Hari itu tiba, di mana sang dua insan diperasatukan dalam status pernikahan. Dua pengantin yang akan menempuh hidup baru.
Zidan sudah bersiap, jantungnya berdetak kencang tak seperti biasanya. Tangan Zidan dingin dan peluhnya sudah membasahi pelipis.
"Mama kecewa sama kamu," ucap Wanti dengan raut muka kecewa pada Zidan.
"Tapi aku, kan, berhasil mendapatkan calon istri sendiri, Ma."
"Bukan Reni yang Mama harapkan. Mama sudah menyiapkan calon istri yang baik untuk kamu, tapi sekarang kamu nggak jadi menikahi dia!"
"Aku nggak tahu siapa gadis pilihan Mama, jadi nggak ada kewajiban bagi aku menikahi dia, Ma."
"Intinya, Mama kecewa sama kamu," ucap Wanti keluar dari kamar Zidan. Ia hanya bisa menghela napas gusar.
Dering ponsel Zidan langsung mengalihkan perhatian pria itu. Nomor tidak dikena muncul di layar HP Zidan. Siapa, ya? tanya Zidan dala hati, tanpa pikir panjang ia langsung mengangkat telepon.
"Hallo?"
"Hallo, Brother. Apa kabar?"
Mata Zidan melebar mendengar suara itu. "DONI!" teriak Zidan terkejut. Dikabarkan sepupunya itu menghilang dan sekarang Doni meneleponnya.
"Ke mana aja lo? Buat susah semua orang," tanya Zidan.
"Nggak penting gue ke mana. Gue dengar, lo mau nikah ya, Bang?"
"Pulang, Don! Lo nggak kasihan apa sama orang tua lo?" Zidan mencoba menasihati Doni agar segera pulang.
"Lo mau nikah sama Reni?" tanya Doni tak menghiraukan ucapan Zidan.
Kening Zidan mengkerut, ia bingung harus menjawab apa.
"Asal lo tau, Bang. Reni itu milik gue, di dalam rahimnya ada benih yang gue tanam."
Tangan Zidan tiba-tiba terkepal. "Apa maksud lo!" bentak Zidan.
"Nggak nyangka lo sebodoh ini. Reni minta lo nikahin dia, supaya ada yang menggantikan tanggung jawab gue. Haha."
PRANG!
Emosi Zidan memuncak, ia tak memedulikan HP-nya yang sudah dibanting tidak bisa hidup lagi. Jadi, ini alasan Doni menghilang? Lari dari tanggung jawab. Lalu, ini pula alasan Reni agar bisa menutupi apa yang telah diperbuat.
"ARGH!"
Seharusnya Zidan tidak sebodoh itu hanya karena cinta. Ia terlalu mudah mempercayai orang seperti Reni yang tidak ada bedanya dengan Doni. Buru-buru Zidan keluar kamar, ia akan membatalkan pernikahan ini. Untung saja ijab kabul belum dimulai.
***
"Kan, sudah Mama bilang, Sayang. Reni nggak baik. Kenapa kamu tetap aja keras kepala," ucap Wanti setelah Zidan mengadukan semuanya. Kerabat Zidan pun sudah mengkonfirmasi pada keluarga Reni agar pernikahan itu dibatalkan. Walaupun sempat menolak, akhirnya keluarga Reni menerima keputusan itu, karena memang putri merekalah yang salah.
"Kalau kamu tidak jadi menikah. Mama yang akan malu sama teman-teman Mama. Pokoknya pernikahan ini tetap dilanjutkan!" ucap Wanti.
"Tapi, Ma. Aku nggak mau nikah sama Reni, Ma," ucap Zidan.
"Siapa bilang kamu akan menikah dengan Reni. Kamu menikah dengan calon istri pilihan Mama. Bilang ke penghulu tunda ijab kabulnya dua jam lagi."
Wanti tersenyum. Ia yakin jika Zidan memang berjodoh dengan gadis pilihannya.
