Share

Scene 1

Author: Fiafitria
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Menurut Wikipedia, New York adalah kota terpadat di Amerika serikat dan pusat wilayah metropolitan terpadat di dunia. Sebuah kota global terdepan, New York memberi pengaruh besar terhadap perdagangan, keuangan, media, budaya, seni, mode, riset, penelitian dan hiburan dunia. Sebagai markas besar perserikatan bangsa-bangsa, kota ini juga merupakan pusat hubungan internasional yang penting. Kota ini sering disebut New York City (disingkat NYC) atau City of New York untuk membedakannya dari negara bagian New York, tempat kota ini berada. Itu adalah informasi umum dan semua orang mengetahuinya.

Untuk seorang wanita muda berusia 23 tahun kota ini tidak pernah ada matinya dan sepertinya warga kota ini tidak pernah tidur, pagi hari pukul 07.45 A.M jalanan pusat Manhattan seperti biasa selalu ramai pejalan kaki dan pengendara. Bukan hal aneh lagi, berbagai macam orang berjalan untuk pergi melakukan aktivitasnya. Mungkin ada yang baru pulang bekerja, akan berangkat kerja, atau sekadar jalan-jalan dan dirinya adalah salah satu orang yang akan berangkat kerja dalam kondisi terburu-buru. Melewati jalan Fifth Avenue yang menjadi pusat perbelanjaan, tempat ini menyediakan berbagai macam barang dengan merk bergengsi sekelas Gucci atau Dior.

Sebuah gedung pencakar langit yang begitu megah di pandang mata SB production, SB Tv/Channel atau yang lebih dikenal sebagai Sunburn Company adalah perusahaan yang bergerak di bidang penyiaran, bertempat di sebelah barat jalan Fifth Avenue, pusat penyiaran ini sangat terkenal dengan segala macam siaran yang di sajikan baik itu secara nasional maupun internasional. Bisa di bilang Sunburn adalah stasiun terbaik di dunia setelah CNN, dengan menggaet beberapa penghargaan berkelas sebagai akomodasi penyiaran jempolan. Gadis setinggi 183 cm berjalan tergesa-gesa memasuki lobi gedung Sunburn, sesekali ia menaikkan tas ransel yang melorot di salah satu pundaknya sembari menunggu pintu lift terbuka.

Tak lama pintu lift terbuka, ia masuk bersama beberapa orang lainnya yang ikut menunggu, di dalam sudah penuh dengan beberapa karyawan Sunburn.

“Hei, lihatlah dia... Satu tahun masa magang langsung mendapatkan posisi enak di perusahaan ini tanpa pengetesan.” Seseorang berbisik di belakang si gadis yang memiliki iris sewarna permata emerald.

“Kau benar, aku saja untuk menjadi karyawan tetap di sini harus magang sampai menunggu tiga tahun lamanya. Pasti dia punya beking agar bisa masuk dan menjadi jurnalis dengan mudahnya.”

“Ku dengar ayahnya memiliki relasi dengan direktur utama Sunburn, sungguh licik sekali.”

Hela napas keluar dari bibir si gadis tinggi kala mendengar bisik-bisik yang mengarah padanya di belakang sana, bukan pertama kali ia mendapatkan gunjingan seperti tadi. Di tahun pertama dirinya bekerja di perusahaan ini, mereka sudah memasang wajah tak suka pada dirinya. Sebuah keberuntungan ia di angkat menjadi jurnalis tetap di Sunburn, memang sulit bagi perusahaan ini mencari jurnalis terpercaya, itu sebabnya mereka mengatakan kalau posisi ini adalah paling enak di bandingkan dengan bagian lain di perusahaan.

Ting!

Lift berhenti, gadis itu berjalan cepat keluar dari dalam mengabaikan beberapa orang yang tadi membicarakannya. Sungguh! Demi apapun di dunia ini, untuk masuk dan menjadi jurnalis di Sunburn dirinya pun membutuhkan perjuangan yang tidak sedikit. Untuk seumur hidupnya ia mengabdikan diri untuk profesi ini. Sebenarnya ia sudah muak dengan orang-orang yang memandangnya sebelah mata, apa salahnya ia melakukan pencapaian di usianya yang masih 23 ini?

Langkah kaki berhenti di sebuah ruangan dengan tulisan Studio 18, lampu on air telah berubah menjadi hijau. Sebuah keberuntungan karena dirinya tidak perlu menunggu lama, ia segera masuk ke dalam studio tersebut. Di sambut beberapa staf, kabel yang berseliweran di lantai dan beberapa kamera yang baru saja di pakai.

“Selamat pagi, Erdritter.” Sapa salah satu staf,gadis yang di sapa Erdritter itu tersenyum tipis.

“Selamat pagi, sir.” Sahutnya.

“Mencari Gilliard?” Tanyanya, kepala dengan Surai cokelat di ikat kuda mengangguk.

