Sansan menatap Nuni yang sejak tadi tersenyum sambil menatap ke luar kaca mobil. Ya, Sansan memang memakai mobil untuk mengantarkan neneknya ke rumah sakit.
"Nek? Nenek ...."
"Eh, iya. Ada apa, Nak?"
"Nenek kenapa? Kok dari tadi senyum-senyum gitu?" tanya Sansan heran.
"Tidak apa-apa, Nak. Nenek cuma lihatin pemandangannya, bagus."
Sansan semakin dibuat heran. Bagus apanya? Jika jalanan yang dilewati mereka hanyalah jejeran motor dan mobil yang berdempetan, karena sedang situasi macet.
Sansan teringat dengan wanita yang duduk bersama neneknya di ruang tunggu tadi. Apakah ada kaitannya dengan wanita itu? batin Sansan.
"Oh ya, Nek. Aku boleh nanya, nggak?"
"Nanya apa, Nak?"
"Tante yang di sebelah Nenek tadi siapa? Nenek kenal sama dia?" tanya Sansan. Ia juga sedikit heran melihat tatapan ibu itu padanya.
"Emang kenapa, Nak?"
"Tante itu natap aku dalam banget, Nek. Aku pikir Nenek kenal sama dia."
"Ya. Nenek kenal sama dia," ucap Nuni yang membuat Sansan langsung menoleh.
"Dia siapa, Nek?"
"Setelah sampai rumah Nenek ceritain, ya."
"Kenapa nggak sekarang aja, Nek?"
"Sekarang kamu lagi nyetir, tidak baik diajak bercerita, nanti bahaya, Nak."
"Hm, ya udah, deh."
Sansan harus bersabar menunggu sampai rumah. Sansan jadi penasaran. Ada hubungan apa neneknya dengan wanita itu?
***
Setelah sampai rumah. Sansan langsung menuntut cerita Nuni, karena ia sudah terlanjur dibuat penasaran.
"Ayolah, Nek, cerita!" bujuk Sansan.
"Iya, Nak. Sabar, ini Nenek mau cerita."
"Ya udah. Ayo, Nek."
"Wanti adalah anak sahabat Nenek. Nama sahabat Nenek adalah Mina. Nenek sudah bersahabat sejak kecil sama Mina, tapi ... sejak Mina menikah, kita sudah jarang bertemu. Nenek pun sudah menikah dengan kakek kamu. Satu tahun setelah Mina menikah, dia datang ke rumah Nenek. Dia bilang jika suaminya selingkuh dan tidak bertanggung jawab. Lalu, karena Nenek tidak tega, apalagi melihat Mina sudah mempunyai bayi. Nenek membiarkan mereka tinggal di sini sama-sama. Nah, anak Mina adalah Wanti, seumuran sama Rita, mama kamu, Nak."
Sansan langsung memutar bola matanya malas mendengar nama mamanya itu disebut.
"Dua tahun mereka tinggal di sini. Sampai akhirnya, Mina kecelakaan dan dia meninggal di tempat. Saat itu, Wanti tidak pergi bersama Mina, karena Wanti asyik bermain dengan Rita. Setelah itu, Neneklah yang membesarkan Wanti seperti anak sendiri dan menyekolahkan dia. Sampai akhirnya saat Wanti ingin masuk SMA, dia dijemput oleh ayahnya untuk tinggal bersamanya. Ayahnya menyrsali perbuatannya yang sudah menelantarkan istri dan anaknya. Setelah itu, Wanti dibawa ke Makasar dan Nenek tidak pernah lagi bertemu dengannya."
"Begitulah ceritanya, Nak. Nenek baru tahu, jika ia sudah kembali tinggal di sini lagi. Nenek senang bisa bertemu lagi dengannya."
Sansan hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Setidaknya cerita Nuni sudah mengobati rasa penasarannya.
"Oh, seperti itu ceritanya. Hm, tapi Tante Wanti itu baik nggak, Nek?"
"Baik, Nak."
"Nggak kayak Mama, kan?" tanya Sansan.