Zidan hanya pasrah, lagipula ia sudah terlanjur patah hati oleh Reni untuk kedua kalinya. Zidan sekarang hanya menuruti keinginan Wanti. Walaupun ia tidak tahu siapa calon istrinya, bagaimana wajah dan bentukannya, Zidan pasrah. Terpenting ia menikah dan itu membuat ia lega dari semua tuntutan Wanti padanya.
Zidan hanya berdoa semoga ia mendapatkan istri yang baik. Sudah itu saja.
***
Dua jam berlalu dengan cepat. Zidan sudah duduk di hadapan sang penghulu untuk melangsungkan ijab kabul. Wanti sudah memberitahu nama calon istri yang akan ia sebutkan nanti. Namanya saja begitu asing bagi Zidan.
Saatnya pengantin wanita berjalan masuk ke ruang itu. Zidan langsung menatap sang calon istri.
Wanita itu memakai gaun putih tulang yang panjang. Kepalanya terbalut hijab dan mukanya tertutup oleh cadar bewarna putih. Badannya langsing dan tidak terlalu tinggi. Kulit gadis itu putih, karena terlihat dari punggung telapak tangannya. Sholehah, itulah kesan pertama yang diberikan oleh Zidan.
Sang pengantin wanita dipersilakan duduk di samping Zidan. Tak sengaja mata mereka bertatapan sebentar. Mata yang indah, ucap Zidan dalam hati.
"Bagaiamana? Apakah saudara Zidan siap?" tanya penghulu.
"Baik. Mari kita mulai, ya." Penghulu itu mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Zidan.
"Bismillahirrohmanirrohim. Saudara Zidan Leonli bin Zaki Leonli, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Zidny Sandika binti Darmawan dengan maskawin seperangkat alat sholat dan cincin emas TUNAI...."
"Saya terima nikah dan kawinnya Zidny Sandika binti Darmawan dengan maskawin tersebut TUNAI ...."
"Bagaimana, Saksi?"
"SAH!"
"ALHAMDULILLAH."
Semuanya mengadahkan tangan dan berdoa bersama. Ya, wanita yang dinikahi oleh Zidan adalah Zidny atau Sansan!
Zidan menatap istrinya itu. Sansan dengan ragu menatap mata Zidan. Sansan langsung mengambil tangan suaminya itu dan mengecupnya singkat. Zidan tahu, istrinya itu pasti malu jika ia tatap seperti itu. Padahal bukanlah itu alasannya. Sansan hanya takut jika Zidan mengetahui jika ia adalah wanita yang di club itu.
Setelah Sansan mencium punggung tangan suaminya itu. Kini giliran Zidan yang mencium kening istrinya. Zidan mencium kening Sansan singkat.
Menikah dadakan! Walaupun sebenarnya sudah direncanakan dan dipersiapkan. Namun, hampir saja mereka tidak jadi menikah, akan tetapi jodoh tidaklah bisa ditukar. Jodoh itu takdir dan tidak ada siapa pun yang bisa mengubah takdir yang telah ditetapkan.
***
Sansan sebelumnya tidak tahu jika ia akan menikah dengan Zidan—pria yang telah merenggut keperawanannya. Namun, saat Nuni memberitahu nama pria yang akan menjadi calon suaminya Sansan tahu jika ialah pria itu.
Lalu, apa alasan Sansan menerima ajakan menikah dadakan ini? Tentu saja ini adalah pilihan tepat, karena pria itu bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya sekaligus menutup apa yang sudah terjadi.
Sansan akan menutupi rahasia ini. Ya, Zidan atau siapa pun tidak boleh tahu tentang kejadian itu.
"Cucu Nenek sekarang sudah menjadi seorang istri," ucap Nuni. Sansan langsung memeluk Neneknya itu.
"Terima kasih ya, Nek, untuk semuanya."
"Sama-sama, Sayang."
"Zid, mulai sekarang panggil Mama ya, bukan Tante," ucap Wanti. Sansan tersenyum singkat.
"Baik, Ma."
Sansan sebenarnya sedih, karena di hari pernikahannya pun orang tuanya tidak hadir. Namun, Sansan tidak lagi memedulikan itu. Jika orang tuanya menganggapnya sudah tiada, kenapa Sansan masih terus-terusan berharap mereka menemuinya?