“Begitulah, di mana dia?”

“Althea!” Seru seseorang, staf tersebut menunjuk orang yang baru saja di tanyakan.

“Apa-apaan dengan penampilan mu itu?” Tanya Althea -gadis tadi- tertawa melihat rupa rekannya yang terlihat mengerikan, kantung matanya begitu tebal padahal wajahnya begitu manis untuk ukuran gadis barat.

“Dua kali jadwal siaran berita, sungguh mengerikan.” Jawab si gadis yang memiliki potongan rambut pendek pirang, ia memakai jaket untuk menutupi kemeja birunya. Namanya Viona Gilliard, seorang asisten pembawa berita.

“Jadwal tengah malam dan pukul enam pagi?” Tebak Althea, Viona mengangguk.

“Aku belum memiliki waktu tidur sama sekali, sungguh penyiksaan. Aku harap bisa jadi jurnalis sepertimu, Al.” Keluh Viona, Althe hanya terkekeh kecil. Keduanya keluar dari studio bersamaan.

“Apa kau ada jadwal laporan hari ini?” Tanya Viona karena jarang-jarang dirinya melihat Althea di kantor, sebuah gelengan sebagai jawaban.

“Aku sudah selesai dengan liputan ku kemarin di Los Angeles, bukankah kemarin kau sudah melihat hasilnya.” Viona mengangguk antusias kala mengingat berita khusus yang Althea liput.

“Aku tidak menyangka kalau kau bisa mengambil berita yang begitu epik untuk bagan editorial apalagi gambarnya, sungguh estetik sekali. Sisi lain dari seni Los Angeles, aku tidak bisa berhenti memikirkannya.” Ucap Viona, gaids cokelat itu hanya tersenyum kecil.

“Itu hanya liputan tentang seni saja.” Althea merendah.

“Tapi itu sangat bagus dan mengedukasi bagaimana bisa aku tidak mengatakan, kalau itu tidak bagus.” Meski tentang seni, Viona akui kalau setiap liputan yang di angkat Althea selalu menjadi terbaik. Mungkin itu salah satu alasan kenapa Althea kini menjadi jurnalis favorit di Sunburn.

“Baiklah, Viona. Berhenti memujiku.” Ujar Althea, karena merasa tak nyaman dengan beberapa karyawan lain yang memandangnya risih.

“Ayolah jangan pikirkan, mereka hanya iri.” Viona menyadari kalau Althea mulai tak nyaman dengan lingkungan kerja yang sedikit mengusiknya, Viona paham betul itu. Yang tidak ia mengerti adalah kenapa mereka begitu iri pada Althea, padahal gadis dengan wajah manis ini juga berjuang keras untuk pekerjaannya.

“Aku tidak pernah memikirkan apa pun, Viona.” Sahut Althea santai, Viona adalah sahabatnya sejak sekolah dasar dulu. Mereka memang sangat dekat, Althea sudah menganggap Viona sebagai bagian dari keluarganya.

“Apa kau akan langsung pulang?” Tanya Althea, Viona mengangguk.

“Tentu saja, aku ingin tidur.” Jawab Viona sambil menarik kantung matanya yang hitam, Althea tertawa kecil.

“Kau akan menemui Mrs. Clinton?” Tanya Viona.

“Begitulah, aku mau minta tempat peliputan selanjutnya.” Jawab Althea, Viona berdiri di depan lift.

“Baiklah, sampai bertemu lain waktu.” Viona melambaikan tangannya pada Althea seraya masuk ke dalam lift.

Divisi pemberitaan, berperan dalam produksi dan distribusi program berita. Divisi ini membawahi departemen peliputan, produksi, program khusus dan website. Setiap hari akan ada berita yang keluar masuk untuk di seleksi dan di siarkan, cukup sibuk dan ramai karena bukan hanya Althea yang akan memberikan laporan namun beberapa jurnalis senior lain juga sama seperti dirinya.

“Oh, Al! Kau masih hidup ternyata?!!” Seorang pemuda botak berseru girang saat melihat Althea, si pemilik manik hijau tersenyum dan melambaikan tangannya.

“Tentu saja aku masih hidup, kau pikir aku akan mati, Springbed?” Ejek Althea, pemuda bername-tag Zack itu tersenyum masam.

“Bisakah kau lebih sopan memanggilku, aku ini seniormu.” Ketusnya, Althea tertawa hingga matanya menyipit.

“Senior macam apa yang mencekoki juniornya dengan alkohol sampai terdampar di rumah sakit, hmm?” Tanya Althea dengan wajah menantang, Zack mengerang. Itu salahnya. Saat itu adalah perayaan Althea yang di angkat menjadi jurnalis tetap Sunburn, Zack dengan jahilnya mencampur soda yang di minum Althea dengan minuman berkadar alkohol tinggi hingga gadis cokelat itu tidak menyadarinya sama sekali. Althea yang memang dasarnya tidak tahan dengan alkohol harus rela lambungnya terluka dan memaksanya untuk tinggal sementara waktu di rumah sakit sementara Zack, di skors selama dua bulan dari pekerjaannya.