"Ngg--nggak, Nak." Nuni mengusap bahu cucunya itu. Ia menatap sendu ke arah Sansan.
"Ya udah, deh. Aku mau ke kamar dulu ya, Nek."
Sansan beranjak dari situ. Nuni menatap punggung cucunya. Tidak tega melihat sang cucu tidak dibahagiakan oleh orang tuanya sendiri. Namun, Nuni berjanji akan selalu menemani Sansan.
***
Wanti menanti kepulangan anaknya dengan gembira. Hal itu membuat Zidan sedikit heran melihat perubahan sikap Mamanya yang tidak biasa.
"Kamu udah makan? Mau makan dulu?" tanya Wanti membukakan jas yang dipakai Zidan.
"Mama kenapa?"
"Ya udah, makan dulu sini. Mama siapin."
"Ma ...."
"Apa, Sayang? Sini, makan dulu sama Mama. Ada cumi-cumi kesukaan kamu," ucap Wanti mengambilkan nasi untuk Zidan.
"Mama kayaknya lagi bahagia banget. Ada apa, sih, Ma?"
"Kamu makan aja dulu."
Zidan mengangkat bahu tidak acuh. Ia lalu mulai menyuapkan nasi itu ke mulutnya. Memakan hingga habis. Wanti dengan senantiasa menunggu Zidan selesai makan.
"Zi," panggil Wanti.
"Iya, Ma."
"Mama kasih waktu dua minggu lagi untuk kamu mencari calon istri. Jika kamu tidak berhasil mendapatkannya, maka Mama sendiri yang akan carikan calon istri untuk kamu."
"Ta--tapi, Ma."
"Tidak ada tapi-tapian. Jika kamu nggak mau menikah, maka Papa akan membawa kamu ke London dan menetap di sana mengurus kerjaan. Artinya, kamu tidak akan pernah menikah."
"Loh, Ma ...."
"Cari sendiri atau Mama yang carikan." Setelah mengatakan itu, Wanti bangkit dan melangkah pergi dari meja makan meninggalkan Zidan yang tampak sudah frustrasi. Urusan kantor saja sudah membuatnya sakit kepala. Apalagi urusan pernikahan.
"Mama kira gampang cari istri!" ujar Zidan kesal.
***
Esoknya, Sansan kembali ke rumah Raqib dan Atid. Mereka akan membicarakan kembali pembahasan mengenai Zidan.
"Jadi, setelah lo jadi mata-mata di kantor itu. Apa aja yang lo lihat?" tanya Sansan kepada Raqib terlebih dahulu.
"Hmm, gue denger, nih, ya. Pak Zidan itu mau menikah sekitar dua minggu lagi."
"Hah, menikah? Sama siapa?"
"Ya, mana gue tahu. Tapi gosipnya dia udah putus sama pacarnya."
"Putus? Terus, dia mau nikah sama siapa kalau gitu?"
"Ya mana gue tahu, San ... San. Mungkin aja ada pacar baru."
Sansan menggeleng. Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Jika Zidan menikah dengan orang lain. Nasibnya bagaimana? Zidan sudah merenggut keperawanannya.
Bagaimana jika Sansan hamil anaknya Zidan? Tidak, jangan sampai itu terjadi.
"Kalau lo, Tid? Lo dapat info apa?" tanya Sansan.
"Hmm, Zidan adalah anak dari Alex Leonli, Pengusahan Tambang terbesar. Zidan anak satu-satunya. Umurnya dua puluh delapan tahun dan berstatus jomlo sekarang. Dia memiliki sifat dingin dan datar kepada cewek-cewek lain dan akan bersikap manis pada orang yang dicintainya. Info gue dapatkan dari analisis sosial medianya," ucap Atid panjang kali lebar.
"Hmm, oke thanks."
"Udah, gitu doang? Traktir, kek!" ucap Raqib diangguki setuju oleh Atid.
"Ya udah, deh. Gue traktir cilok."
"Eh, bakso, dong semangkok."
"Banyak maunya lo!"
"Ya iya, dong. Sekali-kali," ucap Raqib menaik-turunkan alisnya.
