Usai makan malam di kantin, aku langsung ke ruang ICU. Aku melihat kondisi Rani yang masih saja belum sadar. Beberapa alat medis masih menempel di tubuhnya.Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Di luar ruangan ICU juga sudah terlihat sepi. Aku duduk sendiri menunggu Rani walau sesekali rasa kantuk datang.'Rani, semoga kamu segera sadar. Kamu harus memperbaiki diri. Semoga Tuhan memberikan kesempatan pada kamu untuk bertaubat,' harapku dalam hati.Baru saja kelopak mata ini hendak tertutup, seorang petugas medis membangunkanku. Dia melapor kalau Rani telah membuka matanya. Aku segera beranjak dari tempat duduk kemudian masuk ke ruang ICU untuk melihat Rani."Rani!" Aku mengusap kening Rani dengan lembut. Anak itu menatapku sendu. Ada bulir bening yang menetes di sudut matanya. Mulutnya masih saja diam karena terhalang selang oksigen."M-mah!" Rani mulai meresponku. Bibirnya bergetar dan memanggilku. Dia tak memalingkan tatapannya dariku."Sudah, Ran. Jangan banyak bicara. Mamah
Hari ini saat menjelang sore, Siska datang menjengukku ke rumah sakit setelah pulang kerja. Dia datang ke ruangan kamar Rani dirawat atas petunjuk dariku.Dia memasang wajah kesal padaku entah kenapa. Kemudian dia berbisik tepat di samping telingaku, "Kamu ngapain sih masih saja menemani anak itu?!" Aku yang duduk di kursi yang berjarak hanya dua meter saja dari ranjang Rani segera memberikan kode agar Siska tak bicara seperti itu lagi."Sutt! Kita bicara di luar saja," ajakku pada Siska. Kami berdua keluar dari ruangan tempat Rani dirawat dan berjalan menuju taman kecil yang ada di area luar rumah sakit."Katakan, Mia. Untuk apa kamu membuang-buang waktu hanya demi seorang anak durhaka seperti, Rani!" Siska mengeluarkan kekesalannya. Sebagai sahabat, aku yakin Siska hanya tak mau melihatku kecewa."Siska, Rani sudah menyadari kesalahannya. Tadi pagi, aku sudah bicara dari hati ke hati. Rani telah menyesali semua perbuatannya kepadaku. Dari sorotan matanya, aku yakin dia bersungguh-s
Aku dan Siska saling melempar tatapan saat Rani masih saja diam."Maafkan aku, Mah," celetuk Rani setelah terpaku dalam beberapa menit."Maaf untuk apa lagi?" Gegas aku bertanya kemudian duduk di kursi yang ada di dekat Rani."Rumah itu memang milikku. Rumah pemberian, Ayah Fery. Tapi, akan banyak tamu yang datang saat aku kembali ke rumah itu," jelas Rani seraya menurunkan wajahnya menutupi malu."Tamu?" Aku mengernyitkan dahi. "Tamu siapa yang kamu maksud?" "Semenjak Ayah Fery masuk penjara, aku membuka layanan open BO. Itu semua aku lakukan demi meraup rupiah yang banyak. Tapi, sekarang aku tak mau melakukan itu. Aku tidak mau mati dalam keadaan berlumur dosa." Ada genangan air mata yang tengah dibendung oleh Rani."Jadi, kamu benar-benar telah sadar?" Siska menimpali dengan bertanya."Entahlah, Tante. Aku hanya tidak ingin meneruskan itu semua," jawab Rani atas pertanyaan Siska kepadanya.Tapi jujur, berat rasanya menerima Rani untuk kembali ke rumahku. Bayangan menjijikan itu ak
Dua hari setelahnya, aku dan Rani duduk dalam satu ruangan di ruang makan. Kami duduk berdua memulai sarapan pagi. Sementara Mba Parni langsung pulang ke rumahnya setelah membantuku membereskan pekerjaan rumah.Ada beberapa perubahan yang ditampilkan Rani saat ini. Tingkah lakunya yang menjadi lembut kepadaku serta tutur bahasanya yang sopan.Berkali-kali Rani mengutarakan rasa bersalahnya dan meminta maaf kepadaku. Aku melihat kini dia telah bersungguh-sungguh.Lalu bagaimana dengan prilaku seksnya yang berlebihan? Aku mempertanyakan itu pada Rani karena dia tak bisa hidup tanpa itu."Rani, bagaimana kalau kamu menikah," saranku di tengah-tengah aktivitas sarapan pagi kami.Rani sedikit tercengang saat mendengar saran dariku. "Mengapa Mamah tiba-tiba berbicara soal pernikahan?" Dia malah berbalik tanya."Mamah hanya tidak mau kalau kamu berbuat zina lagi. Bukankah pernah kamu katakan kalau kamu memiliki gairah seks berlebihan." Aku mengutarakan kekhawatiranku."Iya, Mah. Itu memang b