“Itu salahku, jangan di ungkit lagi.” Zack mengalah saja, tidak mau memperpanjang. Bersyukur karena Althea dirinya tidak jadi di pecat. Althea tersenyum penuh kemenangan, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Zack setelah meletakkan tas di kubikal-nya.

Tok... Tok... Tok

Althea mengetuk pintu kaca beberapa kali, sampai seorang wanita berambut silver memperbolehkannya masuk. Wanita tersebut mempersilakan Althea duduk di depan mejanya.

“Terima kasih untuk kerja kerasnya, Erdritter.” Ucap wanita tersebut.

“Untuk selanjutnya, kau akan terbang ke Indonesia.” Althea membelalakkan matanya kenapa harus negara itu?

“Anda ingin saya meliput apa disana, Mrs?” Tanya Althea, pasalnya adalah ia sedikit bingung untuk meliput apa di sana karena negara Indonesia terlalu banyak bahan untuk diangkat dalam liputannya.

“Kau bisa meliput apapun sesukamu, seperti biasa.” Jawab Mrs. Clinton enteng.

“Anda mau liputan seperti apa yang putih atau hitam?” Tanya Althea, Mrs. Clinton tersenyum lebar kala pertanyaan itu terlontar, inilah yang ia sukai dari jurnalis muda ini. Yang Althea maksud dari liputan putih atau hitam di sini adalah, liputan putih berarti sisi indah dari segala yang di beritakan dari suatu tempat atau objek, sementara liputan hitam adalah kebalikan dari liputan putih. Biasanya jika Althea mengambil opsi kedua untuk pemberitaan yang di angkatnya, gadis itu akan turun sampai seluk beluk objek yang akan di rekamnya. Semisalnya; tentang korupsi atau konspirasi negara, tanpa memedulikan bagaimana keselamatan dirinya sendiri. Karena apa yang di rekam oleh kameranya adalah aib negara dan itu sangat berbahaya. Sungguh nekat.

“Liputan putih saja, tapi kalau kau ingin merubah temanya tidak masalah.” Jawab Mrs. Clinton, tentu saja ia membebaskan Althea untuk mengambil berita apa saja yang ada di dunia karena ketika Althea meliputnya, berita itu akan menarik di tonton apalagi dari segi gambar. Althea adalah pemburu berita paling baik.

“Kapan aku bisa pergi?”

Mrs. Clinton tampak menulis sesuatu di sebuah notebook, setelah selesai ia merobek kertas itu dan memberikannya pada Althea. Sebuah alamat rumah.

“Itu adalah alamat villa ku disana, kau bisa meninggalinya selama bertugas. Untuk biaya seperti biasa akan aku transfer dan untuk tiketnya akan ku kirim lewat e-mail sore nanti.” Jelasnya sambil memberikan sebuah kunci yang memiliki gantungan Elmo, Althea mengangguk dan menerima kunci tersebut.

“Kau perlu rekan?” Tanya Mrs. Clinton, Althea menggeleng.

“Tidak perlu, aku pergi sendiri. Terima kasih.” Jawab Althea kemudian keluar dari ruangan Mrs. Clinton, wanita itu tampak tak sabar dengan berita yang akan Althea bawa nantinya.

“Jadi, kali ini kau akan pergi kemana, Al?” Tanya seorang pria tambun, dia seorang jurnalis senior.

“Indonesia.” Jawab Althea, jurnalis senior itu tampak antusias.

“Wow! Sebuah keberuntungan, ada banyak hal menarik disana.” Althea mengangguk.

“Aah... Benar sekali, karena Mr. Graham yang bilang seperti itu aku jadi bingung mau berita apa yang akan aku liput untuk editorial.” Althea mendudukkan dirinya di atas kursi, menyenderkan punggungnya yang sedikit kaku.

“Beristirahatlah sejenak Al, sebelum kembali berperang!” Seru Zack sembari meletakkan secangkir kopi di atas meja kubikalnya, biar konyol seniornya ini cukup perhatian.

“Terima kasih.” Zack hanya melambaikan tangannya sembari keluar dari divisi pemberitaan, di tangannya membawa banyak berkas untuk di fotocopy. Zack berusia 26, berbeda tiga tahun dengannya.

“Ku beri saran, di Indonesia banyak sekali tempat yang bagus. Kau liput saja destinasi wisata.” Mr. Graham memberikan saran dengan antusias, manik hijau mengerling ke arah jam dinding. Pukul 09.30.

“Hmm... Mungkin akan ku coba nanti.” Gumam Althea.