"Ya udah, ayo!"
***
Satu minggu lebih sudah berlalu. Namun, usaha Zidan belum juga membuahkan hasil. Itu membuat senyum Wanti semakin lebar. Ia merasa Zidan akan kalah dan ia akan memenangkan semua ini.
"Nyerah aja, Sayang. Mama punya calon istri yang baik untuk kamu," ucap Wanti.
"Nggak, Ma. Zidan pasti bisa menemukan calon istri sendiri."
"Ya udah. Silakan," ucap Wanti mengangkat bahunya.
Zidan sudah seperti cacing kepanasan. Ia ingin mencari wanita yang di club malam itu, karena Zidan ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, Zidan seperti kehilangan jejak, karena ia tidak mengetahui keberadaan gadis itu di mana sekarang.
Zidan sangat bodoh, karena ia memberikan kartu namanya, tetapi ia tidak meminta kartu nama gadis itu. Bahkan Zidan tidak mengetahui namanya. Ah, Zidan sangat bodoh.
"Zi ... Zi!" teriak Wanti.
"Iya, Ma?"
"Zi, gawat, Nak."
"Gawat kenapa, Ma?" tanya Zidan heran.
"Kita harus ke rumah Om Risman sekarang."
Risman adalah adik dari Alex—ayah kandung Zidan.
"Kenapa, Ma?" tanya Zidan.
"Doni hilang," ucap Wanti heboh.
"Hah?"
"Udah, cepat antarkan Mama ke sana."
Ia harus segera mengantarkan Wanti sekarang juga, jika tidak, maka ia akan menerima omelan dari Wanti.
***
Hari berganti hari. Siang dengan cepat berganti dengan malam dan begitu seterusnya. Tidak terasa tinggal satu hari lagi waktu yang diberikan oleh Wanti untuknya.
Di balik itu, tanpa sepengetahuan Zidan. Wanti sudah mempersiapkan semuanya. Bahkan ia sudah memiliki calon istri dan melengkapi semuanya.
Bahkan Wanti sudah mengurus sidangnya mereka, tidak terlalu sulit karena paman Zidan ada yang bekerja di pengadilan agama. Semua sudah siap dan bersih oleh Wanti yang mengurusnya bersama seseorang tentunya. Seseorang yang menyetujui kesepakatan mereka berdua.
"Siap-siap ya, Sayang. Dua hari lagi kamu akan menikah," ucap Wanti tersenyum kemenangan.
Zidan hanya mengabaikan dan berjalan keluar rumah. Sepertinya ia harus pasrah dan mengikuti saja keinginan mamanya.
Tiba-tiba ponsel Zidan berdering menandakan adanya panggilan masuk. Ia segera mengangkat telepon itu.
"Halo?"
"Bisa ketemuan sekarang di kafe biasa? Ada yang mau aku katakan."
"Oke."
Zidan menutup panggilannya dan langsung masuk ke mobilnya. Ia menjalankan mobil menuju kafe.
***
"Ada apa?" tanya Zidan menarik kursi di depannya dan langsung duduk.
"Mau pesan makanan dulu?"
"Nggak usah. Langgsung aja. Mau ngomong apa?"
Gadis di hadapan Zidan adalah Reni. Untuk apa ia menyuruh Zidan datang kemari? Bukankah ia mengatakan tidak ingin bertemu dengan Zidan lagi?
"Ak--aku menyesal," ucap Reni terisak. Air mata sudah jatuh dari pelupuk matanya.
"Ak--aku sudah salah meninggalkan kamu. Seharusnya aku memilih kamu."
"Kenapa ngomong gitu?"
Reni menarik tangan Zidan dan menggenggamnya erat.
"Nikahi aku, Mas."
Zidan membelalakkan matanya tak percaya mendengar ucapan Reni. Apa ia tidak salah dengar?
"Kamu mau menikahi aku, kan? Aku sudah siap. Kamu ingin menikahi aku, kan? Sekarang waktunya, Mas."
Zidan menatap mata Reni yang berkaca-kaca. Sepertinya gadis itu benar-benar menyesali sikapnya kemarin.