Aku berusaha melepaskan tubuh Rani dari bawah kakiku. "Rani, kembali duduk. Jangan seperti ini Mamah mohon," pintaku. Deraian air mata mengiringi kepedihan melihat Rani bersimpuh di kakiku memohon ampun."Tidak, Mah. Aku tak akan bangun sebelum Mamah memaafkan kesalahnku," lirih Rani seraya menangis terseguk-seguk."Bangun, Rani. Mamah sudah memaafkanmu," balasku yang berusaha meyakinkannya.Rani langsung melonggarkan pelukannya pada kakiku. Ia masih duduk di atas lantai. Mendongak menatapku sendu seraya mengusap pipinya yang terus-terusan basah oleh air mata."Mah!" lirihnya memanggil masih dengan tatapan sendu dan genangan air mata di sudut kelopak matanya. Bibirnya tampak gemetar sementara kedua tangannya kini memeluk lututku."Apa yang harus aku lakukan agar Mamah bisa memaafkan aku?" Dia bertanya. Tatapan matanya mengandung harapan yang ia gantungkan.Aku yang turut serta terbawa suasana kesedihan pagi ini, pun tak bisa membendung air mata yang terus saja menetes di pipi."Mamah
"Mamah akan ke kantor polisi. Sepertinya harus bicara dengan, Fery," jawabku saat langkah ini berhenti sejenak."Bolehlah aku ikut?" Rani memasang wajah memelas."Untuk apa?" Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya aku tahu dengan maksud Rani.Dia hanya diam seraya menundukan wajah. Mungkin tak enak jika harus mengatakan alasannya kepadaku."Kamu rindu dengan lelaki itu?" tanyaku dengan sinis. Hatiku terasa terkikis kembali kala mengingat itu."Tidak kok, Mah," jawabnya pelan. Dia masih menunduk menyembunyikan alasannya."Ya sudah ikut saja," ajakku berusaha legowo, meski berat.Rani tak lagi membalas ucapanku. Dia hanya mengikuti langkahku dari belakang. Dia tetap ikut.Aku sudah memesan taksi online yang sudah siap di depan gerbang rumah.Isi dadaku bergetar emosi. Rasanya aku tak habis pikir kalau memang benar Fery yang menerorku hari ini. Aku tak segan-segan akan memberikan penegasan pada mantan suamiku itu kalau sampai itu benar adanya.Sesekali aku melirik ke samping, terlihat Rani m
Istrinya Reynaldi! Mau apa dia menghadang jalanku. Kok dia bisa tahu dengan mobil yang aku naiki? Aku mengernyitkan dahi. Merasa aneh."Mah, mau apa ya dia?" Rani bertanya kepadaku tampak resah."Tidak tahu. Kita keluar saja sebelum dia berulah."Aku dan Rani keluar dari mobil menghampiri istrinya Reynaldi. Aku berdiri di depan wanita yang menatap Rani tampak nyalang."Kalian mau menghindar dari saya?" Wanita itu bertanya seraya berpangku tangan. Di sampingnya juga terlihat dua laki-laki berseragam hitam sepertinya bodyguard."Maksudnya apa ya?" Aku berbalik tanya karena tak mengerti dengan maksudnya."Pelakor ini pergi dari rumah sakit tanpa sepengetahuan saya!" Telunjuk istri Reynaldi menggaris lurus pada wajah Rani yang tengah gugup."Cukup, ya! Jangan mencibir anak saya seperti itu," pintaku dengan halus. Wanita itu malah mendelik ke arahku dengan sinis."Oh, jadi kamu orang tuanya pelakor ini? Pantas saja kamu selalu ada di dekatnya!" cibir wanita itu yang belum juga usai."Sudah
Namun, belum sempat aku menceritakan deretan kejadian minggu ini, tubuh sahabatku nampak beranjak dari tempat duduk."Mau kemana?" Gegas aku bertanya."Aku harus pulang. Sorry ya tak bisa lama-lama mampirnya." Padahal belum lama dia datang, sudah mau pamit saja."Memangnya mau kemana buru-buru sekali?" tanyaku lagi. Sebenarnya aku ingin bercerita pada sahabatku itu, tapi dia sudah terlanjur pamit."Aku harus pulang karena ada suatu hal yang mesti kukerjakan di rumah," jawabnya sedaya menggantungkan tas selempang pada bahunya."Oke! Terima kasih oleh-olehnya dan hati-hati di jalan," ucapku yang segera dibalas anggukan kepala. Siska langsung keluar dari rumahku, pun denganku yang langsung masuk kamar usai meletakan oleh-oleh yang Siska bawa di atas nakas ruang tengah.Aku melanjutkan aktivitas menulis yang sempat tertunda. Setelah satu jam, aku mendengar seperti suatu benda terjatuh di ruang tengah. Aku terkejut kemudian menutup leptopku. Saat melirik benda bundar yang menempel didindi