BRAKK

Pintu di buka kasar, seorang wanita masuk dengan wajah panik.

“Ku dengar Althea sudah pulang?! Kemana diaa?!!” Teriaknya, seluruh orang di divisi pemberitaan mengernyit heran pada wanita yang gemar makan segala olahan nasi itu.

“Aku disini!” Seru Althea mengangkat tangannya, wanita berambut cokelat itu melangkah terburu-buru mendekati si gadis.

“Ada apa?”

“Kau di cari Direktur!” Jawabnya, Althea terdiam lama sebelum helaan napas keluar kemudian gadis itu tersenyum lebar.

“MRS. Clinton KU PINJAM SATU JURNALISMU!” Teriaknya, sebelum wanita berambut silver itu keluar dari sarangnya dengan wajah garang.

“MISS. HILLARY! KEMBALIKAN LAGI JURNALIS KU JIKA TIDAK AKAN KU GANTUNG KAU DI PATUNG LIBERTY!” Teriaknya tidak terima, semua penghuni divisi itu hanya bisa menggelengkan kepala dengan tingkah atasan mereka.

“Aku akan mengembalikannya, jika kau mentraktirku donat kentang dan kopi di Starbucks sore ini.” Clara berucap sambil nyengir membayangkan enaknya donat kentang yang baru-baru ini di jual di Starbucks, Mrs. Clinton mendengus kecil.

“Jika tidak mau, lebih baik Althea Erdritter di pindah ke divisi pemberitaan 1.” Mrs. Clinton mendelik, dirinya tidak akan pernah rela jurnalis berbakat seperti Althea keluar dari divisinya.

“Kau menang Miss. Hillary.” Mrs. Clinton mengangkat tangannya ke udara, tanda menyerah.

“Baiklah, aku akan menemuinya sekarang. Miss. Hillart, bisakah kau mengantar ku?” Tanya Althea.

Tanpa jawaban wanita energik itu menarik Althea keluar dari divisi pemberitaan, sambil melambaikan tangan ke arah Mrs. Clinton wajahnya berbinar senang.

°°°

Clara membawa Althea ke ruangan direktur utama Sunburn, Hanz Vierlicht. Sebenarnya ia malas untuk bertemu dengan atasannya itu, alasannya karena hanya akan menambah masalah untuknya karena karyawan lain pasti akan berpikiran yang tidak-tidak padanya. Ayolah, dia tidak memiliki banyak rekan kerja yang bisa di ajak kompromi di perusahaan ini.

“Sir Vierlicht, saya sudah membawa Althea.” Ucap Clara, Hanz mengangguk dan menyuruh wanita itu keluar dari ruangannya. Pria yang mengenakan setelan jas rapi itu berjalan ke arah sofa ruangan yang terlihat sangat luas ini.

“Duduklah, Althea.”

Althea mendaratkan bokongnya di atas sofa bersebrangan dengan Hanz, “Jadi, apa yang anda perlukan Sir?” Tanya Althea serius, bukan tidak mungkin bos besarnya ini hanya memanggilnya untuk alasan sepele.

“Aku ingin kau meliput negara konflik.” Jawab Hanz tanpa basa-basi, Althea nyaris mengeluarkan bola mata dari tempatnya.

“Apa anda sedang bercanda, Sir? Saya hanyalah jurnalis pemula....”

“Tapi kemampuan mu sudah melebihi jurnalis senior, aku tidak menerima penolakan. Kepala bagian di beberapa divisi sudah mengakui dirimu dalam pengambilan gambar dan secara portofolio tidak bisa di ragukan lagi,” Seakan tau kalau Althea akan menunjuk para seniornya, Hanz terus berkata kalau ia pantas untuk mengambil job ini.

“Dan aku juga tidak meragukan hal itu, aku ingin kau datang meliput daerah konflik.” Sambungnya, Althea mengusap wajahnya kasar.

“Kalau ada resi penolakan bisakah saya menggunakan itu, sungguh Sir saya tidak mau ke daerah konflik.” Pinta Althea memelas, Hanz menggeleng.

“Tidak bisa, ini kesempatan yang bagus. Militer Amerika membuka ruang untuk media meliput daerah konflik, biasanya untuk melakukan peliputan mengurus izin dan segala rupanya akan ribet.” Tolak Hanz, Althea mendesah lelah.

“Di divisi pemberitaan satu, bukankah Kruger juga seorang jurnalis seperti saya, dia juga cukup handal melakukan pekerjaannya.” Mohon Althea, Hanz menggeleng keras.

“Althea, kau ingin menjadi jurnalis profesional bukan? Seorang jurnalis itu sama seperti seorang tentara, dia harus siap dimana pun dia akan di tugaskan. Kau tidak bisa memilih dimana kau akan berkerja sama seperti kau tidak bisa memilih dari orang tua mana kau ingin dilahirkan.” Ucapan Hanz berhasil membuat Althea bungkam, ia mengepalkan tangannya menahan kesal.