"Zid, ikut aku sebentar!" ucap Zidan menarik tangan Sansan pergi dari situ.
Acara ijab kabul sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Acara resepsi diadakan nanti malam di hotel berbintang. Sekarang waktunya keluarga mempelai pria maupun kekuarga mempelai wanita beristirahat.
Zidan mengajak Sansan duduk di sofa.
"Aku mau ngomong sesuatu," ucap Zidan yang membua jantung Sansan berdetak tak karuan. Apakah Zidan mengetahui siapa Sansan yang sebenarnya?
"Aku tahu ...."
***
BERSAMBUNG
***
Hai Semua. Semoga suka, ya. Tetap baca terus kelanjutannya, ya. Terima kasih. Salam hangat, ~Amalia Ulan
"Aku mau ngomong sesuatu," ucap Zidan yang membuat jantung Sansan berdetak tak karuan. Apakah Zidan mengetahui siapa Sansan yang sebenarnya? "Saya tahu kau pun sama kagetnya dengan pernikahan dadakan ini, tapi kau tenang saja, saya akan menafkahimu dan memberikan semua kebutuhanmu." Dahi Sansan mengkerut saat Zidan berubah berbicara formal padanya. Ia jadi bingung untuk menjawab. "Terima kasih, Pak Zidan." Mata Zidan melotot saat wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu memanggilnya dengan sebutan Pak. Apa ia tak salah dengar? "Kau memanggilku Pak?" Sansan menunduk, menahan cekikikan yang akan keluar dari mulutnya. "Iya, karena aku tahu Pak Zidan tampak lebih dewasa. Sangat jauh dengan umurku yang masih belasan," ucap Sansan sopan, dengan suara yang lembut dan pelan. Zidan mengusap mukanya pelan. Baru mengetahui jika istrinya adalah seorang remaja. Apakah mamanya tak salah pilih? "Jadi,
"Zidny, kamu pikir saya mau bermain dengan anak kecil seperti kamu?"Sansan terdiam. Sedikit lega, karena ucapan Zidan bukanlah yang ia takutkan."Ambil selimut, tidur di sofa!" suruh Zidan."Kok di sofa, Pak? Kan kasurnya masih lapang," protes Sansan pelan."Jangan banyak protes. Cepat tidur di sana!" suruh Zidan. Sansan mengangguk saja, ia menarik selimut lalu membawanya ke sofa yang ada di kamar itu.Sansan langsung membaringkan badannya di sofa, walaupun sofa itu kecil, tetapi masih bisa menampung badan mungil Sansan.Zidan lalu mematikan lampu. Ia pun membaringkan badan di kasur, dengan keadaan gelap seperti ini, ia tak akan bisa melihat wajah anak kecil itu, pikir Zidan.Sedangkan Sansan, ia tak terbiasa tidur dalam keadaan gelap. Sansan lebih suka tidur dengan lampu yang menyala. Setidaknya ada sedikit penerangan. Namun, sekarang semuanya gelap."Aku nggak bisa tidur kalau gini," ucap Sansan pelan. Ia lalu me
Tak terasa, matahari sudah berganti tugas dengan bulan yang menemani malam. Zidan berjalan mondar-mandir sembari menggigit ibu jarinya. Bagaimana jika wanita itu meminta pertanggungjawabannya? Zidan sudah menikah, bisa kacau semuanya. Sansan yang sejak tadi memperhatikan Zidan hanya menyunggingkan senyum sinis. Ia lalu memainkan ponsel di tangannya sebentar. Setelah itu, Sansan meletakkan ponselnya di nakas. Ia dan Zidan sama-sama di dalam kamar. Namun, Zidan tak menganggap ada Sansan di sana. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Bunyi notifikasi HP Zidan langsung mengalihkan perhatian pria itu, ia pun segera mengambil HP-nya yang tergeletak di kasur. Ada satu pesan belum terbaca. Zidan pun membuka pesan itu. 'Bagaimana? Jadi ketemuan sekarang, kan, Tuan Zidan Leonli Terhormat?' Zidan kembali mondar-mandir tak jelas sembari memegang ponselnya. "Ada apa denganmu, Pak?" tanya Sansan pura-pura tidak tahu.
