Aku dan Siska saling melempar tatapan saat Rani masih saja diam."Maafkan aku, Mah," celetuk Rani setelah terpaku dalam beberapa menit."Maaf untuk apa lagi?" Gegas aku bertanya kemudian duduk di kursi yang ada di dekat Rani."Rumah itu memang milikku. Rumah pemberian, Ayah Fery. Tapi, akan banyak tamu yang datang saat aku kembali ke rumah itu," jelas Rani seraya menurunkan wajahnya menutupi malu."Tamu?" Aku mengernyitkan dahi. "Tamu siapa yang kamu maksud?" "Semenjak Ayah Fery masuk penjara, aku membuka layanan open BO. Itu semua aku lakukan demi meraup rupiah yang banyak. Tapi, sekarang aku tak mau melakukan itu. Aku tidak mau mati dalam keadaan berlumur dosa." Ada genangan air mata yang tengah dibendung oleh Rani."Jadi, kamu benar-benar telah sadar?" Siska menimpali dengan bertanya."Entahlah, Tante. Aku hanya tidak ingin meneruskan itu semua," jawab Rani atas pertanyaan Siska kepadanya.Tapi jujur, berat rasanya menerima Rani untuk kembali ke rumahku. Bayangan menjijikan itu ak
Dua hari setelahnya, aku dan Rani duduk dalam satu ruangan di ruang makan. Kami duduk berdua memulai sarapan pagi. Sementara Mba Parni langsung pulang ke rumahnya setelah membantuku membereskan pekerjaan rumah.Ada beberapa perubahan yang ditampilkan Rani saat ini. Tingkah lakunya yang menjadi lembut kepadaku serta tutur bahasanya yang sopan.Berkali-kali Rani mengutarakan rasa bersalahnya dan meminta maaf kepadaku. Aku melihat kini dia telah bersungguh-sungguh.Lalu bagaimana dengan prilaku seksnya yang berlebihan? Aku mempertanyakan itu pada Rani karena dia tak bisa hidup tanpa itu."Rani, bagaimana kalau kamu menikah," saranku di tengah-tengah aktivitas sarapan pagi kami.Rani sedikit tercengang saat mendengar saran dariku. "Mengapa Mamah tiba-tiba berbicara soal pernikahan?" Dia malah berbalik tanya."Mamah hanya tidak mau kalau kamu berbuat zina lagi. Bukankah pernah kamu katakan kalau kamu memiliki gairah seks berlebihan." Aku mengutarakan kekhawatiranku."Iya, Mah. Itu memang b
Aku berusaha melepaskan tubuh Rani dari bawah kakiku. "Rani, kembali duduk. Jangan seperti ini Mamah mohon," pintaku. Deraian air mata mengiringi kepedihan melihat Rani bersimpuh di kakiku memohon ampun."Tidak, Mah. Aku tak akan bangun sebelum Mamah memaafkan kesalahnku," lirih Rani seraya menangis terseguk-seguk."Bangun, Rani. Mamah sudah memaafkanmu," balasku yang berusaha meyakinkannya.Rani langsung melonggarkan pelukannya pada kakiku. Ia masih duduk di atas lantai. Mendongak menatapku sendu seraya mengusap pipinya yang terus-terusan basah oleh air mata."Mah!" lirihnya memanggil masih dengan tatapan sendu dan genangan air mata di sudut kelopak matanya. Bibirnya tampak gemetar sementara kedua tangannya kini memeluk lututku."Apa yang harus aku lakukan agar Mamah bisa memaafkan aku?" Dia bertanya. Tatapan matanya mengandung harapan yang ia gantungkan.Aku yang turut serta terbawa suasana kesedihan pagi ini, pun tak bisa membendung air mata yang terus saja menetes di pipi."Mamah
"Mamah akan ke kantor polisi. Sepertinya harus bicara dengan, Fery," jawabku saat langkah ini berhenti sejenak."Bolehlah aku ikut?" Rani memasang wajah memelas."Untuk apa?" Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya aku tahu dengan maksud Rani.Dia hanya diam seraya menundukan wajah. Mungkin tak enak jika harus mengatakan alasannya kepadaku."Kamu rindu dengan lelaki itu?" tanyaku dengan sinis. Hatiku terasa terkikis kembali kala mengingat itu."Tidak kok, Mah," jawabnya pelan. Dia masih menunduk menyembunyikan alasannya."Ya sudah ikut saja," ajakku berusaha legowo, meski berat.Rani tak lagi membalas ucapanku. Dia hanya mengikuti langkahku dari belakang. Dia tetap ikut.Aku sudah memesan taksi online yang sudah siap di depan gerbang rumah.Isi dadaku bergetar emosi. Rasanya aku tak habis pikir kalau memang benar Fery yang menerorku hari ini. Aku tak segan-segan akan memberikan penegasan pada mantan suamiku itu kalau sampai itu benar adanya.Sesekali aku melirik ke samping, terlihat Rani m
