"Aku mau ngomong sesuatu," ucap Zidan yang membuat jantung Sansan berdetak tak karuan. Apakah Zidan mengetahui siapa Sansan yang sebenarnya?
"Saya tahu kau pun sama kagetnya dengan pernikahan dadakan ini, tapi kau tenang saja, saya akan menafkahimu dan memberikan semua kebutuhanmu."
Dahi Sansan mengkerut saat Zidan berubah berbicara formal padanya. Ia jadi bingung untuk menjawab.
"Terima kasih, Pak Zidan."
Mata Zidan melotot saat wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu memanggilnya dengan sebutan Pak. Apa ia tak salah dengar?
"Kau memanggilku Pak?"
Sansan menunduk, menahan cekikikan yang akan keluar dari mulutnya.
"Iya, karena aku tahu Pak Zidan tampak lebih dewasa. Sangat jauh dengan umurku yang masih belasan," ucap Sansan sopan, dengan suara yang lembut dan pelan.
Zidan mengusap mukanya pelan. Baru mengetahui jika istrinya adalah seorang remaja. Apakah mamanya tak salah pilih?
"Jadi, kau masih kecil?"
"Umurku masih delapan belas tahun, Pak," ucap Sansan.
Zidan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ini artinya bukan ia yang akan dilayani seoranh istri, tetapi dirinyalah yang akan menjaga anak kecil itu.
"Anak kecil ...."
Sansan menatap Zidan tak terima dikatakan anak kecil. "Aku udah besar," protes Sansan.
"Ah, sudahlah, anak kecil," ucap Zidan melangkah pergi meninggalkan Sansan.
***
Acara resepsi yang diadakan malam ini sangat mewah. Acara dilaksanakan di hotel berbintang milik keluarga Zidan. Para tamu undangan pun beramai-ramai memadati tempat.
Tempat yang dipilih adalah outdor, sehingga dari sini bisa langsung menatap langit malam tanpa penghalang. Bintang tampak bertaburan mengindahi acara malam ini. Cuaca pun mendukung. Malam ini sangat indah.
Tema resepsinya adalah kristal. Ada banyak juntaian kristal. Warna silver adalah pilihan Zidan. Alhasil, para tamu datang memakai baju bewarna silver.
Kaki Sansan dan Zidan sudah terasa membengkak, karena berdiri sejak tadi melayani tamu yang tak berhenti untuk bersalaman kepada mereka. Ucapan selamat dan doa-doa sudah melimpah diterima oleh Zidan dan Sansan.
"San! Udah nikah aje lo, San!" ucap Raqib yang langsung membuat Sansan menutup mulut sepupunya itu.
"Jangan panggil gue Sansan! Lo kan tahu, orang-orang di sini tahunya nama gue Zidny!" ucap Sansan, lalu melepaskan bekapannya pada Raqib.
"Oke-oke, sorry."
Untung saja musik yang dimainkan oleh band di pentas sana sangat kencang, sehingga suara Raqib tak terdengar jelas oleh Zidan. Lagipula suami Sansan itu tengah asyik juga mengobrol dengan temannya. Sansan jadi bisa bernapas lega.
"Selamat, Sist! Bahagia, ya!" ucap Atid pula. Mereka pun berpelukan singkat.
"Thank you, Guys. Kalian udah datang, walaupun pas nikahan gue tadi kalian nggak hadir."
"Ya lo main nikah aja, Sa--eh, Zid. Kita kan gak tahu, kita kaget dengar lo udah nikah aja. Terlalu mendadak tau, nggak."
"Ya, maaf ... ini, kan, juga rencana Nenek gue."
"Jadi, ini maksud lo nanyain tentang Pak Zidan? Karena lo mau nikah sama dia?" tanya Raqib berbisik di telinga Sansan.
Sansan hanya mengangguk saja. Sebenarnya bukan itu alasannya, tetapi ... ah, sudahlah, semua serba kebetulan.
"Eh, Bro! Lo nggak kenalin istri lo ke gua gitu?" tanya Rifan menatap Sansan.
