Arland sudah keluar dari kamar itu, sementara Kiran masih di sana. Duduk di samping Karel yang dalam posisi tidur.“Om marah padaku ya, Tante?”“Nggak,” jawab Kiran. “Om hanya merasa bersalah karena nggak bisa jagain kamu. Tiba-tiba kamu sampai terluka, sering bersedih, menangis dan sekarang kamu sakit.”“Aku nggak berniat seperti itu.”“Udah, sekarang kalau kamu memang perduli sama perasaan Om ataupun Tante, tolong jaga perasaan dan jaga kesehatan kamu. Karena saat kamu tak baik-baik saja, kami justru merasa tak bisa jagain kamu, Sayang.”“Aku janji.”Kiran memberikan ponsel milik Karel. “Ini ponsel kamu tante tarok di sini, ya. Tapi kayaknya nggak aktif.”“Sengaja ku matiin.”“Kabur dari pantauan Ziel?”“Bukan kabur, Tante. Cuman tadi pas Kak Davi jemput, tiba-tiba aku mimisan. Aku nggak mau ketahuan, makanya memilih untuk pulang pake taksi.”“Katanya dianterin teman.”“Aku bohong,” gumamnya.Kiran hanya bisa menarik napasnya panjang. Gadis ini akalnya banyak sekali. Hingga membuatn
Keduanya kembali menuju perusahaan. Tahu apa yang terjadi selama perjalanan? Iya, Davian malah menuntut Ziel untuk memberikan penjelasan pada apa yang dia katakan di restoran tadi.“Zi.”“Hmm,” sahut Ziel dengan pandangannya yang terfokus pada layar ponsel.“Otakku seolah tak bisa diam sebelum mendengar semua penjelasan tentang apa yang kamu katakan tadi pada Livia.”“Sudah dengar sendiri, kan. Mau penjelasan seperti apalagi?”“Kamu serius?”“Yang mana?” tanya Ziel menatap sobatnya itu.Davian memutar bola matanya jengah dengan pertanyaan Ziel yang bikin kesal. Sudah jelas-jelas ia fokeus pada perihal memuaskan tadi, ini malah nanya lagi.“Kamu dan Karel sudah pernah …”“Pernah apa?” tanya Ziel balik. Menatap Davian dengan raut dingin. “Ayolah, Davi. Jangan berpikiran terlalu mesum. Mungkin Livia memikirkan hal yang tidak-tidak tentang apa yang aku dan Karel lakukan. Tapi haruskah kamu juga berpikiran semesum itu tentang kami?”Dahi Davian malah semakin menunjukkan kerutan mendengar p
Davian yang tadinya hendak menuju ke ruangannya, tapi setelah mengalami hal mengejutkan barusan membuatnya hilang semangat hidup. Bisa-bisanya hubungan yang ia jalani dengan penuh rasa cinta dan keseriusan berakhir menyakitkan seperti ini.Masuk dan berjalan gontai menuju kursi sofa, membuat si pemilik ruangan dibuat bingung dengan reaksi dan ekspressi wajah Davian.“Dav, baik-baik aja, kan?” tanya Ziel pada Davian.Davian tak menjawab pertanyaan itu, justru malah merebahkan badannya di sofa dengan menekuk kedua kakinya.Makin penasaran, Ziel beranjak dari posisi duduknya dan berjalan menghampiri Davi.“Kamu sakit?”“Iya, Zi. Sakit hati, rasanya seperti dipatahkan berkali-kali. Sakit banget,” gumamnya dengan nada tak bersemangat.Ziel sampai bingung dan sedikit berpikir dengan apa yang dikatakan oleh davian.“Maksudnya?”“Gue patah hati, Zi. Fani mutusin gue!” Ini kalau tak ada Ziel dihadapannya, mungkin jiwa sadboy nya akan keluar dan menangis saking sedih dan sakitnya.“Lo serius, D
Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Karel yang tadinya tertidur, tiba-tiba bangun karena mendengar suara pintu kamar yang dibuka dari arah luar … pertanda ada seseorang yang masuk.Membuka matanya perlahan, menatap langkah yang semakin mendekat padanya. Samar-samar melihat sosok yang sedang tersenyum padanya dan ia pun membalas senyuman itu.“Gimana, Rel … masih pusing?”Seketika senyuman Karel lenyap, saat suara itu membangunkannya dari kehaluan yang sedikit aneh. Kenapa malah di matanya melihat yang datang adalah Ziel, padahal jelas-jelas yang ada dihadapannya adalah Kiran. Wah, sepertinya otaknya mulai bermasalah.“Iya, Tante. Udah baik-baik aja, kok. Kan tadi aku bilangnya juga gitu … pusing cuman kecapean doang.”“Iya, menurut kamu. Tapi pas diperiksa sama Om, hasilnya apa? Panas, kan.”Karelyn hanya bisa mengerucutkan bibirnya, saat Kiran mulai bicara. Ayolah, ia bukannya kesal atau marah saat wanita paruh baya ini mengaturnya, mengomentari sikapnya yang tak baik, ataupun bahkan
Mendapati Ziel yang tiba-tiba masuk begitu saja dan menghampirinya. Mungkin dia sudah mempersiapkan emosi dan juga kemarahan untuknya. Terlihat jelas di wajah dia, ada rasa kesal.Karel tak buka suara, ia tetap fokus pada lukanya. Hendak membersihkan luka itu, tiba-tiba Ziel menahan niatnya.“Ku bilang, kan … aku akan selalu ada untukmu kapanpun dan dalam situasi apapun. El, sekarang kamu nggak butuh aku lagi?”Pertanyaan yang diucapkan oleh Ziel, entah kenapa seolah menyerang jantungnya secara mendadak hingga rasanya terasa sesak.“Kak …”“Kamu nggak tahu, kan … seperti apa pikiranku dari tadi siang karena nggak mendapatkan kabar darimu? Aku nggak tenang, tapi kamu paham nggak apa yang ku rasakan itu?”“Aku nggak berniat begitu.”“Aku minta Davian untuk menjemputmu, agar aku yakin jika kamu benar-benar aman. Tiba-tiba kamu pulang gitu aja dan ponsel kamu nggak aktif. Aku tahu jika kamu sengaja agar aku nggak menghubungimu, kan. Tapi, yang kamu lakukan justru membuatku makin khawatir.