Istrinya Reynaldi! Mau apa dia menghadang jalanku. Kok dia bisa tahu dengan mobil yang aku naiki? Aku mengernyitkan dahi. Merasa aneh."Mah, mau apa ya dia?" Rani bertanya kepadaku tampak resah."Tidak tahu. Kita keluar saja sebelum dia berulah."Aku dan Rani keluar dari mobil menghampiri istrinya Reynaldi. Aku berdiri di depan wanita yang menatap Rani tampak nyalang."Kalian mau menghindar dari saya?" Wanita itu bertanya seraya berpangku tangan. Di sampingnya juga terlihat dua laki-laki berseragam hitam sepertinya bodyguard."Maksudnya apa ya?" Aku berbalik tanya karena tak mengerti dengan maksudnya."Pelakor ini pergi dari rumah sakit tanpa sepengetahuan saya!" Telunjuk istri Reynaldi menggaris lurus pada wajah Rani yang tengah gugup."Cukup, ya! Jangan mencibir anak saya seperti itu," pintaku dengan halus. Wanita itu malah mendelik ke arahku dengan sinis."Oh, jadi kamu orang tuanya pelakor ini? Pantas saja kamu selalu ada di dekatnya!" cibir wanita itu yang belum juga usai."Sudah
Namun, belum sempat aku menceritakan deretan kejadian minggu ini, tubuh sahabatku nampak beranjak dari tempat duduk."Mau kemana?" Gegas aku bertanya."Aku harus pulang. Sorry ya tak bisa lama-lama mampirnya." Padahal belum lama dia datang, sudah mau pamit saja."Memangnya mau kemana buru-buru sekali?" tanyaku lagi. Sebenarnya aku ingin bercerita pada sahabatku itu, tapi dia sudah terlanjur pamit."Aku harus pulang karena ada suatu hal yang mesti kukerjakan di rumah," jawabnya sedaya menggantungkan tas selempang pada bahunya."Oke! Terima kasih oleh-olehnya dan hati-hati di jalan," ucapku yang segera dibalas anggukan kepala. Siska langsung keluar dari rumahku, pun denganku yang langsung masuk kamar usai meletakan oleh-oleh yang Siska bawa di atas nakas ruang tengah.Aku melanjutkan aktivitas menulis yang sempat tertunda. Setelah satu jam, aku mendengar seperti suatu benda terjatuh di ruang tengah. Aku terkejut kemudian menutup leptopku. Saat melirik benda bundar yang menempel didindi
"Kenapa Mamah diam? Katakan padaku siapa orang tuaku, Mah?" lirih Rani bertanya lagi. Ia sepertinya tak bisa menghentikan air matanya malam ini. Padahal yang aku tahu dia sedang sakit karena asam lambungnya naik."Mamah tidak tahu. Hanya Papah kamu yang mengetahui hal ini," jawabku seraya menggelengkan kepala.Rani kembali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia menutupi luka dan kesedihan pada wajahnya. Suara sesegukan terdengar dari dalam dadanya. Sepertinya luka di dalam hatinya terasa pedih."Ternyata aku ini hanya anak yang tak diharapkan orang tuanya." Rani berdesis lirih.Aku segera memindahkan posisi dudukku lebih mendekat pada Rani. Aku mengusap bahunya memeluknya dari samping."Kamu tetap anak, Mamah. Mamah sudah menyayangimu dari dulu. Bahkan sampai sekarang saat rasa sakit ini menyayat hati dan perasaan Mamah, rasa sayang itu tetaplah ada tak akan pernah bisa hilang," tuturku dengan lembut berbisik di dekat telinga Rani. Aku sadar dengan kesedihan Rani saat ini.
Dengan lutut yang terasa lemas menahan beratnya beban di tubuh, aku keluar dari ruangan pemeriksaan bersama Siska. Rasanya tak kuasa aku melangkah mengurus kamar rawat inap untuk Rani. Aku kembali duduk di kursi dengan suara napas yang terasa sesak. Sulit rasanya mengatur napas ini."Kamu duduk saja. Aku yang akan mengurus kamar untuk Rani," ucap Siska yang segera kubalas dengan anggukan kepala.Siska segera melaksanakan tugas yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Sementara aku, hanya bisa terduduk lemas sambil menyenderkan kepala ini pada dinding tembok.Terasa berat dekali ujian demi ujian yang harus aku hadapai saat ini, tapi aku tetap berusaha menguatkan diri. Dengan mengusap kasar wajah ini aku terus mengatur napas guna menenangkan diri.Siapa Ayah dari janin yang ada di dalam rahimmu, Rani? Sementara belakangan ini kamu malah sering bergunta ganti lawan jenis. Aku pikir Rani bisa menjaga dari semua akibat yang bisa terjadi seperti saat ini. Aku kembali bangkit dan menemui Dokte
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe