengan ketakutan. Sejenak, ia tertegun mendapati rupa yang begitu sama dengan istri pertamanya, setelah itu ia mulai melangkah. Wajah yang mengingatkannya pada Amelia seolah menarik dirinya untuk mendekat.Sementara Anto yang sejak tadi terlihat gundah, langsung membantu Haris yang tak berdaya. Ia langsung memeriksa keadaan temannya."Kamu ga apa, Ris?"Aris tidak menjawab. Sekitar mulutnya mengeluarkan darah, tetapi dengan isyarat mata seolah mengatakan ia akan baik-baik saja. Lelaki yang merupakan tangan ka
Mendapati seseorang menyapanya, lelaki yang sedang menatap pusara itu menegakkan tubuh, dengan pandangan masih ke arah makam mendiang Amira."Ada apa?" Lelaki itu bertanya dingin."Maaf, Tuan Gery, saya diminta menyampaikan ini pada Anda." Seseorang yang memakai pakaian serba hitam itu melangkah, kemudian melewati Gery selangkah dan berbalik menghadap lelaki yang tampak acuh tak acuh tersebut. Ponsel berwarna hitam disodorkan dengan posisi menyala dan berada pada sebuah file yang sudah dipersiapkan.Gery terlihat enggan untuk mengambilnya."Tolong diterima, Tuan. Ini masih berhubungan dengan mendiang Nyonya Amelia," jelas pengawal tersebut.Mendengar nama perempuan masa lalunya disebut, Gery menoleh lalu menatap tajam pada pengawal di hadapannya. Tampak sekali wajahnya terlihat tidak suka.Menyadari perubahan mimik yang tak biasa, tubuh tinggi kurus itu sedikit membungkukkan tubuh. "Maaf, Tuan Gery.
"Mas, Mas Idam kenapa?" tanya Mima melihat saudara lelakinya yang terlihat syok.Mendengar suara yang terdengar panik, Opa Patra menoleh. Wajahnya pun terlihat resah, baru saja ia juga menerima berita yang kurang baik. Namun, melihat cucu menantunya yang membeku, ia langsung menghampiri."Idam apa kamu baik-baik saja?" Dua kali memdapat pertanyaan dari orang yang berbeda, Idam masih terdiam. Mima melangkah lebih mendekat, menepuk bahu orang yang seolah tak sadar."Mas Idam kenapa?"Mendapat tepukan pelan, lelaki itu tersentak lalu menoleh."Hilma, Mim!""Kenapa Mbak Hilma!""Hilma diculik!"Mendengar nama yang tak asing dengan kejadian yang sama baru dilaporkan oleh bawahannya membuat Opa Patra terperangah."Hilma! Diculik!" gumam Opa PatraSementara Mima langsung histeris."Mas, cepat tolong Hilma!""L
"Hilma, kamu akan segera mati!" Wiguna terkejut dengan penuturan istrinya. Bibir tipis yang selalu disukainya dulu itu menggaungkan kata yang mengerikan. Sebegitu bencikah perempuan yang masih terpejam itu pada Hilma. Padahal mantan istrinya tidak pernah menganggu rumah tangga mereka, bahkan perihal nafkah untuk anak-anak pun tak pernah menuntut, diberi berapapun akan diterima, tak diberipun tak pernah mengeluh. Perihal nafkah itu juga baru ia penuhi tiga bulan terakhir.Tring!Ponsel merah muda yang tergeletak tak jauh dari Wiguna, menyala dengan getaran yang membuat benda itu menarik perhatiannya. Ingatan mengenai dugaan sang ayah, jika Nela terlibat dalam penculikan Hilma, terngiang di kepalanya. Sebuah ide muncul untuk memeriksa benda pribadi istrinya itu. Setelah memastikan perempuan di sebelahnya masih tertidur pulas, ia mulai mengambil ponsel itu perlahan, lalu membuka paswordnya. Beruntung masih menggunakam kata sandi
Mendengar mantan istri serta kedua anaknya diculik, Wiguna langsung bangkit berdiri lalu menarik kerah baju ayahnya sampai lelaki berambut putih itu mendongak."Apa yang Anda lakukan terhadap Hilma dan anakku?" ucap Wiguna dengan kemarahan yang membara. Yana yang melihat sang anak berlaku kasar pada Noto langsung menghampiri dan berusaha melerai, akan tetapi Wiguna tidak menghiraukan permintaan ibunya. Ia terus saja mendesak meminta penjelasan.Sementara Noto masih terdiam, kedua matanya terpaku pada tatapan yang menyorot tajam, ia mendapati kekhawatiran juga ketakutan akan kehilangan di manik tersebut."Gun, jangan seperti itu!""Lepasin, Gun! Ga baik kamu bersikap seperti ini!""Guna! Kamu tidak mendengar ibu, ya?""Jangan Guna!" teriak Yana ketika anaknya semakin menarik paksa kerah baju lelaki yang tampak pasrah. Ia menggeleng dengan airmata yamg semakin menderas. Kesalahpahaman y
Idam terpaku pada seseorang yang bersama Mima di meja makan ketika sedang menuruni tangga. Seketika wajahnya berubah cerah pada saat menyadari jika itu adalah kakek dari istrinya. Dengan riang ia mempercepat langkah dan menghampiri kumpulan orang yang tengah tertawa."Opa, kapan datang!" tanya Idam ketika telah berada di depan lelaki paruh baya yang tengah menyuapi Cantika. Satu tangannya mengambil jemari keriput itu dan menyalaminya."Semalam, Nak." "Semalam? Kenapa tidak ada yang memberitahuku!" Lelaki yang mengenakan jas hitam itu menatap pada adiknya meminta penjelasan. "Mima kenapa ga kasih kabar?"Mima yang tengah mengoles roti menengok. "Opa yang minta untuk tidak memberi kabar. Mau buat suprise, eh Mas Idam lagi-lagi pulangnya kelewat malam, bahkan pagi," ucap Mima menggeleng, mengetahui jika saudara laki-lakinya tengah memiliki masalah lagi, selalu seperti itu jika banyak hal yang dipikirkan. Hanya saja ia tidak suka