"Terserah Ibu, deh! Aku, sih, pokoknya mendukung kalau Mas Guna mau nikah lagi. Aku lebih cocok sama Mbak Nela daripada perempuan ga jelas asal-usulnya itu," ungkap Tanti meremehkan.
Tanpa mereka sadari Hilma telah berdiri di belakang dengan memegang nampan berisi dua mangkuk mie."Jadi ..., kalian tahu kalau Mas Guna memiliki perempuan lain?" tanya Hilma yang membuat kedua orang di depannya menoleh dengan mata membulat dan mulut menganga. Kedua ibu anak itu saling pandang dengan ekspresi berbeda, Yana terlihat khawatir dengan pertanyaaan menantunya, sedangkan Tanti terlihat tak peduli."Ah, Hilma, maksud kamu apa?"Perempuan berusia lima puluh tahun itu bangkit berdiri dan menghampiri menantunya dengan sikap ramah."Apa Ibu tahu jika Mas Guna jatuh cinta pada perempuan lain?"Hilma mengulangi pertanyaannya."Oh, ya, ga mungkin Guna seperti itu," sangkal Yana."Maaf, Bu, tadi aku dengar sendiri Tanti bilang kalau Mas Guna akan menikah lagi.""Kamu salah dengar! Kita tadi lagi membicarakan sinetron yang lagi tayang," ucap Yana sambil menunjuk ke arah televisi.Hilma menggeleng. Ia tidak mempercayai ucapan ibu mertuanya. Pendengaranya tidak mungkin salah, ia sangat yakin yang dibicarakan adalah suaminya."Aku tak salah dengar, Bu! Tolong katakan yang sejujurnya!" pinta Hilma mendesak, membuat Yana semakin tergagap. "A---." Belum selesai Yana berbicara, Tanti sudah memotong lebih dulu "Ah, sudahlah, Bu. Ngomong aja yang sebenarnya. Dengar ya, Mbak Hilma! Mas Guna memang mencintai perempuan lain, namanya Nela. Dan mereka berencana akan menikah. Jika Mbak Hilma tahu diri tentu saja tak akan menolak untuk dimadu. Tapi jika tak menerima, pintu rumah Mas Guna terbuka lebar."Tanpa perasaan gadis yang akan segera menikah itu berbicara tentang penerimaan terhadap pengkhianatan.Hilma terperangah mendengar penuturan Tanti yang lantang berbicara. Kebenaran yang diharapkan, ternyata begitu menyesakkan.Seluruh tulangnya kembali melemas, ia juga merasa bagai tak berpijak pada bumi. Raganya berdiri, tetapi jiwanya melayang karena kesedihan."Tanti! Kenapa bicara begitu?""Ada yang salah?""Kamu, kan, perempuan juga. Tentu tahu tak mudah berbagi cinta.""Ah, jangan terlalu lebay, Mbak. Aku ga masalah diduakan selama uang bulananku lancar. Lagipula Mas Guna juga butuh perempuan yang selevel dengannya, biar ga malu-maluin!"Tanti memandang remeh penampilan Hilma yang selalu menggunakan daster lusuh."Dimana kurang saya?""Heh, ga nyadar kamu, ya, Mbak! Coba beli cermin yang lebih besar dan berdiri di depannya. Lihat penampilan Mbak yang merusak mata. Suami pulang, bukannya disuguhkan pemandangan indah malah disajikan istri yang kusam dan kumal. Jadi, jangan salahkan Mas Guna kalau berpaling ke lain hati," jelas Tanti sambil tersenyum sinis.Hilma sekilas melihat kondisinya, ia memang selalu memakai daster untuk keseharian, karena lebih nyaman mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga.Kehidupan ekonomi keluarganya baru mengalami peningkatan, masih butuh biaya yang banyak untuk mengembangkam toko bahan bangunan yang dirintis sang suami.Oleh karena itu, Hilma mengatur keuangan dengan cermat. Uang yang diberikan