Mbo Sari menelan saliva. Ia terdiam dalam beberapa saat kemudian melihatku dengan tatapan sendu."Ceritakanlah, Mbo. Saya sudah tahu dan punya bukti kalau Rani ternyata memang bukan anak saya. Saya sudah melakukan tes DNA, hasilnya tidak cocok. Hasil medis saja menyatakan kalau Rani memang bukan anak saya. Walau berat, saya sudah menerima kenyataan pahit ini, Mbo," tuturku dengan susah payah. Lagi-lagi ada kesedihan yang terbendung di tenggorokan saat kenyataan pahit itu lagi-lagi harus dikupas."Jadi, semuanya sudah terbukti, Mba?" Mbo Sari nampak tercengang.Aku mengangguk. Tatapanku tak berpaling ke arah mana pun. Hanya Mbo Sari yang aku tatap dengan penuh tanda tanya."Mbo, bicara saja. Mia dan saya tak akan memperpanjang masalah. Mia hanya ingin cerita yang jelas saja dari, Mbo Sari. Jangan takut, Mbo." Siska menimpali mungkin agar Mbo Sari tak ragu lagi untuk bercerita.Mbo Sari menghela napas terlebih dahulu. Wajahnya masih saja terlihat tegang. Aku segera meletakan sebelah tan
"Iya, Mba. Saya permisi mau ikut evakuasi," pamit laki-laki yang setengah tua tadi. Dia terlihat berjalan dengan cepatnya menuju mobil yang sudah ringsek tertimpa pohon besar di atasnya."Siska, kamu dengar tadi? Korbannya bernama, Rani!" Aku terkejut. Pikirannya langsung khawatir pada Rani anakku, meski pun kini aku tahu kalau dia bukan anak kandungku."Sudahlah, Mia. Memangnya nama Rani hanya satu. Rani ada banyak dan ada dimana-mana. Bisa jadi itu Rani yang lain kan," balas Siska terlihat santai."Iya sih. Tapi, aku penasaran, Sis. Tidak ada salahnya kan kalau menepi sebentar. Kita lihat korbannya dan memastikannya," pintaku yang tetap bersi kukuh. Perasanku berkata lain. "Tapi, hujan. Mana macet pula kan." Siska nampak enggan."Sebentar saja, Siska. Aku mohon," rengekku. Rasanya aku tak akan bisa tenang sebelum memastikan korban yang disebutkan bapak-bapak tadi.Siska mengangguk seraya menaikan kedua alisnya. Akhirnya dia mau menepikan kendaraan roda empatnya walau pun cuaca terl
"Kenapa kalian diam saja? Siapa kalian?" Wanita itu bertanya lagi. Wajah murka penuh air mata ditampilkannya di hadapan aku dan Siska."Maaf, Mba. Saya tidak kenal suami anda!" jawabku dengan tegas. Tak terima rasanya dibendak oleh orang tak dikenal."Tolong jangan berbohong. Petugas kepolisian mengatakan kalau kalian berdua datang ke rumah sakit ini bersama almarhum suami saya." Bola mata wanita itu kembali berkaca-kacak. Nampaknya ia masih merasakan kehilangan sang suami untuk selamanya.Aku menurunkan tatapan. Rasanya serba salah. Lagi pula aku dan Siska memang tidak tahu apa-apa mengenai hubungan Rani dan Reynaldi.Di waktu yang bersamaan, petugas polisi mendekat dan berdiri diantara kami. "Mba-mba ini adalah keluarga dari korban bernama, Rani.""Apa, Rani! Siapa, Rani?" Dengan terkejut wanita itu menoleh dan bertanya pada Polisi. Ia menghapus air mata yang sempat menetes."Pak Reynaldi dan Rani, merupakan korban dari kecelakaan sore tadi. Mereka berada dalam satu mobil yang terti
Usai makan malam di kantin, aku langsung ke ruang ICU. Aku melihat kondisi Rani yang masih saja belum sadar. Beberapa alat medis masih menempel di tubuhnya.Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Di luar ruangan ICU juga sudah terlihat sepi. Aku duduk sendiri menunggu Rani walau sesekali rasa kantuk datang.'Rani, semoga kamu segera sadar. Kamu harus memperbaiki diri. Semoga Tuhan memberikan kesempatan pada kamu untuk bertaubat,' harapku dalam hati.Baru saja kelopak mata ini hendak tertutup, seorang petugas medis membangunkanku. Dia melapor kalau Rani telah membuka matanya. Aku segera beranjak dari tempat duduk kemudian masuk ke ruang ICU untuk melihat Rani."Rani!" Aku mengusap kening Rani dengan lembut. Anak itu menatapku sendu. Ada bulir bening yang menetes di sudut matanya. Mulutnya masih saja diam karena terhalang selang oksigen."M-mah!" Rani mulai meresponku. Bibirnya bergetar dan memanggilku. Dia tak memalingkan tatapannya dariku."Sudah, Ran. Jangan banyak bicara. Mamah