Zidan tiba-tiba menarik Sansan, merangkul pundak istrinya itu pelan.
"Ini Zidny, istri gue. Kenalin, Zid, ini Rifan teman aku," ucap Zidan memperkenalkan mereka. Rifan mengulurkan tangannya, tetapi Sansan hanya menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada, isyarat tidak usah bersalaman. Rifan menarik tangannya kembali. Alim banget istri si Zidan, ucap Rifan dalam hati.
Raqib dan Atid yang melihat tingkah Sansan jadi senyum-senyum sendiri, karena tidak biasanya Sansan menolak uluran tangan seseorang untuk berjabat tangan. Apakah ini bukti, jika Sansan sangat menghormati suaminya?
***
Acara sudah selesai tepat pada jam 23:00 WIB. Zidan dan keluarganya langsung pulang ke rumah. Tidak terkecuali dengan Sansan yang ikut dengan Zidan. Nuni pun ikut ke rumah Zidan, karena Sansan tidak ingin neneknya itu tinggal sendiri di rumah.
Sansan terpaksa mandi, karena badannya sangat terasa gerah. Berbeda dengan Zidan yang langsung tepar dalam keadaan masih memakai baju resepsinya.
Setelah selesai mandi, Zidny memakai baju tebal dan tetap memakai hijabnya. Ia tak akan mau berpenampilan sexy di hadapan Zidan. Bisa-bisa suaminya itu tahu jika ia adalah Sansan yang di club itu.
Sansan membuka pintu kamar mandi pelan, untung saja tadi ia membawa baju ke kamar mandi, jadi ia bisa keluar dengan penampilan lengkap.
Semua pakaian dan barang yang diperlukan oleh Sansan memang sudah dipindahkan ke rumah Zidan setelah akad nikah tadi, karena memang setelah menikah Sansan akan tinggal di rumah Zidan.
Sansan menatap Zidan yang sudah terlelap. Tangan Sansan menepuk pipi Zidan, mencoba membangunkan pria itu.
Tepukan Sansan yang semakin kencang membuat Zidan terkejut dan langsung memegang pipinya yang terasa perih. Zidan meringis pelan lalu menatap Sansan.
"Kenapa?" tanya Zidan.
"Eum ... anu, Pak. Pak Zidan nggak mandi? Atau ganti baju?" tanya Sansan.
Zidan yang sudah kecapekan pun kembali merebahkan badannya. Tangannya tiba-tiba menarik Sansan mendekatinya, karena tidak siap, Sansan tersungkur tepat di badan Zidan.
Hidung mereka tak sengaja bersentuhan, bola mata mereka pun saling adu pandang. Helaan napas Zidan yang hangat menyapu wajah Sansan. Buru-buru Sansan bangkit, sebelum tatapan itu berlangsung lama.
"Baring sini, anak kecil!" suruh Zidan menepuk kasur di sebelahnya.
"Nggak mau, Pak Zidan ganti baju dulu sana!" suruh Sansan.
"Setelah aku mengganti baju, kau mau tidur denganku?" tanya Zidan.
"Iya."
"Oke," ucap Zidan langsung bangkit.
Sansan yang sudah degdegan sejak tadi mengembuskan napasnya. Ia sangat takut jiaka Zidan mengenalinya. Jangan sampai jangan sampai!
Tak lama kemudian Zidan sudah selesai berganti pakaian. Ia langsung kembali berbaring di kasur. Namun, Sansan masih berdiri di sampinh ranjang.
"Anak kecil, kemarilah!" suruh Zidan memanggilnya.
"Layani aku, anak kecil!"
Jantung Sansan berdetak tak karuan. Ia bukannya tak mau melayani suaminya itu, tetapi Sansan hanya takut jika rahasianya terbongkar.
"Ayolah!" suruh Zidan.
Sansan akhirnya mendekati ranjang, lalu mulai menaiki kasur. Namun, saat Sansan sudah mulai berbaring di samping Zidan. Pria itu lantas bangkit dan tersenyum simpul ke arah Sansan.