“Saya ada pekerjaan untuk besok, liputan di luar negeri selama sebulan. Setelah itu saya akan mengambil job untuk meliput daerah konflik, anda bisa mengirimkan rinciannya melalui email. Kalau begitu saya permisi.” Kata Althea seraya beranjak dari tempat duduknya meninggalkan sang atasan, sebenarnya ada alasan lain kenapa ia sangat tak ingin mendatangi daerah konflik.

°°°

“Ada apa denganmu, Al?” Tanya Viona, siang ini gadis jangkung yang memiliki rupa indah itu tiba-tiba datang dengan wajah kusut dan aura yang begitu suram.

“Ada tugas untuk meliput.”

“Harusnya kau senang, biasanya juga kau selalu semangat.” Althea menggulirkan tubuhnya di atas kasur Viona, menatap gadis mungil yang sedang mengeringkan rambutnya. Kini ia tampak lebih segar dari pagi tadi.

“Aku di tugaskan untuk meliput daerah konflik.” Sebuah kalimat yang berhasil membuat Viona berbalik secara refleks karena terlalu terkejut.

“Kau bohong kan?!” Manik sewarna samudera itu menatap tidak percaya pada gadis bongsor bertubuh model ideal ini.

“Untuk apa aku berbohong hal semacam ini padamu Viona, kau tau sendiri aku agak risih berhubungan dengan militer.” Jawab Althea memperhatikan Viona yang kini tengah memilih pakaian di lemarinya.

“Biar ku tebak, apa itu karena kakakmu?”

“Ku beri kau seratus poin untuk hal ini.” Jawab Althea sambil nyengir, Viona terkekeh kecil.

“Bukankah, kakakmu tetap bertugas di Jerman untuk saat ini?” Kepala Althea mengangguk-angguk setuju.

“Kau benar tapi tetap saja, pria yang tinggal di militer semuanya menyebalkan.” Jawaban Althea membuahkan sebuah tawa renyah dari Viona, gadis pirang itu mendudukkan diri di atas kursi kerja, satu tangan menopang dagu.

“Ku rasa hanya kakakmu yang menyebalkan, Al. Mungkin saja kau tertarik dengan salah satu dari perwira disana nantinya.” Viona menaik-turunkan alisnya menggoda sang sahabat, sebenarnya ini guna sebagai penghiburan untuk Althea yang sangat suram kali ini.

“Aku tidak tertarik untuk berhubungan dengan pria yang memiliki profesi seperti militer, aku tidak ingin sering di tinggal.” Viona malah cekikikan di tempatnya.

“Memangnya hanya tentara saja yang sering meninggalkan pasangan hidupnya, jurnalis juga sama saja.” Viona menyanggah telak.

Sial! Althea termakan kalimatnya sendiri, rona merah menjalari pipinya samar-samar. Sementara Viona sudah tertawa-tawa di atas kursinya.

“Menyebalkan sekali kau!” Ketus Althea merasa kalah, Viona malah semakin mengeraskan suara tawanya.

“Hati-hati makanya kalau bicara lagi pula, pria mana yang bisa menolak pesona Althea Erdritter, hah?” Goda Viona, memang tidak dapat di pungkiri kalau Althea memiliki rupa yang sangat indah. Tubuhnya tinggi semampai, wajahnya terlihat polos dan tegas secara bersamaan, matanya hijau keemasan sangat cantik untuk di pandang, hidungnya mancung, bibirnya yang tidak tebal ataupun tipis berwarna sedikit kemerahan alami, rambut cokelatnya yang panjang terkadang selalu terikat rapi atau berantakan, kulitnya kecoklatan eksotis, dan kontur wajahnya yang begitu mencolok perpaduan antara Jerman, Turki, dan Yunani. Terlihat sempurna.

“Oh ya, katamu tadi job untuk daerah konflik sebulan setelah kau menyelesaikan job yang di beri Mrs. Clinton?” Althea mengangguk.

“Begitulah, anggap saja sebagai liburan sebelum turun ke medan perang.” Jawab Althea, Viona berdiri dari duduknya.

“Kau berangkat besok pagi bukan, ayo ku bantu kau berkemas.” Viona menarik lengan Althea untuk segera bangun, dengan malas-malasan ia pasrah saja di bawa keluar sahabatnya dari apartemen yang sudah serasa kamarnya sendiri ini.