suaminya selalu disisihkan untuk keperluan mendadak atau penambahan modal.Ia tak terlalu memerhatikan kebutuhannya. Asalkan terlihat bersih dan segar, itu sudah lebih dari cukup. Namun, rupanya itu membawa masalah tersendiri untuk keutuhan rumah tangganya."Dengar, ya, Mbak! Kamu harusnya beruntung, walaupun Mas Guna menikah lagi, kamu tetap bisa hidup enak bersama dua anakmu itu. Jadi, lebih baik jangan bertingkah," tegas Tanti kemudian berlalu menuju tangga meninggalkan cuka di dada yang terluka.Hilma masih membeku dengan tatapan nanar, kedua bahunya naik turun semakin cepat. Kepedihan dikhianati sudah meluluh lantakkan pertahanannya, memporak porandakan ketentraman hidup ditambah lagi kenyataan jika kelakuan buruk sang suami didukung oleh keluarga.Yana terlihat bingung, ia tak tahu harus melakukan apa. Melihat Hilma yang terlihat lemah dan terluka mengingatkannya pada peristiwa yang terjadi padanya 20 tahun lalu.Ia pun diperlakukan sama oleh lelaki yang menikahiya selama sebelas tahun, karena seorang perempuan yang lebih muda, sang suami rela menceraikannya. Ia ingin memberikan dukungan, tetapi suara panggilan sang anak menyurutkan niatnya."Ibu! Ngapain masih di situ? Ayo, ke kamar!" titah Tanti lalu kembali berjalan menaiki tangga.Mendapati wajah anaknya yang mendelik tajam, akhirnya Yana melangkah menuju tangga meninggalkan Hilma yang semakin terisak. ***Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kehadiran Virda membuat beban yang dipikul Hilma sedikit berkurang. Perempuan yang juga menjanda karena hal serupa yang dialami sahabatnya itu terlihat geram."Hilma, kamu jangan lemah! Mereka terus akan membodohi jika kamu hanya diam saja!"Wajah bulat yang dibalut pashmina hijau muda itu meradang setelah mendengar penjelasan sahabatnya. Udara malam menyapu wajah sendu kedua perempuan yang sedang berada di teras rumah. Dinginnya merasuk ke dalam tulang, Virda merekatkan jaket yang digunakan, tetapi hal itu tak dirasakan oleh Hilma yang menatap kosong ke taman di halaman rumah. "Kamu harus bersikap tegas, Hilma!""Aku takut, Vir!""Takut kenapa?""Bagaimana jika Mas Guna menceraikanku karena menolak diduakan.""Lalu, kamu akan membiarkan pernikahan yang didasari perselingkuhan? Dan membakar diri menyaksikan mereka berduaan? Ingat, Hilma, cara mereka itu curang, tak menghargai perasaanmu. Apa jadinya jikalau kamu menerima, tentu mereka akan semakin menginjakmu.""Aku juga ga sanggup jika mereka menikah, Vir, tapi aku memikirkan anak-anak! Aku ga ada pekerjaan! Jangan sampai anak-anak terlantar karena keputusanku."Virda mendesah pelan, ia tahu kekhawatiran Hilma. Memutuskan menjadi ibu rumah tangga, membuat sahabatnya bergantung nafkah kepada sang suami.Kadang hal seperti ini yang membuat perempuan memilih mempertahankan pernikahan walaupun harus menelan kepahitan. Namun, rasa pahit itu semakin bertambah ketika seorang suami memberikan perlakuan yang berbeda antara dua istri."Hilma! Apapun yang terjadi nanti. Ada aku yang bisa kamu andalkan! Jangan memendam rasa ga enak atau memelihara ketakutan untuk sesuatu hal yang hanya menghambat kemajuan. Aku akan selalu mendukungmu keputusanmu, Hilma! Jangan