Sansan masih terdiam. Jantungnya berdetak kencang. Sansan kembali melihat Zidan yang menatapnya."Ya. Aku mencintaimu, Ren! Aku mencintaimu. Kenapa kamu tega selingkuhin aku, Ren? Kenapa kamu malah ...." Tiba-tiba Zidan memeluk badan Sansan membuat wanita itu terkejut.Sansan memutar bola matanya malas, sakit hati mendengar peruturan Zidan yang ternyata bukan mencintainya, tetapi dihantui bayang-bayang mantan. Sansan mendengkus pelan, ia pun mendorong badan Zidan melepaskan pelukannya. Namun, Zidan kembali memeluk Sansan.Akhirnya, wanita itu pasrah saja. Pasrah dianggap mantan Zidan yang amat ia cintai. Sansan jadi penasaran dengan mantan Zidan."Sayang, di sini dingin. Kita ke kamar, yuk!" ajak Sansan, karena sudah mengantuk. Zidan mengangguk saja. Lalu, Sansan membopong badan Zidan ke lantai dua, masuk kamar di mana mereka pertama bertemu.Sansan membantu Zidan berbaring di sana. Laki-laki itu menurut saja, ia sudah mabuk berat dan sulit t
"Hallo, Zid. Ini gue ... Alvian." Sansan terdiam sebentar. Apa tujuan sang mantan itu meneleponnya? "Zid. Gue mohon jangan ditutup teleponnya. Gue ada di belakang lo sekarang," ucap Alvian di seberang telepon. Mendengar kata di belakangnya, buru-buru Sansan menoleh, membalikkan sebagian badannya menatap pria yang sedang menelepon Sansan sekarang. Namun, Sansan kembali menatap depan, mengabaikan sosok Alvian yang berdiri di belakang. "Mau apa lo?" tanya Sansan cepat. "Gue ... gue ...." "Ish, cepetan. Mau apaan, ha?" "Gue kangen sama lo, Zid." Degh! Kenapa suara itu semakin mendekat? Sansan tak bisa mengelak, karena Alvian sudah berada di belakang punggungnya sekarang. Reni yang memperhatikan sejak tadi yakin, jika Sansan memiliki hubungan spesial dengan pria itu. Tampak dari sorot mata Alvian yang sangat mencintai Sansan. "Ih, nggak usah pegang-pegang!" ucap Sansan melepaskan rangkulan
"Kamu telat lima puluh tujuh detik, artinya kamu harus dikasih hukuman." Suara Zidan yang baru saja masuk ke kamar langsung membuat Sansan terkejut, karena ia masih memasang sepatu. "Kan, tadi katanya kalau telat satu menit, Pak," protes Sansan. "Sama saja. Kamu tetap tidak on time. Hukumannya, buatkan saya kopi. Kita berangkat tiga puluh menit lagi," ucap Zidan dengan santainya, lalu berjalan ke kamar mandi. Sansan melebarkan matanya. Lalu, untuk apa tadi ia buru-buru jika tidak sekarang juga perginya? Argh, ingin rasanya Sansan mengetuk kepala Zidan. "Sabar, sabar. Huft," ucap Sansan mengelus dada pelan. Ia pun akhirnya keluar kamar pergi ke dapur untuk membuatkan suaminya itu segelas kopi. "Gini amat dapat suami," omel Sansan. "Loh, Zid. Nggak jadi pergi?" tanya Wanti yang berada di dapur. "Jadi kok, Ma. Pak--eh, Mas Zidan minta dibuatin kopi dulu katanya," jawab Sansan. "Oh. Ya udah. Zidan itu suka kopi manis, j