Senyum itu bukanlah senyum yang tulus. Sansan bisa melihat senyum yang dipancarkan oleh Zidan bukanlah senyum yang baik. Apa maksud senyum itu?
"Zidny, ...."
***
BERSAMBUNG
****
Hai Semua. Terima kasih bagi yang udah mau membaca, semoga suka, ya. Jangan lupa vote dan komen ya biar aku makin semangat hihi. Terima kasih. Salam hangat, ~Amalia Ulan
"Zidny, kamu pikir saya mau bermain dengan anak kecil seperti kamu?"Sansan terdiam. Sedikit lega, karena ucapan Zidan bukanlah yang ia takutkan."Ambil selimut, tidur di sofa!" suruh Zidan."Kok di sofa, Pak? Kan kasurnya masih lapang," protes Sansan pelan."Jangan banyak protes. Cepat tidur di sana!" suruh Zidan. Sansan mengangguk saja, ia menarik selimut lalu membawanya ke sofa yang ada di kamar itu.Sansan langsung membaringkan badannya di sofa, walaupun sofa itu kecil, tetapi masih bisa menampung badan mungil Sansan.Zidan lalu mematikan lampu. Ia pun membaringkan badan di kasur, dengan keadaan gelap seperti ini, ia tak akan bisa melihat wajah anak kecil itu, pikir Zidan.Sedangkan Sansan, ia tak terbiasa tidur dalam keadaan gelap. Sansan lebih suka tidur dengan lampu yang menyala. Setidaknya ada sedikit penerangan. Namun, sekarang semuanya gelap."Aku nggak bisa tidur kalau gini," ucap Sansan pelan. Ia lalu me
Tak terasa, matahari sudah berganti tugas dengan bulan yang menemani malam. Zidan berjalan mondar-mandir sembari menggigit ibu jarinya. Bagaimana jika wanita itu meminta pertanggungjawabannya? Zidan sudah menikah, bisa kacau semuanya. Sansan yang sejak tadi memperhatikan Zidan hanya menyunggingkan senyum sinis. Ia lalu memainkan ponsel di tangannya sebentar. Setelah itu, Sansan meletakkan ponselnya di nakas. Ia dan Zidan sama-sama di dalam kamar. Namun, Zidan tak menganggap ada Sansan di sana. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Bunyi notifikasi HP Zidan langsung mengalihkan perhatian pria itu, ia pun segera mengambil HP-nya yang tergeletak di kasur. Ada satu pesan belum terbaca. Zidan pun membuka pesan itu. 'Bagaimana? Jadi ketemuan sekarang, kan, Tuan Zidan Leonli Terhormat?' Zidan kembali mondar-mandir tak jelas sembari memegang ponselnya. "Ada apa denganmu, Pak?" tanya Sansan pura-pura tidak tahu.
Sansan masih terdiam. Jantungnya berdetak kencang. Sansan kembali melihat Zidan yang menatapnya."Ya. Aku mencintaimu, Ren! Aku mencintaimu. Kenapa kamu tega selingkuhin aku, Ren? Kenapa kamu malah ...." Tiba-tiba Zidan memeluk badan Sansan membuat wanita itu terkejut.Sansan memutar bola matanya malas, sakit hati mendengar peruturan Zidan yang ternyata bukan mencintainya, tetapi dihantui bayang-bayang mantan. Sansan mendengkus pelan, ia pun mendorong badan Zidan melepaskan pelukannya. Namun, Zidan kembali memeluk Sansan.Akhirnya, wanita itu pasrah saja. Pasrah dianggap mantan Zidan yang amat ia cintai. Sansan jadi penasaran dengan mantan Zidan."Sayang, di sini dingin. Kita ke kamar, yuk!" ajak Sansan, karena sudah mengantuk. Zidan mengangguk saja. Lalu, Sansan membopong badan Zidan ke lantai dua, masuk kamar di mana mereka pertama bertemu.Sansan membantu Zidan berbaring di sana. Laki-laki itu menurut saja, ia sudah mabuk berat dan sulit t