khawatirkan apapun!" ucap Virda menyentuh bahu Hilma, memberi kekuatan.Hilma mengangguk mengerti. Kali ini ujian rumah tangganya terasa berat. Berpuluh tahun hidup bersama selalu bisa menghadapi segala rintangan yang menghadang, tetapi kali ini ia belum tahu apa yang akan terjadi.Penghianatan baginya harga mati yang tidak termaafkan. Namun, demi kedua anaknya ia akan menekan ego serta memperbaiki semua.Jika suaminya mau melepaskan perempuan lain itu, ia akan memaafkan, tetapi jika lelaki yang dicintai memilih bertahan dengan selingkuhannya, ia yang akan mundur teratur."Makasih, Vir, kamu memang teman terbaik!"Hilma memandang sahabatnya penuh kasih. Seseorang yang selalu mendukungnya dalam suka dan duka. Hal itu merupakan suatu anugerah baginya yang seorang yatim piatu. Tak ada sanak keluarga.Suara mobil yang melaju mendekati depan rumah, mengalihkan perhatian Virda dan Hilma. Mereka menengok ke asal suara.Kendaraan beroda empat berwarma hitam itu berhenti tepat di depan gerbang. Hilma bangkit berdiri dan menghampiri untuk melihat lebih dekat tamu yang datang. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu membuatnya terperangah."Izinkan aku menikah lagi, Dik!"Mendengar berita suaminya akan menikah lagi dari Tanti sudah membuatnya terluka, tetapi mendengar langsung dari ucapan ayah dari anak-anaknya ternyata lebih menyakitkan, bagai teriris sembilu kemudian diberikan cuka di atasnya. Sakit dan perih."Apa salahku, Mas?""Kamu ga ada salah!""Lalu, kenapa begini?""Maafkan, Mas, Dik. Semua terjadi begitu saja!""Apa aku ada kekurangan? Coba dibicarakan, Mas. Pasti aku akan mengubahnya. Membuatmu lebih nyaman dan bahagia. Aku janji, Mas, akan menuruti kemauanmu. Tapi ...."Hilma menjeda ucapannya. Matanya menatap penuh harap pada manik hitam sang suami."Bukan untuk menikah lagi.""Maafkan, Mas, Dik. Perasaan ini hadir tanpa diminta!""Mas mencintai gadis itu?"Wiguna menangguk. "Iya.""Kenapa, Mas?"Airmata sudah meluruh di pipi mulus perempuan berkulit putih tersebut. Selama menjalani biduk rumah tangga, suaminya selalu bersikap baik, jarang mengeluhkan sesuatu, sehingga ia berpikir jika keluarganya baik-bai
"Haris gimana?""Ya ga gimana-gimana! Selama ini gue cuma nganggep dia temen." Nela terlihat tak acuh."Di suka sama lu, Nel.""Itu haknya dia. Dan hak gue juga buat nolak dia.""Tapi, kan, dia udah banyak berkorban. Inget, Nel, karena dia lu bisa bebas dari tempat terkutuk itu!" Mira mencoba mengingatkan."Gue ga akan lupa, Mir, tapi bukan berarti gue harus nerima cintanya, kan? Gue ingin hidup lebih baik, Mir. Haris bukan lelaki yang tepat buat tujuan hidup gue!""Nela!"Panggilan seseorang mengangetkan keduanya. Mereka langsung menoleh ke asal suara dan mendapati seorang lelaki berdiri di depan pintu dengan tatapan tajam dan wajah yang memerah."Ha-Haris," ucap Mira terbata dengan perasaan tak enak.Tentu lelaki tersebut telah mendengar percakapan mereka. Terlihat dari sorot mata yang memancarkan kekecewaan.Tatapan itu mengarah pada sahabatnya yang terlihat acuh tak acuh. Tak memedulikan kemarahan orang yang telah disakiti."Ternyata kamu hanya mempermainkanku, Nela!" tuduh Haris.