"Bagaimana? Kamu mau nikahi aku, kan?" tanya Reni mengulang.
Zidan benar-benar mati kutu sekarang. Apa jawaban yang terbaik diberikannya? Apakah ia akan memilih Reni untuk menikah dengannya?
Lalu, bagaimana dengan Sansan?
****
Bersambung
***
Golden Scene Next Chapter, Guys. Tungguin, ya. Hehe.
Terima kasih yang udah baca. Maafkan segala kekurangan, karena aku baru belajar hehe.
Salam hangat,
~Amalia Ulan
Hari itu tiba, di mana sang dua insan diperasatukan dalam status pernikahan. Dua pengantin yang akan menempuh hidup baru. Zidan sudah bersiap, jantungnya berdetak kencang tak seperti biasanya. Tangan Zidan dingin dan peluhnya sudah membasahi pelipis. "Mama kecewa sama kamu," ucap Wanti dengan raut muka kecewa pada Zidan. "Tapi aku, kan, berhasil mendapatkan calon istri sendiri, Ma." "Bukan Reni yang Mama harapkan. Mama sudah menyiapkan calon istri yang baik untuk kamu, tapi sekarang kamu nggak jadi menikahi dia!" "Aku nggak tahu siapa gadis pilihan Mama, jadi nggak ada kewajiban bagi aku menikahi dia, Ma." "Intinya, Mama kecewa sama kamu," ucap Wanti keluar dari kamar Zidan. Ia hanya bisa menghela napas gusar. Dering ponsel Zidan langsung mengalihkan perhatian pria itu. Nomor tidak dikena muncul di layar HP Zidan. Siapa, ya? tanya Zidan dala hati, tanpa pikir panjang ia langsung mengangkat telepon. "Hallo?"
"Aku mau ngomong sesuatu," ucap Zidan yang membuat jantung Sansan berdetak tak karuan. Apakah Zidan mengetahui siapa Sansan yang sebenarnya? "Saya tahu kau pun sama kagetnya dengan pernikahan dadakan ini, tapi kau tenang saja, saya akan menafkahimu dan memberikan semua kebutuhanmu." Dahi Sansan mengkerut saat Zidan berubah berbicara formal padanya. Ia jadi bingung untuk menjawab. "Terima kasih, Pak Zidan." Mata Zidan melotot saat wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu memanggilnya dengan sebutan Pak. Apa ia tak salah dengar? "Kau memanggilku Pak?" Sansan menunduk, menahan cekikikan yang akan keluar dari mulutnya. "Iya, karena aku tahu Pak Zidan tampak lebih dewasa. Sangat jauh dengan umurku yang masih belasan," ucap Sansan sopan, dengan suara yang lembut dan pelan. Zidan mengusap mukanya pelan. Baru mengetahui jika istrinya adalah seorang remaja. Apakah mamanya tak salah pilih? "Jadi,
"Zidny, kamu pikir saya mau bermain dengan anak kecil seperti kamu?"Sansan terdiam. Sedikit lega, karena ucapan Zidan bukanlah yang ia takutkan."Ambil selimut, tidur di sofa!" suruh Zidan."Kok di sofa, Pak? Kan kasurnya masih lapang," protes Sansan pelan."Jangan banyak protes. Cepat tidur di sana!" suruh Zidan. Sansan mengangguk saja, ia menarik selimut lalu membawanya ke sofa yang ada di kamar itu.Sansan langsung membaringkan badannya di sofa, walaupun sofa itu kecil, tetapi masih bisa menampung badan mungil Sansan.Zidan lalu mematikan lampu. Ia pun membaringkan badan di kasur, dengan keadaan gelap seperti ini, ia tak akan bisa melihat wajah anak kecil itu, pikir Zidan.Sedangkan Sansan, ia tak terbiasa tidur dalam keadaan gelap. Sansan lebih suka tidur dengan lampu yang menyala. Setidaknya ada sedikit penerangan. Namun, sekarang semuanya gelap."Aku nggak bisa tidur kalau gini," ucap Sansan pelan. Ia lalu me
Tak terasa, matahari sudah berganti tugas dengan bulan yang menemani malam. Zidan berjalan mondar-mandir sembari menggigit ibu jarinya. Bagaimana jika wanita itu meminta pertanggungjawabannya? Zidan sudah menikah, bisa kacau semuanya. Sansan yang sejak tadi memperhatikan Zidan hanya menyunggingkan senyum sinis. Ia lalu memainkan ponsel di tangannya sebentar. Setelah itu, Sansan meletakkan ponselnya di nakas. Ia dan Zidan sama-sama di dalam kamar. Namun, Zidan tak menganggap ada Sansan di sana. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Bunyi notifikasi HP Zidan langsung mengalihkan perhatian pria itu, ia pun segera mengambil HP-nya yang tergeletak di kasur. Ada satu pesan belum terbaca. Zidan pun membuka pesan itu. 'Bagaimana? Jadi ketemuan sekarang, kan, Tuan Zidan Leonli Terhormat?' Zidan kembali mondar-mandir tak jelas sembari memegang ponselnya. "Ada apa denganmu, Pak?" tanya Sansan pura-pura tidak tahu.