Mungkin kisaran dua puluh menit berlalu, dokter dan seorang suster kembali menghampiri Arland, Kiran dan Ziel yang menunggu hasil pemeriksaan.“Maaf, ini barang-barang milik pasien,” ujar suster menyodorkan barang-barang milik Karel yang berupa dua buah cincin, kalung, anting-anting dan jam tangan. Karena saat pemeriksaan semua benda-benda asing yang dikenakan pasien harus dilepas.Ziel menerima semua itu dan mengucapkan terimakasih pada suster. Harus diketahui, semua hal ini adalah pemberian darinya. Sekarang justru harus dilepas dan kembali berada di tangannya.“Bagaimana hasilnya, dok?” tanya Kiran. “Semua baik-baik saja, kan … nggak sesuai dengan apa yang kita takutkan tadi?”Bahkan ia merasa takut harus mendengar hasilnya sekarang. Feeling nya benar-benar tak baik, hingga untuk menebak saja ia tak mau.Dokter menatap ketiganya bergantian. Ada rasa tak enak hati untuk memberikan hasil pemeriksaan, tapi tentu saja ini memang harus ia lakukan.“Maaf, seperti yang sudah saya infokan
Davian datang dengan langkah yang tampak bergegas, kemudian segera menghampiri Ziel yang duduk di kursi tunggu.“Sorry, gue kejebak macet,” ujarnya langsung saat sampai. “Karel gimana?”“Udah sadar, kok. Sekarang lagi sama mama di dalam.”“Apa tangannya yang luka sakit lagi?”“Bukan,” jawab Ziel. “Tapi, ada yang lain.”Mendengar perkataan Ziel, Davi malah memasang raut bingung.“Dokter bilang ada masalah dengan jantungnya. Penyebabnya adalah foktor genetik. Karena dalam keluarganya dia ada beberapa yang mengalami, termasuk almarhumah mamanya.”“Ya ampun,” respon Davian.Karel itu tipe cewek agresif, heboh dan nggak bisa diem. Tiba-tiba malah sakit yang mengharuskan dia untuk bisa mengontrol emosi dan perasaan. Bahkan untuk aktifitas pun dia akan mengalami sebuah aturan … karena dilarang untuk beraktifitas terlalu berat.“Tapi sekarang kondisinya gimana? Maksud gue, tingkat keparahannya.”“Syukurnya cepat ketahuan. Masih berada di level awal, hingga bisa menghentikan perkembangan sakit
Padahal tak berniat bangun, tapi obrolan beberapa orang yang terdengar samar-samar memaksa matanya untuk terbuka lebar. Sedikit menyipitkan matanya saat cahaya matahari dari jendela luar menyerang. Kemudian beralih ke arah lain. Tampak Ziel yang sedang bicara dengan seorang dokter.Beberapa saat kemudian, dokter berlalu pergi keluar dari sana. Sedangkan Ziel berbalik badan dan menghampiri Karel.“Sudah bangun,” ujar Ziel lembut, tersenyum dengan satu tangannya yang mengusap pipi Karel.“Sudah siang, ya? Tapi kenapa mataku masih ngantuk, ya,” gumam Karel dengan suara serak.“Masih pagi. Kamu bangun karena keganggu saat aku bicara dengan dokter barusan, ya.”Karel tak menjawab, ia melakukan pergerakan, tapi terhenti saat tak mendapati jarum infus di pergelangan tangannya.“Wah, udah dibuka ya.”“Iya,” jawab Ziel. “Dokter bilang kondisi kamu sudah mendingan. Hanya perlu istirahat yang cukup. Tapi setelah ini kamu mungkin merasa sedikit tak mengenakkan dengan serangkaian tes kesehatan yan