Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Karel yang tadinya tertidur, tiba-tiba bangun karena mendengar suara pintu kamar yang dibuka dari arah luar … pertanda ada seseorang yang masuk.Membuka matanya perlahan, menatap langkah yang semakin mendekat padanya. Samar-samar melihat sosok yang sedang tersenyum padanya dan ia pun membalas senyuman itu.“Gimana, Rel … masih pusing?”Seketika senyuman Karel lenyap, saat suara itu membangunkannya dari kehaluan yang sedikit aneh. Kenapa malah di matanya melihat yang datang adalah Ziel, padahal jelas-jelas yang ada dihadapannya adalah Kiran. Wah, sepertinya otaknya mulai bermasalah.“Iya, Tante. Udah baik-baik aja, kok. Kan tadi aku bilangnya juga gitu … pusing cuman kecapean doang.”“Iya, menurut kamu. Tapi pas diperiksa sama Om, hasilnya apa? Panas, kan.”Karelyn hanya bisa mengerucutkan bibirnya, saat Kiran mulai bicara. Ayolah, ia bukannya kesal atau marah saat wanita paruh baya ini mengaturnya, mengomentari sikapnya yang tak baik, ataupun bahkan
Mendapati Ziel yang tiba-tiba masuk begitu saja dan menghampirinya. Mungkin dia sudah mempersiapkan emosi dan juga kemarahan untuknya. Terlihat jelas di wajah dia, ada rasa kesal.Karel tak buka suara, ia tetap fokus pada lukanya. Hendak membersihkan luka itu, tiba-tiba Ziel menahan niatnya.“Ku bilang, kan … aku akan selalu ada untukmu kapanpun dan dalam situasi apapun. El, sekarang kamu nggak butuh aku lagi?”Pertanyaan yang diucapkan oleh Ziel, entah kenapa seolah menyerang jantungnya secara mendadak hingga rasanya terasa sesak.“Kak …”“Kamu nggak tahu, kan … seperti apa pikiranku dari tadi siang karena nggak mendapatkan kabar darimu? Aku nggak tenang, tapi kamu paham nggak apa yang ku rasakan itu?”“Aku nggak berniat begitu.”“Aku minta Davian untuk menjemputmu, agar aku yakin jika kamu benar-benar aman. Tiba-tiba kamu pulang gitu aja dan ponsel kamu nggak aktif. Aku tahu jika kamu sengaja agar aku nggak menghubungimu, kan. Tapi, yang kamu lakukan justru membuatku makin khawatir.
Mungkin kisaran dua puluh menit berlalu, dokter dan seorang suster kembali menghampiri Arland, Kiran dan Ziel yang menunggu hasil pemeriksaan.“Maaf, ini barang-barang milik pasien,” ujar suster menyodorkan barang-barang milik Karel yang berupa dua buah cincin, kalung, anting-anting dan jam tangan. Karena saat pemeriksaan semua benda-benda asing yang dikenakan pasien harus dilepas.Ziel menerima semua itu dan mengucapkan terimakasih pada suster. Harus diketahui, semua hal ini adalah pemberian darinya. Sekarang justru harus dilepas dan kembali berada di tangannya.“Bagaimana hasilnya, dok?” tanya Kiran. “Semua baik-baik saja, kan … nggak sesuai dengan apa yang kita takutkan tadi?”Bahkan ia merasa takut harus mendengar hasilnya sekarang. Feeling nya benar-benar tak baik, hingga untuk menebak saja ia tak mau.Dokter menatap ketiganya bergantian. Ada rasa tak enak hati untuk memberikan hasil pemeriksaan, tapi tentu saja ini memang harus ia lakukan.“Maaf, seperti yang sudah saya infokan
Davian datang dengan langkah yang tampak bergegas, kemudian segera menghampiri Ziel yang duduk di kursi tunggu.“Sorry, gue kejebak macet,” ujarnya langsung saat sampai. “Karel gimana?”“Udah sadar, kok. Sekarang lagi sama mama di dalam.”“Apa tangannya yang luka sakit lagi?”“Bukan,” jawab Ziel. “Tapi, ada yang lain.”Mendengar perkataan Ziel, Davi malah memasang raut bingung.“Dokter bilang ada masalah dengan jantungnya. Penyebabnya adalah foktor genetik. Karena dalam keluarganya dia ada beberapa yang mengalami, termasuk almarhumah mamanya.”“Ya ampun,” respon Davian.Karel itu tipe cewek agresif, heboh dan nggak bisa diem. Tiba-tiba malah sakit yang mengharuskan dia untuk bisa mengontrol emosi dan perasaan. Bahkan untuk aktifitas pun dia akan mengalami sebuah aturan … karena dilarang untuk beraktifitas terlalu berat.“Tapi sekarang kondisinya gimana? Maksud gue, tingkat keparahannya.”“Syukurnya cepat ketahuan. Masih berada di level awal, hingga bisa menghentikan perkembangan sakit