"Hallo, Zid. Ini gue ... Alvian." Sansan terdiam sebentar. Apa tujuan sang mantan itu meneleponnya? "Zid. Gue mohon jangan ditutup teleponnya. Gue ada di belakang lo sekarang," ucap Alvian di seberang telepon. Mendengar kata di belakangnya, buru-buru Sansan menoleh, membalikkan sebagian badannya menatap pria yang sedang menelepon Sansan sekarang. Namun, Sansan kembali menatap depan, mengabaikan sosok Alvian yang berdiri di belakang. "Mau apa lo?" tanya Sansan cepat. "Gue ... gue ...." "Ish, cepetan. Mau apaan, ha?" "Gue kangen sama lo, Zid." Degh! Kenapa suara itu semakin mendekat? Sansan tak bisa mengelak, karena Alvian sudah berada di belakang punggungnya sekarang. Reni yang memperhatikan sejak tadi yakin, jika Sansan memiliki hubungan spesial dengan pria itu. Tampak dari sorot mata Alvian yang sangat mencintai Sansan. "Ih, nggak usah pegang-pegang!" ucap Sansan melepaskan rangkulan
"Kamu telat lima puluh tujuh detik, artinya kamu harus dikasih hukuman." Suara Zidan yang baru saja masuk ke kamar langsung membuat Sansan terkejut, karena ia masih memasang sepatu. "Kan, tadi katanya kalau telat satu menit, Pak," protes Sansan. "Sama saja. Kamu tetap tidak on time. Hukumannya, buatkan saya kopi. Kita berangkat tiga puluh menit lagi," ucap Zidan dengan santainya, lalu berjalan ke kamar mandi. Sansan melebarkan matanya. Lalu, untuk apa tadi ia buru-buru jika tidak sekarang juga perginya? Argh, ingin rasanya Sansan mengetuk kepala Zidan. "Sabar, sabar. Huft," ucap Sansan mengelus dada pelan. Ia pun akhirnya keluar kamar pergi ke dapur untuk membuatkan suaminya itu segelas kopi. "Gini amat dapat suami," omel Sansan. "Loh, Zid. Nggak jadi pergi?" tanya Wanti yang berada di dapur. "Jadi kok, Ma. Pak--eh, Mas Zidan minta dibuatin kopi dulu katanya," jawab Sansan. "Oh. Ya udah. Zidan itu suka kopi manis, j
Sansan menatap punggung Zidan yang membelakanginya. Wanita itu masih penasaran, apakah benar suaminya itu tadi meminum kopi asin yang ia buatkan? Lalu, apa alasan Zidan tidak jadi pergi? Ia tak yakin jika pria itu hanya mengajaknya jalan di rumah seperti yang ia katakan tadi. "Pak," panggil Sansan. "Hm," gumam Zidan yang masih memunggungi Sansan. Mereka sedang berbaring di kasur dengan posisi Zidan yang tidur membelakangi istrinya. "Pak Zidan beneran minum kopinya?" tanya Sansan. Zidan yang tadinya memejamkan mata, langsung membuka kelopak matanya. "Menurut kamu?" "Masa, sih, Pak? Apa Pak Zidan nggak mual?" "Masih saja bertanya." Sansan pun akhirnya bungkam. Apakah benar? Dalam hati Zidan terkekeh geli, ia tak meminumnya, Zidan hanya punya firasat buruk, karena aroma kopi itu sudah beda. Tadi, saat Zidan menyuruh Sansan ke dapur, ia menyicipi sedikit dengan ujung lidahnya. Ternyata benar,
Untung saja Sansan sudah siap dengan penyamarannya sebelum Zidan datang. Ia tinggal merapikan rambutnya sedikit lagi. Setelah dirasa siap, Sansan melangkah keluar. HP-nya sudah berdering, menandakan jika Zidan sudah sampai. "Hai," sapa Sansan tersenyum manis. Zidan hanya menghela napas pelan. "Ada apa?" tanya Zidan. "Aduh, itu nanti aja. Sekarang kita bersenang-senang dulu," ucap Sansan. "Aku tidak punya banyak waktu." "Ah, masa? Bukannya kamu menikmati waktu bersamaku?" Sansan mendekatkan badannya, lalu bersandar. Tangan Sansan membelai pipi mulus Zidan. Tatapan Sansan yang tak beralih sedikit pun dari Zidan membuat pria itu ikut terpana. Wanita itu jika dilihat dari dekat memang sangat cantik. Zidan meneguk salivanya susah. Kenapa ia mudah sekali terpikat? "Zidan, aku mau kamu menikahiku," ucap Sansan lembut, semakin membuat Zidan menegang. "Aku tidak bisa menikahi orang yang tidak aku cintai," ucap Zidan cepat.