Sansan masih terdiam. Jantungnya berdetak kencang. Sansan kembali melihat Zidan yang menatapnya."Ya. Aku mencintaimu, Ren! Aku mencintaimu. Kenapa kamu tega selingkuhin aku, Ren? Kenapa kamu malah ...." Tiba-tiba Zidan memeluk badan Sansan membuat wanita itu terkejut.Sansan memutar bola matanya malas, sakit hati mendengar peruturan Zidan yang ternyata bukan mencintainya, tetapi dihantui bayang-bayang mantan. Sansan mendengkus pelan, ia pun mendorong badan Zidan melepaskan pelukannya. Namun, Zidan kembali memeluk Sansan.Akhirnya, wanita itu pasrah saja. Pasrah dianggap mantan Zidan yang amat ia cintai. Sansan jadi penasaran dengan mantan Zidan."Sayang, di sini dingin. Kita ke kamar, yuk!" ajak Sansan, karena sudah mengantuk. Zidan mengangguk saja. Lalu, Sansan membopong badan Zidan ke lantai dua, masuk kamar di mana mereka pertama bertemu.Sansan membantu Zidan berbaring di sana. Laki-laki itu menurut saja, ia sudah mabuk berat dan sulit t
"Hallo, Zid. Ini gue ... Alvian." Sansan terdiam sebentar. Apa tujuan sang mantan itu meneleponnya? "Zid. Gue mohon jangan ditutup teleponnya. Gue ada di belakang lo sekarang," ucap Alvian di seberang telepon. Mendengar kata di belakangnya, buru-buru Sansan menoleh, membalikkan sebagian badannya menatap pria yang sedang menelepon Sansan sekarang. Namun, Sansan kembali menatap depan, mengabaikan sosok Alvian yang berdiri di belakang. "Mau apa lo?" tanya Sansan cepat. "Gue ... gue ...." "Ish, cepetan. Mau apaan, ha?" "Gue kangen sama lo, Zid." Degh! Kenapa suara itu semakin mendekat? Sansan tak bisa mengelak, karena Alvian sudah berada di belakang punggungnya sekarang. Reni yang memperhatikan sejak tadi yakin, jika Sansan memiliki hubungan spesial dengan pria itu. Tampak dari sorot mata Alvian yang sangat mencintai Sansan. "Ih, nggak usah pegang-pegang!" ucap Sansan melepaskan rangkulan
"Kamu telat lima puluh tujuh detik, artinya kamu harus dikasih hukuman." Suara Zidan yang baru saja masuk ke kamar langsung membuat Sansan terkejut, karena ia masih memasang sepatu. "Kan, tadi katanya kalau telat satu menit, Pak," protes Sansan. "Sama saja. Kamu tetap tidak on time. Hukumannya, buatkan saya kopi. Kita berangkat tiga puluh menit lagi," ucap Zidan dengan santainya, lalu berjalan ke kamar mandi. Sansan melebarkan matanya. Lalu, untuk apa tadi ia buru-buru jika tidak sekarang juga perginya? Argh, ingin rasanya Sansan mengetuk kepala Zidan. "Sabar, sabar. Huft," ucap Sansan mengelus dada pelan. Ia pun akhirnya keluar kamar pergi ke dapur untuk membuatkan suaminya itu segelas kopi. "Gini amat dapat suami," omel Sansan. "Loh, Zid. Nggak jadi pergi?" tanya Wanti yang berada di dapur. "Jadi kok, Ma. Pak--eh, Mas Zidan minta dibuatin kopi dulu katanya," jawab Sansan. "Oh. Ya udah. Zidan itu suka kopi manis, j