Sansan menatap punggung Zidan yang membelakanginya. Wanita itu masih penasaran, apakah benar suaminya itu tadi meminum kopi asin yang ia buatkan? Lalu, apa alasan Zidan tidak jadi pergi? Ia tak yakin jika pria itu hanya mengajaknya jalan di rumah seperti yang ia katakan tadi. "Pak," panggil Sansan. "Hm," gumam Zidan yang masih memunggungi Sansan. Mereka sedang berbaring di kasur dengan posisi Zidan yang tidur membelakangi istrinya. "Pak Zidan beneran minum kopinya?" tanya Sansan. Zidan yang tadinya memejamkan mata, langsung membuka kelopak matanya. "Menurut kamu?" "Masa, sih, Pak? Apa Pak Zidan nggak mual?" "Masih saja bertanya." Sansan pun akhirnya bungkam. Apakah benar? Dalam hati Zidan terkekeh geli, ia tak meminumnya, Zidan hanya punya firasat buruk, karena aroma kopi itu sudah beda. Tadi, saat Zidan menyuruh Sansan ke dapur, ia menyicipi sedikit dengan ujung lidahnya. Ternyata benar,
Untung saja Sansan sudah siap dengan penyamarannya sebelum Zidan datang. Ia tinggal merapikan rambutnya sedikit lagi. Setelah dirasa siap, Sansan melangkah keluar. HP-nya sudah berdering, menandakan jika Zidan sudah sampai. "Hai," sapa Sansan tersenyum manis. Zidan hanya menghela napas pelan. "Ada apa?" tanya Zidan. "Aduh, itu nanti aja. Sekarang kita bersenang-senang dulu," ucap Sansan. "Aku tidak punya banyak waktu." "Ah, masa? Bukannya kamu menikmati waktu bersamaku?" Sansan mendekatkan badannya, lalu bersandar. Tangan Sansan membelai pipi mulus Zidan. Tatapan Sansan yang tak beralih sedikit pun dari Zidan membuat pria itu ikut terpana. Wanita itu jika dilihat dari dekat memang sangat cantik. Zidan meneguk salivanya susah. Kenapa ia mudah sekali terpikat? "Zidan, aku mau kamu menikahiku," ucap Sansan lembut, semakin membuat Zidan menegang. "Aku tidak bisa menikahi orang yang tidak aku cintai," ucap Zidan cepat.
Zidan tak bisa membendung air matanya. Di depannya terdapat gundukan tanah yang masih bewarna kemerah-merahan, bersama papan nisan yang baru saja ditancapkan.Zidan mengusap air matanya. Penyesalan memang datangnya di akhir, jika datang di awal, mungkin Zidan tidak akan menangis di sini sekarang."Maaf," lirih Zidan mengusap papan nisan itu."Maafin aku, Zid," lirihnya. Gigi Zidan gemertak, tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.Seseorang yang sangat ia cintai, yang Zidan harapkan hidup bahagia bersamanya, ternyata dengan cepat meninggalkan Zidan.Isakan Zidan terdengar jelas. Air matanya berlinang deras. Hanya menangis yang mampu Zidan lakukan sekarang.Apakah ia sudah gagal? Zidan gagal sebagai ayah. Ia terlalu bodoh."Maafin aku, Zid. Maafin aku, nggak bisa nyelamatin anak kita. Gara-gara aku, anak kita tidak jadi lahir dengan selamat!"Bayi Zidan dan Sansan tak berhasil diselam
Sansan hanya bisa terbungkam, tak dapat berbicara. Benarkah seorang Raqibta, sepupu yang paling dekat dengannya ternyata membencinya selama ini?Apa salah Sansan? Apa yang sudah diperbuat Sansan sampai Raqib membencinya?Mobil Raqib menepi untuk berhenti. Keduanya sama-sama tak membuka suara, keheningan pun melanda."Kenapa lo bisa benci sama gue?" tanya Sansan.Raqib tertawa pelan. "Lo masih tanya kenapa?""Gue bahkan masih anggap omongan lo tadi bercanda, Ra. Lo nggak nge-prank gue, kan?" tanya Sansan yang masih setengah percaya."Buat apa gue buang-buang waktu nggak jelas gitu. Gue ulangi sekali lagi. Gue ... benci sama lo!" Nada bicara Raqib pun berubah dratis, tak seperti biasanya.Air mata Sansan lolos begitu saja. Ia menepuk-nepuk pipinya, memastikan sekali lagi apakah ini mimpi buruknya, akan tetapi Sansan harus menerima pahitnya kenyataan jika ini semua adalah nyata."Gue