Sansan masih berdiri mematung, menatap perusahaan besar yang terpampang di hadapannya sekarang. Jadi inikah perusahaan yang dipimpin Zidan? Leonli Grup. Perusahaan turun-temurun dari keluarga Leonli, yang cabangnya ada di mana-mana. Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. "Kenapa masih berdiri di situ? Ayo masuk!" suruh Zidan. Sansan mengangguk, ia pun berjalan mengikuti suaminya masuk ke dalam. Bukannya bergandengan, Zidan malah berjalan di depan dan Sansan mengikuti di belakang. Sansan mendengkus pelan, ia seperti tidak dianggap sebagai istri. Semua mata karyawan yang melihat Zidan datang bersama seorang wanita itu membuat heboh, bahkan mereka langsung berbisik-bisik membicarakan wanita yang mereka yakini istri Zidan. "Oh, itu istri Pak Zidan. Pendek, ya." "Iya. Gayanya juga nggak banget, deh." "Selera Pak Zidan kok jadi rendah gitu, sih." "Kayak anak-anak gitu nggak, sih?" Raqib yang mendengar pembicar
Zidan tak bisa membendung air matanya. Di depannya terdapat gundukan tanah yang masih bewarna kemerah-merahan, bersama papan nisan yang baru saja ditancapkan.Zidan mengusap air matanya. Penyesalan memang datangnya di akhir, jika datang di awal, mungkin Zidan tidak akan menangis di sini sekarang."Maaf," lirih Zidan mengusap papan nisan itu."Maafin aku, Zid," lirihnya. Gigi Zidan gemertak, tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.Seseorang yang sangat ia cintai, yang Zidan harapkan hidup bahagia bersamanya, ternyata dengan cepat meninggalkan Zidan.Isakan Zidan terdengar jelas. Air matanya berlinang deras. Hanya menangis yang mampu Zidan lakukan sekarang.Apakah ia sudah gagal? Zidan gagal sebagai ayah. Ia terlalu bodoh."Maafin aku, Zid. Maafin aku, nggak bisa nyelamatin anak kita. Gara-gara aku, anak kita tidak jadi lahir dengan selamat!"Bayi Zidan dan Sansan tak berhasil diselam
Sansan hanya bisa terbungkam, tak dapat berbicara. Benarkah seorang Raqibta, sepupu yang paling dekat dengannya ternyata membencinya selama ini?Apa salah Sansan? Apa yang sudah diperbuat Sansan sampai Raqib membencinya?Mobil Raqib menepi untuk berhenti. Keduanya sama-sama tak membuka suara, keheningan pun melanda."Kenapa lo bisa benci sama gue?" tanya Sansan.Raqib tertawa pelan. "Lo masih tanya kenapa?""Gue bahkan masih anggap omongan lo tadi bercanda, Ra. Lo nggak nge-prank gue, kan?" tanya Sansan yang masih setengah percaya."Buat apa gue buang-buang waktu nggak jelas gitu. Gue ulangi sekali lagi. Gue ... benci sama lo!" Nada bicara Raqib pun berubah dratis, tak seperti biasanya.Air mata Sansan lolos begitu saja. Ia menepuk-nepuk pipinya, memastikan sekali lagi apakah ini mimpi buruknya, akan tetapi Sansan harus menerima pahitnya kenyataan jika ini semua adalah nyata."Gue