Sansan menatap punggung Zidan yang membelakanginya. Wanita itu masih penasaran, apakah benar suaminya itu tadi meminum kopi asin yang ia buatkan? Lalu, apa alasan Zidan tidak jadi pergi? Ia tak yakin jika pria itu hanya mengajaknya jalan di rumah seperti yang ia katakan tadi. "Pak," panggil Sansan. "Hm," gumam Zidan yang masih memunggungi Sansan. Mereka sedang berbaring di kasur dengan posisi Zidan yang tidur membelakangi istrinya. "Pak Zidan beneran minum kopinya?" tanya Sansan. Zidan yang tadinya memejamkan mata, langsung membuka kelopak matanya. "Menurut kamu?" "Masa, sih, Pak? Apa Pak Zidan nggak mual?" "Masih saja bertanya." Sansan pun akhirnya bungkam. Apakah benar? Dalam hati Zidan terkekeh geli, ia tak meminumnya, Zidan hanya punya firasat buruk, karena aroma kopi itu sudah beda. Tadi, saat Zidan menyuruh Sansan ke dapur, ia menyicipi sedikit dengan ujung lidahnya. Ternyata benar,
Zidan tak bisa membendung air matanya. Di depannya terdapat gundukan tanah yang masih bewarna kemerah-merahan, bersama papan nisan yang baru saja ditancapkan.Zidan mengusap air matanya. Penyesalan memang datangnya di akhir, jika datang di awal, mungkin Zidan tidak akan menangis di sini sekarang."Maaf," lirih Zidan mengusap papan nisan itu."Maafin aku, Zid," lirihnya. Gigi Zidan gemertak, tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.Seseorang yang sangat ia cintai, yang Zidan harapkan hidup bahagia bersamanya, ternyata dengan cepat meninggalkan Zidan.Isakan Zidan terdengar jelas. Air matanya berlinang deras. Hanya menangis yang mampu Zidan lakukan sekarang.Apakah ia sudah gagal? Zidan gagal sebagai ayah. Ia terlalu bodoh."Maafin aku, Zid. Maafin aku, nggak bisa nyelamatin anak kita. Gara-gara aku, anak kita tidak jadi lahir dengan selamat!"Bayi Zidan dan Sansan tak berhasil diselam
Sansan hanya bisa terbungkam, tak dapat berbicara. Benarkah seorang Raqibta, sepupu yang paling dekat dengannya ternyata membencinya selama ini?Apa salah Sansan? Apa yang sudah diperbuat Sansan sampai Raqib membencinya?Mobil Raqib menepi untuk berhenti. Keduanya sama-sama tak membuka suara, keheningan pun melanda."Kenapa lo bisa benci sama gue?" tanya Sansan.Raqib tertawa pelan. "Lo masih tanya kenapa?""Gue bahkan masih anggap omongan lo tadi bercanda, Ra. Lo nggak nge-prank gue, kan?" tanya Sansan yang masih setengah percaya."Buat apa gue buang-buang waktu nggak jelas gitu. Gue ulangi sekali lagi. Gue ... benci sama lo!" Nada bicara Raqib pun berubah dratis, tak seperti biasanya.Air mata Sansan lolos begitu saja. Ia menepuk-nepuk pipinya, memastikan sekali lagi apakah ini mimpi buruknya, akan tetapi Sansan harus menerima pahitnya kenyataan jika ini semua adalah nyata."Gue