Hari ini saat menjelang sore, Siska datang menjengukku ke rumah sakit setelah pulang kerja. Dia datang ke ruangan kamar Rani dirawat atas petunjuk dariku.Dia memasang wajah kesal padaku entah kenapa. Kemudian dia berbisik tepat di samping telingaku, "Kamu ngapain sih masih saja menemani anak itu?!" Aku yang duduk di kursi yang berjarak hanya dua meter saja dari ranjang Rani segera memberikan kode agar Siska tak bicara seperti itu lagi."Sutt! Kita bicara di luar saja," ajakku pada Siska. Kami berdua keluar dari ruangan tempat Rani dirawat dan berjalan menuju taman kecil yang ada di area luar rumah sakit."Katakan, Mia. Untuk apa kamu membuang-buang waktu hanya demi seorang anak durhaka seperti, Rani!" Siska mengeluarkan kekesalannya. Sebagai sahabat, aku yakin Siska hanya tak mau melihatku kecewa."Siska, Rani sudah menyadari kesalahannya. Tadi pagi, aku sudah bicara dari hati ke hati. Rani telah menyesali semua perbuatannya kepadaku. Dari sorotan matanya, aku yakin dia bersungguh-s
Aku dan Siska saling melempar tatapan saat Rani masih saja diam."Maafkan aku, Mah," celetuk Rani setelah terpaku dalam beberapa menit."Maaf untuk apa lagi?" Gegas aku bertanya kemudian duduk di kursi yang ada di dekat Rani."Rumah itu memang milikku. Rumah pemberian, Ayah Fery. Tapi, akan banyak tamu yang datang saat aku kembali ke rumah itu," jelas Rani seraya menurunkan wajahnya menutupi malu."Tamu?" Aku mengernyitkan dahi. "Tamu siapa yang kamu maksud?" "Semenjak Ayah Fery masuk penjara, aku membuka layanan open BO. Itu semua aku lakukan demi meraup rupiah yang banyak. Tapi, sekarang aku tak mau melakukan itu. Aku tidak mau mati dalam keadaan berlumur dosa." Ada genangan air mata yang tengah dibendung oleh Rani."Jadi, kamu benar-benar telah sadar?" Siska menimpali dengan bertanya."Entahlah, Tante. Aku hanya tidak ingin meneruskan itu semua," jawab Rani atas pertanyaan Siska kepadanya.Tapi jujur, berat rasanya menerima Rani untuk kembali ke rumahku. Bayangan menjijikan itu ak
Dua hari setelahnya, aku dan Rani duduk dalam satu ruangan di ruang makan. Kami duduk berdua memulai sarapan pagi. Sementara Mba Parni langsung pulang ke rumahnya setelah membantuku membereskan pekerjaan rumah.Ada beberapa perubahan yang ditampilkan Rani saat ini. Tingkah lakunya yang menjadi lembut kepadaku serta tutur bahasanya yang sopan.Berkali-kali Rani mengutarakan rasa bersalahnya dan meminta maaf kepadaku. Aku melihat kini dia telah bersungguh-sungguh.Lalu bagaimana dengan prilaku seksnya yang berlebihan? Aku mempertanyakan itu pada Rani karena dia tak bisa hidup tanpa itu."Rani, bagaimana kalau kamu menikah," saranku di tengah-tengah aktivitas sarapan pagi kami.Rani sedikit tercengang saat mendengar saran dariku. "Mengapa Mamah tiba-tiba berbicara soal pernikahan?" Dia malah berbalik tanya."Mamah hanya tidak mau kalau kamu berbuat zina lagi. Bukankah pernah kamu katakan kalau kamu memiliki gairah seks berlebihan." Aku mengutarakan kekhawatiranku."Iya, Mah. Itu memang b
Aku berusaha melepaskan tubuh Rani dari bawah kakiku. "Rani, kembali duduk. Jangan seperti ini Mamah mohon," pintaku. Deraian air mata mengiringi kepedihan melihat Rani bersimpuh di kakiku memohon ampun."Tidak, Mah. Aku tak akan bangun sebelum Mamah memaafkan kesalahnku," lirih Rani seraya menangis terseguk-seguk."Bangun, Rani. Mamah sudah memaafkanmu," balasku yang berusaha meyakinkannya.Rani langsung melonggarkan pelukannya pada kakiku. Ia masih duduk di atas lantai. Mendongak menatapku sendu seraya mengusap pipinya yang terus-terusan basah oleh air mata."Mah!" lirihnya memanggil masih dengan tatapan sendu dan genangan air mata di sudut kelopak matanya. Bibirnya tampak gemetar sementara kedua tangannya kini memeluk lututku."Apa yang harus aku lakukan agar Mamah bisa memaafkan aku?" Dia bertanya. Tatapan matanya mengandung harapan yang ia gantungkan.Aku yang turut serta terbawa suasana kesedihan pagi ini, pun tak bisa membendung air mata yang terus saja menetes di pipi."Mamah