Kejujuran itu menyakitkan jika diungkapkan, tetapi juga pahit jika disembunyikan. ~Lanlia***Beberapa bulan kemudian ....Kini, kandungan Sansan sudah memasuki bulan ke-9. Ia sudah sering marathon dan memperbanyak gerak, agar nanti proses persalinan lebih lancar.Rumah tangga yang dijalani Sansan dan Zidan tentunya tidak selalu berjalan mulus. Apalagi saat Sansan baru mengetahui, jika suaminya itu sangatlah pencemburu.Saat itu, Sansan tak sengaja bertemu dengan teman SD-nya yang laki-laki dan dilihat oleh Zidan, suaminya itu langsung cemburu dan mendiamkannya selama dua hari. Padahal teman cowok Sansan itu hanya mengundangnya ke acara pernikahannya.Sansan kadang tertawa melihat Zidan yang sangat posesif, akan tetapi jika terlalu cemburuan jugalah tak baik. Harusnya mereka saling percaya saja, kan?"Zid, kandungan kamu sudah besar, ya, udah kayak sembilan bulan aja. Padahal tiga bulan lagi b
Sansan tersentak dari tidurnya. Entah kenapa suasana tampak mengusiknya yang sedang terlelap. Mata Sansan mengerjap. Gelap! Pantas saja. Dirinya, kan, tak bisa tertidur jika mati lampu.Sansan meraba ke samping. Kosong! Ke mana Zidan? Kenapa suaminya itu tak berada si sebelahnya? Namun, Sansan tak sengaja menyentuh sesuatu di bantal Zidan. Tiba-tiba ada cahaya yang menerangi kamar. Lampu kelap-kelip pun tampak mengelilingi seisi kamar. Sansan pun terduduk di atas kasurnya.Apa yang terjadi? Sansan masih terheran-heran. Ia pun terkejut menatap lantai kamar yang sudah berserakan kelopak mawar merah. Sansan pun berniat turun. Ia juga terkejut, karena melihat pintu balkon kamarnya terbuka.Kaki Sansan pun tergerak untuk melangkah ke arah balkon. Ia seperti menatap bayangan seseorang di sana. Jangan-jangan maling, pikir buruk Sansan.Saat dirinya sampai di balkon. Tidak ada siapa-siapa. Sansan menatap ke langit malam yang bertabur binta
Apa yang terjadi semalam? Kenapa bisa ada Sansan palsu? Ini semua ternyata sudah menjadi rencana dari Sansan sendiri.Setelah Zidan selesai menelepon kemarin. Sansan sangat panik. Ia tak tahu harus berbuat apa dan memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam jika Zidan tahu rahasianya.Namun, selang beberapa menit, ketukan pintu memecahkan lamunan Sansan. Ia pun segera ke ruang depan untuk melihat siapa tamu yang tak diundang itu datang.Mata Sansan melebar saat mengetahui siapa yang datang. Refleks Sansan pun memeluk seseorang itu."Raqib," lirih Sansan pelan.Ya, yang datang ke rumahnya tiba-tiba itu adalah Raqibta. Ada apa Raqib datang kemari? Bukannya ia sudah kecewa dan tak ingin bertemu Sansan lagi? Setelah pernyataan yang diungkapkan Sansan dulu, Raqib sama sekali tak menghubungi Sansan lagi, bahkan nomor Sansan dibloknya. Mereka putus kontak.Maka dari itu, melihat Raqib datang kemari, membuat Sans
Malam ini, Zidny benar-benar sudah berada di taman. Ia pun hanya menunggu kedatangan Zidan yang katanya sebentar lagi sampai.Sebenarnya Zidny begitu deg-degan, tetapi ia berusaha menyembunyikannya dan mencoba terlihat biasa saja. Zidny tak boleh lengah.Taman ini begitu ramai. Orang berlalu-lalang dan terdapat banyaknya yang menjual berbagai makanan. Tak dipungkiri jika Zidny tergoda untul mencicipinya. Akan tetapi, ia sudah membawa bekal. Zidny membawa kue yang ia buat siang tadi—spesial untuk Zidan."Hmm ... kue ini, kan, emang untuk Mas Zidan. Nggak-nggak, aku harus beliin satu lagi!"Zidny lalu melangkah membeli beberapa makanan yang tampak di depan matanya, ada sate, bakso, cilok, dan somay."Nah, lengkap!" ucapnya. Ia pun kembali duduk di kursi yang dilengkapi meja itu."Mana, sih, Mas Zidan. Katanya bentar lagi," ucap Zidny kesal."Ini udah datang," ucap Zidan tiba-tiba sudah ber