Kejujuran itu menyakitkan jika diungkapkan, tetapi juga pahit jika disembunyikan. ~Lanlia***Beberapa bulan kemudian ....Kini, kandungan Sansan sudah memasuki bulan ke-9. Ia sudah sering marathon dan memperbanyak gerak, agar nanti proses persalinan lebih lancar.Rumah tangga yang dijalani Sansan dan Zidan tentunya tidak selalu berjalan mulus. Apalagi saat Sansan baru mengetahui, jika suaminya itu sangatlah pencemburu.Saat itu, Sansan tak sengaja bertemu dengan teman SD-nya yang laki-laki dan dilihat oleh Zidan, suaminya itu langsung cemburu dan mendiamkannya selama dua hari. Padahal teman cowok Sansan itu hanya mengundangnya ke acara pernikahannya.Sansan kadang tertawa melihat Zidan yang sangat posesif, akan tetapi jika terlalu cemburuan jugalah tak baik. Harusnya mereka saling percaya saja, kan?"Zid, kandungan kamu sudah besar, ya, udah kayak sembilan bulan aja. Padahal tiga bulan lagi b
Sansan tersentak dari tidurnya. Entah kenapa suasana tampak mengusiknya yang sedang terlelap. Mata Sansan mengerjap. Gelap! Pantas saja. Dirinya, kan, tak bisa tertidur jika mati lampu.Sansan meraba ke samping. Kosong! Ke mana Zidan? Kenapa suaminya itu tak berada si sebelahnya? Namun, Sansan tak sengaja menyentuh sesuatu di bantal Zidan. Tiba-tiba ada cahaya yang menerangi kamar. Lampu kelap-kelip pun tampak mengelilingi seisi kamar. Sansan pun terduduk di atas kasurnya.Apa yang terjadi? Sansan masih terheran-heran. Ia pun terkejut menatap lantai kamar yang sudah berserakan kelopak mawar merah. Sansan pun berniat turun. Ia juga terkejut, karena melihat pintu balkon kamarnya terbuka.Kaki Sansan pun tergerak untuk melangkah ke arah balkon. Ia seperti menatap bayangan seseorang di sana. Jangan-jangan maling, pikir buruk Sansan.Saat dirinya sampai di balkon. Tidak ada siapa-siapa. Sansan menatap ke langit malam yang bertabur binta
Apa yang terjadi semalam? Kenapa bisa ada Sansan palsu? Ini semua ternyata sudah menjadi rencana dari Sansan sendiri.Setelah Zidan selesai menelepon kemarin. Sansan sangat panik. Ia tak tahu harus berbuat apa dan memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam jika Zidan tahu rahasianya.Namun, selang beberapa menit, ketukan pintu memecahkan lamunan Sansan. Ia pun segera ke ruang depan untuk melihat siapa tamu yang tak diundang itu datang.Mata Sansan melebar saat mengetahui siapa yang datang. Refleks Sansan pun memeluk seseorang itu."Raqib," lirih Sansan pelan.Ya, yang datang ke rumahnya tiba-tiba itu adalah Raqibta. Ada apa Raqib datang kemari? Bukannya ia sudah kecewa dan tak ingin bertemu Sansan lagi? Setelah pernyataan yang diungkapkan Sansan dulu, Raqib sama sekali tak menghubungi Sansan lagi, bahkan nomor Sansan dibloknya. Mereka putus kontak.Maka dari itu, melihat Raqib datang kemari, membuat Sans
Malam ini, Zidny benar-benar sudah berada di taman. Ia pun hanya menunggu kedatangan Zidan yang katanya sebentar lagi sampai.Sebenarnya Zidny begitu deg-degan, tetapi ia berusaha menyembunyikannya dan mencoba terlihat biasa saja. Zidny tak boleh lengah.Taman ini begitu ramai. Orang berlalu-lalang dan terdapat banyaknya yang menjual berbagai makanan. Tak dipungkiri jika Zidny tergoda untul mencicipinya. Akan tetapi, ia sudah membawa bekal. Zidny membawa kue yang ia buat siang tadi—spesial untuk Zidan."Hmm ... kue ini, kan, emang untuk Mas Zidan. Nggak-nggak, aku harus beliin satu lagi!"Zidny lalu melangkah membeli beberapa makanan yang tampak di depan matanya, ada sate, bakso, cilok, dan somay."Nah, lengkap!" ucapnya. Ia pun kembali duduk di kursi yang dilengkapi meja itu."Mana, sih, Mas Zidan. Katanya bentar lagi," ucap Zidny kesal."Ini udah datang," ucap Zidan tiba-tiba sudah ber