Wiguna memasuki rumah dengan wajah lelah. Ia melihat jam di pergelangan tangan. Pukul satu malam. Keasikan mengobrol dengan Nela membuatnya lupa waktu.Gadis itu benar-benar memberi kenyamanan, sehingga ia betah berlama-lama di samping kekasihnya. Lupa dengan perasaan istri di rumah.Handle pintu kamar dibuka dengan sangat perlahan, khawatir membangunkan sang istri yang telah terlelap. Ia tak ingin terlalu banyak ditanya, berharap segera berbaring di ranjang dan menikmati alam mimpi.Namun, ketika ia hendak menutup pintu, tiba-tiba cahaya di kamar menyala terang. Ia refleks menoleh ke arah saklar. Di sana, Wiguna melihat istrinya berdiri dengan tatapan menyelidik."Baru pulang, Mas?""I-iya, Dik!' Wiguna terlihat gugup."Bagaimana meetingnya?""Berjalan lancar.""Barus selesai jam segini!""Iya, Dik. Tadi pertemuannya juga telat. Jam sepuluh baru datang klien-nya." "Oh, ya?" Melihat Hilma dengan wajah dingin dan datar membuat Wiguna waspada. Terlebih ketika istrinya menghampiri deng
Terkadang dalam sebuah pernikahan memerlukan tarik ulur dalam menjaga sebuah keharmonisaan. Untuk mempertahankan kedamaian dalam bangunan rumah tangga, biasanya salah satu pasangan harus mengalah, menurunkan ego demi tercipta keseimbangan dalam menghadapi permasalahan yang ada.Semalaman, Hilma merenungkan kelanjutan bahatera hidup yang sedang diterjang badai. Nahkoda yang melajukan kapal tak sesuai arah, memerlukan bantuan untuk kembali pada tujuan semula.Ia memutuskan untuk mengenyampingkan rasa sakit hati yang didera karena penghianatan, demi tumbuh kembang kedua anaknya yang memerlukan keutuhan orangtua, Hilma akan kembali melanjutkan rencana untuk menarik perhatian sang suami.Pagi ini dengan melapangkan hati dan memaafkan yang telah terjadi, Hilma mengawali pagi dengan harapan baru. Berikhtiar memperbaiki biduk rumah tangganya yang tengah goyah.Setelah memoles wajah dan memakai pakaian yang lebih rapi, ia menuruni tangga dan melangkah menu
Hilma membalas lambaian tangan suami dan kedua anaknya ketika mobil mulai melaju. Melihat kendaraan roda empat berwarna hitam itu menghilang di tikungan, ia menutup pagar lalu dengan tergesa menuju ke dalam rumah, mencari keberadaan adik iparnya.Kemarahan yang sempat meluap karena mendengar niat buruk Tanti, terhenti karena panggilan Ghani dan Ghava yang sudah berdiri di sampingnya.Hilma berusaha meredam kemarahan dan menampilkan wajah semanis mungkin untuk menyambut sang anak dan mengesampikan menegur adik iparnya.Ia terlebih dulu menjalankan peran sebagai ibu dan istri. Melayani seluruh penghuni rumah di meja makan termasuk ibu mertua dan adik iparnya. Sesekali Hilma melirik wajah Tanti yang tampak acuh tak acuh.Menahan kemarahan bukanlah sesuatu yang mudah, tapi ia juga tak boleh memperlihatkan pertengkaran pada kedua anaknya. Kini, setelah semuanya telah meninggalkan rumah, ia akan meminta penjelasan mengenai rencana bu
"Dik, ini uang untuk keperluan bulan ini!"Wiguna menyerahkan amplop putih kepada istrinya.Hilma yang sedang membersihkan wajah di meja rias, menoleh ke samping dan melihat benda putih yang disodorkan. Kedua alisnya tertaut, kemudian mendongak melihat sang suami."Kok, tumben cash, Mas?"Ia bertanya sambil menerima jatah bulanan yang ketika ia pegang terasa ringan. "Iya, Dik, mulai saat ini Mas kasih uangnya cash, dan jumlahnya juga berkurang. Di amplop ada tiga juta, buat bayar biaya sekolah juga untuk memasak, dan keperluanmu," jelas Wiguna."Selebihnya, nanti Mas yang bayar." "Kenapa berubah begini, Mas? Dan kenapa ga dibicarakan dulu? Bukannya sebelumnya kita sudah sepakat, seluruh keuangan aku yang mengaturnya?"Hilma bangkit berdiri, menatap lebih lekat meminta penjelasan. Tentu saja uang yang diberikan tidak cukup. Untuk keperluan sekolah dua anak 1,5 juta perbulan. Sisa setengahnya pun tak cukup untuk