Padahal tak berniat bangun, tapi obrolan beberapa orang yang terdengar samar-samar memaksa matanya untuk terbuka lebar. Sedikit menyipitkan matanya saat cahaya matahari dari jendela luar menyerang. Kemudian beralih ke arah lain. Tampak Ziel yang sedang bicara dengan seorang dokter.Beberapa saat kemudian, dokter berlalu pergi keluar dari sana. Sedangkan Ziel berbalik badan dan menghampiri Karel.“Sudah bangun,” ujar Ziel lembut, tersenyum dengan satu tangannya yang mengusap pipi Karel.“Sudah siang, ya? Tapi kenapa mataku masih ngantuk, ya,” gumam Karel dengan suara serak.“Masih pagi. Kamu bangun karena keganggu saat aku bicara dengan dokter barusan, ya.”Karel tak menjawab, ia melakukan pergerakan, tapi terhenti saat tak mendapati jarum infus di pergelangan tangannya.“Wah, udah dibuka ya.”“Iya,” jawab Ziel. “Dokter bilang kondisi kamu sudah mendingan. Hanya perlu istirahat yang cukup. Tapi setelah ini kamu mungkin merasa sedikit tak mengenakkan dengan serangkaian tes kesehatan yan
“Kenapa?” tanya Karel melihat reaksi kaget Ziel. “Nggak masalah, kan?”Ziel sampai bingung harus memberikan balasan, reaksi ataupun komentar seperti apa.“Yakali aku nggak nyentuh kamu setelah nikah, belum nikah aja kamu bisa ku kekepin,” berengut Ziel seolah tak terima dengan permintaan Karel.Karel hendak tertawa mendengar perkataan Ziel, tapi ia coba untuk tahan. Karena maksud dari perkataannya itu bukan sebuah sentuhan yang biasa, tapi justru hal sakral bagi hubungan pasangan suami istri.“Lebih tepatnya, kamu harus janji. Meskipun kita udah nikah, jangan sampai sikapmu lepas kendali padaku. Harus ingat, jika aku masih sekolah.”Ziel menatap serius pada Karelyn. “Kalau aku nggak bisa menahannya?”Mata Karel dibuat membola, menatap Ziel dengan tatapan takut. “Ih, kok gitu.”“Kan aku cuman bilang ‘kalau’, Sayang. Sebagai seorang laki-laki normal, dihadapkan pada sesuatu yang membuat naluriku sebagai laki-laki muncul, ya aku harus apa? Masa iya mau nyari mangsa di luar. Padahal ada k
Tadinya mau istirahat seperti apa yang dipesankan oleh Ziel padanya, sembari menunggu orang-orang yang diminta untuk mengurus semua hal tentang acara nanti sore. Ya, karena sore ini adalah waktu yang dipilih untuk melakukan akad.Menyenderkan punggungnya di sandaran tempat tidur, sambil terus berpikir. Ya, banyak sekali sekarang yang ada dalam pikirannya. Tapi setidaknya sedikit tercerahkan karena sikap yang ia terima dari papanya tadi.Ponselnya berdering, pertanda sebuah pesan masuk. Menyambar benda pipih yang ia letakkan di nakas samping tempat tidur, kemudian mengecek isi pesan.“Kamu baik-baik saja, kan? Apa ada yang sakit atau yang bikin kamu nggak nyaman?”Karel sampai tersenyum simpul mendapatkan pertanyaan itu yang nyatanya dari Ziel.“Ya, aku baik-baik saja.”Tak menunggu balasan, Karel lagi mengirim pesan pada Ziel.“Kakak jadi tadi mampir ke rumahnya Puja?”“Iya. Aku sudah menjelaskan semua pada dia dan meminta untuk datang ke rumah.”“Baguslah. Makasih. Love you.”“Aku te
“Gue terharu,” ujar Giska berdiri dihadapan Karel yang sudah selesai make-up, lengkap dengan stelan kebaya yang sudah membalut tubuh dia.“Pengin nangis nggak, sih,” tambah Puja ikut-ikutan memasang wajah mewek. Ingin memeluk Karel, tapi karena takut merusak dandanan sobatnya, akhirnya ia malah memeluk Giska. Jadilah, keduanya saling berpelukan.“Gue nggak diajak pelukan?” tanya Karel. Padahal ia sudah bersiap menyambut, tapi malah tak diajak.Giska dan Puja malah terkekeh.“Takut make-up lo kena. Udah cantik, udah rapi, ntar malah berantakan lagi,” ujar Giska.“Tapi beneran, El … lo cantik banget. Asli. Busana ini pas dan cocok banget sama elo. Sebagai sesama cewek, gue aja pangling. Gimana kalau Kak Ziel yang liat, auto mengsalting dia,” terang Puja.Stelan kebaya dengan atasan berwarna putih dan bawahan rok batik, membuat tampilan Karel benar-benar terlihat elegan. Maklum saja, darah chinese yang masih mengalir di dalam tubuh dia, membuat wajah oriental itu terlihat begitu manis. D