°°°

BERSAMBUNG

Related chapters

  • Subjek Zero   Scene 2

    Jam terbangnya masih tiga puluh menit, di dalam sebuah restoran di bandara Internasional John F. Kennedy Althea duduk dengan satu nampan penuh burger keju dan segelas cola. Itu cukup mencolok, beberapa pengunjung yang kebetulan lewat di mejanya sampai menatapnya takjub. Apa karena porsi makannya yang tak biasa? Ayolah! Burger ekstrak keju adalah makanan paling enak di dunia, semua orang harus mencobanya. Lagi pula, dirinya hanya makan enam bungkus saja. Ini sedikit, biasanya ia bisa makan lebih dari ini. Sungguh pencapaian yang sangat wah, kalau dirinya punya waktu luang ingin sekali ia mengikuti acara makan burger keju terbanyak yang sempat diadakan di Central Park beberapa bulan yang lalu. Sayangnya ia tidak memiliki waktu untuk itu, padahal event tersebut adalah sebuah kesempatan emas untuk dirinya mendapatkan burger keju gratis. Hah... Memikirkannya saja sudah membuat Althea galau.Penampilan Althea hari ini sangat simpel, hanya memakai kemeja polos biru tidak di ka

  • Subjek Zero   Scene 3

    Suara musik penuh semangat terdengar dari player sebuah ponsel, siapa pun yang mendengar pasti akan ikut berjingkrak mempraktikkan gerakan lagu energik itu. Padahal suasana di barak beberapa waktu lalu begitu serius, seorang pria berdiri memperhatikan strategi serangan di papan tulis putih. Rapat baru selesai dua puluh menit yang lalu, pria berusia kisaran 34 tahun sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya seiring alunan ceria musik."Hahaha... Sudah ku duga itu kau, Kapten!" Seru seorang wanita berambut acak-acakan, satu matanya di tutupi penutup. Pria pemilik porsi tubuh kekar itu berbalik, menatap wanita yang baru saja memanggilnya."Apa masalahmu, kacamata?" Tanyanya datar, wanita itu nyengir lebar. Berjalan kearah meja untuk mengambil ponsel yang masih memainkan heavy rotation dari sebuah girlband asal Jepang. Baru saja akan mematikan alunan lagu, sebuah clipboard terbang mengenai kepalanya."Jika kau matikan, kau juga harus ikut mati, Sandra." Ancamnya

  • Subjek Zero   Scene 4

    Althea mengamati hasil jepretannya pada sebuah tugu di pusat kota Yogyakarta, ia menghela napas panjang. Hari sudah beranjak siang, ia belum menemukan objek untuk liputannya. Langit cerah namun begitu terik untuk di pandang, Althea mengambil ponsel pintarnya. Mencari situs tentang kota yang di datanginya, meski sudah beberapa kali melakukan riset secara internet ia belum menemukan sesuatu yang menarik di kota ini. Mungkin karena ia belum berkeliling sepenuhnya.Althea terus berjalan kaki untuk menyambangi setiap tempat di Yogyakarta, mulai dari tempat terkenal seperti Malioboro sampai tempat yang terpencil sekalipun. Sore ini gadis yang rambutnya di Cepol satu itu berada di beringin kembar, banyak sekali orang datang berkunjung. Tidak padat, namun ramai.Beringin kembar, Althea sudah membacanya. Ada mitos yang berkembang berkunjung ke tempat ini, khususnya yang paling terkenal di kalangan anak muda adalah mitos mengenai siapapun orang yang b

  • Subjek Zero   Scene 5

    Pagi ini setelah pesawatnya mendarat di bandara dengan sangat terburu-buru Althea pulang ke apartemennya untuk segera mengambil beberapa barang yang akan di bawanya ke tempat peliputan selanjutnya, Medan perang. Benar-benar habis liburan di suguhkan peperangan, rasanya ia ingin tertawa saja. Begitu memasuki apartemen Althea meletakkan ranselnya di atas sofa, masuk ke dalam kamar gadis itu segera melepas pakaian dan membersihkan diri di kamar mandi. Dering ponsel nyaring terdengar dari atas kasur, ia tau siapa yang menelponnya. Cepat-cepat menyelesaikan ritual mandi, Althea mengangkat teleponnya tanpa melihat siapa yang memanggilnya.“Althea, kau sudah sampai di New York?” Tanya seseorang dari seberang, tentu saja Althea mengetahui suara siapa ini. Salah satu editor di divisi pemberitaan tiga, Zack Springton.“Ya, aku sudah tiba pagi ini. Yang benar saja, mereka bahkan tidak memberikan aku sedikit waktu untuk beristirahat se

  • Subjek Zero   Scene 6

    Segerombolan pasukan khusus turun dari truk pengangkut, tentu saja dia yang membawa kamera di lehernya juga ikut turun dengan wajah datar dan tanpa minatnya. Ini adalah hari pertamanya meliput peperangan, demi seluruh bahan liputan di dunia ini dia atau mungkin lebih enak di panggil Althea ini sangat menolak jika harus di hadapkan dengan situasi chaos peperangan, rasa ingin melarikan diri dalam benak gadis yang baru saja memulai karir selama satu tahun terkahir atau mungkin lebih di dunia jurnalistik ini selalu menggelayut setiap Hela nafasnya. Berlebihan sekali, tapi itulah dirinya.Bila Althea di suruh memilih antara perang berdarah atau perang mulut, maka Althea akan lebih memilih perang mulut di debat konvensi menuju pemilihan umum. Itu lebih baik daripada mengambil gambar menyedihkan dari orang-orang yang harusnya tidak di perlihatkan, miris sekali."Sejak tadi wajahmu masam sekali, ada apa?" Tanya seorang wanita yang berjalan di samping Althea, di tanya seperti itu membuat mood A