Wiguna merasakan kepalanya sedikit pusing, matanya tampak berat. Berkali-kali ia menggeleng, membuang rasa kantuk yang mendera, tetapi tetap saja kelopak itu ingin menutup.Beberapa menit kemudian, kesadarannya menurun dan ia tak sanggup lagi untuk membuka mata. Terlelap dengan bersandar pada sofa."Yes!"Dari balik gorden Nela meneriakan keberhasilannnya telah membuat Wiguna tak sadarkan diri. Setelah itu ia akan melanjutkan rencana berikutnya. Sebelumnya, Nela mengirim pesan pada seseorang.[Tan, kamu masuk, deh! Mas Guna dah pingsan.][Oke.]Sejak awal, Tanti menunggu di warung bakso yang ada di seberang rumah Nela, menunggu instruksi. Setelah mendapat perintah, ia segera bergegas ke rumah Nela."Duh, Mas Guna berat juga, ya!" seru Tanti ketika ia menopang tubuh saudaranya itu di sebelah kiri.Sedangkan Nela menopang sebelah kanan dan tak sempat menyahut, konsentrasi melihat jalan, mereka membawanya ke k
Tanti terkikik geli melihat kakak iparnya yang syok melihat gambar yang telah dikirimnya."Rasakan itu!" Gumam gadis berkulit sawo matang itu menyungging senyum sinis.Ia memasang kamera tersembunyi, dan dapat melihat kegiatan di luar melalui laptop. Ia mengamati layar persegi itu, terlihat jelas Hilma sedang terduduk sambil menangis dengan suara tertahan karena khawatir didengar Ghani dan Ghava. Ia semakin melebarkan tawa ketika bahu itu semakin berguncang.Namun, senyumnya memudar ketika sosok yang sedang ia jauhi datang menghampiri, lalu ikut mensejajarkan diri dan menanyakan sebab Hilma menangis. Tanti bisa mendengar percakapan mereka dari CCTV."Kamu kenapa, Hilma?"Perempuan yang menunduk itu belum bisa berkata-kata. Masih terus menikmati tangisnya. Lalu, Yana mengambil ponsel yang masih berada di genggaman sang menantu."Wiguna?!" teriak Yana dengan wajah memerah dan mata yang membulat.Dadanya ikutan sesak, panta
"Gery! Kamu tidak apa-apa?" Patra berusaha membangunkan Gery yang telungkup di lantai, lalu membalikkan tubuh yang penuh luka itu dalam pangkuannya.Gery hanya menggeleng. Ia terlihat ingin bicara, tetapi terlalu lemah.Sementara para pengikut Patra langsung menghadapi orang-orang Jayadi yang langsung menyerang ketika melihat keberadaan mereka, termasuk dua petarung yang kini beralih salam menghadapi lawan. Tubuh besar itu mengincar orang-orang berseragam hitam yang diketahui berseberangan dengan Jayadi. Bagi mereka, orang yang membayar mahal adalah tuannya. Dan yang bertentangan adalah musuh.Terjadi pertempuran menggunakan senjata api, sebagian mereka mencari benda terdekat sebagai pelindung dan bersembunyi di beberapa tempat di ruangan itu. Lima orang pengawal Patra melindungi tuannya yang masih mengkhawatirkan keadaan putra semata wayang. Sementara Jayadi yang dilindungi beberapa orang berhasil mendekati tubuh Hilma. Denga