Kejujuran itu menyakitkan jika diungkapkan, tetapi juga pahit jika disembunyikan. ~Lanlia***Beberapa bulan kemudian ....Kini, kandungan Sansan sudah memasuki bulan ke-9. Ia sudah sering marathon dan memperbanyak gerak, agar nanti proses persalinan lebih lancar.Rumah tangga yang dijalani Sansan dan Zidan tentunya tidak selalu berjalan mulus. Apalagi saat Sansan baru mengetahui, jika suaminya itu sangatlah pencemburu.Saat itu, Sansan tak sengaja bertemu dengan teman SD-nya yang laki-laki dan dilihat oleh Zidan, suaminya itu langsung cemburu dan mendiamkannya selama dua hari. Padahal teman cowok Sansan itu hanya mengundangnya ke acara pernikahannya.Sansan kadang tertawa melihat Zidan yang sangat posesif, akan tetapi jika terlalu cemburuan jugalah tak baik. Harusnya mereka saling percaya saja, kan?"Zid, kandungan kamu sudah besar, ya, udah kayak sembilan bulan aja. Padahal tiga bulan lagi b
Sansan tersentak dari tidurnya. Entah kenapa suasana tampak mengusiknya yang sedang terlelap. Mata Sansan mengerjap. Gelap! Pantas saja. Dirinya, kan, tak bisa tertidur jika mati lampu.Sansan meraba ke samping. Kosong! Ke mana Zidan? Kenapa suaminya itu tak berada si sebelahnya? Namun, Sansan tak sengaja menyentuh sesuatu di bantal Zidan. Tiba-tiba ada cahaya yang menerangi kamar. Lampu kelap-kelip pun tampak mengelilingi seisi kamar. Sansan pun terduduk di atas kasurnya.Apa yang terjadi? Sansan masih terheran-heran. Ia pun terkejut menatap lantai kamar yang sudah berserakan kelopak mawar merah. Sansan pun berniat turun. Ia juga terkejut, karena melihat pintu balkon kamarnya terbuka.Kaki Sansan pun tergerak untuk melangkah ke arah balkon. Ia seperti menatap bayangan seseorang di sana. Jangan-jangan maling, pikir buruk Sansan.Saat dirinya sampai di balkon. Tidak ada siapa-siapa. Sansan menatap ke langit malam yang bertabur binta
Apa yang terjadi semalam? Kenapa bisa ada Sansan palsu? Ini semua ternyata sudah menjadi rencana dari Sansan sendiri.Setelah Zidan selesai menelepon kemarin. Sansan sangat panik. Ia tak tahu harus berbuat apa dan memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam jika Zidan tahu rahasianya.Namun, selang beberapa menit, ketukan pintu memecahkan lamunan Sansan. Ia pun segera ke ruang depan untuk melihat siapa tamu yang tak diundang itu datang.Mata Sansan melebar saat mengetahui siapa yang datang. Refleks Sansan pun memeluk seseorang itu."Raqib," lirih Sansan pelan.Ya, yang datang ke rumahnya tiba-tiba itu adalah Raqibta. Ada apa Raqib datang kemari? Bukannya ia sudah kecewa dan tak ingin bertemu Sansan lagi? Setelah pernyataan yang diungkapkan Sansan dulu, Raqib sama sekali tak menghubungi Sansan lagi, bahkan nomor Sansan dibloknya. Mereka putus kontak.Maka dari itu, melihat Raqib datang kemari, membuat Sans