  • Subjek Zero   Prolog

    Kemeja biru sudah sangat kotor oleh debu dan darah, manik emerald menatap sendu pada orang-orang yang terbaring tak berdaya penuh luka. Suara tangis dan teriakan kesakitan terdengar nyaring memasuki gendang telinga, ia hanya bisa melihat tanpa bisa membantu. Bukan wilayahnya untuk merawat mereka yang terluka, dari luar barak terdengar desingan peluru dan bom tak ada habisnya.“Disini sangat buruk, bukan?” Tanya seorang wanita berkacamata, satu matanya tertutupi penutup mata. Gadis tinggi dengan kamera DSLR ditangannya hanya diam tidak menjawab.“Jika kau merasa lelah, beristirahatlah sebentar.” Ucapnya, gadis itu menggeleng cepat. Satu tangannya terangkat untuk melepas ikat rambut dan memperbaikinya dengan menggelung helaian cokelat itu asal.“Saya akan tetap membantu, saya datang bukan untuk melihat saja.” Ucapnya, si wanita yang kerap kali bertingkah bodoh itu hanya terkekeh kecil.

Latest chapter

  • Subjek Zero   Scene 6

    Segerombolan pasukan khusus turun dari truk pengangkut, tentu saja dia yang membawa kamera di lehernya juga ikut turun dengan wajah datar dan tanpa minatnya. Ini adalah hari pertamanya meliput peperangan, demi seluruh bahan liputan di dunia ini dia atau mungkin lebih enak di panggil Althea ini sangat menolak jika harus di hadapkan dengan situasi chaos peperangan, rasa ingin melarikan diri dalam benak gadis yang baru saja memulai karir selama satu tahun terkahir atau mungkin lebih di dunia jurnalistik ini selalu menggelayut setiap Hela nafasnya. Berlebihan sekali, tapi itulah dirinya.Bila Althea di suruh memilih antara perang berdarah atau perang mulut, maka Althea akan lebih memilih perang mulut di debat konvensi menuju pemilihan umum. Itu lebih baik daripada mengambil gambar menyedihkan dari orang-orang yang harusnya tidak di perlihatkan, miris sekali."Sejak tadi wajahmu masam sekali, ada apa?" Tanya seorang wanita yang berjalan di samping Althea, di tanya seperti itu membuat mood A

  • Subjek Zero   Scene 5

    Pagi ini setelah pesawatnya mendarat di bandara dengan sangat terburu-buru Althea pulang ke apartemennya untuk segera mengambil beberapa barang yang akan di bawanya ke tempat peliputan selanjutnya, Medan perang. Benar-benar habis liburan di suguhkan peperangan, rasanya ia ingin tertawa saja. Begitu memasuki apartemen Althea meletakkan ranselnya di atas sofa, masuk ke dalam kamar gadis itu segera melepas pakaian dan membersihkan diri di kamar mandi. Dering ponsel nyaring terdengar dari atas kasur, ia tau siapa yang menelponnya. Cepat-cepat menyelesaikan ritual mandi, Althea mengangkat teleponnya tanpa melihat siapa yang memanggilnya.“Althea, kau sudah sampai di New York?” Tanya seseorang dari seberang, tentu saja Althea mengetahui suara siapa ini. Salah satu editor di divisi pemberitaan tiga, Zack Springton.“Ya, aku sudah tiba pagi ini. Yang benar saja, mereka bahkan tidak memberikan aku sedikit waktu untuk beristirahat se

  • Subjek Zero   Scene 4

    Althea mengamati hasil jepretannya pada sebuah tugu di pusat kota Yogyakarta, ia menghela napas panjang. Hari sudah beranjak siang, ia belum menemukan objek untuk liputannya. Langit cerah namun begitu terik untuk di pandang, Althea mengambil ponsel pintarnya. Mencari situs tentang kota yang di datanginya, meski sudah beberapa kali melakukan riset secara internet ia belum menemukan sesuatu yang menarik di kota ini. Mungkin karena ia belum berkeliling sepenuhnya.Althea terus berjalan kaki untuk menyambangi setiap tempat di Yogyakarta, mulai dari tempat terkenal seperti Malioboro sampai tempat yang terpencil sekalipun. Sore ini gadis yang rambutnya di Cepol satu itu berada di beringin kembar, banyak sekali orang datang berkunjung. Tidak padat, namun ramai.Beringin kembar, Althea sudah membacanya. Ada mitos yang berkembang berkunjung ke tempat ini, khususnya yang paling terkenal di kalangan anak muda adalah mitos mengenai siapapun orang yang b