"Bagaimana, apa kita masuk sekarang?" tanya Wiguna sambil terus mengawasi keadaan di depan yang sedang terjadi pertarungan."Jangan, Wiguna! Kita tidak bisa masuk ke dalam! Sangat berbahaya!" Melihat sekelompok orang berbaju hitam yang terus merangsek maju membuat Noto berpikir dua kali untuk menyerang. Namun, ia tak tahu, apa motif orang yang datang menyerang tersebut. Jika dilihat dari segerombolan orang yang terus berdatangan, tentu ia kalah jumlah. Noto memutuskan untuk terus mengawasi sampai memdapat kesempatan."Tapi bagaimana dengan Hilma? Orang-orang itu akan membahayakannya dan juga anak-anakku," ucap Wiguna resah. "Kita akan menunggu!" Melihat orang yang tadi berjalan gagah ia meyakini jika itu adalah ajudan dari sosok yang sangat dikenalnya. Ia harus memastikan dulu siapa oramg yang tengah menyerang markas di hadapannya itu. "Sembunyikan kepalamu, Guna!" Noto menekan kepala anaknya agar tidak menyembul. Di jalan
"Well. Dua orang ayah dan anak telah bertemu. Sesuatu yang sangat mengharukan!" ucap seorang lelaki paruh baya yang melangkah masuk ruangan sambil bertepuk tangan.Mendengar hal itu Gery dan Hilma melepaskan pelukan lalu menoleh pada asal suara."Uncle Jay!" Gery menyebut nama adik sepupu ayahnya."Yeah. Bagaimana Gery? Kamu bahagia?" tanya Jayadi sambil tersenyum dan melangkah mendekati. Orang-orang berbaju hitam di belakangnya pun turut mengikuti begitu juga Joni."Kau tahu Gery! Perpisahan itu sangat menyedihkan," ucap Jay menepuk pelan pundak keponakannya. "Aku pun sangat mengerti hal itu!" lanjutnya dengan nada suara pelan, terdengar sedih.Gery menghela napas. Ia tahu akan hal itu, mendapati anak satu-satunya memilih mengakhiri hidup karena seorang perempuan membuat pamannya sangat terpuruk. "Namun, aku berharap kau pun mau mengerti." Tubuh kurus yang telah menua itu berdiri tepat di hadapan G
"Joni! Apa yang terjadi?" tanya Gery pada anak buahnya.Anto yang mengikuti langkah Gery langsung terbelalak melihat teman yang dikenalnya di penjara terlihat babak belur. "Itu Bos, saya kasih pelajaran sama anak baru ini. Dia terlalu banyak membantah!" ujar Joni menjelaskan.Gery tak terlalu menanggapi penjelasan yang diberikan, kedua netranya fokus pada perempuan yang terduduk di atas ranjang dengan ketakutan. Sejenak, ia tertegun mendapati rupa yang begitu sama dengan istri pertamanya, setelah itu ia mulai melangkah. Wajah yang mengingatkannya pada Amelia seolah menarik dirinya untuk mendekat.Sementara Anto yang sejak tadi terlihat gundah, langsung membantu Haris yang tak berdaya. Ia langsung memeriksa keadaan temannya."Kamu ga apa, Ris?"Aris tidak menjawab. Sekitar mulutnya mengeluarkan darah, tetapi dengan isyarat mata seolah mengatakan ia akan baik-baik saja. Lelaki yang merupakan tangan ka
Mendapati seseorang menyapanya, lelaki yang sedang menatap pusara itu menegakkan tubuh, dengan pandangan masih ke arah makam mendiang Amira."Ada apa?" Lelaki itu bertanya dingin."Maaf, Tuan Gery, saya diminta menyampaikan ini pada Anda." Seseorang yang memakai pakaian serba hitam itu melangkah, kemudian melewati Gery selangkah dan berbalik menghadap lelaki yang tampak acuh tak acuh tersebut. Ponsel berwarna hitam disodorkan dengan posisi menyala dan berada pada sebuah file yang sudah dipersiapkan.Gery terlihat enggan untuk mengambilnya."Tolong diterima, Tuan. Ini masih berhubungan dengan mendiang Nyonya Amelia," jelas pengawal tersebut.Mendengar nama perempuan masa lalunya disebut, Gery menoleh lalu menatap tajam pada pengawal di hadapannya. Tampak sekali wajahnya terlihat tidak suka.Menyadari perubahan mimik yang tak biasa, tubuh tinggi kurus itu sedikit membungkukkan tubuh. "Maaf, Tuan Gery.