Malam ini, Zidny benar-benar sudah berada di taman. Ia pun hanya menunggu kedatangan Zidan yang katanya sebentar lagi sampai.Sebenarnya Zidny begitu deg-degan, tetapi ia berusaha menyembunyikannya dan mencoba terlihat biasa saja. Zidny tak boleh lengah.Taman ini begitu ramai. Orang berlalu-lalang dan terdapat banyaknya yang menjual berbagai makanan. Tak dipungkiri jika Zidny tergoda untul mencicipinya. Akan tetapi, ia sudah membawa bekal. Zidny membawa kue yang ia buat siang tadi—spesial untuk Zidan."Hmm ... kue ini, kan, emang untuk Mas Zidan. Nggak-nggak, aku harus beliin satu lagi!"Zidny lalu melangkah membeli beberapa makanan yang tampak di depan matanya, ada sate, bakso, cilok, dan somay."Nah, lengkap!" ucapnya. Ia pun kembali duduk di kursi yang dilengkapi meja itu."Mana, sih, Mas Zidan. Katanya bentar lagi," ucap Zidny kesal."Ini udah datang," ucap Zidan tiba-tiba sudah ber
Saat Zidan pulang, ia sudah melihat istrinya menangis. Buru-buru pria itu menghampiri Zidny dengan perasaan cemas."Zid, kamu kenapa?" tanya Zidan."Ngg--nggak pa-pa, kok, Mas.""Kamu ... ingat Nenek lagi, ya?"Walaupun bukan itu penyebab sebenarnya Sansan menangis, tetapi ia benarkan saja, agar Zidan tidak curiga."Ya udah, jangan sedih lagi, ya," ucap Zidan merengkuh badan istrinya itu ke pelukan."Baksonya mana?" tanya Sansan, karena Zidan masuk kamar tanpa membawa apa pun."Ada di dapur. Nggak mungkin aku bawa ke kamar. Ya udah, ayo makan dulu," ajak Zidan. Tangannya menyeka air mata istrinya yang masih berbekas di pipi."Penjualnya botak, kan?" tanya Sansan memastikan."Iya, botak. Nih, fotonya." Zidan memperlihatkan foto penjual bakso tadi yang sudah berkepala botak."Ih, kamu hebat!" Sansan berbinar-binar. Aneh sekali ngidam istrinya itu.
Daritadi Zidan sudah berkeliling mencari tukang bakso. Ia mengacak rambut frustrasi. Sebenarnya sudah banyak penjual bakso yang ia temukan, tetapi penjualnya tidak ada yang botak. Sesulit inikah menjadi penjual bakso yang berkepala pelontos? Lagipula ngidam istrinya sangatlah aneh. Zidan menyesal menganggap ini hal yang mudah.Telepon Zidan berdering. Nama Zidny muncul di layar, buru-buru Zidan mengangkatnya."Halo, Zid?""Kamu ke mana aja, sih? Kok nggak pulang-pulang."Lah? Pertanyaan macam apa itu?"Aku lagi beliin bakso buat kamu.""Oh, iya. Terus, udah dapat belum, Mas?""Belum. Penjualnya berambut semua. Gapapa, ya, yang berambut?""Nggak mau!""Ya udah, aku keliling lagi, nih.""Oke, Mas."Telepon pun dimatikan. Zidan kembali memutar setir mobilnya. Ke mana lagi ia harus mencari penjual bakso yang tak berambut?Siapa pun t
Untuk merayakan atas kehamilan cucu pertama. Wanti mengadakan syukuran yang dihadiri teman-teman sosialitanya. Wanti sangat senang, karena sebentar lagi akan menjadi nenek. Ya, itulah yang ia nanti-nantikan sejak dulu. Makanya ia sangat nyinyir menyuruh Zidan untuk menikah."Wan, menantumu cantik, ya.""Iya, Wan. Keliatannya juga sholeh, ya. Duh, beruntung anakmu.""Menantumu juga keliatan lebih muda, ya."Sansan hanya bisa tersenyum malu-malu saat teman-teman mertuanya itu memujinya terang-terangan. Tiba-tiba Wanti merangkul bahu Sansan."Iya, dong. Menantu siapa dulu," ujar Wanti dengan sombongnya, membuat teman-temannya tertawa. Sansan hanya bisa tersenyum kikuk. Apakah mertuanya itu akan tetap seperti ini, jika rahasia itu terbongkar?"Eh, iya. Sudah berapa bulan itu kandungannya?" tanya Meri menatap perut Sansan yang sudah sedikit menonjol."Emm ...." Sansan kebingungan menjawab. Tidak mu