  • Subjek Zero   Scene 3

    Suara musik penuh semangat terdengar dari player sebuah ponsel, siapa pun yang mendengar pasti akan ikut berjingkrak mempraktikkan gerakan lagu energik itu. Padahal suasana di barak beberapa waktu lalu begitu serius, seorang pria berdiri memperhatikan strategi serangan di papan tulis putih. Rapat baru selesai dua puluh menit yang lalu, pria berusia kisaran 34 tahun sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya seiring alunan ceria musik."Hahaha... Sudah ku duga itu kau, Kapten!" Seru seorang wanita berambut acak-acakan, satu matanya di tutupi penutup. Pria pemilik porsi tubuh kekar itu berbalik, menatap wanita yang baru saja memanggilnya."Apa masalahmu, kacamata?" Tanyanya datar, wanita itu nyengir lebar. Berjalan kearah meja untuk mengambil ponsel yang masih memainkan heavy rotation dari sebuah girlband asal Jepang. Baru saja akan mematikan alunan lagu, sebuah clipboard terbang mengenai kepalanya."Jika kau matikan, kau juga harus ikut mati, Sandra." Ancamnya

  • Subjek Zero   Scene 2

    Jam terbangnya masih tiga puluh menit, di dalam sebuah restoran di bandara Internasional John F. Kennedy Althea duduk dengan satu nampan penuh burger keju dan segelas cola. Itu cukup mencolok, beberapa pengunjung yang kebetulan lewat di mejanya sampai menatapnya takjub. Apa karena porsi makannya yang tak biasa? Ayolah! Burger ekstrak keju adalah makanan paling enak di dunia, semua orang harus mencobanya. Lagi pula, dirinya hanya makan enam bungkus saja. Ini sedikit, biasanya ia bisa makan lebih dari ini. Sungguh pencapaian yang sangat wah, kalau dirinya punya waktu luang ingin sekali ia mengikuti acara makan burger keju terbanyak yang sempat diadakan di Central Park beberapa bulan yang lalu. Sayangnya ia tidak memiliki waktu untuk itu, padahal event tersebut adalah sebuah kesempatan emas untuk dirinya mendapatkan burger keju gratis. Hah... Memikirkannya saja sudah membuat Althea galau.Penampilan Althea hari ini sangat simpel, hanya memakai kemeja polos biru tidak di ka

  • Subjek Zero   Scene 1

    Menurut Wikipedia, New York adalah kota terpadat di Amerika serikat dan pusat wilayah metropolitan terpadat di dunia. Sebuah kota global terdepan, New York memberi pengaruh besar terhadap perdagangan, keuangan, media, budaya, seni, mode, riset, penelitian dan hiburan dunia. Sebagai markas besar perserikatan bangsa-bangsa, kota ini juga merupakan pusat hubungan internasional yang penting. Kota ini sering disebut New York City (disingkat NYC) atau City of New York untuk membedakannya dari negara bagian New York, tempat kota ini berada. Itu adalah informasi umum dan semua orang mengetahuinya.Untuk seorang wanita muda berusia 23 tahun kota ini tidak pernah ada matinya dan sepertinya warga kota ini tidak pernah tidur, pagi hari pukul 07.45 A.M jalanan pusat Manhattan seperti biasa selalu ramai pejalan kaki dan pengendara. Bukan hal aneh lagi, berbagai macam orang berjalan untuk pergi melakukan aktivitasnya. Mungkin ada yang baru pulang be

  • Subjek Zero   Prolog

    Kemeja biru sudah sangat kotor oleh debu dan darah, manik emerald menatap sendu pada orang-orang yang terbaring tak berdaya penuh luka. Suara tangis dan teriakan kesakitan terdengar nyaring memasuki gendang telinga, ia hanya bisa melihat tanpa bisa membantu. Bukan wilayahnya untuk merawat mereka yang terluka, dari luar barak terdengar desingan peluru dan bom tak ada habisnya.“Disini sangat buruk, bukan?” Tanya seorang wanita berkacamata, satu matanya tertutupi penutup mata. Gadis tinggi dengan kamera DSLR ditangannya hanya diam tidak menjawab.“Jika kau merasa lelah, beristirahatlah sebentar.” Ucapnya, gadis itu menggeleng cepat. Satu tangannya terangkat untuk melepas ikat rambut dan memperbaikinya dengan menggelung helaian cokelat itu asal.“Saya akan tetap membantu, saya datang bukan untuk melihat saja.” Ucapnya, si wanita yang kerap kali bertingkah bodoh itu hanya terkekeh kecil.

DMCA.com Protection Status