"Mas, Mas Idam kenapa?" tanya Mima melihat saudara lelakinya yang terlihat syok.Mendengar suara yang terdengar panik, Opa Patra menoleh. Wajahnya pun terlihat resah, baru saja ia juga menerima berita yang kurang baik. Namun, melihat cucu menantunya yang membeku, ia langsung menghampiri."Idam apa kamu baik-baik saja?" Dua kali memdapat pertanyaan dari orang yang berbeda, Idam masih terdiam. Mima melangkah lebih mendekat, menepuk bahu orang yang seolah tak sadar."Mas Idam kenapa?"Mendapat tepukan pelan, lelaki itu tersentak lalu menoleh."Hilma, Mim!""Kenapa Mbak Hilma!""Hilma diculik!"Mendengar nama yang tak asing dengan kejadian yang sama baru dilaporkan oleh bawahannya membuat Opa Patra terperangah."Hilma! Diculik!" gumam Opa PatraSementara Mima langsung histeris."Mas, cepat tolong Hilma!""L
"Hilma, kamu akan segera mati!" Wiguna terkejut dengan penuturan istrinya. Bibir tipis yang selalu disukainya dulu itu menggaungkan kata yang mengerikan. Sebegitu bencikah perempuan yang masih terpejam itu pada Hilma. Padahal mantan istrinya tidak pernah menganggu rumah tangga mereka, bahkan perihal nafkah untuk anak-anak pun tak pernah menuntut, diberi berapapun akan diterima, tak diberipun tak pernah mengeluh. Perihal nafkah itu juga baru ia penuhi tiga bulan terakhir.Tring!Ponsel merah muda yang tergeletak tak jauh dari Wiguna, menyala dengan getaran yang membuat benda itu menarik perhatiannya. Ingatan mengenai dugaan sang ayah, jika Nela terlibat dalam penculikan Hilma, terngiang di kepalanya. Sebuah ide muncul untuk memeriksa benda pribadi istrinya itu. Setelah memastikan perempuan di sebelahnya masih tertidur pulas, ia mulai mengambil ponsel itu perlahan, lalu membuka paswordnya. Beruntung masih menggunakam kata sandi
Mendengar mantan istri serta kedua anaknya diculik, Wiguna langsung bangkit berdiri lalu menarik kerah baju ayahnya sampai lelaki berambut putih itu mendongak."Apa yang Anda lakukan terhadap Hilma dan anakku?" ucap Wiguna dengan kemarahan yang membara. Yana yang melihat sang anak berlaku kasar pada Noto langsung menghampiri dan berusaha melerai, akan tetapi Wiguna tidak menghiraukan permintaan ibunya. Ia terus saja mendesak meminta penjelasan.Sementara Noto masih terdiam, kedua matanya terpaku pada tatapan yang menyorot tajam, ia mendapati kekhawatiran juga ketakutan akan kehilangan di manik tersebut."Gun, jangan seperti itu!""Lepasin, Gun! Ga baik kamu bersikap seperti ini!""Guna! Kamu tidak mendengar ibu, ya?""Jangan Guna!" teriak Yana ketika anaknya semakin menarik paksa kerah baju lelaki yang tampak pasrah. Ia menggeleng dengan airmata yamg semakin menderas. Kesalahpahaman y
Idam terpaku pada seseorang yang bersama Mima di meja makan ketika sedang menuruni tangga. Seketika wajahnya berubah cerah pada saat menyadari jika itu adalah kakek dari istrinya. Dengan riang ia mempercepat langkah dan menghampiri kumpulan orang yang tengah tertawa."Opa, kapan datang!" tanya Idam ketika telah berada di depan lelaki paruh baya yang tengah menyuapi Cantika. Satu tangannya mengambil jemari keriput itu dan menyalaminya."Semalam, Nak." "Semalam? Kenapa tidak ada yang memberitahuku!" Lelaki yang mengenakan jas hitam itu menatap pada adiknya meminta penjelasan. "Mima kenapa ga kasih kabar?"Mima yang tengah mengoles roti menengok. "Opa yang minta untuk tidak memberi kabar. Mau buat suprise, eh Mas Idam lagi-lagi pulangnya kelewat malam, bahkan pagi," ucap Mima menggeleng, mengetahui jika saudara laki-lakinya tengah memiliki masalah lagi, selalu seperti itu jika banyak hal yang dipikirkan. Hanya saja ia tidak suka