Saat Zidan pulang, ia sudah melihat istrinya menangis. Buru-buru pria itu menghampiri Zidny dengan perasaan cemas."Zid, kamu kenapa?" tanya Zidan."Ngg--nggak pa-pa, kok, Mas.""Kamu ... ingat Nenek lagi, ya?"Walaupun bukan itu penyebab sebenarnya Sansan menangis, tetapi ia benarkan saja, agar Zidan tidak curiga."Ya udah, jangan sedih lagi, ya," ucap Zidan merengkuh badan istrinya itu ke pelukan."Baksonya mana?" tanya Sansan, karena Zidan masuk kamar tanpa membawa apa pun."Ada di dapur. Nggak mungkin aku bawa ke kamar. Ya udah, ayo makan dulu," ajak Zidan. Tangannya menyeka air mata istrinya yang masih berbekas di pipi."Penjualnya botak, kan?" tanya Sansan memastikan."Iya, botak. Nih, fotonya." Zidan memperlihatkan foto penjual bakso tadi yang sudah berkepala botak."Ih, kamu hebat!" Sansan berbinar-binar. Aneh sekali ngidam istrinya itu.
Daritadi Zidan sudah berkeliling mencari tukang bakso. Ia mengacak rambut frustrasi. Sebenarnya sudah banyak penjual bakso yang ia temukan, tetapi penjualnya tidak ada yang botak. Sesulit inikah menjadi penjual bakso yang berkepala pelontos? Lagipula ngidam istrinya sangatlah aneh. Zidan menyesal menganggap ini hal yang mudah.Telepon Zidan berdering. Nama Zidny muncul di layar, buru-buru Zidan mengangkatnya."Halo, Zid?""Kamu ke mana aja, sih? Kok nggak pulang-pulang."Lah? Pertanyaan macam apa itu?"Aku lagi beliin bakso buat kamu.""Oh, iya. Terus, udah dapat belum, Mas?""Belum. Penjualnya berambut semua. Gapapa, ya, yang berambut?""Nggak mau!""Ya udah, aku keliling lagi, nih.""Oke, Mas."Telepon pun dimatikan. Zidan kembali memutar setir mobilnya. Ke mana lagi ia harus mencari penjual bakso yang tak berambut?Siapa pun t
Untuk merayakan atas kehamilan cucu pertama. Wanti mengadakan syukuran yang dihadiri teman-teman sosialitanya. Wanti sangat senang, karena sebentar lagi akan menjadi nenek. Ya, itulah yang ia nanti-nantikan sejak dulu. Makanya ia sangat nyinyir menyuruh Zidan untuk menikah."Wan, menantumu cantik, ya.""Iya, Wan. Keliatannya juga sholeh, ya. Duh, beruntung anakmu.""Menantumu juga keliatan lebih muda, ya."Sansan hanya bisa tersenyum malu-malu saat teman-teman mertuanya itu memujinya terang-terangan. Tiba-tiba Wanti merangkul bahu Sansan."Iya, dong. Menantu siapa dulu," ujar Wanti dengan sombongnya, membuat teman-temannya tertawa. Sansan hanya bisa tersenyum kikuk. Apakah mertuanya itu akan tetap seperti ini, jika rahasia itu terbongkar?"Eh, iya. Sudah berapa bulan itu kandungannya?" tanya Meri menatap perut Sansan yang sudah sedikit menonjol."Emm ...." Sansan kebingungan menjawab. Tidak mu