Saat Zidan pulang, ia sudah melihat istrinya menangis. Buru-buru pria itu menghampiri Zidny dengan perasaan cemas."Zid, kamu kenapa?" tanya Zidan."Ngg--nggak pa-pa, kok, Mas.""Kamu ... ingat Nenek lagi, ya?"Walaupun bukan itu penyebab sebenarnya Sansan menangis, tetapi ia benarkan saja, agar Zidan tidak curiga."Ya udah, jangan sedih lagi, ya," ucap Zidan merengkuh badan istrinya itu ke pelukan."Baksonya mana?" tanya Sansan, karena Zidan masuk kamar tanpa membawa apa pun."Ada di dapur. Nggak mungkin aku bawa ke kamar. Ya udah, ayo makan dulu," ajak Zidan. Tangannya menyeka air mata istrinya yang masih berbekas di pipi."Penjualnya botak, kan?" tanya Sansan memastikan."Iya, botak. Nih, fotonya." Zidan memperlihatkan foto penjual bakso tadi yang sudah berkepala botak."Ih, kamu hebat!" Sansan berbinar-binar. Aneh sekali ngidam istrinya itu.
Daritadi Zidan sudah berkeliling mencari tukang bakso. Ia mengacak rambut frustrasi. Sebenarnya sudah banyak penjual bakso yang ia temukan, tetapi penjualnya tidak ada yang botak. Sesulit inikah menjadi penjual bakso yang berkepala pelontos? Lagipula ngidam istrinya sangatlah aneh. Zidan menyesal menganggap ini hal yang mudah.Telepon Zidan berdering. Nama Zidny muncul di layar, buru-buru Zidan mengangkatnya."Halo, Zid?""Kamu ke mana aja, sih? Kok nggak pulang-pulang."Lah? Pertanyaan macam apa itu?"Aku lagi beliin bakso buat kamu.""Oh, iya. Terus, udah dapat belum, Mas?""Belum. Penjualnya berambut semua. Gapapa, ya, yang berambut?""Nggak mau!""Ya udah, aku keliling lagi, nih.""Oke, Mas."Telepon pun dimatikan. Zidan kembali memutar setir mobilnya. Ke mana lagi ia harus mencari penjual bakso yang tak berambut?Siapa pun t
Untuk merayakan atas kehamilan cucu pertama. Wanti mengadakan syukuran yang dihadiri teman-teman sosialitanya. Wanti sangat senang, karena sebentar lagi akan menjadi nenek. Ya, itulah yang ia nanti-nantikan sejak dulu. Makanya ia sangat nyinyir menyuruh Zidan untuk menikah."Wan, menantumu cantik, ya.""Iya, Wan. Keliatannya juga sholeh, ya. Duh, beruntung anakmu.""Menantumu juga keliatan lebih muda, ya."Sansan hanya bisa tersenyum malu-malu saat teman-teman mertuanya itu memujinya terang-terangan. Tiba-tiba Wanti merangkul bahu Sansan."Iya, dong. Menantu siapa dulu," ujar Wanti dengan sombongnya, membuat teman-temannya tertawa. Sansan hanya bisa tersenyum kikuk. Apakah mertuanya itu akan tetap seperti ini, jika rahasia itu terbongkar?"Eh, iya. Sudah berapa bulan itu kandungannya?" tanya Meri menatap perut Sansan yang sudah sedikit menonjol."Emm ...." Sansan kebingungan menjawab. Tidak mu